Tempat Fasum: Gedung Putih

  • Putra Eks Presiden Brasil Diselidiki karena Ancam Hakim-Jaksa-Polisi

    Putra Eks Presiden Brasil Diselidiki karena Ancam Hakim-Jaksa-Polisi

    Brasilia

    Mahkamah Agung Brasil memerintahkan penyelidikan terhadap Eduardo Bolsonaro, putra mantan Presiden Jair Bolsonaro, atas dugaan merintangi penyelidikan terhadap ayahnya. Eduardo dituduh mengancam hakim, jaksa, dan polisi yang melakukan penyelidikan terhadap ayahnya.

    Eduardo, yang kini tinggal di Amerika Serikat (AS) ini, juga diduga mengupayakan sanksi-sanksi AS untuk para pejabat Brasil yang bekerja di bawah pengganti ayahnya, Presiden Luiz Inacio Lula da Silva.

    Eduardo yang berusia 40 tahun ini, seperti dilansir AFP, Selasa (27/5/2025) pindah ke Washington sejak Februari lalu, di mana dia memulai kampanye untuk menggalang dukungan bagi ayahnya, yang dikenal sebagai sekutu Presiden Donald Trump yang kembali ke Gedung Putih sejak pertengahan Januari.

    Jair Bolsonaro, yang kalah dalam pemilu tahun 2022, sedang menghadapi persidangan di Brasil atas dugaan rencana kudeta terhadap Lula da Silva.

    Awal bulan ini, Mahkamah Agung Brasil yang dipimpin oleh hakim Alexandre de Moraes mulai menggelar sidang dengan agenda mendengarkan keterangan para saksi kunci dalam kasus tersebut.

    Jaksa Agung Brasil Paulo Gonet, dalam dokumen pengadilan yang dilihat AFP, meminta Mahkamah Agung untuk mengizinkan penyelidikan terhadap Eduardo atas tuduhan memberikan “ancaman-ancaman” terhadap hakim, jaksa, dan polisi yang terlibat dalam penyelidikan kasus ayahnya.

    Disebutkan Gonet bahwa Eduardo diduga mengupayakan sanksi terhadap mereka yang menyelidiki ayahnya, termasuk pencabutan visa AS dan pembekuan aset.

    Menurut dokumen pengadilan, hakim Moraes memerintahkan agar Eduardo dan ayahnya diperiksa oleh kepolisian dalam waktu 10 hari ke depan.

    Pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan Washington mungkin akan menjatuhkan sanksi kepada hakim Morares, yang juga berselisih dengan miliarder AS, Elon Musk, yang kini menjadi sekutu dan penasihat Trump.

    Menanggapi hal itu, Eduardo memberikan sambutan baik via media sosial dengan mengatakan: “Kita akan menang.”

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Taktik Elon Musk Perkuat Takhtanya di Pemerintahan Trump

    Taktik Elon Musk Perkuat Takhtanya di Pemerintahan Trump

    Jakarta

    Meski sudah mengaku menyelesaikan tugasnya di Departemen Efisiensi Pemerintahan (DOGE) AS, Elon Musk ternyata punya taktik agar tetap memperkuat pengaruhnya. Menurut laporan eksklusif Reuters, bos SpaceX ini membuat AI chatbot Grok buatannya mampu mengakses data sensitif pemerintahan.

    Melansir New Republic, seseorang yang mengetahui masalah tersebut mengatakan kepada Reuters bahwa DOGE telah mulai menggunakan versi khusus Grok. Grok sendiri adalah chatbot AI generatif yang dikembangkan oleh xAI, yang mana dimiliki orang terkaya di dunia itu.

    “Mereka mengajukan pertanyaan, menggunakannya untuk menyiapkan laporan, memberikan analisis data,” kata orang tersebut kepada Reuters.

    Grok diklaim digunakan untuk menelusuri informasi yang sangat banyak secara lebih efisien dalam pencarian organisasi terhadap dugaan pemborosan, penipuan, dan penyalahgunaan. Tapi tak sampai di situ saja, dua orang sumber lainnya mengatakan bahwa DOGE telah mendesak pejabat di Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk menggunakan Grok, meskipun faktanya Grok tidak disetujui untuk digunakan di sana.

    Penggunaan Grok di pemerintah federal menimbulkan kekhawatiran signifikan tentang banyaknya konflik kepentingan Musk dalam pekerjaan dan usaha bisnisnya di pemerintahan. Itu dikarenakan pemerintah harus membayar akses untuk menggunakan chatbot AI tersebut, masih menurut sumber tersebut.

    “Ini memberi kesan bahwa DOGE menekan lembaga untuk menggunakan perangkat lunak untuk memperkaya Musk dan xAI, dan bukan untuk keuntungan rakyat Amerika,” kata Richard Painter, penasihat etika mantan Presiden Republik George W. Bush dan seorang profesor di University of Minnesota. Musk telah dituduh menggunakan Departemen Luar Negeri untuk meningkatkan Starlink di negara-negara asing dan Departemen Perdagangan untuk meningkatkan Tesla.

