Tempat Fasum: Gedung Putih

  • China Tak Gentar Hadapi Ancaman Tarif Tambahan Trump

    China Tak Gentar Hadapi Ancaman Tarif Tambahan Trump

    Jakarta

    Perang dagang antara Amerika Serikat dan China tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda, dengan Presiden China Xi Jinping menyerukan Uni Eropa bergabung dengan Beijing menentang “intimidasi” dari AS terkait tarif.

    Beijing mengumumkan tarif sebesar 125% terhadap barang-barang AS pada Jumat (11/04). Jumlah ini naik dari 84% yang diumumkan pada Rabu (09/04) silam.

    Tarif baru China terhadap barang-barang AS ini sama dengan tarif AS saat ini terhadap barang-barang China.

    Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengatakan bahwa ia masih berharap untuk mendapatkan kesepakatan dengan Beijing, dengan mengatakan bahwa kesepakatan itu akan “berakhir dengan hasil yang sangat baik bagi kedua negara”.

    Ketika Trump pertama kali mengumumkan skema pajak impornya, China dikenai tarif resiprokal sebesar 34%. Beijing membalas dengan mengenakan tarif sebesar 34% terhadap barang-barang Amerika.

    AS menanggapi dengan menaikkan tarif mereka hingga total 104%, sehingga China menaikkan tarif mereka menjadi 84%. AS merespons lagi, dan sebagaimana keadaannya saat ini, tarif AS terhadap barang-barang China adalah sebesar 125%.

    Namun tarif AS terhadap Beijing dapat meningkat lebih jauh, hingga 145% untuk beberapa produk karena pungutan sebelumnya telah dikenakan pada perusahaan yang memproduksi fentanil.

    Beijing “dengan tegas menentang dan tidak akan pernah menerima praktik hegemonik dan intimidasi seperti itu,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Lin Jian kepada wartawan.

    Kementerian Perdagangan China sebelumnya menyebut pungutan tambahan AS tersebut sebagai “kesalahan di atas kesalahan” dan mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah menerima “aksi pemerasan” AS.

    Sementara itu, Presiden AS menuduh China tidak menghormati AS dan “merampok” AS.

    Dengan kedua negara yang saling membalas pengenaan tarif ini, siapa yang akan mengalah terlebih dahulu?

    “Salah jika berpikir bahwa China akan mundur dan menghapus tarif secara sepihak,” kata Alfredo Montufar-Helu, penasihat senior di China Center di lembaga kajian The Conference Board.

    Baca juga:

    “Langkah seperti itu tidak hanya akan membuat China tampak lemah, tetapi juga akan mendorong AS untuk meminta lebih banyak. Kita sekarang telah mencapai jalan buntu yang kemungkinan akan menyebabkan kesengsaraan ekonomi jangka panjang,” tambahnya.

    Sebagian besar tarif ini akan menghantam ekonomi Asia: tarif untuk Tiongkok akan naik menjadi 54%, tarif untuk Vietnam akan melonjak menjadi 46%, tarif untuk Kamboja mencapai 49%, dan tarif untuk Indonesia menyentuh 32%.

    Para ahli khawatir pemerintah, dunia bisnis, dan investor tidak punya banyak waktu untuk menyesuaikan diri atau bersiap menghadapi ekonomi global yang sangat berbeda.

    Pasar global telah merosot sejak pekan lalu ketika tarif baru yang dikenakan Trump terhadap hampir setiap negara, mulai berlaku.

    Bagaimana China merespons tarif Trump?

    “Tidak ada pemenang dalam perang tarif,” kata Presiden China Xi Jinping setelah pertemuan dengan Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez Jumat (11/04).

    Ia menyerukan China dan Uni Eropa untuk bersama-sama “menentang praktik intimidasi sepihak”, merujuk pada tarif global besar-besaran yang diberlakukan AS.

    Dia juga menganjurkan agar kedua kekuatan internasional tersebut melanjutkan globalisasi ekonomi.

    “Melawan dunia hanya akan menyebabkan isolasi,” tambahnya.

    Getty Images

    China telah merespons putaran pertama tarif Trump dengan mengenakan tarif balasan pada impor tertentu dari AS, kontrol ekspor pada logam langka, dan penyelidikan antimonopoli terhadap perusahaan-perusahaan AS, termasuk Google.

    China juga telah mengumumkan tarif balasan, tetapi tampaknya juga bersiap menghadapi rasa sakit akibat perang dagang dengan AS.

    China telah membiarkan mata uangnya, yuan, melemah, yang membuat ekspor China lebih menarik. Dan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan negara telah membeli saham yang dinilai sejumlah ekonom sebagai langkah menstabilkan pasar.

    Namun, pertikaian antara China dan AS tetap menjadi perhatian utama.

    Getty ImagesKaryawan bekerja di produksi topi yang diekspor ke Amerika Serikat di sebuah pabrik di Suqian, provinsi Jiangsu, Tiongkok timur, pada 7 April 2025. Pasar saham Asia anjlok pada Senin yang suram pada 7 April setelah Tiongkok menghantam Amerika Serikat dengan tarifnya yang tinggi, meningkatkan perang dagang yang ditakutkan banyak orang dapat memicu resesi.

    “Apa yang kita lihat adalah permainan siapa yang dapat menanggung lebih banyak rasa sakit. Kita telah berhenti berbicara tentang rasa untung,” kata Mary Lovely, seorang pakar perdagangan AS-China di Peterson Institute di Washington DC, kepada program Newshour BBC.

    Meskipun ekonominya melambat, China mungkin “sangat bersedia menanggung rasa sakit untuk menghindari menyerah pada tindakan yang mereka yakini sebagai agresi AS”, tambahnya.

    Terguncang oleh krisis pasar properti yang berkepanjangan dan meningkatnya pengangguran, masyarakat Tiongkok tidak banyak berbelanja. Pemerintah daerah yang terlilit utang di China juga telah berjuang untuk meningkatkan investasi atau memperluas jaring pengaman sosial.

    “Tarif memperburuk masalah ini,” kata Andrew Collier, Peneliti Senior di Mossavar-Rahmani Center for Business and Government di Harvard Kennedy School.

    Baca juga:

    Jika ekspor China terpukul, pemasukan negara akan kena dampak yang menyakitkan.

