Tempat Fasum: Gedung DPR

  • DPR Tidak Bisa Dibubarkan, Kecuali Lewat Jalan Non-Konstitusional: ‘Revolusi’

    DPR Tidak Bisa Dibubarkan, Kecuali Lewat Jalan Non-Konstitusional: ‘Revolusi’

    Belakangan ini ramai di media sosial ajakan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

    Bahkan, beredar seruan demonstrasi pada 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR Senayan. Isu ini langsung memicu polemik besar di tengah masyarakat.

    Kritik terhadap DPR memang bukan hal baru.

    Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, merespons isu tersebut dengan keras dan menyebut ajakan membubarkan DPR sebagai tindakan yang tidak masuk akal.

    Pernyataan ini memang terkesan kasar, namun secara konstitusional memiliki dasar.

    Landasan Konstitusional: DPR Tidak Bisa Dibubarkan Presiden

    UUD 1945 hasil amandemen menutup celah pembubaran DPR oleh Presiden.

    Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7C: Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR.

    Prinsip ini lahir dari sistem presidensial yang menempatkan eksekutif dan legislatif sejajar untuk mencegah konsentrasi kekuasaan.

    Meski begitu, politik selalu menyimpan ruang kemungkinan. Ungkapan klasik, “politics is the art of the impossible, made possible”, tetap relevan.

    Kekecewaan Publik terhadap DPR

    Isu pembubaran DPR muncul tidak lepas dari kekecewaan masyarakat. Kritik publik antara lain:

    Besarnya gaji dan tunjangan anggota DPR.Kebijakan kontroversial seperti revisi UU Pilkada yang dianggap mengakali putusan MK.Kasus dugaan korupsi dan gaya hidup mewah anggota DPR.DPR dianggap kehilangan empati, misalnya ketika berjoget dalam sidang sementara rakyat menghadapi kesulitan ekonomi.Produk legislasi yang tidak berpihak pada rakyat dan lemahnya fungsi pengawasan terhadap pemerintah.

    Semua ini seharusnya menjadi bahan introspeksi agar DPR kembali pada jati dirinya sebagai wakil rakyat.

    Sejarah Pembubaran DPR di Luar Konstitusi

    Sejarah mencatat DPR pernah dibubarkan melalui langkah non-konstitusional.

    Pada 1960, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret untuk membubarkan DPR hasil Pemilu 1955. Sementara pada 2001, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sempat mencoba membekukan DPR dan MPR, namun langkah itu justru berakhir dengan pelengserannya.

    Dua peristiwa ini membuktikan bahwa pembubaran DPR secara ekstra-konstitusional selalu menimbulkan krisis politik.

    Karena itu, reformasi memperkuat posisi DPR agar tidak bisa lagi dibubarkan Presiden.

    Jalan Konstitusional: Amandemen dan Pemilu

    Secara hukum, cara satu-satunya untuk menghapus DPR adalah melalui amandemen UUD 1945.

    Namun, mekanisme ini sangat sulit karena membutuhkan persetujuan MPR, yang sebagian besar anggotanya justru dari DPR.

    Alternatif lain adalah boikot total Pemilu oleh rakyat, tetapi skenario ini hampir mustahil terjadi.

    Dengan demikian, secara politik dan praktis, upaya membubarkan DPR hampir tidak mungkin dilakukan.

    Apakah Revolusi Solusi?

    Secara teori, revolusi atau kudeta bisa mengganti seluruh tatanan negara termasuk DPR.

    Namun, cara ini jelas berbahaya, tidak sah secara hukum, tidak demokratis, dan berisiko menimbulkan instabilitas politik serta kehancuran ekonomi.

    Oleh karena itu, jika publik tidak puas terhadap DPR, solusi terbaik adalah reformasi struktural melalui tekanan publik, advokasi politik, dan mekanisme demokratis.

    DPR tidak bisa dibubarkan dalam sistem presidensial Indonesia. Upaya revolusi hanya akan merusak tatanan bangsa.

    Jalan terbaik adalah mendorong DPR melakukan introspeksi, memperbaiki citra, menghindari kemewahan dan korupsi, serta berani menggunakan hak konstitusional seperti interpelasi, angket, dan pernyataan pendapat.

    Hanya dengan cara demikian DPR dapat kembali dipercaya rakyat dan menjadi pilar demokrasi yang kuat.

    Jakarta, Minggu 24 Agustus 2025

  • Dekrit Presiden Gusdur soal Pembekuan DPR Semakin Trending Menjelang Demo Akbar 25 Agustus, Kenapa?

    Dekrit Presiden Gusdur soal Pembekuan DPR Semakin Trending Menjelang Demo Akbar 25 Agustus, Kenapa?

    GELORA.CO –  Di tengah maraknya seruan unjuk rasa akbar tanggal 25 Agustus 2025 ke Gedung DPR, jagat maya terus dihiasi peristiwa bersejarah Dekrit Presiden Gus Dur.