    Sementara itu, seorang juru bicara Keamanan Dalam Negeri mengatakan bahwa DOGE tidak mendorong karyawan mana pun untuk menggunakan alat atau produk tertentu. Laporan bahwa Grok digunakan di pemerintahan federal juga menimbulkan kekhawatiran lain, tentang kepatuhan DOGE terhadap undang-undang privasi dan penanganannya terhadap data sensitif. Apalagi, situs web xAi mengatakan bahwa mereka mungkin memantau pengguna Grok untuk ‘tujuan bisnis tertentu’.

    Sebelumnya, Elon Musk sudah dikabarkan tidak lagi bekerja secara reguler di Gedung Putih. Nakhoda Tesla itu memimpin DOGE di bangunan yang tidak jauh dari Oval Office, kantor Presiden Donald Trump. Namun saat ini, dia tidak lagi bekerja langsung atau secara fisik di sana.

    (ask/ask)

  • Elon Musk Ancam Pemerintah Trump, AS Dalam Bahaya Besar

    Elon Musk Ancam Pemerintah Trump, AS Dalam Bahaya Besar

    Jakarta, CNBC Indonesia – Elon Musk resmi mundur dari pemerintah Trump sejak akhir Mei 2025. Ia akan fokus menggenjot dinasti bisnisnya, seperti Tesla, SpaceX, hingga X.

    Kendati demikian, pengaruh Musk di Gedung Putih tak sepenuhnya hilang. Musk sendiri mengatakan masih akan mengawasi Lembaga Efisiensi Pemerintah (DOGE), meski porsinya dikurangi secara signifikan.

    Pengaruh Musk di DOGE dan Gedung Putih secara umum dapat terlihat dari adopsi layanan AI miliknya, Grok, di lingkungan pemerintah federal.

    Laporan Reuters dari 3 sumber dalam menyebut tim DOGE memperluas penggunaan Grok di pemerintah federal untuk menganalisa data. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait data pribadi di lingkungan pemerintah.

    DOGE tampaknya mengesampingkan perlindungan yang telah lama ada atas penanganan data sensitif saat Presiden Donald Trump mengguncang birokrasi AS, menurut laporan Reuters.

    Salah satu dari 3 sumber dalam menyebut tim DOGE menggunakan versi modifikasi dari chatbot Grok. Tujuannya agar DOGE dapat menyaring data dengan lebih efisien.

    Sumber ke-2 dan ke-3 mengatakan staf DOGE juga memberi tahu pejabat Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk menggunakan Grok, meskipun sistem AI milik Musk belum disetujui di dalam lembaga tersebut.

    Reuters belum bisa mendapatkan perincian soal data apa saja yang digunakan untuk melatih tool AI milik Musk di lingkungan pemerintah. Sebagai informasi, Grok dikembangkan xAI, yakni perusahaan yang diluncurkan Musk pada 2023 lalu dan disematkan ke platform X miliknya.

    Menurut 5 spesialis teknolosi dan etika pemerintah, jika data yang digunakan di Grok bersifat sensitif dan menyimpan informasi rahasia pemerintah, maka penggunaan tool AI tersebut bisa melanggar aturan privasi dan keamanan.

    Para ahli mengatakan, hal itu juga dapat memberi CEO Tesla dan SpaceX akses ke data kontrak federal nonpublik yang berharga di lembaga-lembaga yang bekerja sama dengannya secara pribadi atau digunakan untuk membantu melatih Grok.

    Musk juga dapat memperoleh keuntungan kompetitif yang tidak adil atas penyedia layanan AI lainnya dari penggunaan Grok di pemerintah federal, menurut keterangan mereka, dikutip dari Reuters, Senin (26/5/2025).

    Musk, Gedung Putih, dan xAI tidak menanggapi permintaan komentar.

    Seorang juru bicara Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) membantah DOGE telah mendesak stafnya untuk menggunakan Grok.

    “DOGE tidak mendesak karyawan mana pun untuk menggunakan alat atau produk tertentu,” kata juru bicara tersebut, yang tidak menanggapi pertanyaan lebih lanjut.

    “DOGE hadir untuk menemukan dan memerangi pemborosan, penipuan, dan penyalahgunaan,” ia menambahkan.

    xAI milik Musk terhitung baru dibandingkan pemain AI lainnya di AS, yakni OpenAI dan Anthropic. Dalam laman resminya, xAI mengatakan perusahaan kemungkinan mengawasi pengguna Grok untuk tujuan bisnis tertentu.

    “Pengetahuan AI harus mencakup semuanya dan seluas mungkin,” kata situs web tersebut.

