Tantangan Jabar 2025, Akademisi: Gubernur Harus Berani Tidak Populer
Editor
BANDUNG, KOMPAS.com
– Gubernur baru di Jawa Barat diminta membangun fondasi yang kuat. Berbagai keputusan atau pendekatan yang diambil sebisa mungkin menghindari proyek besar yang hanya bertujuan meningkatkan popularitas jangka pendek.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Profesor Universitas Padjadjaran (
Unpad
) sekaligus Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Profesor Arief Anshory Yusuf dalam diskusi “Outlook Ekonomi, Hukum, dan Politik Indonesia dan Jawa Barat 2025.
“Fokus harus diarahkan pada kebijakan yang bersifat mendasar dan jangka panjang, meskipun hasilnya tidak langsung terlihat,” ucap Ketua Dewan Profesor Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof Arief Anshory Yusuf dalam rilisnya, Selasa (31/12/2024).
Arief mengingatkan, pemerintah yang sukses bukanlah yang mencari glorifikasi saat masa jabatannya, tetapi yang membangun dasar kokoh bagi masa depan.
“Jadi harus berani untuk tidak populer, tetapi tetap berorientasi pada hasil yang substansial,” tegas Arief.
Menurutnya, Jabar sangat dikenal sebagai hub-manufaktur di Indonesia. Di mana pemerintah, baik pusat maupun provinsi, masih sangat mengandalkan sektor manufaktur.
“Ketergantungan dengan sektor manufaktur ini terlihat dari kebijakan hilirisasi yang menjadi langkah untuk menghidupkan kembali industrialisasi yang mengalami stagnasi,” tutur Arief.
Langkah ini, dimotivasi fakta Indonesia, termasuk Jabar mengalami stagnasi industrialisasi. Namun, kontribusi sektor manufaktur Jabar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sudah tidak signifikan seperti dulu.
“Manufaktur Jabar menghadapi tantangan berat, termasuk persaingan ketat dengan negara-negara seperti Vietnam dan Tiongkok. Bahkan upah minimum pekerja di Vietnam misalnya, itu hanya setengah dari Indonesia. Dan ini menjadikannya lebih kompetitif,” papar dia.
Ini berakibat, manufaktur tidak lagi menjadi pendorong utama pertumbuhan di Jabar. Perubahan tersebut pun terkonfirmasi dari pertumbuhan ekonomi Jabar yang kini tak lagi di atas nasional.
Stagnasi di sektor manufaktur mendorong terjadinya tersierisasi atau pergeseran ke sektor jasa yang lebih banyak. Namun, tersierisasi yang terjadi di Jabar cenderung ke arah jasa berkualitas rendah.
“Selama ini kita seolah berasumsi re-industrialisasi akan berhasil atau hilirisasi akan sukses. Padahal ada rencana lain yang bisa dilakukan yakni memfasilitasi tersierlisasi. Misalnya mengembangkan sektor pariwisata dengan serius, atau pengembangan start-up agar kualitas pekerja meningkat,” ungkapnya.
Untuk itu, peningkatan kualitas tenaga kerja menjadi tantangan besar bagi Jabar. Pendidikan rata-rata penduduk Jabar masih rendah, dengan angka lama sekolah yang berada di peringkat bawah secara nasional.
Oleh karena itu, pendidikan menjadi kunci untuk menciptakan tenaga kerja yang lebih produktif, terutama untuk mendukung sektor startup dan pariwisata yang potensial.
Lalu dalam lanskap politik Indonesia, Guru Besar dari Universitas Pendidikan Indonesia, Profesor Karim Suryadi mengatakan, dinamika kekuasaan memperlihatkan pola yang relatif stabil dan harmonis.
Koalisi Indonesia Maju, sebagai koalisi politik dominan, terus menguasai berbagai lini pemerintahan dengan dukungan mayoritas partai politik di parlemen. Hal ini menciptakan suasana “bulan madu” politik yang diperkirakan akan terus berlanjut dalam waktu dekat.
Menurutnya, keberhasilan KIM dalam membangun soliditas diantara partai-partai anggotanya, menjadi fondasi utama stabilitas tersebut.
“Dengan menguasai mayoritas kursi di DPR, koalisi ini memiliki kemampuan yang kuat untuk mengendalikan arah legislasi dan kebijakan nasional. Kesepakatan bersama dalam koalisi ini juga meminimalkan potensi friksi,” ungkap Karim.
Namun, stabilitas ini bukan tanpa tantangan. Risiko terbesar dalam periode bulan madu politik adalah terjadinya stagnasi akibat kurangnya dinamika oposisi yang sehat.
“Demokrasi membutuhkan checks and balances untuk memastikan bahwa kekuasaan dijalankan secara transparan dan akuntabel,” ucapnya.
Disisi lain, lanjutnya, salah satu efek dari dominasi politik ini adalah semakin minimnya partisipasi masyarakat dalam proses politik.
Sementara itu, paparan pada bidang hukum,
akademisi
Unpad, Mei Sunanto menilai, reformasi hukum di Indonesia belum ada perubahan besar yang terasa.
Langkah yang diambil cenderung setengah hati dan tidak menyentuh tiga elemen utama sistem hukum, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
“Banyak undang-undang yang dibuat belum benar-benar relevan dengan kebutuhan masyarakat. Tidak sedikit langkah yang diambil tidak ada landasan hukumnya atau dengan kata lain hanya berbasis diskresi,” ungkap Mei.
Selain itu, lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan peradilan masih menghadapi masalah besar, misalnya saat ini muncul tren penegakan hukum cenderung lebih cepat dilakukan jika kasusnya menjadi viral terlebih dahulu.
“Kesadaran hukum masyarakat masih rendah. Banyak orang tidak memahami hak dan kewajiban mereka. Di sisi lain, aparat hukum sering kali masih bekerja dengan mentalitas transaksional, bukan pelayanan yang adil,” papar Mei.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.