Tempat Fasum: Gedung DPR

  • Pedagang Thrifting Curhat ke DPR soal Penertiban Barang Bekas Impor

    Pedagang Thrifting Curhat ke DPR soal Penertiban Barang Bekas Impor

    Jakarta

    Sejumlah pedagang barang bekas (thrifting) menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) dengan Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI hari ini. Hal ini menyusul rencana pemerintah menertibkan barang bekas impor.

    Pedagang Thrifting Pasar Senen Rifai Silalahi mengatakan usaha thrifting sudah digeluti selama puluhan tahun. Ia menilai isu thrifting ini selalu dinaikkan oleh pemerintah, tapi tak kunjung menemui solusi.

    “Sebenarnya usaha ini sudah puluhan tahun kami geluti dan hampir tiap tahun selalu jadi bancakan, selalu jadi bahan isu. Kita tidak tahu kenapa isu thrifting ini selalu dinaikkan dan kayaknya seperti isu sangat seksi dan akhir-akhir ini ada beberapa penindakan yang dilakukan aparat terkait mengenai keberadaan usaha thrifting,” ujar Rifai di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).

    Rifai menerangkan usaha thrifting selalu dinilai mengancam keberlanjutan UMKM. Padahal, pedagang thrifting juga bagian dari UMKM, hanya saja target pasar yang berbeda. Menurutnya, yang membunuh UMKM justru produk-produk impor dari China yang menguasai 80% pangsa pasar di Indonesia.

    “Jadi kita punya data bahwa 80% lebih itu adalah produk Cina, sekian persen dari negara-negara Amerika, Vietnam dan India, dan 5% yaitu sekitar produk UMKM itu meliputi tekstil di Indonesia,” imbuhnya.

    Menurutnya, tren thrifting digemari lantaran produk thrifting berkualitas bagus dan harganya terjangkau.

    “Sebenarnya pasarnya beda karena yang kita tahu produk thrifting itu pangsa pasarnya beda, produk baru atau industri lokal itu beda. Jadi, kenapa sekarang thrifting ini karena ini memang di samping harganya murah kualitasnya juga bagus. Jadi itu yang membuat thrifting ini jadi menarik,” jelas ia.

    Ia pun berharap dengan kedatangannya ke DPR dapat memberikan solusi jangka panjang bagi para pedagang thrifting. “Nah, harapan kami datang ke BAM ini, kami bermohon untuk ke depan, apa solusi yang terbaik untuk kami thrifting ini, Pak,” tambah ia.

    (kil/kil)

  • Panja Reformasi Penegak Hukum Bakal Panggil Kapolri hingga Jaksa Agung

    Panja Reformasi Penegak Hukum Bakal Panggil Kapolri hingga Jaksa Agung

    Panja Reformasi Penegak Hukum Bakal Panggil Kapolri hingga Jaksa Agung
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi III DPR RI menyepakati pembentukan Panitia Kerja (Panja) Percepatan Reformasi Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung, Selasa (18/11/2025).
    Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja Komisi III bersama perwakilan Polri, Kejaksaan Agung, dan
    Mahkamah Agung
    di ruang rapat
    Komisi III DPR
    , Jakarta.
    Wakil Ketua Komisi III DPR Rano Alfath mengatakan, Panja tersebut akan ditujukan untuk mempercepat proses reformasi dan memastikan jawaban serta tindak lanjut dari masing-masing institusi.
    “Kita sepakati karena memang kesimpulan kita nanti membentuk panja. Panja ini nanti akan terkait soal panja reformasi, baik Polri, Kejaksaan maupun Pengadilan,” ujar Rano dalam rapat kerja di Gedung DPR RI, Selasa.
    Rano menerangkan bahwa selanjutnya Panja Percepatan
    Reformasi Polri
    , Kejaksaan dan Pengadilan akan memanggil pimpinan tertinggi ketiga lembaga tersebut untuk melaksanakan rapat.
    Salah satu agendanya adalah mendengarkan jawaban dari ketiga lembaga soal pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan oleh Anggota Komisi III DPR RI.
    “Nanti kita akan undang kembali untuk mendengar jawaban-jawaban yang tadi harus sudah dipersiapkan,” jelas Rano dalam rapat.
    “Mungkin yang hadir adalah Kapolri, Pak Jaksa Agung dan Pak Mahkamah Agung, mungkin salah satu hakim agung. Ini akan kita sepakati ya,” sambungnya.
    Dalam kesimpulan yang ditampilkan di layar ruang rapat, Komisi III menilai reformasi di tiga institusi penegak hukum tersebut sangat mendesak.
    Oleh karena itu, pembentukan panja diputuskan sebagai bentuk pengawasan sekaligus langkah untuk mempercepat agenda reformasi.
    “Komisi III DPR RI menilai reformasi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Pengadilan sangat mendesak, dan oleh karena itu akan menindaklanjuti hasil RDP dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) Percepatan Reformasi Kepolisian RI, Kejaksaan RI dan Pengadilan sebagai langkah pengawasan dan percepatan agenda reformasi tersebut,” demikian bunyi kesimpulan rapat.
    Setelah notulensi kesimpulan rapat dibacakan pihak Sekretariat Komisi III DPR RI, Rano kembali meminta persetujuan peserta.
    “Setuju ya?” tanya Rano, yang kemudian dijawab serempak dengan “setuju” oleh peserta rapat.

