Tag: Zainal Arifin Mochtar

  • Sudah 5 Tahun, Mana Investasinya?

    Sudah 5 Tahun, Mana Investasinya?

    PIKIRAN RAKYAT – Seorang dosen UGM, Zainal Arifin Mochtar, menyinggung soal UU Cipta Kerja yang dibuat di era Presiden Jokowi tepatnya pada 2020 lalu. Aturan hukum itu menjadi kontroversi karena ditolak banyak pihak ketika dirilis di era pandemi Covid-19.

    Zainal Arifin mengunggah pernyataan tersebut di akun Instagram pribadinya @zainalamochtar, pada Jumat 14 Februari 2025. Pria 46 tahun itu mengaitkannya dengan janji Joko Widodo akan dampak UU itu yang diklaim akan mendatangkan kemakmuran.

    Dosen UGM sentil janji Jokowi 5 tahun lalu

    Jokowi pernah berjanji bahwa UU Cipta Kerja akan menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Janji itu yang ditagih dosen UGM, Zainal Arifin Mochtar. Zainal mempertanyakan sudah sampai mana efek aturan hukum yang didemo masyarakat tersebut pada era pandemi. Kemunculan UU Cipta Kerja itu menjadi pembicaraan saat era tersebut.

    “Masih ingat janji di tahun 2020 ketika menggarap UU Cipta Kerja dengan cepet-cepatan dan sulap-sulapan. Katanya hanya butuh 2-3 tahun untuk investasi antre masuk dan ekonomi meroket. Sekarang sudah tahun kelima. Sudah nampak janjinya? Pret!” ujar dosen Zainal Arifin Mochtar.

    UU tersebut diteken Jokowi ketika menjadi presiden tepatnya pada 2 November 2020 lalu. Munculnya aturan hukum itu dikecam publik karena dinilai tidak berpihak pada rakyat, selain itu, kemunculannya dianggap tidak tepat karena ada pandemi Covid-19.

    “Jadi, UU cipta kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran,” ujar Joko Widodo dalam jumpa pers yang disiarkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jumat 9 Oktober 2020.

    Diketahui UU itu diminta direvisi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November 2021 karena dianggap inkonstitusional tersebut. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat itu justru disikapi Joko Widodo dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang kemudian menjadi UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023.

    Unggahan Zainal Arifin Mochtar itu sampai saat ini, Sabtu 15 Februari 2025 pukul 15.00 WIB, sudah mendapat lebih dari 9.500 like dan 200 komentar. Sejumlah komentar juga mempertanyakan apa dampak UU tersebut setelah disahkan sejak 5 tahun yang lalu.

    “Lima tahun lalu, UU Cipta Kerja lahir dengan narasi spektakuler, saya ingat betul itu: investasi akan deras, ekonomi akan melesat, dan kesejahteraan akan merata. Sekarang, kita evaluasi sebentar, apakah yang tumbuh pesat itu investasi atau justru ketimpangan? Apakah ekonomi makin kuat atau justru pekerja makin terhimpit? Jika teori dan realitas tak kunjung bertemu, mungkin yang perlu direvisi bukan hanya regulasinya, tapi juga imajinasi pembuat kebijakannya,” kata akun IG @hab***

    “Biasa prof, tong kosong nyaring bunyinya. Buat produk hukum dan kebijakan tanpa studi yang menyeluruh,” ujar akun Instagram lainnya, @aim***

    “Betul prof, mana bikinnya ngebut pula itu UU kontroversial dan banyak ditolak sampai demo tapi tetep disahkan,” tulis akun @setz***

    “Pertumbuhan ekonomi buat orang-orang tertentu terutama di circle oligarki,” ujar akun IG @ikv***

    Demikian penjelasan dosen UGM yang menyentil janji Jokowi soal UU Cipta Kerja. Undang-undang yang pengerjaannya dikebut itu diklaim akan mendatangkan investasi, tetapi akademisi ini mempertanyakan sudah sampai mana dampaknya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Ahli: Pilkada Kota Banjarbaru tidak menghormati suara rakyat

    Ahli: Pilkada Kota Banjarbaru tidak menghormati suara rakyat

    Pemilihan macam apa yang mau dibawa ketika 99,99 persen orang tidak setuju dengan itu, tetapi tetap saja diambil satu orang?