    Ekspor telah lama menjadi faktor utama dalam pertumbuhan eksplosif Tiongkok. Ekspor juga menjadi pendorong signifikan, meskipun negara tersebut mencoba untuk mendiversifikasi ekonominya dengan manufaktur teknologi canggih dan konsumsi domestik yang lebih besar.

    Sulit untuk mengatakan kapan tepatnya tarif “akan berdampak tetapi kemungkinan besar segera,” kata Collier, seraya menambahkan bahwa “[Presiden Xi] menghadapi pilihan yang semakin sulit karena ekonomi yang melambat dan sumber daya yang semakin menipis”.

    Bagaimana dampaknya terhadap AS dan negara lain?

    Namun, bukan hanya China yang akan merasakan dampaknya.

    Menurut Kantor Perwakilan Dagang AS, AS mengimpor barang senilai US$438 miliar dari China pada 2024. Adapun ekspor AS ke China senilai US$143 miliar, sehingga terjadi defisit perdagangan sebesar US$295 miliar.

    Belum jelas bagaimana AS akan menemukan pengganti barang-barang China dalam waktu sesingkat itu.

    Selain pajak atas barang fisik, kedua negara “saling terkait secara ekonomi dalam banyak halada sejumlah besar investasi di kedua belah pihak, banyak perdagangan digital dan aliran data”, kata Deborah Elms, Kepala Kebijakan Perdagangan di Hinrich Foundation di Singapura.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    “Suatu negara hanya dapat mengenakan tarif dalam jumlah tertentu untuk jangka waktu tertentu. Namun, ada cara lain yang dapat dilakukan kedua negara untuk saling menyerang.”

    “Jadi, mungkin situasinya tidak mungkin menjadi lebih buruk, tetapi ada banyak cara yang dapat dilakukan.”

    Seluruh dunia juga mengamati, untuk melihat ke mana barang-barang impor China yang tidak masuk ke pasar AS akan mengarah.

    Mereka akan berakhir di pasar lain seperti di Asia Tenggara, tambah Elms.

    “Negara-negara ini [berurusan] dengan tarif mereka sendiri dan harus memikirkan di mana lagi kami dapat menjual produk kami?”

    “Jadi kita berada di dunia yang sangat berbeda, dunia yang benar-benar tidak jelas.”

    Bagaimana peluang negosiasi AS-China?

    Dalam sebuah postingan di Truth Social, platform media sosial yang dibuat perusahaan milik Trump, Trump memperingatkan bahwa “semua pembicaraan dengan China mengenai permintaan pertemuan mereka dengan kami [soal tarif] akan dihentikan!”

    Trump mengomentari tindakan balasan China dengan berkata “meskipun saya sudah memperingatkan bahwa negara mana pun yang membalas AS dengan mengenakan tarif tambahan… akan segera dikenai tarif baru yang jauh lebih tinggi”.

    Beijing mengatakan bahwa “menekan atau mengancam China bukanlah cara yang tepat”.

    “Langkah hegemonik AS atas nama ‘timbal balik’ adalah pemenuhan kepentingan egois dengan mengorbankan kepentingan negara lain dan mengutamakan ‘Amerika’ daripada aturan internasional,” kata juru bicara Kedutaan Besar China, Liu Pengyu, dalam sebuah pernyataan.

    Baca juga:

    “Ini adalah langkah khas unilateralisme, proteksionisme, dan intimidasi ekonomi.”

    Dari Gedung Putih, Trump berbicara soal kemungkinan tarif bersifat permanen dan peluang negosiasi.

    “Kita punya utang US$36 triliun [sekitar Rp608 kuadriliun] karena suatu alasan,” katanya, seraya menambahkan bahwa AS akan berbicara dengan China dan negara-negara lain untuk membuat “kesepakatan yang adil dan kesepakatan yang baik”.

    “Sekarang Amerika yang utama,” kata Trump.

    Apa sebenarnya tujuan Trump?

    Ketika Trump memberlakukan tarif kepada sejumlah negara, dua pertanyaan mengemuka: Apa sebenarnya tujuan akhir Trump? Apakah itu sepadan dengan kehancuran ekonomi global?

    Satu teori mencuat bahwa Trump memiliki rencana dengan beberapa penasihat utamanya yang disebut “kesepakatan Mar-a-Lago”.

    Kesepakatan ini bertujuan memaksa mitra dagang Amerika melemahkan dolar AS di bursa mata uang internasional.

    Langkah ini dinilai dapat membuat ekspor Amerika lebih terjangkau bagi pasar luar negeri sekaligus mengurangi nilai cadangan mata uang AS di China.

    Penasihat ekonomi Trump, Stephen Miran, disebut-sebut mendorong rencana ini. Mirran telah membantah bahwa itu adalah kebijakan pemerintahan Trump.

    Teori ini hanya salah satu kemungkinan penjelasan atas kekacauan pasar saham yang sengaja dipicu Trump yang sangat berisiko menurut banyak ekonom terkemuka. Itu bukanlah satu-satunya.

    Sejak Trump mengejutkan dunia dengan rencana tarifnya, pejabat-pejabat Gedung Putih telah berbicara ke media dengan penjelasan yang terkadang bertentangan.

    Trump disebut menerapkan tarif untuk meningkatkan pendapatan dan melindungi industri Amerika atau sebagai alat negosiasi.

    Tarif itu disebut bersifat permanen atau sementara. Tarif itu disebut akan mendorong kesepakatan individual dengan negara lain atau memaksakan beberapa perjanjian multilateral yang besar.

    Saat Trump meneken tarif pada Rabu (09/04) , ia tampak ingin membuat khalayak dunia terus menduga-duga.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Tarif Trump Ditangguhkan, Tapi China Tetap Dikenai 145%

    Tarif Trump Ditangguhkan, Tapi China Tetap Dikenai 145%

    Jakarta – Apa yang Trump umumkan?

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Rabu (09/4) tiba-tiba menunda tarif impor selama 90 hari untuk puluhan negara, kecuali Cina, seminggu setelah mengumumkan sanksi besar terhadap sebagian besar dunia karena praktik perdagangan yang dia anggap tidak adil atau tarif resiprokal.

    Trump justru memperkuat sikapnya terhadap Cina, menaikkan tarif terhadap ekonomi terbesar kedua di dunia itu menjadi 125%, dengan alasan “kurangnya rasa hormat” dari Beijing.