    Dekrit Presiden Gus Dur soal pembubaran DPR dan MPR yang dikeluarkan tanggal 23 Juli 2001, menurut warganet relevan dengan demonstrasi akbar tanggal 25 Agustus 2025 mendatang.

    Selain karena DPR dianggap lebih mengedepankan fungsi politik dan menanggalkan peran kemanusiaan, rencana demonstrasi akbar tanggal 25 Agustus 2025 juga momentum perbaikan.

    Menurut kalangan warganet, rasa kemelekatan dan ketergantungan rakyat Indonesia terhadap DPR sebagai lembaga legislatif sudah sepatutnya dilakukan penyesuaian.

    “Rakyat harus turun kalau mau menghapus DPR, kita harus berkumpul untuk menghapus beban negara,” tulis pemilik akun @*i,dae* seperti dikutip Ayojakarta dari IG @siaran.kalbar.

    Sebelum Dekrit dibacakan oleh Yusuf Staquf, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sempat dituding terlibat dalam sejumlah skandal korupsi.

    Selain tuduhan korupsi dana Yayasan Bina Sejahtera Warga Badan Usaha Logistik atau Yanatera Bulog, Presiden Gus Dur juga dituding menggelapkan dana dari Sultan Brunei.

    Disamping kedua tudingan tersebut, Presiden Gus Dur juga disebut-sebut terlibat dalam skandal perbuatan asusila bersama seorang wanita yang mengaku bernama Aryanti.

    Melalui pembentukan Panitia Khusus atau Pansus, sejumlah rival politik Gus Dur mulai melakukan berbagai upaya kriminalisasi yang berujung lahirnya istilah DPR seperti Anak TK.

    Saat itu Gus Dur berpendapat, untuk bisa mewujudkan rasa persatuan dan keadilan yang berketuhanan, Indonesia membutuhkan kerjasama dari Eksekutif, Legislatif serta Yudikatif.

    Pembentukan Pansus Bulog Gate, Brunei Gate dan Aryanti Gate yang Lahir tanpa dasar, menurut Gus Dur mencerminkan sikap MPR serta DPR memang kekanakan.

    Selain membekukan DPR, lewat Dekrit tanggal 23 Juli 2001 Gus Dur juga memerintahkan Pembubaran Golkar dan Pembentukan Badan Khusus untuk menyelamatkan reformasi.

    Pasca pemakzulan Gus Dur yang berimplikasi naiknya Megawati sebagai pengganti, Sidang Istimewa menetapkan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden.

    Meski seluruh tuduhan tersebut tidak pernah terbukti, Gus Dur dalam sebuah diskusi bersama Andy F Noya pernah memberi kritik pedas bagi Indonesia.

    Menurut Gus Dur, rakyat Indonesia belum sepenuhnya bebas dari rasa takut sehingga lebih nyaman bertahan meski situasi tidak menyenangkan, bahkan diam saat haknya dibungkam.

    “Bangsa ini Penakut karena tidak mau bertindak kepada yang bersalah,” tegas Gus Dur seperti dikutip Ayojakarta dari YouTube Metro TV. ***

  • Noel, Mentalitas Korup, dan "Indonesia Sold Out"
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 Agustus 2025