    Jakarta (ANTARA) – Mantan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Bambang Eka Cahya Widodo yang dihadirkan sebagai ahli oleh pemohon dalam perkara sengketa hasil Pilkada Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, tahun 2024 menyatakan pemungutan suara pada pemilihan wali kota dan wakil wali kota setempat tidak menghormati suara rakyat.

    Pada sidang perkara Nomor 05/PHPU.WAKO-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat, Bambang Eka Cahya menyoroti keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Banjarbaru yang menetapkan suara yang mencoblos pasangan calon didiskualifikasi sebagai suara tidak sah.

    Hal itu mengakibatkan pemilih tidak memiliki alternatif, mengingat Pilkada Kota Banjarbaru hanya diikuti dua pasangan calon, yang satu di antaranya telah didiskualifikasi.

    “Keputusan tersebut tidak menghormati suara rakyat yang genuine (murni) yang sudah diberikan dengan benar menjadi tidak bernilai dan menjadi sampah,” kata Bambang.

    Menurut dia, keputusan KPU bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip pemilihan umum. Rakyat menjadi tidak bebas untuk memilih karena hanya tersedia satu pilihan, yakni mencoblos satu-satunya pasangan calon yang tidak didiskualifikasi.

    “Menjadi pertanyaan di sini, KPU melayani siapa sebenarnya? Sebab kalau dibilang melayani rakyat (yang) menggunakan hak pilih, nyatanya hak pilih yang digunakan secara benar dan bertanggung jawab justru tidak mempunyai nilai di mata KPU sebagai penyelenggara,” ujarnya.

    Pakar ilmu pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini juga mengkritik alasan KPU tidak memiliki cukup waktu mencetak surat suara baru karena diskualifikasi pasangan calon terjadi saat mendekati hari pencoblosan.

    Menurut dia, hal itu tidak dapat dibenarkan karena KPU sebetulnya bisa menunda pemungutan dan penghitungan suara akibat terganggunya sebagian tahapan.

    “Tentu saja pilihan ini menimbulkan risiko. Akan tetapi, pilihan ini, menurut hemat saya, jauh lebih baik daripada memaksakan (pemilihan) serentak, tetapi justru mengorbankan hak pilih warga yang telah menggunakan haknya dengan benar,” ucap Bambang.

    Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Zainal Arifin Mochtar, yang juga dihadirkan sebagai ahli, mengatakan Pilkada Kota Banjarbaru 2024 telah kehilangan esensi pemilihan.

    Hal itu karena pasangan calon nomor urut 1 Erna Lisa Halaby dan Wartono akan tetap menjadi pemenang karena seluruh suara pemilih yang mencoblos pasangan calon didiskualifikasi, Aditya Mufti Ariffin dan Said Abdullah (nomor urut 2), dinyatakan tidak sah.

    “Kita contohkan ada 1.000 populasi, 999 orang memilih pasangan calon nomor 2. Hanya satu orang memilih pasangan nomor 1, tetap saja nomor 1 dimenangkan. Pemilihan macam apa yang mau dibawa ketika 99,99 persen orang tidak setuju dengan itu, tetapi tetap saja diambil satu orang?” ucapnya.

    Pilkada Kota Banjarbaru 2024 pada mulanya diikuti dua pasangan calon, yakni Erna-Wartono dan Aditya-Said.

    Namun, pasangan Aditya-Said didiskualifikasi sesuai keputusan KPU tanggal 31 Oktober 2024, berdasarkan rekomendasi Bawaslu yang menyatakan mereka melakukan pelanggaran administratif.

    Kendati sudah mendiskualifikasi satu dari dua pasangan calon, KPU Kota Banjarbaru tidak menerapkan sistem pemilihan pasangan calon melawan kotak kosong.

    Foto Aditya-Said tetap ada pada surat suara bersanding dengan foto Erna-Wartono. Suara pemilih yang mencoblos Aditya-Said dinyatakan tidak sah.

    Hasil penghitungan suara yang ditetapkan, pasangan Erna-Wartono memperoleh 36.135 suara dan suara tidak sah mencapai 78.736 suara. Erna-Wartono keluar sebagai pemenang.