    Namun, pada Kamis (10/4), Gedung Putih mengklarifikasi bahwa produsen Cina akan dikenai total 145% tarif atas impor ke AS karena adanya tarif 20% yang telah dikenakan lebih awal tahun ini.

    “Suatu saat nanti, semoga dalam waktu dekat, Cina akan menyadari bahwa masa-masa mereka menipu AS dan negara-negara lain tidak lagi dapat diterima atau berkelanjutan,” tulis Trump di platform Truth Social.

    Namun, Trump kemudian mengatakan kepada wartawan bahwa ia “tidak bisa membayangkan” akan menaikkan tarif Cina lebih lanjut.

    Penundaan tarif diumumkan hanya 13 jam setelah tarif tersebut mulai berlaku, tetapi Trump membantah bahwa ia mundur dari keputusannya, dengan mengatakan kepada wartawan bahwa “Anda harus fleksibel.”

    Setelah penundaan itu, S&P 500 melonjak 9,5%, sementara indeks NASDAQ yang didominasi teknologi naik 12,2%, keduanya mencatat salah satu hari terbaik dalam sejarah. Pasar saham Eropa dan Asia juga mengalami reli saat dibuka pada Kamis (10/4).

    “Kami ingin memberi kesempatan pada negosiasi,” kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dalam pernyataannya di platform X pada Kamis (10/4).

    Mengapa ada penundaan, sementara Cina tidak?

    Trump berada di bawah tekanan besar dari berbagai pihak untuk menunda tarif setelah beberapa hari gejolak di pasar saham global akibat kekhawatiran dampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi.

    Tarif juga memicu reaksi negatif di pasar obligasi, tempat pemerintah dan perusahaan AS meminjam uang. Investor menjual obligasi atau menuntut bunga yang lebih tinggi karena kepercayaan terhadap AS menurun. Imbal hasil obligasi Treasury 10-tahun sempat menyentuh 4,362%.

    Pengumuman mengejutkan pekan lalu itu telah banyak dikritik oleh para anggota parlemen, pembuat kebijakan, dan pemimpin bisnis di AS dan luar negeri karena terlalu keras dan menciptakan ketidakpastian bagi rantai pasok global, perusahaan, dan konsumen.

    Reaksi negatif ini diyakini berperan penting dalam mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut, mengingat potensi krisis keuangan.

    Namun, pemerintahan Trump menyebut penundaan itu sebagai langkah strategis untuk membawa negara-negara lain ke meja perundingan.

    Gedung Putih menyatakan bahwa sekitar 75 negara telah menghubungi AS sejak tarif baru diumumkan minggu lalu untuk membahas kesepakatan dagang baru.

    Beberapa analis mengatakan bahwa dengan mengecualikan Cina dari penundaan tarif dan justru menaikkan tarif impor Cina, Trump berusaha mengisolasi Beijing yang dianggap sebagai musuh utama dalam perdagangan.

    Negara mana saja yang menghadapi penundaan tarif?

    Trump menunda tarif yang dia sebut sebagai tarif “resiprokal” terhadap 60 mitra dagang AS dan UE, yang minggu lalu berkisar dari 46% untuk Kamboja, 32% untuk Indonesia, dan 20% untuk negara anggota UE.

    Namun, para kritikus berpendapat bahwa tarif tersebut tidak dihitung berdasarkan tarif yang dikenakan negara lain terhadap AS.

    Tarif ditetapkan berdasarkan perhitungan surplus perdagangan negara tersebut dengan AS oleh pemerintahan Trump.

    Meski ada penundaan, tarif dasar sebesar 10% tetap berlaku untuk semua impor dari negara mana pun.

    Penundaan ini tidak mempengaruhi tarif yang sudah lebih dulu diberlakukan oleh Trump, termasuk untuk baja, aluminium, mobil, dan suku cadang kendaraan.

    Produk energi dan mineral tertentu yang tidak tersedia secara domestik juga tidak termasuk dalam penundaan ini.

    Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Bagaimana reaksi Cina?

    Cina pada awalnya menunjukkan sikap menantang terhadap kenaikan tarif hingga total 145%, dengan juru bicara Kementerian Luar Negeri Mao Ning menulis, “Kami tidak akan mundur,” di platform media sosial X.

    Mao membagikan video pidato menantang dari pemimpin Cina terdahulu Mao Zedong tahun 1953 saat perang dengan Amerika Serikat di Semenanjung Korea.

    Namun, Kementerian Perdagangan Cina bersikap lebih tenang, menyerukan agar Trump bertemu Beijing “di tengah jalan.”

    Juru bicara kementerian, He Yongqian, mengatakan Cina ingin bernegosiasi “berdasarkan prinsip saling menghormati, hidup berdampingan secara damai, dan kerja sama yang saling menguntungkan, serta menyelesaikan perbedaan melalui dialog dan konsultasi.”

    Kantor berita Bloomberg melaporkan bahwa pimpinan tertinggi Cina mengadakan pertemuan pada Kamis (10/04) untuk merumuskan rencana stimulus tambahan guna mendongkrak perekonomian, yang memang sudah lesu sebelum perang dagang dimulai.

    Apa yang mungkin terjadi selanjutnya?

    Penundaan selama 90 hari ini akan berakhir pada awal Juli, memberi waktu yang sangat terbatas bagi AS dan mitra dagangnya untuk merundingkan kebijakan perdagangan yang lebih sesuai dengan kepentingan Washington.

    Trump sebelumnya dua kali menunda tarif terhadap Kanada dan Meksiko, dan secara teori bisa saja memperpanjang kembali penundaan untuk negara lain.

    Mengenai tarif besar yang kini dihadapi eksportir Cina, Trump mengatakan resolusi dengan Beijing tetap mungkin terjadi.

    “Kesepakatan akan dibuat dengan Cina. Kesepakatan akan dibuat dengan setiap negara lainnya,” katanya, meskipun ia menambahkan bahwa para pemimpin China “tidak tahu bagaimana cara menanganinya.”

    Namun, pejabat AS mengatakan mereka akan memprioritaskan pembicaraan dengan negara seperti Vietnam, Jepang, Korea Selatan, dan negara lain yang menginginkan kesepakatan.

    “Ini akan tercatat dalam sejarah Amerika sebagai hari negosiasi perdagangan terbesar yang pernah kami miliki,” kata penasihat perdagangan senior Trump, Peter Navarro, Rabu malam.

    “Kami berada dalam posisi yang sangat baik untuk 90 hari ke depan,” ujarnya kepada ABC News.

    Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Trump Cabut Pembatasan Tekanan Air Shower: Demi Rambut Indah Saya!

    Trump Cabut Pembatasan Tekanan Air Shower: Demi Rambut Indah Saya!

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perintah eksekutif untuk mencabut pembatasan tekanan air untuk shower di negara itu. Langkah ini diambil Trump setelah bertahun-tahun mengeluhkan pembatasan yang berlaku pada era mantan Presiden Barack Obama dan Joe Biden.

    Trump, seperti dilansir Reuters, Jumat (11/4/2025), mengatakan dirinya ingin “merawat rambut indah saya” saat menandatangani perintah eksekutifnya itu di Ruang Oval Gedung Putih pada Rabu (9/4) waktu setempat.

    Perintah eksekutif Trump itu ditujukan untuk membalikkan langkah-langkah efisiensi dan konservasi air yang diambil oleh Obama dan Biden.

    Menurut lembar fakta Gedung Putih, Trump akan “mengakhiri perang Obama-Biden terhadap tekanan air dan membuat shower di Amerika kembali hebat”.

    “Peraturan yang berlebihan mencekik perekonomian Amerika, mengakar pada birokrat, dan mengekang kebebasan pribadi,” sebut lemba fakta Gedung Putih itu.

    Trump, dalam perintah eksekutifnya, memerintahkan Departemen Energi AS untuk mencabut aturan yang dimulai oleh Obama dan dibawa kembali oleh Biden, yang membatasi aliran dari setiap showerhead, atau kepala pancuran, di pasaran hingga 2,5 galon atau 9,5 liter air per menit.

    Perintah eksekutif Trump itu mencabut pembatasan penggunaan air untuk hampir semua peralatan yang menggunakan air, seperti toilet dan mesin pencuci piring.

    “Dalam kasus saya, saya suka shower dengan air hangat, merawat rambut saya yang indah,” kata Trump dalam seremoni penandatanganan di Ruang Oval Gedung Putih.

    Dia mengatakan dirinya harus berdiri di bawah showerhead selama 15 menit berdasarkan peraturan saat ini, yang disebutnya konyol.

    “Saya harus berdiri di bawah shower selama 15 menit baru rambut saya bisa basah. Airnya cuma setetes, setetes, setetes. Ini konyol,” cetusnya.

    Sejak masa jabatan pertamanya, Trump memang sering mengkritik standar efisiensi air untuk berbagai peralatan rumah tangga, termasuk shower, toilet, dan mesin pencuci piring.

    Dalam berbagai kesempatan, dia menyoroti pentingnya tekanan air tinggi demi menjaga penampilan.

    “Rambut saya – saya tidak tahu dengan kalian, tapi rambut saya harus sempurna, sempurna,” ujarnya di luar Gedung Putih pada tahun 2020.

    “Saya mandi, saya ingin rambut indah saya berbusa dengan sempurna,” ujarnya saat pidato di Detroit, Juni 2024. “Saya pakai produk terbaik yang bisa dibeli. Saya tuangkan ke rambut, lalu saya nyalakan airnya — tapi airnya cuma netes. Saya bahkan tidak bisa membilas. Ini menyebalkan,” cetusnya saat itu.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • 5 Negara Tempat Apple Produksi iPhone yang bakal Terdampak Kebijakan Tarif Trump – Page 3

    5 Negara Tempat Apple Produksi iPhone yang bakal Terdampak Kebijakan Tarif Trump – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Presiden AS Donald Trump belum lama ini mengungkapkan akan menaikkan tarif Trump untuk barang-barang yang diimpor dari negara lain.

    Hal ini otomatis juga akan meningkatkan harga barang-barang tersebut di Amerika Serikat, iPhone adalah salah satunya.

    Pasalnya, selama ini Apple memproduksi iPhone dan perangkat-perangkat lain mereka di luar Amerika Serikat.

    Untuk membuat manufaktur iPhone mereka tak bergantung hanya pada satu negara, sejak beberapa tahun terakhir Apple juga mengoperasikan pabrik di India dan Vietnam.

    Sayangnya, tarif yang diberlakukan oleh Gedung Putih selain berdampak pada barang-barang yang masuk dari Tiongkok, juga berpengaruh ke negara-negara lainnya. Ada 180 negara yang dikenai kenaikan tarif Trump oleh Presiden ke-47 AS ini.

    Sebenarnya, di mana saja Apple mengoperasikan pabrik iPhone dan produk-produk lainnya dan berapa besar tarif Trump yang kemungkinan akan berlaku?

    1. Tiongkok

    Mayoritas produk iPhone milik Apple diproduksi di Tiongkok melalui mitra manufaktur Foxconn.

    Berdasarkan laporan Everscore ISI, kapasitas produksi iPhone dan produk Apple lain di pabrik-pabrik Tiongkok diperkirakan mencapai 80 persen dari seluruh kapasitas global.

    Bahkan khusus iPhone, kapasitasnya produksinya mencapai 90 persen dari perangkat yang beredar di seluruh dunia.

    Meski begitu, lokasi manufaktur di Tiongkok terus menurun antara 2017 hingga 2020, jumlah produksi iPhone dan produk Apple lain justru meningkat.

    Pemasok Tiongkok menyumbang sekitar 40 persen dari total produk Apple. Everscore ISI memperkirakan, 55 persen produk Mac dan 80 persen iPad dirakit di Tiongkok.

    Adapun Tiongkok bakal dikenai kenaikan tarif Trump sebesar 125 persen.

  • Dolar AS Korban Perang Dagang Akibat Tarif Trump, Kok Bisa?

    Dolar AS Korban Perang Dagang Akibat Tarif Trump, Kok Bisa?

    Bisnis.com, JAKARTA – Dolar Amerika Serikat (AS) menjadi korban terbaru dalam gelombang gejolak pasar global seiring dengan eskalasi perang dagang akibat tarif perdagangan Presiden AS Donald Trump.

    Berdasarkan data Bloomberg, Jumat (11/4/2025), indeks dolar AS yang melacak pergerakan mata uang AS ini terhadap sejumlah mata uang utama lainnya terpantau melemah 0,78% ke level 100,09 pada pukul 11.29 WIB.  Pelemahan dolar menandai eksodus besar-besaran dari aset-aset AS akibat memuncaknya tensi perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia.