    Sebelumnya, Musk dan perannya di DOGE sudah menuai kontroversi terkait keamanan data. Sebagai bagian dari upaya Musk untuk menghilangkan pemborosan dan inefisiensi pemerintah, miliarder dan tim DOGE-nya telah mengakses basis data federal yang dijaga ketat yang menyimpan informasi pribadi jutaan warga AS.

    Para ahli mengatakan bahwa data biasanya tidak boleh diakses oleh semua orang kecuali segelintir pejabat karena risiko data tersebut dapat dijual, hilang, bocor, melanggar privasi warga AS, atau membahayakan keamanan negara.

    Umumnya, mekanisme pembagian data di pemerintah federal membutuhkan otorisasi lembaga tertentu dan keterlibatan spesialis pemerintah untuk memastikan kepatuhan terhadap privasi, kerahasiaan, dan hukum lainnya yang berlaku.

    Menganalisa data federal yang sensitif dengan Grok akan menandai perubahan penting dalam pekerjaan DOGE. Mereka telah mengawasi pemecatan ribuan pegawai federal, mengambil alih kendali sistem data sensitif, dan berusaha membubarkan lembaga-lembaga atas nama pemberantasan dugaan pemborosan, penipuan, dan penyalahgunaan.

    “Melihat skala data yang dikelola DOGE menimbulkan kekhawatiran besar jika data tersebut diserahkan ke doftware seperti Grok. Menurut saya, ini adalah ancaman privasi yang serius,” kata Albert Fox Cahn, direktur eksekutif di Surveillance Technology Oversight Project, lembaga nirlaba yang mengadvokasi keamanan.

    Kekhawatirannya mencakup risiko bahwa data pemerintah akan bocor ke xAI, sebuah perusahaan swasta, dan kurangnya kejelasan mengenai siapa yang memiliki akses ke versi khusus Grok ini.

    Akses DOGE ke informasi federal dapat memberi Grok dan xAI keunggulan dibandingkan kontraktor AI potensial lainnya yang ingin menyediakan layanan pemerintah, kata Cary Coglianese, pakar regulasi dan etika federal di University of Pennsylvania.

    “Perusahaan memiliki kepentingan finansial dalam mendesak agar produk mereka digunakan oleh pegawai federal,” katanya.

    (fab/fab)

  • Saham Pemasok Apple di China Tertekan Setelah Ancaman Tarif Trump

    Saham Pemasok Apple di China Tertekan Setelah Ancaman Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Saham pemasok Apple yang terdaftar di China anjlok setelah Presiden AS Donald Trump mengancam tarif pada iPhone impor.

    Melansir dari Reuters, Senin (26/5/2025) Luxshare Precision, salah satu perakit utama iPhone dan produsen AirPods, mencatat penurunan saham sebesar 2,2%. 

    Sementara itu, Lens Technology, pembuat layar ponsel asal China, turun 1,8%. Saham Goertek, yang juga memproduksi AirPods, melemah 1,1% di tengah kekhawatiran pasar atas ketegangan dagang yang kembali mencuat.

    Pernyataan Trump dilontarkan pada Jumat pekan lalu dalam kampanye publik, di mana ia menyatakan kemungkinan mengenakan tarif hingga 25% terhadap iPhone yang dijual di AS tetapi diproduksi di luar negeri. 

    Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya pemerintahannya untuk mendorong relokasi manufaktur ke negara-negara selain China, termasuk AS.

    Ancaman tarif lanjutan sebesar 50% yang disebut akan mulai berlaku 1 Juni mendatang menimbulkan kekhawatiran bahwa perang dagang antara AS dan China berpotensi memanas kembali setelah sempat mereda dalam beberapa bulan terakhir.

    Sebelumnya, Gedung Putih telah menangguhkan sebagian besar tarif impor global yang diumumkan pada awal April, menyusul tekanan dari investor yang menyebabkan aksi jual besar-besaran pada aset-aset AS, termasuk obligasi dan dolar.

    Meskipun demikian, tarif dasar sebesar 10% terhadap sebagian besar barang impor tetap diberlakukan, dan bea atas produk China dipangkas dari 145% menjadi 30%.

    Sebagai respons terhadap ketidakpastian geopolitik dan risiko tarif, Apple mempercepat rencana untuk membuat sebagian besar iPhone yang dijual di Amerika Serikat di pabrik-pabrik di India pada akhir tahun 2026 dengan tarif di China.

    Namun, peluang untuk memindahkan lini produksi secara signifikan ke AS dinilai kecil. Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, dalam wawancara dengan CBS bulan lalu menyebut bahwa pekerjaan perakitan massal kemungkinan akan diotomatisasi jika dipindahkan ke AS.

    Sehingga akan membuka lapangan kerja bagi tenaga teknis seperti mekanik dan teknisi listrik, alih-alih buruh pabrik.

  • Harvard Melawan saat Trump Terus Menekan

    Harvard Melawan saat Trump Terus Menekan

    Jakarta

    Harvard University melawan kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan melayangkan gugatan di pengadilan federal Massachusetts. Salah satu universitas terbaik dunia ini meradang karena kebijakan Trump yang melarang penerimaan mahasiswa asing alias non warga negara AS.