    Perkara Nomor 05/PHPU.WAKO-XXIII/2025 dimohonkan oleh Muhamad Arifin selaku Koordinator Lembaga Studi Visi Nusantara Kalimantan Selatan, sebuah lembaga pemantau pemilihan.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Cerita Saut Situmorang Pernah Bersitegang dengan Kejaksaan saat Penanganan Kasus

    Cerita Saut Situmorang Pernah Bersitegang dengan Kejaksaan saat Penanganan Kasus

    loading…

    Mantan Komisioner KPK Saut Situmorang mengaku kerap bersitegang dengan kejaksaandalam menangani suatu kasus. Foto/Dok. SINDOnews

    JAKARTA – Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengaku kerap bersitegang dengan kejaksaan . Gesekan itu terkait siapa yang harus menangani suatu kasus.

    ”Beberapa kali dia (kejaksaan) meminta biar kami saja yang menangani. Gue langsung bilang tidak bisa. Enak saja, kita (KPK) yang OTT, tapi dia (tersangka dan perkara) yang dibawa ke sana (kejaksaan). Nanti di sana gimana gitu,” kata Saut dalam Dialog Publik: UU Kejaksaan antara kewenangan dan keadilan masyarakat yang digelar di Jakarta, Kamis (23/1/2025) siang.

    Meski demikian, Saut tidak menjelaskan secara gamblang apa saja perkara yang berusaha ditarik Korps Adhyaksa. Juga tidak menjelaskan apa maksud dengan pernyataannya yang “gimana gitu”. Apakah itu berarti nanti penanganannya tidak profesional atau seperti bagaimana.

    Selain itu, KPK pernah berpikir untuk mendidik pegawainya sendiri menjadi penuntut. Hal ini karena semua penuntut KPK dari kejaksaan. ”Waktu itu, kami sudah berpikir bahwa ada potensi konflik kepentingan yang besar di sini,” tuturnya.

    Rencananya, KPK akan mengirimkan misalnya sepuluh pegawai untuk kemudian dididik di kejaksaan, sehingga mempunyai kualifikasi sebagai penuntut yang kompeten. Namun, rencana tersebut tak pernah terealisir, dan semua penuntut KPK berasal dari kejaksaan. ”Rencananya seperti itu, sehingga KPK mempunyai penuntut sendiri,’’ terangnya.

    Sementara itu, pakar hukum UGM Zainal Arifin Mochtar dalam acara yang sama juga mempertanyakan soal independensi jaksa. Selama ini, independensi jaksa banyak dipertanyakan. Apalagi, penentuan Jaksa Agung kerap karena mengakomodasi kepentingan politik.

    (poe)

  • Cerita Eks Pimpinan KPK Saut Situmorang Pernah Bersitegang dengan Jaksa soal Penanganan Kasus – Halaman all

    Cerita Eks Pimpinan KPK Saut Situmorang Pernah Bersitegang dengan Jaksa soal Penanganan Kasus – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang bercerita dirinya pernah bersitegang dengan kejaksaan dalam penanganan kasus.

    Hal ini diungkap Saut dalam Dialog Publik: UU Kejaksaan antara kewenangan dan keadilan masyarakat yang digelar di salah satu hotel di Jakarta pada Kamis (23/1/2025).

    “Beberapa kali dia (kejaksaan) meminta biar kami saja yang menangani. Gue langsung bilang tidak bisa. Enak saja, kita yang OTT, tapi dia (tersangka dan perkara) yang dibawa ke sana. Nanti di sana gimana gitu,’’ kata Saut.

    Meski begitu, Saut tak merinci secara detil terkait perkara apa saja yang berusaha ditangani oleh Korps Adhyaksa tersebut.

    Dia hanya mengatakan jika selalu ada hambatan dan masalah ketika pihaknya menangani perkara yang ada keterlibatan dari pihak kejaksaan.

    “Kita (KPK pada zamannya, Red) kalau menangkap jaksa itu selalu ada problem loh,’’ ungkapnya.

    Bahkan, kata Saut, KPK pernah mempunyai rencana agar pegawainya bisa menjadi penuntut KPK.

    Pasalnya, selama ini penuntut di KPK sebagian besar dari kejaksaan sehingga menurutnya bisa memunculkan konflik yang besar.