    Aset lindung nilai seperti yen, franc Swiss, dan emas menjadi pelarian utama investor.

    Analis valas Oversea-Chinese Banking Corp Christopher Wong mengatakan status dolar AS sebagai mata uang cadangan global kini dipertanyakan, menyusul meredupnya keunggulan ekonomi AS dan lonjakan utang nasional.

    “Kepercayaan terhadap dolar mulai runtuh,” ungkapnya seperti dikutip Bloomberg, Jumat (11/4/2025).

    Pergerakan ini mengakhiri pekan penuh turbulensi di pasar, dipicu oleh strategi perdagangan Presiden Donald Trump yang berubah-ubah dan membuat pelaku pasar kebingungan menentukan arah.

    Dolar mencatat kejatuhan harian terbesar dalam lebih dari dua tahun pada Kamis, seiring meningkatnya keyakinan bahwa The Fed akan memangkas suku bunga demi meredam dampak kontraktif dari lonjakan tarif.

    Aset-aset AS lain ikut anjlok. Indeks S&P 500 merosot 3,5%, dan obligasi tenor jangka panjang tergelincir. Sementara itu, kontrak swap suku bunga overnight memperkirakan pemangkasan suku bunga the Fed sebesar 90 basis poin sepanjang tahun ini.

    Di sisi lain, aset safe haven melonjak. Yen Jepang terapresiasi lebih dari 1% ke level 142,89 per dolar, level tertinggi sejak September 2024. Franc Swiss menguat ke 0,8141 per dolar, level tertinggi sejak 2015.

    Sementara itu, harga emas kembali mencetak rekor baru, sedangkan euro turut menguat ke US$1,1383, tertinggi sejak awal 2022.

    Pandangan awal bahwa kepemimpinan Trump akan memicu era pertumbuhan tinggi, pajak rendah, dan dolar yang kuat kini berubah menjadi ketidakpastian dan risiko.

    Investor kini menanti respons Beijing setelah Gedung Putih menegaskan tarif AS terhadap China menjadi 145%, di tengah ketidakjelasan nasib tarif baru setelah masa tenggang 90 hari berakhir.

    Analis National Australia Bank Rodrigo Catril mengatakan selama tak ada tanda-tanda resolusi konkret, pasar akan terus menjauh dari dolar AS.

    “Narasi pelarian dari aset-aset AS dan penjualan dolar tampaknya akan terus berlanjut selama tensi dagang tetap tinggi,” pungkasnya.

  • Saham Amerika Serikat dan Dolar Anjlok, Perang Dagang Donald Trump Mengguncang Wall Street – Halaman all

    Saham Amerika Serikat dan Dolar Anjlok, Perang Dagang Donald Trump Mengguncang Wall Street – Halaman all

    Saham Amerika Serikat dan Dolar Anjlok, Perang Dagang Donald Trump Mengguncang Wall Street

    TRIBUNNEWS.COM- Saham Amerika Serikat anjlok tajam pada 11 April setelah Gedung Putih mengumumkan kenaikan tarif impor China menjadi 145 persen, naik dari yang dinyatakan sebelumnya sebesar 125%.

    Tarif yang direvisi ini mencakup tarif sebesar 20% yang diberlakukan awal tahun ini sebagai respons terhadap perdagangan gelap fentanil, sebagai tambahan terhadap bea “timbal balik” sebelumnya.

    Dow turun hampir 1.700 poin, sementara S&P 500 dan Nasdaq kehilangan 5?n hampir 6%.

    China memperingatkan akan terjadinya perang dagang jika pembicaraan tidak didasarkan pada rasa saling menghormati dan kesetaraan.

    Trump sebelumnya memutuskan untuk tidak melampaui 125% tetapi sekarang mengisyaratkan keterbukaan untuk bertemu Xi.

     

    Jatuh Sangat Dalam ke Zona Merah

    Pasar saham AS jatuh sangat dalam ke zona merah pada hari Kamis karena Gedung Putih mengklarifikasi rencananya untuk mengenakan tarif besar sebesar 145% terhadap China, yang meningkatkan perang dagang.

    Dow, setelah naik hampir 3.000 poin pada hari Rabu, mengalami hari yang tidak menentu di zona merah pada hari Kamis. Indeks saham unggulan turun 1.015 poin, atau 2,5%, setelah turun sebanyak 2.100 poin pada tengah hari.

    S&P 500 turun 3,46?n Nasdaq Composite turun 4,31%. S&P 500 baru saja melewati hari terbaiknya sejak 2008, dan Nasdaq pada hari Rabu mencatat kenaikan harian terbaik kedua dalam sejarah.

    Pasar saham, yang baru saja mengalami hari terbaik ketiga dalam sejarah modern , mulai tenggelam kembali ke realitas: Meskipun Presiden Donald Trump menghentikan sebagian besar tarif “timbal balik”-nya, pajak impor besar lainnya telah menimbulkan kerusakan signifikan, dan perekonomian tidak akan mudah pulih dari dampaknya.

    Setelah merayakan kemenangan pada hari Rabu, presiden pada hari Kamis mengakui beberapa “masalah transisi” mungkin akan terjadi.

    “Kemarin adalah hari yang besar. Akan selalu ada kesulitan transisi — tetapi dalam sejarah, ini adalah hari terbesar dalam sejarah, pasar. Jadi kami sangat, sangat senang dengan cara negara ini berjalan. Kami berusaha agar dunia memperlakukan kami dengan adil,” kata Trump di Ruang Kabinet.

    Indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang asing, anjlok 1,7% pada hari Kamis, mencapai level terendah sejak awal Oktober. Dolar telah melemah secara luas tahun ini, sebuah tanda kekhawatiran investor tentang kesehatan dan stabilitas ekonomi AS.

    Harga emas mencapai rekor tertinggi baru di atas $3.170 per troy ons pada hari Kamis. Logam kuning tersebut dianggap sebagai tempat berlindung yang aman di tengah gejolak ekonomi dan geopolitik dan baru saja mencatat kuartal terbaiknya sejak 1986.

    Saham bergejolak setelah reli singkat

    Para pedagang gembira karena Trump mencabut sementara apa yang disebut tarif timbal baliknya, yang sebenarnya tidak saling timbal balik, selama 90 hari. Tarif tersebut mengenakan pungutan besar antara 11?n 50% pada puluhan negara.