    Noel, Mentalitas Korup, dan "Indonesia Sold Out" Nasional 23 Agustus 2025

    Noel, Mentalitas Korup, dan “Indonesia Sold Out”
    Antropolog, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember
    SIAPA
    tidak kenal Immanuel Ebenezer Gerungan? Pria kelahiran Riau yang populer dengan sapaan Noel adalah Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Kabinet Merah-Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto.
    Noel dikenal sebagai aktivis 98 yang mengklaim punya komitmen terhadap demokrasi dan pemberantasan korupsi.
    Suaranya menggelegar, tegas, berwibawa. Ucapannya penuh dengan kata-kata yang mengekspresikan idealisme.
    ”Kami tidak mau pemerintahan awal Prabowo dirusak oleh brutus, para klepto. Dalam pidato Pak Prabowo disampaikan, jangan kirim orang yang mau nyopet anggaran APBN dan APBD. Pidato itu cocok dengan karakter saya sebagai aktivis 98 yang punya komitmen dengan demokrasi dan pemberantasan korupsi,” kata Noel seusai dipanggil Prabowo Subianto pada 15 Oktober 2024 menjelang pelantikan presiden (
    Kompas.id
    , 21/08/2025).
    Ucapan yang penuh idealisme itu dibatalkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Noel ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT).
    Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama 10 orang lain dalam kasus pemerasan terhadap perusahaan terkait pengurusan sertifikat K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). KPK menyita berbagai mobil dan motor mewah.
    Noel adalah pejabat kelas menteri pertama pada pemerintahan Presiden Prabowo yang tersangkut korupsi.
    Noel menambah panjang deret pejabat kelas menteri sejak era reformasi yang meringkuk di penjara akibat korupsi. Belum pejabat lain di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
    Siapa akan menyusul? Apakah kita yakin bahwa tak akan ada lagi pejabat kelas menteri pada pemerintahan Prabowo yang tersangkut korupsi, kendati sang presiden selalu bicara keras tentang korupsi?
    Dulu saya mengira bahwa korupsi hanya dilakukan oleh kalangan tak berpunya. Tak berpunya secara ekonomi, pun tak berpunya secara kekuasaan.
    Bila pendapatan naik, kesejahteraan meningkat, korupsi hilang dengan sendirinya. Ternyata, hal itu ilusi belaka.
    Ternyata, ada gaya korupsi kelas kakap, korupsi kaum atasan. Mereka golongan berpunya secara ekonomi, sekaligus berpunya secara kekuasaan.
    Yang terakhir, berpunya secara kekuasaan, justru kategori yang melipatgandakan nilai yang dikorupsi, pola/modus, dan komplotannya.
    Di tangan mereka, korupsi dilakukan dengan menggunakan ilmu. Bukan sekadar ilmu memanfaatkan celah di dalam sistem, melainkan ilmu menyusun celah di dalam sistem.
    Untuk kasus Noel, ternyata, pengurusan sertifikat K3 memberikan ruang bagi pemegang kekuasaan untuk “mengambil keuntungan” berlipat-lipat yang dilarang oleh peraturan dan berakibat pidana korupsi. Nilainya tentu sangat besar dilihat dari barang bukti yang disita KPK.
    Saya lalu teringat teori budaya kemiskinan yang ditemukan Oscar Lewis. Kemiskinan ternyata bukan soal struktural belaka. Bukan urusan sistem distribusi kue pembangunan saja.
    Menurut Lewis, kemiskinan dapat muncul sebagai akibat nilai-nilai dan budaya yang dianut oleh kaum miskin itu sendiri.
    Kemiskinan ternyata bisa membentuk nilai-nilai, etos, dan mentalitas tertentu yang membuat kaum miskin sulit keluar dari kubangan kemiskinan.
    Nilai-nilai, etos, dan mentalitas produk kemiskinan itu sebut saja “mentalitas miskin”. Perubahan sistem distribusi kue pembangunan tidak dengan sendirinya mengubah mentalitas miskin itu.
    Saya melihat, realitas korupsi di negeri menyerupai kemiskinan dan membentuk “mentalitas korup”. Perubahan dari pemerintahan Soeharto ke pemerintahan reformasi terbukti tak membuat kita keluar dari kubangan korupsi. Meski disediakan lembaga dan perangkat hukum untuk memberantas korupsi.
    Bourdieu menyebutnya habitus. Ia bukan sekadar kebiasaan atau kecenderungan, melainkan sistem disposisi yang tertanam di dalam diri individu.
    Siapapun bisa terjangkiti. Tinggal ada kesempatan atau tidak. Tak mudah melawannya, karena mentalitas korup yang menjadi habitus akan membuat seseorang kehilangan kepekaan dan daya tolak, alias kebal. Bahasa awamnya, “mendarah daging”.
    Mereka tahu tindakannya melanggar hukum, korup, dan merugikan negara dalam jumlah yang tidak kecil, tapi tak cukup berdaya untuk menghindarinya. Bahkan, secara sadar dijalaninya. Muncullah pola atau modus secara berulang.
    Saya melihat, mentalitas korup itu terkesan diamini di zaman komodifikasi yang digerakkan kapitalisme pasar.
    Di zaman pasar, nyaris tak ada hal yang tak bisa dijajakan, dikapitalisasi. Tentu saja demi keuntungan material.
    Sebagaimana hukum pasar, bukan sekadar keuntungan, tapi keuntungan yang berlipat-lipat. Tak peduli urusan sakral, sosial, dan kemanusiaan.
    Apa yang bisa menjelaskan korupsi di urusan haji, bantuan sosial, covid-19, dan sejenisnya kalau bukan mentalitas korup?
    Ternyata, ucapan Noel yang penuh idealisme tak mampu menyelamatkannya. Habitus itu membuat jurang antara ucapan dan tindakan, memproduksi perilaku hipokrit.
    Noel seharusnya mendekonstruksi sistem pengurusan sertifikat K3 yang korup, tapi malah terjerembab di dalamnya.
    Air matanya yang meleleh saat mengenakan rompi oranye dengan tangan terborgol bukan lagi ekspresi kesedihan, melainkan olok-olok terhadap diri sendiri.
    Kita sudah melampaui vampir. Bila vampir menghisap darah orang lain untuk bertahan hidup, kita menghisap darah untuk kemewahan.
    Yang menarik, meski kebetulan saja, pada hari itu juga sejumlah massa dari Gerakan Mahasiswa Bersama Rakyat (Gemarak) membentangkan spanduk besar bertuliskan “Indonesia Sold Out” di depan pintu gerbang Gedung DPR/MPR RI (
    Kompas.com
    , 21/08/2025).
    Bertambahlah kosakata yang menjadi antitesis “Indonesia Emas”. Sebelumnya ada “Indonesia Gelap” dan “Indonesia Cemas”, kini bertambah “Indonesia Sold Out”.
    Tak sulit membaca nalarnya. Kaum muda membaca bahwa negeri ini telah habis terjual. Harta kekayaannya dikeruk dan digadaikan kepada rentenir.
    Kaum muda itu melihat Ibu Pertiwi bersedih hati. Ternyata, putra-putrinya tak setia menjaga harta pusaka. Mereka lah yang akan menanggung akibatnya. Karena itu, sangat logis bila mereka berteriak keras.
    Nalarnya sama dengan Prabowo saat presiden kita itu menulis buku berjudul
    Paradoks Indonesia dan Solusinya
    . Negeri yang kaya raya, tapi sebagian besar rakyatnya miskin. Penyebabnya adalah “serakahnomics”.
    Mentalitas korup dan serakahnomics bagaikan dua sisi pada mata uang yang sama. Saling melengkapi, saling mengondisikan. Keduanya menjelma sebagai habitus. Membutakan mata hati dan menumpulkan ketajaman akal sehat.
    Kita lalu tak mampu merasakan dan mencerna secara kritis bahwa tata kelola negeri ini sungguh bobrok, yang kebobrokannya mengancam eksistensi Indonesia. Inilah sesungguhnya musuh utama bangsa Indonesia.
    Siapa yang akan kebal di kubangan semacam itu? Barangkali hanya “kegilaan” dalam bentuk lain.
    Tesis hanya bisa dilawan dengan antitesis yang setara. Bila mentalitas korup dan serakahnomics dianggap kegilaan, maka hanya bisa ditandingi oleh kegilaan yang lain.
    Sejarah membuktikan. Indonesia pun lahir dari kegilaan lain pada zamannya. Perubahan besar di dunia ini selalu muncul dari kegilaan lain. Kini, sejarah Indonesia menuntut kegilaan lain.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Banjir Kritik Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta: Buang-buang Duit Negara Saat Rakyat Sulit
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        23 Agustus 2025