    “Rencananya seperti itu, sehingga KPK mempunyai penuntut sendiri,” ucapnya.

    Meski begitu, rencana tersebut tak pernah terealisir, dan semua penuntut KPK berasal dari kejaksaan.

    Sebelumnya, Saut juga menyoroti ketidakpastian penegakan hukum yang diatur Pasal 8 Ayat 5 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Sebab pasal tersebut menyatakan setiap peoses hukum terhadap jaksa harus melalui izin Jaksa Agung. 

    Ketentuan ini dipandang punya konflik kepentingan yang tinggi dan tidak adanya prinsip fairness atau kesetaraan dalam memperlakukan orang lain. 

    “Prinsipnya, kita berada di tempat ketidakpastian yang cukup tinggi, adanya konflik kepentingan dan fairness. Bagaimana kita bisa menjabarkan hal ini terkait penegakan hukum dan antikorupsi,” kata Saut dalam diskusi bertajuk ‘UU Kejaksaan antara Kewenangan dan Keadilan Masyarakat’ di Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2025).

    Menurut Saut, jika ketentuan tersebut  bertujuan melindungi jaksa yang menangani kasus besar, maka diperlukan penjelasan yang lebih merincikan hal itu.

    “Kami paham jika pasal itu digunakan untuk melindungi jaksa-jaksa keren yang akan mengungkap korupsi besar. Namun, tanpa Jaksa Agung pun, mereka tetap bisa dilindungi, misalnya oleh civil society,” terangnya.

    Senada dengan Saut, mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu menilai Pasal 8 Ayat 5 perlu dijelaskan secara definitif, khususnya terkait frasa melaksanakan tugas dan kewenangan.

    Selain itu juga perlu dituangkan ketentuan bahwa izin dianggap diberikan jika 1×24 jam Jaksa Agung tidak merespons.

    Edwin melihat ada kemunduran kualitas hukum akibat pasal ini. Izin seperti ini kata dia, pernah ada sebelumnya di DPR tapi kemudian dihapus. Namun kini muncul kembali di Kejaksaan. 

    “Ini menunjukkan upaya menebalkan imunitas jaksa, bahkan sudah dilegalisasi melalui undang-undang,” tegas Edwin.

    Sementara itu, Ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar memandang bahwa perizinan yang diatur dalam Pasal 8 Ayat 5 sebenarnya tidak diperlukan. 

    “Ketika jaksa menangani perkara, itu sudah menjadi kewenangan penuh, sehingga tidak perlu lagi perizinan dari atasan,” katanya.

    Ia justru khawatir besarnya potensi intervensi yang terpusat di tangan Jaksa Agung. Karena semangat awal UU ini bertujuan untuk menghindari intervensi dari pihak luar.

    “Tetapi ini justru semakin memusatkan intervensinya di Jaksa Agung,” tambahnya.

    Pasal ini juga direspons oleh Akademisi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, di mana dia menilai UU Kejaksaan tahun 2021 ini dibuat dalam kondisi tidak ideal yang berimbas terciptanya ketidakseimbangan dalam penegakan hukum.

    “Kita tahu ada kewenangan yang terlalu banyak ingin ditarik. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam penegakan hukum,” tandasnya.

  • Hak Imunitas Jaksa dalam UU Kejaksaan Tuai Kritik dari Para Pakar

    Hak Imunitas Jaksa dalam UU Kejaksaan Tuai Kritik dari Para Pakar

    loading…

    Diskusi publik bertajuk UU Kejaksaan antara Kewenangan dan Keadilan Masyarakat di Jakarta, Kamis (23/1/2025). Foto/Dok. SINDOnews

    JAKARTA – UU No 11/2021 tentang Kejaksaan terus menuai kritik. Khususnya terkait ketentuan dalam Pasal 8 Ayat 5 yang menyebutkan bahwa proses hukum terhadap jaksa harus melalui izin Jaksa Agung .

    Mantan Komisioner KPK Saut Situmorang menyoroti ketidakpastian dalam penegakan hukum yang diatur dalam pasal tersebut. “Prinsipnya, kita berada di tempat ketidakpastian yang cukup tinggi, adanya konflik kepentingan dan fairness. Bagaimana kita bisa menjabarkan hal ini terkait penegakan hukum dan antikorupsi,” katanya dalam diskusi publik bertajuk UU Kejaksaan antara Kewenangan dan Keadilan Masyarakat yang digelar Forum Kajian Demokrasi Kita (FOKAD) di Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2025).