    Dilansir AFP pada Sabtu (24/5/2025), Harvard menduga larangan penerimaan mahasiswa asing adalah balasan dari Trump karena pihaknya menolak tuntutan pemerintah untuk mengendalikan tata kelola, kurikulum, dan ‘ideologi’ fakultas dan mahasiswa. Harvard mengatakan penolakan pihaknya terhadap kebijakan Trump merupakan hak amandemen pertama.

    “Ini adalah tindakan terbaru pemerintah sebagai balasan yang jelas terhadap Harvard yang menjalankan hak Amandemen Pertama dengan menolak tuntutan pemerintah untuk mengendalikan tata kelola, kurikulum, dan ‘ideologi’ fakultas dan mahasiswa Harvard,” tulis dokumen gugatan yang diajukan di pengadilan federal Massachusetts dilansir kantor berita AFP, Sabtu (24/5/2025).

    Sebelumnya Trump melalui menuduh Harvard telah “mendorong kekerasan, anti-Semitisme, dan berkoordinasi dengan Partai Komunis China”. Maka isi gugatan Harvard yakni meminta hakim AS untuk “menghentikan tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, tidak masuk akal, melanggar hukum, dan inkonstitusional”.

    Lalu apa bagaimana hasil gugatan tersebut?

    Hakim Tangguhkan Larangan Trump

    Donald Trump (Foto: Getty Images via AFP/ANDREW HARNIK)

    Hakim Distrik AS Allison Burroughs memerintahkan penangguhan sementara terhadap larangan HarvardUniversity menerima mahasiswa asing. DilansirAFPdanReuters, perintah hakim Burroughs ini akan menangguhkan kebijakan Trump itu selama dua pekan ke depan.

    Sidang lanjutan dijadwalkan berlangsung pada 27 Mei dan 29 Mei untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya dalam perkara ini.

    Di sisi lain, perintah hakim Burroughs ini sedikit memberikan keringanan kepada ribuan mahasiswa asing Harvard yang dipaksa pindah universitas, atau terancam kehilangan status hukum mereka.

    Gedung Putih memberikan reaksi keras terhadap perintah hakim AS tersebut. Jurubicara Gedung Putih Abigail Jackson menyebut hakim Burroughs tidak memiliki hak untuk menghentikan kebijakan pemerintahan Trump.

    “Hakim yang tidak dipilih, tidak memiliki hak untuk menghentikan pemerintahan Trump dalam menjalankan kendali yang sah atas kebijakan imigrasi dan kebijakan keamanan nasional,” tegas Jackson dalam pernyataannya.

    Hakim Burroughs Disebut Hakim Komunis

    Pemerintahan Trump memberi sinyal akan mengajukan banding atas putusan hakim Burroughs tersebut. Kemudian Wakil kepala staf Gedung Putih, Stephen Miller, dalam tanggapan terpisah menyebut hakim Burroughs sebagai ‘hakim komunis’.

    Dia mengatakan bahwa dengan mengabulkan penangguhan sementara, seorang hakim komunis telah menciptakan hak konstitusional untuk warga negara asing untuk diterima di universitas-universitas Amerika yang didanai oleh pajak warga Amerika.

    Hakim Burroughs merupakan seorang hakim distrik AS yang bertugas di Pengadilan Distrik AS untuk Massachusetts. Dia ditunjuk menjadi hakim distrik AS sejak tahun 2015 lalu oleh mantan Presiden Barack Obama pada era pemerintahannya.

    Diketahui Harvard menerima hampir 6.800 mahasiswa asing untuk tahun ajaran saat ini. Angka itu setara dengan 27 persen dari total pendaftaran untuk tahun ajaran saat ini.

    Oleh sebab itu langkah ini membuat masa depan ribuan mahasiswa asing menjadi tidak jelas, dan aliran pendapatan menguntungkan yang didapat dari penerimaan mahasiswa asing menjadi diragukan.

    Halaman 2 dari 2

    (aud/lir)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Pengamanan Ibu Kota AS Diperketat Usai 2 Staf Kedubes Israel Tewas Ditembak

    Pengamanan Ibu Kota AS Diperketat Usai 2 Staf Kedubes Israel Tewas Ditembak

    Washington DC

    Kepolisian Amerika Serikat (AS) meningkatkan pengamanan di sekolah-sekolah dan gedung-gedung keagamaan di seluruh wilayah Washington DC mulai Jumat (23/5). Langkah ini menyusul penembakan yang menewaskan dua staf Kedutaan Besar (Kedubes) Israel di luar sebuah museum Yahudi setempat.