    Banjir Kritik Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta: Buang-buang Duit Negara Saat Rakyat Sulit Megapolitan 23 Agustus 2025

    Banjir Kritik Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta: Buang-buang Duit Negara Saat Rakyat Sulit
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com 
    – Pemberian tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI banjir kritik.
    Ketua DPR RI Puan Maharani mengeklaim penetapan besaran tunjangan perumahan bagi anggota Dewan sebesar Rp 50 juta per bulan itu berdasarkan hasil kajian yang matang. 
    “Itu sudah dikaji dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kondisi ataupun harga yang ada di Jakarta karena kan kantornya ada di Jakarta,” ujar Puan di Gedung DPR RI, Kamis (21/8/2025).
    “Namun, apa pun itu, kami pimpinan DPR akan memperhatikan aspirasi dan apa yang disampaikan oleh masyarakat. Tolong selalu awasi kinerja dari kami di DPR,” sambungnya.
    Akan tetapi, oleh masyarakat, besaran tunjangan itu dinilai sebagai angka fantastis dan membuang-buang uang negara. 
    Warga asal Depok, Dira (25), menilai, tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan untuk anggota DPR membuang anggaran negara.
    “Dan ini ditambah lagi tunjangan rumah Rp 50 juta kayak buang-buang duit negara saja,” ucap Dira kepada
    Kompas.com
    , Kamis (21/8/2025).
     