    Menurut Saut, jika pasal tersebut bertujuan melindungi jaksa yang menangani kasus besar, diperlukan kejelasan lebih rinci. “Kita paham jika pasal itu digunakan untuk melindungi jaksa-jaksa keren yang akan mengungkap korupsi besar. Namun, tanpa Jaksa Agung pun, mereka tetap bisa dilindungi, misalnya oleh civil society,” ujarnya.

    Senada dengan Saut, mantan Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menilai Pasal 8 Ayat 5 perlu diatur lebih detail untuk mencegah penyalahgunaan. “Seharusnya frasa melaksanakan tugas dan kewenangan dijelaskan secara definitif. Selain itu, jika dalam 1×24 jam Jaksa Agung tidak memberi izin, maka izin itu harus dianggap otomatis diberikan,” katanya.

    Edwin juga menyoroti kemunduran dalam kualitas hukum akibat pasal ini. Karena izin seperti ini pernah ada sebelumnya yakni di DPR dan sudah dihapus, tetapi kini muncul kembali di kejaksaan. “Ini menunjukkan upaya menebalkan imunitas jaksa, bahkan sudah dilegalisasi melalui undang-undang,” tegasnya.

    Ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar memandang perizinan seperti yang diatur dalam Pasal 8 Ayat 5 sebenarnya tidak diperlukan. “Ketika jaksa menangani perkara, itu sudah menjadi kewenangan penuh, sehingga tidak perlu lagi perizinan dari atasan,” katanya.

    Fickar juga mengkritik potensi intervensi yang justru terpusat di tangan Jaksa Agung. Karena semangat awal UU ini bertujuan untuk menghindari intervensi dari pihak luar. “Tetapi ini justru semakin memusatkan intervensinya di Jaksa Agung,” tambahnya.

    Akademisi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai UU Kejaksaan 2021 dibuat dalam kondisi tidak ideal. “Kita tahu ada kewenangan yang terlalu banyak ingin ditarik. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam penegakan hukum,” tandasnya.

    (poe)

  • FH UGM Minta Warga Sipil Aktif Soal Sengketa Pilpres, Mungkinkah Seperti UU Ciptaker?

    FH UGM Minta Warga Sipil Aktif Soal Sengketa Pilpres, Mungkinkah Seperti UU Ciptaker?

    Yogyakarta (beritajatim.com)– Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) buka suara kaitan penolakan permohonan sengketa pilpres 2024 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan Paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Paslon Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.

    Menurut UGM apa yang dilakukan oleh MK bukan sesuatu hal yang mengagetkan.

    [irp]

    “Saya amati selama bertahun-tahun bahwa keputusan MK selalu begitu, tidak pernah bisa independen dalam mengambil keputusan secara baik dihadapan kepentingan politik,” ujar Dosen Hukum dan Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar dalam konferensi pers dan orasi yang berlangsung di Selasar Gedung B Fakultas Hukum UGM, Selasa (23/4).

    Pria yang akrab disapa Ucheng ini kemudian menghubungkan sengketa pilpres ini dengan UU Cipta Kerja (Ciptaker) Omnibus Law.

    “Pada awalnya UU Cipta Kerja itu ditolak tapi ada yang mau mempertahankan. Akhirnya dicari titik tengah. Makanya jadinya (perbandingan hakim setuju tak setuju) 5-4, lalu UU Cipta kerja tetap diberlakukan secara conditionally konstitusional,” kata Ucheng.

    Pria yang namanya melambung lewat film Dirty Vote ini pun kemudian menghubungkan dengan putusan sengketa Pilpres 2024 ini. Pihaknya menduga MK saat ini dimungkinkan tengah mencari titik tengah.

    3 hakim MK menawarkan bukan pembatalan kemenangan Prabowo Gibran tetapi melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di beberapa provinsi yang dianggap bermasalah. Sementara PSU adalah hal yang tidak dimohonkan oleh pemohon.

    “Semacam membangun dan mencari logika sendiri,” beber Ucheng.