    Diberitakan sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan, panja ini dibentuk untuk merespons tuntutan publik agar penegakan hukum berjalan semakin baik dan berkeadilan.
    “Komisi III DPR RI akan membentuk Panitia Kerja (Panja) Reformasi Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan. Hal ini merupakan respons dari tuntutan masyarakat agar penegakan hukum semakin baik dan semakin berkeadilan,” ujar Habiburokhman, Jumat (14/11/2025).
    Politikus Gerindra itu menambahkan, panja ini akan menjadi ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan dugaan pelanggaran di tiga institusi penegak hukum tersebut.
    Habiburokhman memastikan bahwa Komisi III akan membuka pintu bagi pengaduan publik yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran oleh Polri, Kejaksaan, maupun lembaga peradilan.
    “Kami akan secara khusus menerima aduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran yang terjadi di tiga institusi tersebut,” kata dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dampak DPR Sahkan RUU KUHAP Menjadi UU bagi Masyarakat dan Alasan Koalisi Masyarakat Sipil Menolak

    Dampak DPR Sahkan RUU KUHAP Menjadi UU bagi Masyarakat dan Alasan Koalisi Masyarakat Sipil Menolak

    GELORA.CO –  Pengesahan RKUHAP oleh DPR RI memicu kekhawatiran luas karena sejumlah pasal dinilai berpotensi memperluas kewenangan aparat dan mengurangi perlindungan terhadap hak-hak warga.

    Meski pemerintah menegaskan revisi KUHAP memperkuat HAM, kepastian hukum, dan restorative justice, berbagai kalangan menilai aturan baru tersebut membuka celah penyalahgunaan yang dapat berdampak langsung pada kebebasan sipil masyarakat.

    Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi Undang-Undang, meski gelombang penolakan publik menggema di media sosial dan jalan.

    Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025–2026 di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025).

    Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menanggapi penolakan tersebut dengan menyebutnya sebagai hal biasa.

    “Kemudian bahwa ada yang setuju, ada yang tidak setuju itu biasa. Tapi secara umum bahwa KUHAP kali ini, yang pertama adalah mementingkan perlindungan hak asasi manusia, yang kedua soal restorative justice, yang ketiga memberi kepastian terhadap dan perluasan untuk objek praperadilan,” ujar Supratman usai sidang pengesahan RUU KUHAP di Parlemen.

    Supratman menekankan, tiga aspek utama dalam KUHAP baru didesain untuk menutup celah tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum.

    “Nah, ketiga hal itu menghilangkan kesewenang-wenangan yang mungkin dulu pernah terjadi. Dan itu sangat baik buat masyarakat, termasuk perlindungan bagi kaum disabilitas,” kata politisi Partai Gerindra itu, seperti dilansir Tribunnews.com.

    KUHAP Sebelum Revisi

    KUHAP pertama kali disahkan pada 1981 untuk menggantikan aturan kolonial Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR).

    Aturan lama tersebut dianggap bermasalah karena proses pembuktian lebih menekankan pada pengakuan tersangka, sehingga sering terjadi salah tangkap atau pengakuan di bawah tekanan.

    KUHAP 1981 hadir sebagai upaya koreksi untuk memperkuat hak asasi tersangka/terdakwa dan memperbaiki praktik peradilan pidana.

    Penolakan Publik Menggema

    Meski pemerintah menilai KUHAP baru membawa kemajuan, penolakan publik tetap kuat.

    Tagar #TolakRKUHAP dan #SemuaBisaKena ramai di media sosial, mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap potensi dampak aturan baru.

