Teater Semarang: Potret 20 Tahun Perjalanan dan Harapan yang Tak Pernah Padam

Teater Semarang: Potret 20 Tahun Perjalanan dan Harapan yang Tak Pernah Padam

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Dua dekade terakhir menjadi saksi perjalanan teater di Kota Semarang, sebuah seni yang dinamis, penuh semangat, tetapi juga dihadang tantangan besar. 

Teater bukan sekadar pertunjukan, melainkan laboratorium kehidupan yang mencerminkan denyut kebudayaan. 

Dalam kurun waktu itu, teater kampus dan kelompok teater umum menjadi penopang regenerasi seni lokal, meski bayang-bayang kehilangan penerus terus mengintai.

Di awal tahun 2000-an, teater kampus di Semarang mulai menggeliat. Ketua Dewan Kesenian Semarang, Adithia Armitrianto, mengenang masa itu sebagai kebangkitan. 

“Teater kampus saat itu mulai ramai, dengan kelompok teater umum seperti Teater Lingkar dan Teater Waktu tetap aktif,” katanya, Senin (6/1/2025).

Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Teater Lingkar berhasil menjaga regenerasinya, sementara Teater Waktu perlahan memudar setelah wafatnya pendiri mereka, Agus Maladi.

Adithia menambahkan, dinamika tersebut tidak hanya terlihat dari keberlangsungan kelompok teater, tetapi juga dari karya yang dipentaskan. 

“Bentuk pentas dan eksplorasi naskah selama 20 tahun terakhir mencerminkan perkembangan teater di Semarang,” ujarnya.

Awal 2000-an, suasana pasca reformasi memberikan warna baru bagi teater kampus di Semarang. 

Khothibul Umam, akademisi sekaligus pelaku seni teater, menyebut masa itu sebagai era penuh eksplorasi. 

“Teater kampus meninggalkan karya-karya pamflet politik dan mulai mengeksplorasi artistik dengan lebih mendalam,” kenangnya.

Kelompok teater di kampung-kampung juga turut menunjukkan geliat. Nama-nama seperti Roda Gila, Kelab-Kelib Bersaudara, Sawo Kecik, dan Nawiji muncul, diisi oleh para alumni teater kampus yang masih haus berkarya. 

Namun, setelah masa itu, regenerasi menjadi isu utama. Banyak alumni teater kampus yang meninggalkan dunia seni setelah lulus, memilih jalan hidup lain karena tuntutan ekonomi.

“Tekanan ekonomi adalah salah satu tantangan terbesar dalam regenerasi teater di Semarang,” ungkap Umam. 

Ia menambahkan, tanpa regenerasi yang kuat, keberlangsungan teater menjadi rapuh.

Meski begitu, bagi Umam, teater tetap menjadi tulang punggung kebudayaan. Seni ini adalah ruang kolektif yang menyatukan ide, imajinasi, dan kerja sama. 

“Ketika seni lain menyerah, teater tetap bertahan. Tapi tanpa regenerasi, kita hanya akan berputar di tempat,” tegasnya.

Hal ini juga diamini oleh Ahmad Khairudin, Direktur Kolektif Hysteria yang akrab disapa Adin. Ia menyoroti pentingnya inovasi dalam teater untuk menembus keterbatasan. 

“Teater di Semarang punya reputasi unik: berani tampil beda dan melawan arus. Tapi kita butuh strategi baru agar terus relevan,” kata Adin.

Menurut Adin, strategi itu bisa diwujudkan melalui eksperimen dan kolaborasi dengan seni lainnya. 

Ia juga menyinggung pentingnya dokumentasi sebagai sarana belajar generasi muda dari pendahulunya. 

“Jangan sampai kita jatuh di lubang yang sama. Belajar dari sejarah itu penting, dan dokumentasi adalah kuncinya,” ujar Adin.

– Inovasi dan Masa Depan Teater Semarang 

Menatap masa depan, kolaborasi menjadi kata kunci. Membawa teater keluar dari zona eksklusif dengan menggabungkannya dengan seni lain adalah salah satu cara. 

Begitu pula memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan karya dan menciptakan ekosistem seni yang lebih inklusif. 

Bahkan, desain merchandise ikonik dapat menjadi cara untuk mengukuhkan identitas teater Semarang di mata publik.

Namun, lebih dari sekadar inovasi teknis, regenerasi tetap menjadi nyawa dari keberlanjutan teater. 

“Teater kampus adalah laboratorium seni yang mencetak penggerak kebudayaan. Kita harus menjaga semangat itu,” kata Umam.

Di tengah tantangan zaman, teater Semarang berdiri sebagai simbol daya juang para senimannya. 

Setiap panggung adalah tempat bercerita, setiap naskah adalah cermin kehidupan. 

Dalam dunia yang terus berubah, mereka tetap percaya bahwa seni ini adalah jembatan menuju masa depan yang lebih berwarna.

Di Kota Semarang, teater bukan hanya pertunjukan. Ia adalah perjalanan, perjuangan, dan janji bahwa kebudayaan tidak akan pernah mati.