    Ucheng kemudian mengklasifikasikan jenis atau genre hakim MK. Menurutnya ada 3 genre yang pertama adalah hakim dengan pembaharuan atau judicial heroee yang mau berpikir dengan logika substantif.

    Genre kedua yakni hakim MK yang murni terpengaruh kepentingan politik karena telah tercemari oleh kedekatan dengan tokoh atau parpol tertentu. Dan genre terakhir hakim yang seperti diutarakan sebelumnya yakni mencari titik tengah dan membangun serta mencari logika sendiri.

    Ucheng menegaskan saat ini nasi sudah menjadi bubur dan keputusan besar sudah diambil oleh MK.

    Namun, ia berpesan bahwa masih ada hal yang bisa dilakukan saat ini, termasuk oleh masyarakat sipil.

    “Tetap harus ada yang dilakukan, rentetan seruan itu tidak boleh berakhir. Siapa yang merusak demokrasi harus dibawa ke kontestasi hukum,” serunya.

    Selain itu, kita harus konsolidasi untuk memperkuat kontrol kinerja pemerintahan, demokrasi tidak boleh dirusak,” imbuhnya.

    Sementara itu, pakar bidang riset dan HAM Fakultas Hukum UGM Herlambang Wiratraman menegaskan putusan MK soal sengketa pemilu adalah putusan nir-etika.

    “Dalam putusan sengketa Pemilu 2024 oleh MK kita lihat bahwa etika tidak lagi dianggap hal penting. Etika belum bisa dipertimbangkan dalam hukum di Indonesia. Padahal sejatinya aspek hukum dengan etika ini berkorelasi tidak dapat dipisahkan karena merupakan aspek dasar,” urainya.

    Herlambang menegaskan bahwa MK tidak menjalankan konstitusi hukum secara kredibel dan serius.

    [irp]

    “Pemilu ke depan tidak akan banyak berubah situasinya jika praktik-praktik niretika masih terus berlangsung,” ucapnya.

    Hal lain yang tersisa dari Pemilu 2024 yakni kekuatan politik pemerintah yang bekerja terlalu dominan dengan oposisi tidak seimbang dalam konteks demokrasi. [aje]

  • CLS FH UGM Desak Pembatasan Kekuasaan Presiden dan Wapres Pasca Putusan MK

    CLS FH UGM Desak Pembatasan Kekuasaan Presiden dan Wapres Pasca Putusan MK

    Yogyakarta (beritajatim.com) – Constitutional Law Society (CLS), elemen yang dibentuk mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mahada (UGM) Yogyakarta mendesak pembatasan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden RI. Desakan ini muncul, merespon putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pemilihan Presiden 2024 yang dibacakan pada Senin (22/4/2023).

    Koordinator CLS FH UGM, Lintang Nusantara, menegaskan pentingnya membangun demokrasi yang sehat mendorong mahasiswa untuk mengkaji pembatasan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden RI.

    “Putusan MK bersifat final dan mengikat, namun kita dihadapkan pada persoalan serius, yaitu bagaimana menyikapi kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden terpilih,” ujar Lintang, Selasa (23/4/2024).

    Dengan mengangkat tema Pasca Putusan MK, Kita Harus Apa? Bangkitkan Gagasan Pembatasan Kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden RI!, CLS FH UGM menggelar jumpa pers di Fakultas Hukum UGM pada Selasa (23/4/2024) pukul 11.00 WIB.

    “Hukum dibuat untuk mencegah orang yang kuat memiliki kekuasaan yang tidak terbatas,” kata Lintang, mengutip pepatah Latin Inde datae leges be fortoir omnia posset.

    CLS FH UGM menghadirkan dua akademisi sekaligus dosen FH UGM, Dr Zainal Arifin Mochtar dan Dr R Herlambang P Wiratraman, untuk memberikan pengantar dan perspektif hukum dalam diskusi gagasan pembatasan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden RI.

    “CLS FH UGM ingin berperan aktif dalam memberikan sumbangsih pemikiran untuk Indonesia. Kami mengundang seluruh elemen masyarakat sipil dan media massa untuk mendukung langkah mendorong gagasan pembatasan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden RI menjadi isu publik dan isu bersama bangsa Indonesia,” tutur Lintang. [beq]