    Koalisi masyarakat sipil menyoroti sejumlah pasal kontroversial, antara lain:

    Penyadapan tanpa izin hakim → memberi kewenangan aparat melakukan penyadapan tanpa persetujuan pengadilan.Penangkapan dan penahanan → memperpanjang masa penahanan tersangka sebelum proses pengadilan.Pemeriksaan tersangka tanpa pendampingan hukum → membuka peluang tekanan pada tahap awal pemeriksaan.Penggeledahan dan penyitaan tanpa izin hakim → mengurangi kontrol yudisial terhadap tindakan aparat.Pembatasan objek praperadilan → mengurangi kontrol publik terhadap tindakan aparat.Perluasan definisi bukti elektronik → dikhawatirkan membuka ruang kriminalisasi tanpa pengawasan ketat.

    Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP dalam siaran pers 16 November 2025 menilai bahwa Revisi KUHAP yang dilakukan serampangan membuka lebar pintu bagi aparat untuk merenggut kebebasan sipil.

    “Proses pembahasan RKUHAP sejak awal tidak menempatkan suara masyarakat sebagaimana mestinya.” ujar Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan.

    Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana, menilai pembahasan cacat formil dan materiil.

    Dalam pernyataannya pada 12–13 November 2025, ia menegaskan bahwa Pembahasan RKUHAP oleh Panja Komisi III DPR dan Pemerintah pada 12–13 November 2025 berlangsung tanpa memperhatikan masukan masyarakat sipil. 

    Gelombang Aksi Mahasiswa Memuncak pada Hari Pengesahan

    Aksi penolakan telah berlangsung sejak awal November 2025, ketika rancangan ini masih dibahas di DPR RI.

    Menjelang pengesahan, intensitas aksi meningkat. Pada 17–18 November 2025, mahasiswa dari berbagai kampus turun ke jalan menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR RI.

    Aksi mencapai puncak pada hari pengesahan, Selasa 18 November 2025, berlangsung sejak pagi hingga sore.

    Massa menuntut agar pengesahan ditunda karena menilai proses pembahasan tidak transparan, terburu-buru, dan minim partisipasi publik.

    Dominasi Fraksi DPR dan Lancarnya Pengesahan

    RKUHAP diusulkan oleh pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM, kemudian dibahas bersama DPR RI.

    Arah legislasi di parlemen dinilai sejalan dengan agenda pemerintah karena fraksi DPR periode 2024–2029 didominasi oleh partai-partai pendukung pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming, seperti Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, dan PSI.

    Dengan dukungan mayoritas tersebut, pengesahan RKUHAP berjalan mulus meski ada penolakan publik.

    Dampak bagi Masyarakat

    Dengan pengesahan ini, KUHAP baru akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026.

    Pemerintah menekankan bahwa aturan baru memperkuat perlindungan HAM, kepastian hukum, dan penerapan restorative justice.

    Namun di sisi lain, keresahan publik tetap menguat.

    Banyak yang mempertanyakan bagaimana implementasi aturan baru ini di lapangan dan apakah mekanisme pengawasan akan cukup kuat untuk mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan aparat.

  • Protes UMP 2026, Buruh Mau Demo Istana Negara dan DPR 22 November 2025

    Protes UMP 2026, Buruh Mau Demo Istana Negara dan DPR 22 November 2025

    Liputan6.com, Jakarta – Kelompok buruh akan menggelar aksi demonstrasi mulai 22 November 2025. Aksi berskala besar ini dilakukan untuk memprotes hitungan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2026 yang dinilai tidak pas.

    Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menegaskan, aksi demo itu akan dilakukan serentak di berbagai kota di Indonesia. Untuk DKI Jakarta, ada opsi aksi digelar di depan Istana Negara dan Gedung DPR/MPR.

    “Aksi pertama tanggal 22 November 2025 ratusan ribu buruh di seluruh Indonesia, kota-kota industri turun ke jalan pada tanggal 22 November,” kata Said Iqbal dalam konferensi pers virtual, Selasa (18/11/2025).

    Dia membuka kemungkinan aksi akan dilakukan selama dua hari hingga 23 November 2025. Meski begitu, KSPI dan Partai Buruh belum menentukan lokasi aksi, apakah di Gedung DPR atau di Istana Negara.

    “Tanggal 22 November, ratusan ribu buruh akan turun ke jalan, lumpuh itu kota-kota industri karena buruh akan turun ke jalan menolak pengumuman kenaikan upah minum tanggal 21 November,” katanya.