    Kontrak berjangka saham pada hari Kamis juga merespons secara positif pengumuman Uni Eropa bahwa mereka akan menghentikan sementara tarif balasan terhadap Amerika Serikat dengan harapan tercapainya kesepakatan perdagangan setelah Trump mengubah sikapnya. Trump dan Menteri Keuangan Scott Bessent mengatakan lebih dari 70 negara sedang mengantre untuk merundingkan kesepakatan perdagangan dengan Amerika Serikat agar terbebas dari tarif, dan pemerintahan Trump ingin menyediakan waktu untuk mencapai kesepakatan.

    Namun, bahkan setelah Trump berubah pikiran, kenyataan tetap pahit: Para ekonom mengatakan kerusakan ekonomi telah terjadi, dan banyak yang mengatakan masih ada risiko tinggi resesi AS dan global. Saham masih jauh di bawah sebelum Trump mengumumkan tarif “Hari Pembebasan” minggu lalu, dan kerugian pasar saham yang besar, tarif yang berlaku, dan ketidakpastian yang tinggi tentang kebijakan perdagangan Amerika sudah cukup untuk menenggelamkan ekonomi, kata mereka.

    Tarif universal 10% Trump yang mulai berlaku Sabtu masih berlaku, begitu pula tarif 25% untuk impor otomotif, tarif 25% untuk baja dan aluminium, dan tarif 25% untuk beberapa barang dari Kanada dan Meksiko. Trump juga berjanji untuk melanjutkan tarif tambahan untuk farmasi, kayu, semikonduktor, dan tembaga.

    Goldman Sachs mengatakan pada hari Rabu setelah Trump melakukan detente parsial bahwa peluang resesi di Amerika Serikat masih seperti lemparan koin. JPMorgan pada hari Rabu malam mengatakan bank tersebut tidak akan mengubah perkiraan resesinya, masih melihat peluang 60% terjadinya resesi di AS dan global bahkan setelah keputusan “positif” Trump untuk mencabut tarif khusus negara yang “kejam”.

    “Menurut saya, ekonomi (AS) kemungkinan besar akan mengalami resesi, mengingat besarnya guncangan yang terjadi secara bersamaan,” kata Joe Brusuelas, kepala ekonom firma konsultan RSM, kepada CNN . “Semua ini hanya menunda sementara serangkaian pajak impor yang mungkin akan memberatkan sekutu dagang AS.”

    Indeks Volatilitas CBOE, atau pengukur ketakutan Wall Street, melonjak 40% pada hari Kamis. VIX sempat diperdagangkan di atas 50 poin pada tengah hari — level yang jarang terjadi terkait dengan volatilitas ekstrem.

    Data baru pada hari Kamis menunjukkan bahwa inflasi di AS melambat tajam pada bulan Maret. Meskipun biasanya hal itu merupakan berita baik bagi para investor, fokus di Wall Street tertuju pada tarif dan prospek ekonomi ke depannya.

    “[Data] hari Kamis adalah untuk bulan Maret, yang merupakan tinjauan mundur dan tidak memberi tahu pasar banyak tentang bagaimana tarif terkini, meskipun banyak di antaranya yang ditunda, memengaruhi harga konsumen,” kata Skyler Weinand, kepala investasi di Regan Capital.

     

    Tiongkok tidak akan mundur

    Sementara itu, Trump tidak menghentikan perang dagangnya yang mengkhawatirkan dengan China — malah, keadaannya semakin memburuk. Barang-barang yang datang dari China ke Amerika Serikat kini dikenakan tarif setidaknya 145%, Gedung Putih mengklarifikasi pada hari Kamis. Tarif “timbal balik” 125% yang diumumkan Trump terhadap China pada hari Rabu merupakan tambahan dari tarif 20% yang telah berlaku. Tidak jelas apakah tarif tersebut bersifat aditif.

    Saham langsung merosot lebih rendah setelah outlet berita mulai melaporkan klarifikasi sekitar pukul 11 ​​pagi ET.

    Pada hari Kamis juga, tarif balasan Beijing sebesar 84% terhadap impor AS ke China mulai berlaku.

    Tiongkok mengatakan pihaknya tetap bersedia berunding dengan Amerika Serikat, tetapi juru bicara Kementerian Perdagangan Tiongkok juga menegaskan pada hari Kamis bahwa Tiongkok tidak akan mundur jika Trump memilih untuk meningkatkan perang dagang lebih lanjut.

    “Pintu perundingan terbuka, tetapi dialog harus dilakukan atas dasar saling menghormati dan kesetaraan,” kata juru bicara tersebut. “Kami berharap AS akan menemui Tiongkok di tengah jalan, dan berupaya menyelesaikan perbedaan melalui dialog dan konsultasi.”

    “Jika AS memilih konfrontasi, Tiongkok akan membalasnya dengan cara yang sama. Tekanan, ancaman, dan pemerasan bukanlah cara yang tepat untuk menghadapi Tiongkok,” kata juru bicara tersebut.

    Tanda-tanda stres

    Beberapa investor miliarder, yang telah menekan Trump agar mencabut tarif yang dikenakannya, sangat gembira karena presiden berhenti sejenak.

    “Ada cara yang lebih baik dan lebih buruk untuk menangani masalah kita dengan utang dan ketidakseimbangan yang tidak berkelanjutan, dan keputusan Presiden Trump untuk mundur dari cara yang lebih buruk dan bernegosiasi tentang cara menangani ketidakseimbangan ini adalah cara yang jauh lebih baik,” kata investor miliarder Ray Dalio dalam sebuah posting di X pada Rabu malam, seraya menambahkan: “Saya berharap… ia akan melakukan hal yang sama terhadap orang Tiongkok.”

    Namun, tanda-tanda stres masih ada di pasar, tidak hanya di pasar saham. Pasar obligasi, yang telah mengalami penjualan yang sangat cepat — imbal hasil Treasury 10 tahun melonjak melewati 4,5% pada hari Rabu dari di bawah 4% pada awal minggu — telah sedikit mereda. Imbal hasil meningkat ketika harga obligasi turun.

    Namun, imbal hasil obligasi 10 tahun berada di atas 4,3% pada hari Kamis. Itu bukan tanda kepercayaan.

    “Obligasi memberi sinyal bahwa jeda ini signifikan, namun belum banyak yang berubah secara fundamental,” kata analis ING dalam catatan kepada investor pada hari Kamis. “Pasar tidak akan mudah melupakan episode ini dengan fluktuasi pasar yang besar.”