    “Banyak banget tunjangan mereka yang enggak gitu penting, misal tunjangan komunikasi Rp 15 juta. Uang sebanyak itu untuk komunikasi seperti apa yang dimaksud?” ujar Dira.
    Oleh karena itu, Dira menyarankan agar pemerintah memangkas beberapa tunjangan DPR. Sebagai gantinya, anggota DPR bisa mendapat fasilitas negara, tetapi dengan kewenangan terbatas.
    “Biar kalau sudah tidak menjabat, dikembalikan ke negara untuk anggota selanjutnya,” terang dia.
    Sementara, Candra (28), seorang karyawan swasta, menilai besar tunjangan perumahan tersebut berlebihan. Menurut dia, fasilitas itu tak sebanding dengan kondisi rakyat yang masih berjuang memenuhi kebutuhan pokok di tengah sulitnya ekonomi.
    “Agak miris. DPR kan mata dan telinga masyarakat, pikirinlah kita ini. Kalian kan dipilih rakyat,” ujar Candra kepada
    Kompas.com,
    Jumat (22/8/2025).
    Dia pun mempertanyakan urgensi tunjangan rumah untuk anggota DPR. Padahal, sebelumnya sudah ada rumah dinas DPR yang dinilai cukup mewah.
    “Buat apa tunjangan rumah sedangkan rumah dinas kalian sudah cukup mewah. Jangan buang-buang anggaran,” imbuh Candra.
    Kritik serupa disampaikan Aly Azka Baihaqy (24). Ia menilai, DPR tidak pantas menerima tunjangan perumahan dengan nominal fantastis di tengah upaya efisiensi pemerintah.
    “Rp 0 sih untuk tunjangan perumahan. Pada masa efisiensi ini, solusi yang lebih adil adalah tidak ada fasilitas perumahan dan tunjangan bagi perwakilan rakyat. Mereka kita gaji melalui pajak yang kita bayar,” kata Aly.
    Aly juga berpendapat, gaji anggota DPR sudah cukup untuk menanggung kebutuhan hidup. Menurutnya, jika rumah dinas anggota DPR yang ada tidak memadai, para legislator dapat mencari alternatif seperti masyarakat pada umumnya.
    “Kalau rumahnya jauh dari tempat mereka berkumpul, mereka bisa ngontrak atau ngekos, layaknya kebanyakan rakyat yang bekerja di luar kota,” jelas dia.
    Sementara, warga Depok bernama Yaomi (27) meragukan kinerja anggota DPR lantaran terlihat tidak peduli dengan kondisi ekonomi yang sedang lesu.
    “Di saat banyak rakyat kesulitan dengan kebutuhan sehari-hari dan inflasi tinggi, kebijakan ini terkesan tidak sensitif dan jauh dari realitas masyarakat,” ujar Yaomi.
    Tak hanya itu, gaji dan tunjangan anggota DPR yang totalnya mencapai Rp 100 juta dianggap terlalu berlebihan.
    “Memberi Rp 50 juta per bulan lebih terlihat seperti kemewahan ya daripada kebutuhan kerja DPR,” lanjut dia.
    Adapun menurut Aly, alokasi anggaran sebesar itu lebih tepat diarahkan untuk kebutuhan publik.
    “Kurang pantas sih. Hemat saya, ada baiknya tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan untuk anggota DPR dialokasikan untuk keperluan rakyat, bukan perwakilan dari rakyat,” katanya.
    Ia menambahkan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan wakil rakyat, termasuk persoalan pendidikan yang belakangan ramai dibicarakan.
    “Toh, masih banyak pekerjaan rumah perwakilan rakyat seperti masalah pendidikan yang ramai dibicarakan netizen,” imbuh dia.
    Hal serupa diungkapkan Candra. Menurut dia, anggaran tersebut lebih bermanfaat jika dialokasikan bagi tenaga pendidik, khususnya guru honorer di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
    “Sebaiknya, tunjangan tersebut pantas dialokasikan untuk para guru honorer. Banyak sekali, khususnya guru honorer di wilayah 3T yang haknya kurang dipenuhi atau bahkan diabaikan. Atau bahkan difungsikan untuk meningkatkan fasilitas pendidikan,” ujar dia.
    Selain itu, Candra menambahkan, anggaran sebesar itu juga bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur dasar maupun layanan publik.
    “Anggaran itu penting dialokasikan untuk bangun akses jalan di pelosok, perbaiki kualitas pendidikan, kesehatan gratis, air bersih hingga transportasi umum,” jelas dia.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Iuran BPJS Kesehatan 2026 Naik atau Tidak, Ini Penjelasan Kemenkeu

    Iuran BPJS Kesehatan 2026 Naik atau Tidak, Ini Penjelasan Kemenkeu

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kabar soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan secara bertahap pada 2026 mendatang sempat menjadi sorotan publik. Informasi tersebut beredar setelah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan pemerintah perlu menaikkan iuran demi menjaga agar kas negara tetap sehat.

    “Dalam kerangka pendanaan, skema pembiayaan perlu disusun secara komprehensif untuk menjaga keseimbangan kewajiban antara tiga pilar utama yakni masyarakat/peserta, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah,” kata Sri Mulyani.

    “Untuk itu, penyesuaian [kenaikan] iuran dapat dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat dan kondisi fiskal pemerintah. Pendekatan bertahap ini penting untuk meminimalisir gejolak sekaligus menjaga keberlanjutan program,” ia menambahkan.

    Namun, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Luky Alfirman kemudian menegaskan bahwa tidak ada kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan pada 2026 mendatang. Ia menjelaskan rencana kenaikan BPJS Kesehatan bukan terkait penyesuaian tarif iuran kepada masyarakat.

    “Kenaikan anggarannya ada. Bukan tarifnya, perbaikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” ujar Luky kepada wartawan saat ditemui di Gedung DPR RI, Jumat (22/8) kemarin.

    Menurutnya, kenaikan justru terjadi di sisi anggaran kesehatan secara keseluruhan. Adapun tambahan anggaran tersebut tercatat dalam pos belanja fungsi kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan.

    “Iya, fungsi kesehatan. Kenaikan anggarannya ada,” tegasnya lagi.

    Dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan Negara (RAPBN) 2026 pun juga dijelaskan bahwa anggaran kesehatan ditetapkan sebesar Rp244 triliun. Angka ini melonjak 15,8% dibanding outlook 2025 sebesar Rp210,6 triliun.