    Beberapa kota yang jadi fokus selain Jakarta, yakni Bandung, Semarang, Serang, Surabaya, Batam, Banjarmasin, Samarinda, Aceh, Medan, Bengkulu, Pekanbaru, Makassar, Morowali, Manado, Kupang, Mataram atau Lombok, Ternate, Ambon, Mimika, hingga Merauke.

    Mogok Nasional

    Tak cuma aksi protes turun ke jalan, Iqbal menyiapkan massa untuk melakukan mogok nasional di berbagai sektor industri. Mogok nasional ini akan dilakukan pada Desember 2025.

    “Pertengahan Desember sedang dicari harinya,” ujarnya.

    Rencananya, 5 juta orang akan meramaikan aksi demonstrasi termasuk mogok nasional tersebut. “Berapa pabrik yang akan ikut? Lebih dari 5.000 pabrik. Jadi 5 juta buruh, lebih dari 5.000 pabrik, stop produksi,” ucapnya.

     

  • Lari ke DPR, Pengusaha Soroti Legalitas dan Produktivitas Lahan Sawit

    Lari ke DPR, Pengusaha Soroti Legalitas dan Produktivitas Lahan Sawit

    Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyoroti risiko serius dari rencana pengambilalihan lahan sawit negara, terutama terkait legalitas, produktivitas, hingga potensi konflik dengan masyarakat setempat.

    Dewan Pakar Hukum Gapki Sadino mengatakan mayoritas kebun sawit yang masuk skema pengambilalihan sudah memiliki penggarap dan pemilik sah. Menurutnya, pengambilalihan lahan yang sudah dikelola oleh masyarakat berisiko memicu benturan dan konflik agraria.

    Sadino menegaskan lahan yang sudah memiliki hak guna usaha (HGU) atau status legal lainnya seharusnya diakui secara hukum.

    “Kalau Anda mau beli rumah nih, apa buktinya? Sertifikat, SHM rumah. Ternyata SHM-mu katanya tidak sah. Padahal yang menyatakan tidak sah itu, dia tidak ada keputusan pengadilan, dia tidak ada proses hukum. Terus hanya dinyatakan tidak sah. Kalau yang sudah ditempatin? Apalagi misalnya sudah dibayar, kita malah kena masalah,” kata Sadino saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (17/11/2025).

    Dia menjelaskan urutan izin yang seharusnya ditempuh untuk membuka lahan sawit, yakni terdiri dari kajian studi kelayakan (FS), izin lokasi dari pemerintah daerah, izin lingkungan (Amdal), hingga mendapatkan hak atas tanah seperti HGU atau IPPKH jika kawasan hutan.

    Sadino menekankan banyak kasus ketidakjelasan, terutama lahan yang baru ditetapkan sebagai kawasan hutan pada 1982 di Sumatera Utara, padahal masyarakat sudah mengelola lahan jauh sebelumnya.

    Seiring proses pengambilalihan, pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) untuk menata kembali lahan sawit. Namun, Sadino menilai Satgas berpotensi menghadapi masalah besar di lapangan karena lahan yang diambil alih sering tumpang tindih dengan kepemilikan masyarakat atau perusahaan.

    Lebih lanjut, Gapki juga menyoroti produktivitas kebun sawit yang tidak hanya tergantung pada panen saat ini, melainkan juga perawatan, pemupukan, dan pemeliharaan jangka panjang.

    Di samping itu, Sadino juga menyoroti potensi benturan kepentingan dan kasus nyata di lapangan. Adapun, daerah rawan konflik antara pengambilalihan lahan dan masyarakat antara lain Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, hingga kemungkinan Sumatera Utara.

  • Pengusaha Wanti-wanti Rencana KopDes Kelola Sawit Bisa Picu Konflik Agraria

    Pengusaha Wanti-wanti Rencana KopDes Kelola Sawit Bisa Picu Konflik Agraria

    Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mewanti-wanti rencana pemerintah menyerahkan pengelolaan lahan sawit hasil pengambilalihan negara kepada Koperasi Desa/Kelurahan (KopDes/Kelurahan) Merah Putih. Rencana tersebut berpotensi menciptakan konflik agraria di berbagai daerah.

    Dewan Pakar Hukum Gapki Sadino mengatakan mayoritas perkebunan kelapa sawit yang masuk dalam skema pengambilalihan pemerintah sudah memiliki penggarap dan pemilik yang sah. Dia menuturkan, komposisi penguasaan lahan oleh masyarakat jauh lebih besar dari yang dibayangkan.