    Harga minyak juga masih tertekan. Minyak AS turun lagi pada hari Kamis hingga di bawah $60 per barel, mendekati harga minyak pada bulan April 2021. Harga sempat turun drastis di bawah $57 per barel pada hari Rabu sebelum pulih kembali. Minyak mentah Brent, patokan global, juga turun 4% menjadi sekitar $63 per barel.

    Meski demikian, pasar global pulih tajam pada hari Kamis.

    Indeks acuan Nikkei 225 Jepang ditutup naik lebih dari 9%, sementara indeks Kospi Korea Selatan naik 6,6%. Indeks Hang Seng Hong Kong melonjak 2,1%. Taiex Taiwan naik 9,3%. Di Australia, ASX 200 ditutup naik 4,5%.

    Saham Eropa melonjak setelah Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menghentikan tarif pembalasan dan mengatakan dia menyambut baik langkah Trump untuk menghentikan tarif “timbal baliknya”.

    “Ini merupakan langkah penting menuju stabilisasi ekonomi global,” katanya dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis . “Kondisi yang jelas dan dapat diprediksi sangat penting agar perdagangan dan rantai pasokan dapat berfungsi.”

    Indeks acuan Eropa STOXX 600 naik 3,7% pada hari Kamis. Indeks CAC Prancis naik 3,8?n DAX Jerman melonjak 4,5%, sementara indeks FTSE 100 London naik 3%.

     

    SUMBER: TECHINASIA, CNN

  • Mengapa China Tak Takut dengan Ancaman Tarif Trump? Ini Kata Analis

    Mengapa China Tak Takut dengan Ancaman Tarif Trump? Ini Kata Analis

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah analis maupun ahli menyatakan bahwa China bakal bertahan dari tekanan dan ancaman ekonomi yang disebabkan tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump.

    Direktur Pusat Penelitian RAND China Jude Blanchette mengatakan bahwa “intimidasi” Trump tidak akan membuat Beijing tertekan. Menurutnya, strategi yang telah disusun Presiden China Xi Jinping dalam mempersiapkan perang dagang AS vs China bakal berhasil. Dengan demikian, China tidak perlu bernegosiasi dengan AS terkait tarif Trump.

    “Beijing tidak mencari negosiasi [dengan Trump],” ujar Blanchette dilansir ABC News pada Jumat (11/4/2025).

    Dia menilai bahwa kedua pemimpin negara itu memiliki pandangan berbeda terkait gejolak ekonomi akibat tarif Trump. Ambil contoh, kata dia, Washington berpandangan bahwa pemberlakuan tarif Trump dapat membuat China tunduk.

    Sebab, menurut AS, China sangat bergantung terhadap ekspor. Di lain sisi, Xi Jinping justru memiliki pandangan bahwa tarif Trump bakal membuat negara-negara enggan berbisnis dengan AS

    “Di sisi lain, Beijing melihat AS semakin lemah secara ekonomi di bawah Trump dan menjauh dari sekutu-sekutunya,” tutur Blanchette.

    Selain Blanchette, Peneliti Politik sekaligus Analis Tiongkok di Asia Society Policy Institute Neil Thomas mengungkap persiapan untuk perang dagang dari Xi Jinping telah dilakukan selama bertahun-tahun.

    Salah satu strategi itu yakni dengan mengembangkan mitra dagang seluas-luasnya. Alhasil, Thomas, menyatakan bahwa wajar apabila Xi Jinping optimistis bakal membuat Trump “tunduk”.

    “Saat ini, Xi tampaknya menghitung bahwa Tiongkok dapat menahan kerusakan dan pada akhirnya Amerika Serikat yang akan mengalah terlebih dahulu,” ujar Thomas.

    Adapun, Thomas mengemukakan bahwa Xi Jinping bisa saja memberikan serangan balik dengan melarang lebih banyak perusahaan AS untuk berbisnis di China.

    Kemudian, China bisa membatasi lebih jauh ekspor bahan-bahan penting ke AS seperti mineral bumi yang langka sekaligus menutup rantai pasokan teknologi canggih.

    Selain itu, pemerintah China juga bisa membatasi film-film Hollywood di China. Meski ini bukan tindakan balasan yang “signifikan”, namun Thomas menilai bahwa tindakan ini sejalan dengan agenda politik Xi Jinping untuk mengurangi pengaruh asing pada masyarakatnya.

    “Tarif akan menyakitkan secara ekonomi, tetapi Xi juga melihat ini sebagai peluang untuk membawa China ke situasi yang lebih sehat dengan mengurangi ketergantungan pada AS,” pungkasnya.

    Lebih jauh, Penasihat Senior Bidang Bisnis dan Ekonomi China Scott Kenney berpendapat bahwa apabila China sudah melakukan serangan balik maka kebijakan tarif Trump itu hanya akan berlangsung sampai 90 hari.

    “Saya pikir China akan membaca ini sebagai kelemahan Presiden Trump dan mereka akan menunggu,” ujar Kenney.

    Seperti diketahui, perang dagang semakin memanas setelah Amerika Serikat mengenakan Tarif Trump 125% kepada China, naik dari sebelumnya yang sebesar 104%. Namun, Trump justru menunda pengenaan tarif bagi negara-negara lain selama 90 hari.

    Dilansir dari Bloomberg, Presiden Amerika Serikat (AS) mengumumkan keputusannya itu melalui media sosial Truth Social pada Rabu (9/4/2025) pukul 13.18 waktu AS. Perubahan sikap itu terjadi sekitar 13 jam setelah bea masuk tinggi terhadap 56 negara dan Uni Eropa mulai berlaku.

    Trump menghadapi tekanan besar dari para pemimpin bisnis dan investor untuk mengubah arah kebijakannya. Pasalnya, tarif Trump dinilai berisiko memicu gejolak pasar dan ketakutan akan resesi ekonomi.

    “Saya pikir orang-orang sedikit keluar jalur … Mereka menjadi sedikit cerewet, sedikit takut,” kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih ketika ditanya mengapa dia menunda pengenaan tarif, Rabu (9/4/2025) waktu AS.

  • Pasar Saham Asia Anjlok Dibayangi Perang Dagang

    Pasar Saham Asia Anjlok Dibayangi Perang Dagang

    Jakarta, Beritasatu.com – Pasar saham Asia anjlok pada Jumat (11/4/2025) pagi, menyusul pelemahan di Wall Street yang menghapus sebagian besar kenaikan sehari sebelumnya.