    Seorang pria asal Chicago berusia 31 tahun, diidentifikasi sebagai Elias Rodriguez, telah ditangkap dan didakwa atas pembunuhan tersebut. Rodriguez sempat meneriakkan “Free Palestine” saat ditangkap polisi pada Rabu (22/5), yang semakin memperburuk kekhawatiran atas meningkatnya anti-Semitisme di AS.

    “Di sekitar DC, Anda akan melihat peningkatan kehadiran para petugas penegak hukum di sekitar masyarakat, Anda akan menemukan kami di sekitar organisasi-organisasi berbasis keagamaan,” kata Kepala Kepolisian Metropolitan (MPD), Pamela Smith, kepada wartawan seperti dilansir AFP, Sabtu (24/5/2025).

    “Anda akan melihat peningkatan kehadiran di sekitar sekolah-sekolah dan tempat-tempat seperti Pusat Komunitas Yahudi DC. Kita bahu-membahu dengan komunitas Yahudi,” ucapnya.

    Otoritas berwenang di Washington DC sedang menyelidiki lebih lanjut penembakan mematikan itu “sebagai aksi terorisme dan sebagai kejahatan kebencian”.

    Dua staf Kedubes Israel yang tewas dalam penembakan ini diidentifikasi sebagai Yaron Lischinsky, yang merupakan warga negara Israel, dan Sarah Lynn Milgrim yang merupakan pegawai AS pada Kedubes Israel. Keduanya merupakan pasangan kekasih yang berencana akan menikah.

    Rodriguez telah dihadirkan dalam sidang pembacaan dakwaan yang digelar pada Kamis (22/5) waktu setempat, di mana dia dijerat dua dakwaan pembunuhan tingkat pertama dan dakwaan pembunuhan pejabat asing. Jika terbukti bersalah, Rodriguez bisa terancam hukuman mati.

    Lihat juga Video Gedung Putih: Presiden Trump Marah Atas Tewasnya 2 Staf Kedubes Israel

    Disebutkan jaksa dalam dokumen pengadilan bahwa Rodriguez sempat berteriak “Free Palestine” ketika ditangkap dan dibawa pergi oleh polisi dari lokasi penembakan di luar Capitol Jewish Museum, yang berjarak 1,6 kilometer dari Gedung Putih, pada Rabu (21/5) tengah malam.

    “Saya melakukannya untuk Palestina, saya melakukannya untuk Gaza,” kata Rodriguez kepada petugas kepolisian yang mengamankannya.

    Presiden Donald Trump, yang berbicara via telepon dengan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu usai insiden itu, menyatakan via media sosial bahwa serangan itu jelas-jelas bentuk anti-Semitisme.

    Netanyahu, dalam tanggapannya, menyinggung soal “harga yang sangat mahal dari anti-Semitisme” dan mengecam “penghasutan liar terhadap negara Israel”.

    Penembakan itu memicu ketegangan internasional terkait anti-Semitisme, dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) Israel Gideon Saar menyalahkan kritikan Eropa terhadap operasi militer Tel Aviv di Gaza. Saar mengklaim adanya “hubungan langsung antara penghasutan anti-Semitisme dan anti-Israel dengan pembunuhan ini”.

    “Penghasutan juga dilakukan oleh para pemimpin dan pejabat dari banyak negara dan organisasi internasional, terutama dari Eropa,” sebutnya, tanpa menyebut nama pemimpin dan pejabat yang dimaksud.

    Lihat juga Video Gedung Putih: Presiden Trump Marah Atas Tewasnya 2 Staf Kedubes Israel

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Larangan Harvard Terima Mahasiswa Asing Ditangguhkan, Ini Kata Gedung Putih

    Larangan Harvard Terima Mahasiswa Asing Ditangguhkan, Ini Kata Gedung Putih

    Washington DC

    Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melarang Universitas Harvard menerima mahasiswa asing ditangguhkan sementara oleh seorang hakim distrik AS, menyusul gugatan hukum yang diajukan universitas bergengsi tersebut. Gedung Putih memberikan reaksi keras terhadap perintah hakim AS tersebut.

    Harvard dalam gugatannya menyebut langkah pemerintahan Trump mencabut hak universitas itu untuk menerima mahasiswa asing sebagai “pelanggaran terang-terangan” terhadap Konstitusi AS dan hukum-hukum federal AS lainnya. Gugatan diajukan terhadap pengadilan federal Boston, Massachusetts, pada Jumat (23/5).

    Setelah gugatan hukum diajukan, hakim distrik AS Allison Burroughs menjatuhkan putusan awal yang memerintahkan penangguhan sementara kebijakan Trump itu.

    Hakim Burroughs memerintahkan agar “pemerintahan Trump dengan ini dilarang melaksanakan… pencabutan sertifikasi SEVP (Program Mahasiswa dan Pengunjung Pertukaran) dari penggugat” — dalam hal ini Harvard. SEVP menjadi sistem utama yang mengizinkan mahasiswa asing menempuh pendidikan di AS.