    “Mayoritas sawit itu sudah ada pemiliknya, mayoritas oleh masyarakat. Kalau perusahaan mungkin nggak apa-apa diambilalih, tapi bagaimana masyarakat? Karena masyarakat di situ itu bisa lebih dari 800.000 hektare dari 3 juta hektare [lahan negara],” kata Sadino saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (17/11/2025).

    Menurutnya, keputusan untuk menyerahkan lahan sawit ke KopDes/Kel Merah Putih dapat memicu gesekan dengan masyarakat lokal yang sudah mengelola kebun tersebut. Hal ini terutama terjadi bila pihak yang ditunjuk tidak berasal dari warga setempat.

    “Apa nggak terjadi yang namanya konflik agraria? Padahal orang-orang itu sudah ada di sana. Kalau ada dihadirkan pendatang baru, orang yang baru, terus gimana posisinya? Kan berantem,” ujarnya.

    Di sisi lain, Sadino menyebut tanda-tanda konflik sudah mulai muncul di sejumlah daerah yang terdampak penataan ulang lahan sawit oleh negara, bahkan beberapa wilayah yang kini masuk fase rawan, seperti di Riau, Jambi, hingga Kalimantan Tengah.

    Selain itu, dia menuturkan benturan yang muncul bukan hanya antarmasyarakat, melainkan juga dengan pihak yang ditugaskan negara dalam proses pengambilalihan dan pengelolaan, termasuk dengan Agrinas.

    Dengan demikian, Sadino menilai KopDes/Kel Merah Putih tidak dapat begitu saja mengambil alih kebun sawit ketika lahan tersebut secara faktual sudah dimiliki oleh pihak lain.

    “Kalau Koperasi Desa mengelola sawit, nah sawit itu sudah ada miliknya orang, nanti gebuk-gebukan,” terangnya.

    Untuk itu, dia menilai pemerintah perlu berhati-hati dalam melaksanakan skema penugasan KopDes/Kel Merah Putih agar tidak memicu ketegangan baru.

    Menurutnya, langkah paling aman adalah dengan memastikan lahan yang masuk program penataan bukan milik masyarakat maupun kelompok tani yang telah menggarap selama bertahun-tahun.

  • Pengusaha Wanti-wanti Pemerintah soal Kopdes Kelola Kebun Sawit

    Pengusaha Wanti-wanti Pemerintah soal Kopdes Kelola Kebun Sawit

    Jakarta

    Kementerian Koperasi (Kemenkop) bersama PT Agrinas Palma Nusantara tengah menggodok skema pengelolaan perkebunan kelapa sawit oleh Koperasi Desa Merah Putih. Lahan sawit yang akan dikelola merupakan perkebunan sawit ilegal yang disita pemerintah.

    Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai langkah tersebut akan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, terutama kelompok tani yang memegang lahan sawit. Untuk itu, pengusaha mengingatkan pemerintah agar kebijakan tersebut dilakukan secara hati-hati.

    “Sekarang yang mengelola sawit mayoritas itu sudah ada pemiliknya, mayoritas oleh masyarakat. Kalau perusahaan mungkin nggak apa-apa diambilalih, tapi bagaimana masyarakat? Karena masyarakat itu (kepemilikan lahan sawit) bisa lebih dari 800 ribu (ha), dari 3 juta ha (yang akan diambilalih pemerintah),” kata Dewan Pakar Hukum Gapki Sadino ditemui usai rapat tertutup dengan Komisi IV DPR RI, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/11/2026).

    Saat ini saja, menurut dia telah terjadi banyak perebutan lahan sawit di masyarakat. Jadi jika pengambilalihan lahan sawit oleh pemerintah kemudian diserahkan kepada Kopdes Merah Putih, maka akan terjadi perpecahan di masyarakat pemilik lahan.

    “Sekarang banyak rebutan kebun. Yang paling banyak sekarang di Riau, di Jambi, di Kalimantan Tengah, di Sumatera Utara. Kalau nanti pada saat diambilalih, apalagi ada indikasi sudah diambil oleh negara, biasanya itu masyarakat. Apalagi yang tadi adalah mitranya perusahaan yang diambilalih, pasti dia akan juga mempertahankannya,” ucapnya.

    Dalam rapat tertutup dengan Komisi IV DPR, pengusaha mengeluhkan terkait dengan legalitas yang telah dimiliki oleh pelaku usaha atas lahannya, namun harus berkutat dengan pengambalihan yang dilakukan pemerintah.

    Padahal, untuk mengembangkan lahan sawit, pengusaha telah memiliki berbagai izin, mulai dari kajian, izin lokasi dari pemerintah daeah, pertimbangan teknis dari kantor pertanahan, Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lingkungan dan lain sebagainya.