    Kekhawatiran yang semakin dalam terkait perang dagang yang dipimpin Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi pemicu utama gejolak pasar Asia dan global.

    Dilansir dari AP, indeks Nikkei 225 Jepang mencapai level 32.969,95 atau melemah 4,7% pada perdagangan pagi di Tokyo.

    Pasar saham di Asia lainnya turut tertekan. Indeks Kospi Korea Selatan turun 1,6% ke level 2.400,34. Di Australia, indeks S&P/ASX 200 terkoreksi 2,1% ke posisi 7.552,10.

    Stephen Innes, analis dari SPI Asset Management mengatakan pasar merespons negatif keputusan Trump yang menunda kenaikan tarif selama 90 hari untuk sebagian besar negara.

    “Itu bukan perubahan arah, hanya taktik. Euforia sementara dari penangguhan tarif Trump memudar cepat. Pesta sudah usai, dan Asia akan merasakan dampaknya,” kata Stephen.

    Sentimen negatif semakin kuat setelah China mengumumkan langkah balasan tambahan terhadap AS, menyusul klarifikasi Gedung Putih bahwa tarif atas impor dari China akan dikenakan sebesar 145%, bukan 125% seperti yang sempat disampaikan Trump di platform Truth Social.

    Akibatnya, indeks S&P 500 sempat anjlok lebih dari 6% sebelum ditutup melemah 188,85 poin ke posisi 5.268,05. Dow Jones ditutup turun 1.014,79 poin ke 39.593,66, dan Nasdaq kehilangan 737,66 poin ke 16.387,31.

    Sejalan dengan pasar saham Asia yang melemah, indeks harga saham gabungan (IHSG) juga kembali dibuka memerah. Pada pukul 09.22 WIB, IHSG turun 0,32% atau 19,76 poin ke level 6.234,2.

  • Gedung Putih Tegaskan Tarif Trump ke China Minimal 145%, Bukan 125%

    Gedung Putih Tegaskan Tarif Trump ke China Minimal 145%, Bukan 125%

    Bisnis.com, JAKARTA – Gedung Putih memberikan keterangan bahwa tarif impor AS atas barang-barang dari China dikenai tarif minimum 145%,  bukan 125% seperti yang diumumkan sebelumnya.

    Melansir New York Times, Jumat (11/4/2025), sehari sebelumnya, Presiden Donald Trump menyampaikan bahwa tarif terhadap China akan naik menjadi 125% sebagai respons atas langkah balasan dari China.

    Namun pada Kamis, Gedung Putih merinci bahwa angka 125% tersebut ditambahkan di atas tarif 20% yang sebelumnya sudah diterapkan terhadap barang-barang asal China, sebagai sanksi atas dugaan keterlibatan negara itu dalam rantai pasok fentanyl ke AS.

    Langkah ini menandai lonjakan signifikan terhadap negara yang menjadi salah satu pemasok utama produk konsumen AS. China merupakan sumber impor terbesar kedua bagi Amerika Serikat dan produsen utama dunia untuk barang-barang seperti ponsel, mainan, komputer, dan lainnya.

    Menurut Gedung Putih, tarif 145% ini hanyalah tarif dasar, bukan batas atas. Tarif tersebut belum termasuk kebijakan bea masuk lain yang sebelumnya telah diterapkan Trump, termasuk tarif 25% terhadap baja, aluminium, kendaraan, dan suku cadangnya; tarif hingga 25% terhadap berbagai produk China yang dikenakan selama masa jabatan pertamanya serta tarif beragam terhadap produk tertentu karena pelanggaran aturan perdagangan AS

    Presiden Donald Trump mengakui bahwa kebijakan tarifnya terhadap China dapat menimbulkan masalah transisi di tengah kekacauan pasar, namun ia tetap yakin strategi itu akan membawa hasil positif dalam jangka panjang.

    “Akan ada biaya dan hambatan dalam masa transisi, tapi pada akhirnya ini akan menjadi sesuatu yang indah,” ujar Trump dalam rapat kabinet, dilansir Reuters, Jumat (11/4/2025).

     

  • Trump Naikkan Lagi Tarif buat China Tembus 145%, Begini Hitungannya

    Trump Naikkan Lagi Tarif buat China Tembus 145%, Begini Hitungannya

    Jakarta

    Tarif barang impor yang ditetapkan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap China bila diakumulasi menjadi 145%. Tarif setinggi itu merupakan akumulasi dengan pengumuman tarif baru dan juga bea masuk terkait fentanil yang pernah ditetapkan Presiden AS Donald Trump.

    Dikutip dari CNBC, Jumat (11/4/2025), seorang pejabat Gedung Putih mengonfirmasi bahwa tarif AS untuk barang-barang China sekarang mencapai 145%.Total itu termasuk kenaikan tarif yang baru-baru ini diumumkan menjadi 125% dari mulanya 84% yang diumumkan Trump pada hari Rabu.

    Jumlah tarif tinggi itu diakumulasi lagi dengan bea masuk terkait fentanil sebesar 20% yang sebelumnya telah diberlakukan oleh Trump sejak Februari.

    Ekonom Erica York menilai kenaikan tarif impor ini diprediksi mengakhiri sebagian besar perdagangan antara China dan AS.

    “Secara umum jika Anda mencapai tarif lebih dari tiga digit, Anda akan menghentikan sebagian besar perdagangan,” kata York yang juga merupakan Wakil Presiden Kebijakan Pajak Federal di Pusat Kebijakan Pajak Federal, Tax Foundation.

    York menekankan bahwa pasar masih belum aman. Ancaman pelemahan ekonomi belum sepenuhnya hilang, karena tidak ada kejelasan kebijakan hingga Juli ketika pengenaan tarif dijadwalkan berakhir.

    Trump baru saja mengumumkan bahwa dirinya akan menunda kenaikan tarif impor sebagian besar negara, kecuali China selama 90 hari. Dalam rapat Kabinet Kamis, dia menolak untuk mengesampingkan kemungkinan memperpanjang penangguhan 90 hari.

    Dengan mempertimbangkan tarif China, pungutan dasar 10% yang masih berlaku, dan tarif sektor lainnya, Trump masih yakin dia membawa AS ke posisi paling proteksionisnya dalam beberapa dekade.

    (hal/ara)