    Perintah hakim Burroughs ini akan menangguhkan kebijakan Trump itu selama dua pekan ke depan. Hakim Burroughs menjadwalkan sidang lanjutan pada 27 Mei dan 29 Mei untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya dalam kasus tersebut.

    Menanggapi perintah hakim AS tersebut, seperti dilansir Reuters dan AFP, Sabtu (24/5/2025), juru bicara Gedung Putih Abigail Jackson menyebut hakim Burroughs tidak memiliki hak untuk menghentikan kebijakan pemerintahan Trump.

    “Hakim yang tidak dipilih, tidak memiliki hak untuk menghentikan pemerintahan Trump dalam menjalankan kendali yang sah atas kebijakan imigrasi dan kebijakan keamanan nasional,” tegas Jackson dalam pernyataannya.

    Wakil kepala staf Gedung Putih, Stephen Miller, dalam tanggapan terpisah menyebut hakim Burroughs sebagai “hakim komunis”.

    Dia mengatakan bahwa dengan mengabulkan penangguhan sementara, “seorang hakim komunis telah menciptakan hak konstitusional untuk warga negara asing… untuk diterima di universitas-universitas Amerika yang didanai oleh pajak warga Amerika”.

    Hakim Burroughs merupakan seorang hakim distrik AS yang bertugas di Pengadilan Distrik AS untuk Massachusetts. Dia ditunjuk menjadi hakim distrik AS sejak tahun 2015 lalu oleh mantan Presiden Barack Obama pada era pemerintahannya.

    Putusan yang dijatuhkan hakim Burroughs ini sedikit memberikan keringanan kepada ribuan mahasiswa asing Harvard yang dipaksa pindah universitas berdasarkan kebijakan pemerintahan Trump, atau terancam kehilangan status hukum mereka.

    Harvard menerima hampir 6.800 mahasiswa asing untuk tahun ajaran 2024-2025. Angka itu setara dengan 27 persen dari total pendaftaran untuk tahun ajaran tersebut.

    Larangan menerima mahasiswa asing ini diberlakukan Trump karena dia marah pada Harvard yang menolak pengawasan Washington atas penerimaan dan perekrutan di tengah tuduhan soal universitas bergengsi itu menjadi sarang anti-Semitisme dan ideologi liberal “woke”.

    Pemerintahan Trump mengancam akan meninjau kembali pendanaan pemerintah untuk Harvard sebesar US$ 9 miliar, sebelum membekukan hibah sebesar US$ 2,2 miliar pada tahap pertama. Pemerintahan Trump juga mendeportasi seorang peneliti Sekolah Kedokteran Harvard.

    “Ini adalah tindakan terbaru pemerintah sebagai balas dendam yang jelas terhadap langkah Harvard menjalankan hak Amandemen Pertama dengan menolak tuntutan pemerintah untuk mengendalikan tata kelola, kurikulum, dan ‘ideologi’ fakultas dan para mahasiswanya,” tegas Harvard dalam gugatan hukumnya.

    Gugatan Harvard itu meminta hakim AS untuk “menghentikan tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, tidak masuk akal, melanggar hukum, dan inkonstitusional.”

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Video Trump Tak Buktikan ‘Genosida’ Kulit Putih di Afsel

    Video Trump Tak Buktikan ‘Genosida’ Kulit Putih di Afsel

    Washington DC

    Di Gedung Putih Rabu (21/5) Presiden Amerika Serikat Donald Trump menuntut Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, yang tengah menjadi tamunya, untuk menanggulangi fenomena pembantaian massal terhadap petani kulit putih di negaranya.

    Narasi bahwa kelompok kulit putih menjadi korban pembunuhan sistematis dan disengaja sudah lama beredar di kelompok supremasi rasial di AS. Namun, hingga kini, tuduhan itu tak pernah terbukti secara fakta maupun statistik resmi. Klaim ini terkait erat dengan teori konspirasi rasis bernama “penggantian besar-besaran” alias the great replacement.

    Klaim Trump

    Trump menyampaikan tuduhan itu ketika menjamu Presiden Ramaphosa di Gedung Putih. Dalam tayangan video yang dia tampilkan pada menit ke-1:42, Trump berkata:

    “Ini adalah makam. Ada ribuan salib putih. Ini semua adalah petani kulit putih dan keluarganya. Mereka semua dibunuh.”

    Cek Fakta DW: Hoaks

    Pernyataan Trump sesungguhnya sudah beredar di media sosial bahkan sebelum kunjungan kenegaraan Ramaphosa ke AS. Seorang pengguna X (dulu Twitter) pada 12 Mei sudah mengklaim bahwa setiap salib putih dalam video itu mewakili seorang petani kulit putih yang dibunuh di Afrika Selatan. Hingga 22 Mei, unggahan tersebut telah ditonton hampir 55 juta kali.