    Dari total alokasi tersebut, Rp123,2 triliun disiapkan untuk layanan kesehatan masyarakat. Porsi terbesar dialokasikan bagi subsidi iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang mencakup 96,8 juta penerima bantuan iuran (PBI) serta 49,6 juta peserta PBPU, dengan total anggaran mencapai Rp69 triliun.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Cukai Minuman Manis Masuk RAPBN 2026, Begini Kata Ketua Komisi XI DPR

    Cukai Minuman Manis Masuk RAPBN 2026, Begini Kata Ketua Komisi XI DPR

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi XI DPR Misbakhun memastikan bahwa pengenaan cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sudah disepakati dengan pemerintah.

    Sebagai informasi, wacana penerapan cukai MBDK sudah sejak 2020. Kendati demikian, penerapannya terus diundur. Dalam APBN 2025, pemerintah bahkan sudah menetapkan target penerimaan dari cukai MBDK sebesar Rp3,8 triliun namun belum kunjung diimplementasikan.

    Kini dalam RAPBN 2026, pemerintah menyatakan akan kembali menerapkan cukai MBDK, sebagai bagian dari ekstensifikasi barang kena cukai. 

    “Tadi kan sudah disimpulkan, pemerintah sudah sepakat. Terus apa lagi?,” ujar Misbakhun usai dimintai konfirmasi lagi oleh wartawan usai Rapat Pengambilan Keputusan atas Asumsi Dasar RAPBN 2026 di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (22/8/2025).

    Politisi Partai Golkar itu mengakui bahwa dalam implementasinya pemerintah pasti akan membuat pertimbangan, khususnya mengenai besaran tarif cukai.

    “Jangan sampai memberikan tekanan terhadap sektor industri, sektor riilnya,” kata Misbakhun.

    Adapun besaran tarif akan dibahas bersama-sama juga dengan DPR. Salah satu konsultasi yang dilakukan adalah terkait dengan ambang batas atau threshold persentase kadar gula dalam MBDK yang akan dikenakan cukai.

    “Misalnya dalam kandungan per miligram itu 0,5 atau 0,3. Kita sepakat di threshold-nya. Jangan sampai kemudian dinol-kan, kan enggak,” kata Misbakhun.

    Ke depan, rapat untuk membahas tindak lanjut rencana pengenaan cukai MBDK akan mengundang berbagai pemangku kepentingan terkait seperti industri maupun kesehatan.

    Sementara itu, untuk pengenaan cukai pada barang lain seperti plastik dipastikan belum masuk ke dalam pembahasan RAPBN 2026.

    “Belum. APBN aja baru saja kita bahas,” kata Misbakhun.

    Misbakhun selalu Ketua Komisi XI DPR membacakan kesimpulan rapat panja yang meliputi asumsi dasar makro hingga postur APBN. Dia lalu bertanya ke Komisi XI DPR apabila menyetujui kesimpulan rapat sore itu, di mana anggota parlemen menyetujuinya.

    Kemudian, pemerintah lalu juga menyetujui kesimpulan tersebut.

    “Setuju pak,” terang Sri Mulyani.

    “Dengan mengucapkan alhamdulillah apa yang menjadi kesimpulan rapat sore ini saya nyatakan disetujui,” terang Misbakhun.

  • Jawaban Dirjen Bea Cukai soal Rencana Pengenaan Cukai MBDK Tahun Depan

    Jawaban Dirjen Bea Cukai soal Rencana Pengenaan Cukai MBDK Tahun Depan

    Bisnis.com, JAKARTA — Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Djaka Budi Utama menyebut pemerintah akan merapatkan lebih lanjut soal kebijakan pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dalam RAPBN 2026.

    Adapun, pemerintah dan DPR telah menyepakati pemberlakuan cukai MBDK tahun depan sejalan dengan kenaikan target penerimaan negara dari kepabeanan dan cukai RAPBN 2026 sebesar Rp334,3 triliun.

    “Udah, entar aja, belum,” ujar Djaka sambil bergegas menuju kendaraannya usai rapat bersama Komisi XI DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (22/8/2025).

    Kemudian, purnawirawan TNI berpangkat terakhir Letnan Jenderal itu lalu menyebut pihak pemerintah masih akan merapatkan lagi soal kesepakatan dengan DPR pada RAPBN 2026 itu.

    “Ah nanti bakalan rapat-rapat lagi,” ucapnya.

    Sebelumnya, pemerintah dan DPR kembali menyepakati untuk penerapan kebijakan pengenaan cukai terhadap Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

    Hal itu disepakati oleh pemerintah dan DPR pada Rapat Pengambilan Keputusan Asumsi Dasar RAPBN TA 2026, Jumat (22/8/2025).

    Dalam kesimpulan rapat pengambilan keputusan itu, Ketua Komisi XI Misbakhun menyebut pemberlakuan cukai MBDK harus diterapkan pada APBN 2026 sejalan dengan kenaikan target penerimaan kepabeanan dan cukai.

    “Ekstensifikasi barang kena cukai antara lain melalui program penambahan objek cukai baru berupa minuman berpemanis dalam kemasan untuk diterapkan dalam APBN 2026 di mana pengenaan tarifnya harus dikonsultasikan dengan DPR,” ujarnya di Gedung DPR.