    Kemudian, jika lahan itu berada di kawasan hutan maka terdapat izin pelepasan dan Hak Guna Usaha (HGU). Jika tidak dikawasan hutan, maka kedua izin itu tidak diperlukan.

    “Nah, setelah pelepasan terbitlah HGU, jika kawasan hutan. Nah, kalau tidak ada kawasan hutan, kan tidak diperlukan pelepasan. Jadi salah seolah-olah ada HGU kan belum ada pelepasan. Dicek dulu. Apalagi yang tahun zaman dulu, di Sumatera Utara itu zaman sebelum kemerdekaan. Kawasan hutan aja ada baru ditunjuk-tunjuk aja itu baru tahun 1982,” jelasnya.

    Sebelumnya, Kementerian Koperasi (Kemenkop) bersama PT Agrinas Palma Nusantara tengah menggodok skema pengelolaan perkebunan kelapa sawit oleh Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP). Adapun perkebunan sawit tersebut merupakan perkebunan sawit ilegal hasil sitaan pemerintah.

    Sekretaris Kementerian Koperasi (Seskemenkop), Ahmad Zabadi, mengatakan Agrinas akan menjadi inti dari pengelolaan tersebut. Sementara KDMP akan bertugas sebagai plasmanya.

    “Secara umum konsepnya adalah Agrinas Palma akan menjadi semacam inti, nanti koperasi-koperasi itu akan berperan sebagai plasmanya. Jadi pendekatannya pendekatan inti plasma seperti yang sudah berjalan, tetapi dengan pengelolaan yang secara teknis (sedang dibahas),” ujar Ahmad, dalam acara Forum Redaksi Bersama Kementerian Koperasi di Jakarta, Jumat (24/10/2025).

    Kemenkop tengah menjalin koordinasi intensif dengan Agrinas dalam rangka perumusan model dan desain dari pengelolaan perkebunan-perkebunan tersebut nantinya.

    (ada/hns)

  • Pertamina soal BP Mau Nambah BBM Lagi: Berapa Kargo, Kita Layani

    Pertamina soal BP Mau Nambah BBM Lagi: Berapa Kargo, Kita Layani

    Jakarta

    PT Pertamina Patra Niaga buka suara terkait kabar PT Aneka Petroindo Raya (APR) selaku operator SPBU BP-AKR bakal membeli lagi BBM murni atau base fuel.

    Pj Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Roberth MV Dumatubun menegaskan pihaknya siap memenuhi permintaan pembelian BBM tersebut berapapun jumlah permintaan dari SPBU swasta.

    Hal ini sesuai dengan arahan dari pemerintah kepada Pertamina untuk membantu memenuhi kuota SPBU swasta.

    “Prinsipnya mau berapa kargo pun kita layani.Tergantung teman-teman BU swasta aja nih, mereka sejauh mana mereka menghitung kebutuhannya. Terus bagaimana kemudian mereka bersama dengan Pertamina, ini kita banyak hal-hal yang harus dinegokan. Karena ini kan B2B ya, B2B itu berarti harus win-win,” kata Roberth saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/11/2025).

    Roberth menjelaskan dalam proses pengadaan BBM tersebut akan dilakukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Mulai dari proses pengadaan BBM, negosiasi soal join surveyor nya dan akan ada quality control bersama terkait BBM tersebut.

    “Kemudian selanjutnya ada proses siapa yang akan kemudian ditunjuk sebagai transporter. Poin terakhir dari proses negosiasi adalah aspek komersial. Nah aspek komersial ini pure B2B, karena artinya Pertamina kan kita memperlakukan hal ini adalah sebagai arahan dari pemerintah, jadi kita tidak kemudian memposisikan sebagai transaksional,” terang Roberth.

    Sebelumnya, PT Aneka Petroindo Raya (APR), operator SPBU BP-AKR, dikabarkan akan kembali membeli bahan bakar minyak (BBM) murni atau base fuel dari Pertamina Patra Niaga. Jika terwujud, maka SPBU BP tiga membeli BBM murni dari Pertamina.

    Hal ini diungkapkan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Laode Sulaeman usai menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi XII DPR RI di kompleks Parlemen Jakarta.

    “Seperti di BP AKR kemarin sudah dua kali pesan 100 ribu barel, dua kargo, dan kita dengar-dengar akan ada lagi kargo ketiga. Ya nanti kita pastikan,” kata Laode saat ditemui wartawan, Rabu (12/11/2025).