    Namun, penelusuran gambar menunjukkan bahwa cuplikan yang menampilkan deretan salib putih di pinggir jalan itu bukanlah makam petani kulit putih. Video itu sudah pernah beredar di media sosial pada tahun 2020 dan 2023.

    Faktanya, adegan dalam video itu berasal dari sebuah aksi protes di dekat kota Newcastle, Afrika Selatan, pada 5 September 2020. Aksi tersebut digelar menyusul pembunuhan pasangan Glen dan Vida Rafferty di ladang mereka pada Agustus tahun yang sama.

    Aksi simbolik, bukan pemakaman massal

    Tak jauh dari jembatan Horn River, ratusan salib kayu simbolik didirikan sukarelawan di sepanjang jalan. Di pertengahan perjalanan menuju ladang tempat Rafferty dibunuh, terpampang spanduk besar bertuliskan: “Presiden Ramaphosa, berapa banyak lagi yang harus mati?”

    Pidato Julius Malema dan kontroversi lagu perjuangan

    Bagian lain dalam video yang diputar Trump menampilkan politikus Afrika Selatan, Julius Malema, yang meneriakkan slogan “Kill the Boer, kill the farmer” (“Bunuh Boer, bunuh petani”) merujuk pada komunitas kulit putih.

    Adegan itu diambil dari perayaan ulang tahun ke-10 partai kiri Economic Freedom Fighters (EFF) di Stadion FNB, Johannesburg, pada Agustus 2023. Harian Afrika Selatan VRTNWS turut melaporkan momen tersebut.

    Malema, sebelum mendirikan EFF, adalah anggota African National Congress (ANC) namun dikeluarkan dari partai pada 2012. Slogan yang dia teriakkan merupakan seruan perjuangan dari era apartheid yang beberapa kali telah diklasifikasikan sebagai ujaran kebencian di Afrika Selatan.

    Ramaphosa dan petani tolak klaim Trump

    Presiden Ramaphosa langsung memberi sanggahan setelah video ditayangkan. Dia menegaskan bahwa pernyataan dalam video itu bukan merupakan kebijakan pemerintah Afrika Selatan.

    Sementara itu, seorang petani Afrika Selatan bernama Theo de Jaeger juga membantah tudingan Trump dalam wawancaranya dengan Deutsche Welle. Dia menyatakan bahwa tidak ada genosida terhadap petani kulit putih di negaranya.

    Usai Trump menawarkan suaka bagi petani kulit putih, De Jaeger bahkan menulis surat terbuka kepada presiden AS.

    “Saya menulis surat itu karena saya khawatir Trump tidak sepenuhnya paham apa yang sebenarnya terjadi di sini,” ujarnya kepada DW.

    “Kami lebih ingin melihat adanya upaya konkret untuk memperbaiki kondisi kami, agar kami bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Ini bukan hanya soal rasisme, karena petani kulit hitam juga menghadapi masalah yang sama.”

    Ketimpangan agraria masih menganga

    Meski apartheid telah berakhir lebih dari 30 tahun lalu, ketimpangan kepemilikan lahan di Afrika Selatan masih sangat nyata. Menurut laporan pemerintah Afrika Selatan tahun 2017, warga kulit putih masih menguasai sekitar 72 persen lahan pertanian, sementara warga kulit hitam hanya memiliki sekitar 4 persen dari lahan pertanian yang terdaftar secara individual.

    Padahal, warga kulit putih hanya berjumlah 7,8 persen dari total populasi negara itu.

    Catatan Redaksi:
    Artikel ini merupakan bagian dari kerja sama DW dengan tim pemeriksa fakta dari ARD-Faktenfinder, BR24 #Faktenfuchs, dan DW-Faktencheck.

    Artikel ini terbit pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga “Membaca Maksud Pemerintahan Trump Menjegal Harvard University” di sini:

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Trump Sunat Dana Hibah Harvard Lagi! Kali Ini Rp 7 T Lebih

    Trump Sunat Dana Hibah Harvard Lagi! Kali Ini Rp 7 T Lebih

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menekan universitas tertua Negeri Paman Sam karena masih menolak permintaannya terkait penanganan aktivitas demonstrasi pro-Palestina. Kali ini Trump memangkas dana hibah federal untuk Harvard sebesar US$ 450 juta atau Rp 7,44 triliun (kurs Rp 16.535/dolar AS).

    Sebelumnya, pemerintahan Trump juga sudah memangkas besaran dana hibah federal yang diberikan untuk Harvard sebesar US$ 2,2 miliar atau Rp 36,37 triliun. Selain itu pihaknya juga sudah mencabut status bebas pajak pusat pendidikan itu.

    “Delapan lembaga federal sepakat mengumumkan penghentian sekitar US$ 450 juta dalam bentuk hibah untuk Harvard, yang merupakan tambahan dari US$ 2,2 miliar yang telah dihentikan sebelumnya,” kata Gugus Tugas Gabungan Gedung Putih untuk Memerangi Anti-Semitisme dalam sebuah pernyataan, dikutip dari CNN, Kamis (15/5/2025).