    Untuk diketahui, target penerimaan kepabeanan dan cukai naik menjadi Rp334,3 triliun pada RAPBN 2026. Itu akan menopang target pendapatan negara sebesar Rp3.786,5 triliun.

    Selain Bea Cukai, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun, PNBP Rp455 triliun dan Hibah Rp0,7 triliun.

    Adapun pemerintah dan DPR menyepakati Asumsi Dasar Makro untuk RAPBN 2026 pada rapat pengambilan keputusan tentang RAPBN Tahun Anggaran (TA) 2026, Jumat (22/8/2025).

    Rapat itu dihadiri oleh Komisi XI DPR dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, Menteri PPN/Kepala Bappenas Rohmat Pambudy, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) Mahendra Siregar.

    Kemudian, Misbakhun selaku Ketua Komisi XI DPR membacakan kesimpulan rapat panja yang meliputi asumsi dasar makro hingga postur APBN. Dia lalu bertanya ke Komisi XI DPR apabila menyetujui kesimpulan rapat sore itu, di mana anggota parlemen menyetujuinya.

    Kemudian, pemerintah lalu juga menyetujui kesimpulan tersebut.

    “Setuju pak,” terang Sri Mulyani.

    “Dengan mengucapkan alhamdulillah apa yang menjadi kesimpulan rapat sore ini saya nyatakan disetujui,” terang Misbakhun.

  • DPR-Sri Mulyani Sepakat Cukai Minuman Berpemanis Berlaku Tahun Depan, Tarif Masih Dibicarakan

    DPR-Sri Mulyani Sepakat Cukai Minuman Berpemanis Berlaku Tahun Depan, Tarif Masih Dibicarakan

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dan DPR kembali menyepakati untuk penerapan kebijakan pengenaan cukai terhadap Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

    Hal itu disepakati oleh pemerintah dan DPR pada Rapat Pengambilan Keputusan Asumsi Dasar RAPBN TA 2026, Jumat (22/8/2025).

    Dalam kesimpulan rapat pengambilan keputusan itu, Ketua Komisi XI Misbakhun menyebut pemberlakuan cukai MBDK harus diterapkan pada APBN 2026 sejalan dengan kenaikan target penerimaaan kepabeanan dan cukai.

    “Ekstensifikasi barang kena cukai antara lain melalui program penambahan obyek cukai baru berupa minuman berpemanis dalam kemasan untuk diterapkan dalam APBN 2026 di mana pengenaan tarifnya harus dikonsultasikan dengan DPR,” ujarnya di Gedung DPR.

    Untuk diketahui, target penerimaan kepabeanan dan cukai naik menjadi Rp334,3 triliun pada RAPBN 2026. Itu akan menopang target pendapatan negara sebesar Rp3.786,5 triliun.

    Selain bea cukai, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun, PNBP Rp455 triliun dan Hibah Rp0,7 triliun.

    Adapun pemerintah dan DPR menyepakati Asumsi Dasar Makro untuk RAPBN 2026 pada rapat pengambilan keputusan tentang RAPBN Tahun Anggaran (TA) 2026, Jumat (22/8/2025).

    Rapat itu dihadiri oleh Komisi XI DPR dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, Menteri PPN/Kepala Bappenas Rohmat Pambudy, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) Mahendra Siregar.

    Rapat didahului oleh laporan Panja Pertumbuhan, Panja Penerimaan dan Panja Defisit yang dibacakan oleh tiga orang pimpinan Komisi XI DPR termasuk Misbakhun.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai perwakilan pemerintah pun menyepakati laporan dari tiga panja itu. Kemudian, pemerintah dan DPR menyepakati asumsi dasar makro RAPBN 2026 itu.

    “Disepakati biaya asumsi dasar ekonomi makro dan sasaran pembangunan pada RAPBN 2026, saya nyatakan disepakati dan disetujui,” ujar Misbakhun.

  • Banjir Kritik Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta: Buang-buang Duit Negara Saat Rakyat Sulit
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        23 Agustus 2025

    Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta Dipertanyakan, Warga: Tak Sepadan dengan Kinerja Megapolitan 22 Agustus 2025

    Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta Dipertanyakan, Warga: Tak Sepadan dengan Kinerja
    Tim Redaksi
    TANGERANG, KOMPAS.com –
    Candra (28), karyawan swasta, mempertanyakan kelayakan tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
    Menurut dia, nilai tersebut tidak seimbang dengan kinerja DPR saat ini, apalagi saat banyak sekali permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.
    “Agaknya kurang berimbang. Saya juga belum sepenuhnya paham kinerja DPR seperti apa, tapi ini masih banyak permasalahan masyarakat yang belum selesai,” ujar Candra kepada
    Kompas.com,
    Jumat (22/8/2025).
    Oleh sebab itu, ia meminta anggota DPR untuk lebih sering turun langsung ke lapangan dan menyerap aspirasi rakyat ketimbang meminta fasilitas tambahan.
    “Sering-sering turun ke lapangan lah, biar perwakilan rakyat itu tahu keluh kesah masyarakat, khususnya di daerah pelosok. Apa harus viral dulu untuk masyarakat menyuarakan pendapatnya?” kata dia.
    Sementara itu, warga Jakarta Aly Azka Baihaqy (24) menilai kinerja DPR selama ini justru cenderung berpihak pada kelompok tertentu.
    Maka dari itu, menurut dia, tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan tidak pantas diberikan untuk DPR jika masih menggunakan sistem kerja yang seperti itu.
    “Saya belum mengetahui 100 persen bagaimana kinerja DPR. Yang saya tahu, mereka hanya menyuarakan undang-undang yang condong pada satu golongan rakyat. Tunjangan sebesar itu tak sepadan dengan kinerja DPR,” kata Aly.
    Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani mengeklaim penetapan besaran tunjangan perumahan bagi anggota dewan sebesar Rp 50 juta berdasarkan hasil kajian yang matang.
    Hal itu disampaikan Puan saat merespons munculnya anggapan di masyarakat bahwa nominal tunjangan perumahan tersebut terlalu besar.
    “Itu sudah dikaji dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kondisi ataupun harga yang ada di Jakarta karena kan kantornya ada di Jakarta,” ujar Puan di Gedung DPR RI, Kamis (21/8/2025).
    “Namun, apapun itu, kami pimpinan DPR akan memperhatikan aspirasi dan apa yang disampaikan oleh masyarakat. Tolong selalu awasi kinerja dari kami di DPR,” sambungnya.
    Dia pun berharap agar masyarakat tak ragu menyampaikan hal-hal yang dianggap masih belum sempurna dari DPR.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kritik Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta, Warga: Buang-buang Anggaran Saat Ekonomi Sulit
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        22 Agustus 2025

    Kritik Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta, Warga: Buang-buang Anggaran Saat Ekonomi Sulit Megapolitan 22 Agustus 2025

    Kritik Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta, Warga: Buang-buang Anggaran Saat Ekonomi Sulit
    Tim Redaksi
    TANGERANG, KOMPAS.com 
    – Sejumlah warga mengkritik pemberian tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. 
    Candra (28), seorang karyawan swasta, menilai, besar tunjangan perumahan tersebut berlebihan. Menurut dia, fasilitas itu tak sebanding dengan kondisi rakyat yang masih berjuang memenuhi kebutuhan pokok di tengah sulitnya ekonomi.
    “Agak miris. DPR kan mata dan telinga masyarakat, pikirinlah kita ini. Kalian kan dipilih rakyat,” ujar Candra kepada
    Kompas.com,
    Jumat (22/8/2025).
    Dia pun mempertanyakan urgensi tunjangan rumah untuk anggota DPR. Padahal, sebelumnya sudah ada rumah dinas DPR yang dinilai cukup mewah.
    “Buat apa tunjangan rumah sedangkan rumah dinas kalian sudah cukup mewah. Jangan buang-buang anggaran,” imbuh Candra.
    Candra menambahkan, anggaran sebesar itu sebaiknya digunakan untuk hal yang lebih mendesak, seperti pembangunan infrastruktur dasar maupun layanan publik.
    “Anggaran itu penting dialokasikan untuk bangun akses jalan di pelosok, perbaiki kualitas pendidikan, kesehatan gratis, air bersih hingga transportasi umum,” jelas dia.
    Kritik serupa disampaikan Aly Azka Baihaqy (24). Ia menilai, DPR tidak pantas menerima tunjangan perumahan dengan nominal fantastis di tengah upaya efisiensi pemerintah. 
    “Rp 0 sih untuk tunjangan perumahan. Pada masa efisiensi ini, solusi yang lebih adil adalah tidak ada fasilitas perumahan dan tunjangan bagi perwakilan rakyat. Mereka kita gaji melalui pajak yang kita bayar,” kata Aly.
    Aly juga menilai gaji anggota DPR sudah cukup untuk menanggung kebutuhan hidup.
    Menurutnya, jika rumah dinas anggota DPR yang ada tidak memadai, para legislator dapat mencari alternatif seperti masyarakat pada umumnya.
    “Kalau rumahnya jauh dari tempat mereka berkumpul, mereka bisa ngontrak atau ngekos, layaknya kebanyakan rakyat yang bekerja di luar kota,” jelas dia.
    Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani mengeklaim penetapan besaran tunjangan perumahan bagi anggota dewan sebesar Rp 50 juta per bulan berdasarkan hasil kajian yang matang.
    Hal itu disampaikan Puan saat merespons munculnya anggapan di masyarakat bahwa nominal tunjangan perumahan tersebut terlalu besar.
    “Itu sudah dikaji dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kondisi ataupun harga yang ada di Jakarta karena kan kantornya ada di Jakarta,” ujar Puan di Gedung DPR RI, Kamis (21/8/2025).
    “Namun, apa pun itu, kami pimpinan DPR akan memperhatikan aspirasi dan apa yang disampaikan oleh masyarakat. Tolong selalu awasi kinerja dari kami di DPR,” sambungnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.