    Namun ia menegaskan rencana pembelian base fuel Pertamina untuk yang ketiga kalinya ini masih berupa indikasi. Jadi ada kemungkinan kedua perusahaan penyedia bahan bakar itu masih harus melakukan negosiasi lebih lanjut.

    “InsyaAllah, doakan ya semoga yang ketiga disetujui juga. Saya belum tahu, ini kan baru indikasi, indikasi yang bagus kan?” ucapnya.

    Di luar itu, terkait pembelian base fuel 100 ribu barel yang dilakukan APR sebelumnya, Laode mengatakan proses pengadaan akan berlangsung pada minggu ketiga bulan ini.

    “Kalau informasi sebelumnya itu minggu ketiga November,” jawab Laode.

    (hns/hns)

  • Ditanya Situasi Peradilan Saat Ini, Calon Anggota KY: Sedih, Kecewa, Marah, Stres Juga

    Ditanya Situasi Peradilan Saat Ini, Calon Anggota KY: Sedih, Kecewa, Marah, Stres Juga

    Ditanya Situasi Peradilan Saat Ini, Calon Anggota KY: Sedih, Kecewa, Marah, Stres Juga
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Calon anggota Komisi Yudisial (KY) unsur mantan hakim, Setyawan Hartono, mengaku merasakan kesedihan, kekecewaan, kemarahan, hingga stres ketika melihat kondisi dunia peradilan dalam beberapa waktu terakhir.
    Hal itu disampaikan Setyawan saat menjawab pertanyaan Ketua Komisi III
    DPR RI
    Habiburokhman dalam menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), di Komisi III DPR RI, Senin (17/11/2025).
    Habiburokhman meminta Setyawan menilai kondisi
    peradilan
    saat ini dengan tiga pilihan: baik-baik saja, ada masalah, atau ada masalah serius.
    “Sedikit saya ingin mengajukan pertanyaan, Pak. Yang pertama, menurut Pak Setyawan, situasi dunia peradilan saat ini seperti apa, Pak? Tiga alternatif saja, baik-baik saja, ada masalah, atau ada masalah serius. Tiga pilihan itu, Pak. Jelaskan argumentasinya, Pak,” tanya Habiburokhman, di Gedung DPR RI.
    Menjawab pertanyaan ini, Setyawan menggambarkan kegelisahan yang dia rasakan sejak menjelang akhir masa tugasnya sebagai hakim pada awal 2025.
    “Jadi, dalam beberapa waktu terakhir rasanya, waktu-waktu akhir saya menjabat, saya sempat merasa sedih, kecewa, marah, dan stres juga. Jadi, di bulan-bulan itu pembahasan di semua media sosial itu selalu saja berbicara mengenai hal tidak baik tentang hakim, tentang lembaga peradilan,” ujar Setyawan.
    Ia menilai, berbagai peristiwa yang mencoreng integritas lembaga peradilan belakangan ini menunjukkan bahwa kondisi peradilan tidak berada dalam keadaan baik.
    “Jadi, rasanya kondisi lembaga peradilan saat ini jelas dalam situasi yang tidak baik-baik saja. Dan saya tidak tahu, setelah kasus PN Surabaya masih dalam proses, muncul lagi kasus di Tipikor Jakpus, yang sepertinya saya tidak tahu apa yang ada di benak mereka,” ujar dia.
    Menurut Setyawan, persoalannya bukan terletak pada keberanian atau ketakutan para hakim, tetapi pada komitmen mereka terhadap kehormatan profesi.
    “Bukan masalah takut atau tidak takut, tapi betul-betul tidak ada komitmen untuk bisa menjaga marwah peradilan, marwah hakim. Jadi, kondisinya jelas tidak baik-baik saja, Bapak,” ucap dia.
    Sebagai informasi, Komisi III DPR RI mulai menggelar uji kelayakan dan kepatutan terhadap tujuh
    calon anggota KY
    , pada Senin (17/11/2025).
    Proses berlangsung hingga Rabu (19/11/2025) dan akan ditutup melalui rapat pleno keputusan pada Kamis, 20 November 2025.
    Berikut daftar lengkap calon anggota KY yang mengikuti uji kelayakan:
    1.
    Setyawan Hartono
    – unsur mantan hakim
    2. Abdul Chair Ramadhan – unsur akademisi hukum
    3. Andi Muhammad Asrun – unsur akademisi hukum
    4. Anita Kadir – unsur praktisi hukum
    5. Abhan – unsur tokoh masyarakat
    6. Williem Saija – unsur mantan hakim
    7. Desmihardi – unsur praktisi hukum
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
    Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
    melalui donasi.
    Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama
    akun kamu.