    “Ada masalah gelap di kampus Harvard, dan dengan memprioritaskan penenangan daripada akuntabilitas, para pemimpin institusi telah kehilangan klaim sekolah untuk mendapatkan dukungan pembayar pajak,” tulis pernyataan itu lagi.

    Kembali mendapat pemotongan dana hibah federal dari pemerintahan Trump, Harvard hingga kini belum memberikan tanggapan. Begitu juga dengan Satgas bentukan Trump itu yang tidak menanggapi permintaan informasi lebih lanjut tentang lembaga mana yang membekukan pendanaan.

    Untuk diketahui, Harvard bukanlah satu-satunya universitas yang mendapat intimidasi dari pemerintahan Trump dengan cara pemangkasan dana hibah federal dan pencabutan status bebas pajak. Misalkan saja Universitas Columbia dan Ohio State yang ikut mendapatkan pemotongan dana hibah federal bahkan setelah mereka menyetujui beberapa tuntutan pemerintah.

    Terkait pemangkasan dana hibah sebesar US$ 2,2 miliar dan pencabutan status bebas pajak, Harvard sudah mengajukan gugatan terhadap pemerintahan Trump dengan dalih kepada hakim bahwa pemerintah AS saat ini berupaya menggunakan pemotongan dana sebagai daya ungkit untuk memperoleh kendali atas pengambilan keputusan akademis di Harvard.

    “Universitas tidak akan menyerahkan independensinya atau melepaskan hak konstitusionalnya,” kata Presiden universitas Alan Garber saat itu.

    “Baik Harvard maupun universitas swasta lainnya tidak dapat membiarkan dirinya diambil alih oleh pemerintah federal,” tegasnya lagi.

    Kedua belah pihak, baik perwakilan pemerintahan Trump dan Harvard, sudah dijadwalkan untuk memberikan argumen lisan dalam kasus tersebut pada akhir Juli 2025 nanti. Namun pemotongan dana hibah kemungkinan akan tetap dilakukan hingga sidang pertama itu berlangsung.

    (igo/fdl)

  • Tarif 10% jadi Batas Bawah, Donald Trump Sebut Sejumlah Negara Bakal Hadapi Tarif Lebih Tinggi – Page 3

    Tarif 10% jadi Batas Bawah, Donald Trump Sebut Sejumlah Negara Bakal Hadapi Tarif Lebih Tinggi – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan, tarif 10% akan menjadi batas bawah tarif atas impor dari negara lain. Hal ini terutama yang berupaya mencapai kesepakatan perdagangan dengan AS.

    “Beberapa akan jauh lebih tinggi karena mereka memiliki surplus perdagangan yang besar dan dalam banyak kasus, mereka tidak memperlakukan kita dengan benar,” ujar Trump kepada wartawan di Gedung Putih, seperti dikutip dari CNBC, Jumat (9/5/2025).

    Pernyataan Trump hadir saat ia membahas perjanjian perdagangan baru dengan Inggris. Selama kegiatan di ruang oval itu, dalam akun Truth Social Trump menyebutkan, tarif AS atas impor dari Inggris akan tetap pada tingkat dasar 10% yang ia kenakan kepada sebagian besar negara di dunia pada awal April 2025.

    Ketika ditanya oleh seorang wartawan apakah itu adalah pola untuk kesepakatan perdagangan masa depan, Trump menjawab tidak. “Tidak,tidak. Itu angka yang rendah, mereka membuat kesepakatan yang bagus,” ujar Trump tentang Inggris.

    “Satu hal dengan Inggris. Mereka selalu memperlakukan kami dengan sangat hormat,” ia menambahkan.

    Bursa Saham Eropa Menguat

    Di tengah kesepakatan perdagangan AS dan Inggris, bursa saham Eropa mengawali sesi perdagangan pada Jumat, 9 Mei 2025 dengan positif.

    Selain itu, investor menantikan negosiasi perdagangan AS-China yang akan dimulai akhir pekan ini. Indeks Stoxx Europe 600 naik 0,4% pada pukul 09.41 pagi di London. Indeks FTSE 100 menguat 0,4%, dan indeks DAX Jerman dan CAC 40 Prancis masing-masing menguat lebih dari 0,5%.

    Pada perdagangan Kamis, sebagian besar indeks saham utama Eropa ditutup menguat. Namun, FTSE 100 Inggris melawan tren dan merosot 0,32% setelah menghentikan rekor kenaikan beruntunnya pada Rabu pekan ini.

    Selama akhir pekan nanti, Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Perwakilan Perdagangan Jamieson Greer akan bertemu dengan pejabat tinggi China di Swiss untuk membicarakan masalah ekonomi dan perdagangan. Bessent sebelumnya mengatakan pertemuan itu membahas tentang “de-eskalasi, bukan, kesepakatan dagang besar.”