  • Komisi IV DPR dan Pengusaha Sawit Rapat Tertutup, Bahas Apa?

    Komisi IV DPR dan Pengusaha Sawit Rapat Tertutup, Bahas Apa?

    Jakarta

    Komisi IV DPR RI melakukan rapat tertutup dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Rapat itu membahas mengenai pengambilalihan lahan sawit oleh negara.

    Pemerintah tengah gencar melakukan penertiban kawasan hutan dengan cara pengambilalihan. Kebijakan ini juga termasuk di dalamnya pengambilalihan lahan sawit yang bermasalah.

    Dewan Pakar Hukum Gapki, Sadino mengatakan dalam rapat bersama Komisi IV disampaikan kekhawatiran pengusaha atas kebijakan yang dilakukan pemerintah. Karena menurutnya, pemerintah atau pihak yang diberikan lahan itu harus dapat memastikan produktivitas dari lahan sawit itu tidak menurun.

    Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberikan amanah pemerintah mengelola lahan yang diambilalih oleh negara adalah PT Agrinas Palma Nusantara (Persero).

    “Kalau itu nggak dijaga, saya khawatir penurunan produksi itu akan malah menjadi tambah tidak bagus kebun-kebunnya, dan akan dirasakan 2026. Sekarang belum, 2026 pasti. Sama kalau kita buah, terus nggak dipupuk, nggak dirawat dengan baik, bagaimana akan produksi dengan baik,” kata dia ditemui usai rapat dengan Komisi IV DPR RI, di Gedung DPR RI, Senin (17/11/2025).

    Perhatian lain yang menjadi sorotan pengusaha terkait pengambilalihan lahan sawit adalah legalitas. Pihaknya mencontohkan dengan pengusaha yang sudah memiliki legalitas yang lengkap sejak lama, namun secara tiba-tiba dinyatakan tidak sah.

    Izin Buka Lahan Sawit

    Ia menerangkan, untuk membuka lahan sawit pelaku usaha telah melalui berbagai izin mulai dari kajian, izin lokasi dari pemerintah daerah, pertimbangan teknis dari kantor pertanahan, Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lingkungan dan lain sebagainya.

    Kemudian, jika lahan itu berada di kawasan hutan maka terdapat izin pelepasan dan Hak Guna Usaha (HGU). Jika tidak di kawasan hutan, maka kedua izin itu tidak diperlukan.

    “Nah, setelah pelepasan terbitlah HGU, jika kawasan hutan. Nah, kalau tidak ada kawasan hutan, kan tidak diperlukan pelepasan. Jadi salah seolah-olah ada HGU kan belum ada pelepasan. Dicek dulu. Apalagi yang tahun zaman dulu, di Sumatera Utara itu zaman sebelum kemerdekaan. Kawasan hutan aja ada baru ditunjuk-tunjuk aja itu baru tahun 1982,” jelasnya.

    Dalam rapat tersebut, belum diputuskan bagaimana solusi dari permasalahan tersebut. Sadino menyebut, semua masukan dan kekhawatiran pengusaha sawit masih ditampung terlebih dahulu oleh Komisi IV DPR RI.

    “Dia akan nanti disampaikan kepada misalnya sekarang adalah pemerintah melalui Satgas (Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH)). Jadi belum diputuskan, karena dia masih dalam konteks belanja masalah,” terangnya.

    Sebelumnya, Satgas Kelapa Sawit yang diketuai oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin mencatat terdapat 3,7 juta hektar lahan sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan.

    Selain adanya tumpang tindih dengan area hutan, Satgas Kelapa Sawit juga menemukan adanya perkebunan sawit yang tidak mempunyai izin usaha perkebunan (IUP).

    Mengutip dari laman rilis Kementerian Pertahanan 12 September 2025, selama delapan bulan terakhir, Satgas berhasil menguasai kembali lahan seluas sekitar 3,3 juta hektar, jauh melebihi target awal yang ditetapkan. Teranyar, Satgas telah menyerakan 674 ribu hektar lahan ke PT Agrinas Palma Nusantara (Persero).

    Secara keseluruhan, total lahan yang telah diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara mencapai sekitar 1,5 juta hektar, termasuk sekitar 1.600 hektar kebun sawit. Sementara itu, masih ada sekitar 1,8 juta hektar lahan lainnya yang sedang dalam proses verifikasi dan akan segera diserahkan.

    Halaman 2 dari 2

    (ada/ara)