Tag: Zainal Arifin Mochtar

  • Abolisi Tom Lembong Masih Timbulkan Tanya, Benarkah Hubungan Prabowo dengan Pihak Tertentu Retak?

    Abolisi Tom Lembong Masih Timbulkan Tanya, Benarkah Hubungan Prabowo dengan Pihak Tertentu Retak?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar mengatakan amnesti dan abolisi umumnya diberikan untuk melakukan rekonsiliasi kondisi politik, sedangkan abolisi pada alasan kemanusiaan.

    “Amnesti dan abolisi itu bahasa politik, bukan hukum. Penggunaannya di Indonesia dalam perkembangannya digunakan pada kasus politik. Ada motif rekonsiliasi dalam kepentingan nasional,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Sabtu (9/8/2025).

    Namun pada kasus Tom Lembong, Zainal tidak melihat ada kondisi yang mengharuskan proses rekonsiliasi itu dilakukan. Abolisi seharusnya tidak perlu diberikan jika proses hukum sudah berjalan sesuai dengan kaidah hukum nasional.

    Alasan pemberian abolisi pada kasus Tom Lembong masih menimbulkan pertanyaan besar.

    “Ini jelas masalah politik, tapi masalahnya apa yang mau direkonsiliasi? Mungkin Presiden punya keretakan hubungan dengan pihak tertentu, tapi salah kalau itu diukur dengan skala nasional,” tegasnya.

    Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar

    Ia khawatir jika ini terus terjadi, akan ada banyak kebijakan yang dilandaskan pada motif politik dibandingkan kepentingan publik.

    “Harus ada parameter hukum yang jelas dalam pemberian amnesti dan abolisi. Apakah ada kepentingan nasional atau motif politik di balik kasus tersebut,” ungkapnya.

    Selain itu, perlu ada limitasi kasus tertentu yang bisa diberikan amnesti dan abolisi. Terlebih dalam kasus tindak pidana korupsi tidak seharusnya unsur politik bermain di dalamnya.

    Sementara itu, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto merupakan pelaksanaan hak prerogatif Presiden RI sesuai dengan konstitusi, bukan suatu kebijakan istimewa. Menurutnya, hal itu sudah lazim dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya dan merupakan bagian dari pertimbangan yang lebih luas demi kepentingan negara.

  • Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Jakarta

    Sudah lewat satu bulan putusan MK Nomor 135/PUU-XII/2024 dibacakan, pemerintah dan DPR masih belum merespons putusan yang bersifat final dan mengikat tersebut ke dalam sebuah bentuk kebijakan konkret: revisi UU Pemilu dan Pilkada.

    Dalam putusan tersebut, MK memutus pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal: Pemilu nasional untuk memilih presiden dan DPR/DPD, dan pemilu lokal untuk memilih gubernur, walikota/bupati dan DPRD yang diperpanjang paling cepat 2 tahun dan paling lambat 2,5 tahun setelah pemilu nasional selesai dilaksanakan.

    Alasannya sederhana, MK berkaca pada dua peristiwa pemilu serentak sebelumnya (2019 dan 2024); karena pemilih kebingungan ketika disodorkan banyaknya surat suara dan calon; dekatnya jarak waktu antara pemilu dan pilkada yang membuat pemilih jenuh; beratnya beban penyelenggara yang berakibat pada kelelahan hingga kematian.

    Selain itu ada juga alasan sulitnya parpol dalam mempersiapkan kader untuk bertarung; dan yang paling penting karena permasalahan daerah kerapkali tidak mendapat perhatian serius akibat tertimpa isu nasional.

    Kontradiksi Norma dan Pilihan Paling Mungkin

    Apabila dicermati, dalam putusan ini MK tidak bertindak dalam fungsinya sebagai negative legislator (pembatal undang-undang), melainkan sebagai positive legislator (pembentuk undang-undang).

    Meskipun MK masuk ke dalam wilayah teknis penyelenggaraan pemilu yang seharusnya menjadi wewenang pembentuk undang-undang (open legal policy), tetap dapat dibenarkan dan putusannya tetap dianggap sah secara hukum (erga omnes).

    Karena, di tengah rusaknya kualitas demokrasi akibat kartelisasi politik yang kuat seperti sekarang ini, MK dapat melakukan penyelamatan demokrasi melalui judicial activism untuk menjembatani kehendak rakyat yang suaranya seringkali diabaikan di dalam ruang pembentukan kebijakan.

    Namun, akibat campur tangan MK dalam membuat norma baru tersebut, kontradiksi hukum tak dapat dielakkan, khususnya dalam mengatasi permasalahan pemilu lokal yang jadwal pelaksanaannya bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

    Dalam pemilu lokal, MK memutus dilaksanakan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun setelah pemilu nasional usai dilaksanakan. Konsekuensinya, akan ada kekosongan masa jabatan dalam waktu yang cukup lama (2-2,5 tahun) yang harus dipikirkan oleh pembentuk undang-undang untuk diisi oleh siapa dan bagaimana cara pengisiannya.

    Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah selama masa transisi, mungkin masih bisa dilakukan penunjukan penjabat (Pj) oleh presiden dan mendagri.

    Meskipun pilihan tersebut bertentangan dengan prinsip yang paling penting di dalam demokrasi, yakni legitimasi, kemungkinan yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah demikian. Tapi dengan catatan bahwa masyarakat sipil harus mendesak presiden dan DPR untuk mempersiapkan norma yang membatasi dan mengawasi para Pj tersebut agar tidak menjadi alat politik kekuasaan untuk cawe-cawe memenangkan calon tertentu.

    Sementara, untuk mengisi kekosongan masa jabatan DPRD, belum ada landasan norma yang bisa dijadikan tempat bersandar untuk memperpanjang masa jabatan mereka. Sehingga mau tidak mau harus dibuat aturan mainnya agar tidak terjadi kekosongan jabatan.

    Jika opsi yang dipilih adalah memperpanjang masa jabatan DPRD selama dua tahun, tentu saja kebijakan itu bertentangan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga DPRD harus berasal dari mandat rakyat yang dipilih secara sah melalui pemilu.

    Jika pun selama dua tahun itu ditunjuk pelaksana tugas, maka juga bertentangan dengan nilai demokrasi yang mengedepankan legitimasi ketimbang legalitas.

    Di antara kebuntuan itu, pilihan yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan dibuatnya pemilu sela untuk memilih anggota DPRD yang akan menjabat selama 2 hingga 2,5 tahun sampai dilaksanakannya pemilu lokal di tahun 2032.

    Yang Prosedural dan Yang Substansial

    Jika ditelaah lebih dalam, walaupun putusan tersebut dianggap oleh sebagian pengamat adalah putusan yang progresif, tapi nyatanya, hanya menyentuh persoalan prosedural. Bukan persoalan substansial dari berbagai persoalan pemilu yang sudah-sudah. Mahar politik, politik uang, pengerahan aparat dan birokrat untuk memenangkan calon tertentu, dan lain sebagainya.

    Berharap adanya jeda selama 2 sampai 2,5 tahun agar partai politik bisa bernafas dan mempersiapkan kader secara serius juga adalah sebuah alasan paling utopis yang pernah ada di negeri demokrasi yang mau berumur 80 tahun merdeka ini.

    Dalam Kronik Otoritarianisme Indonesia yang ditulis Zainal Arifin Mochtar dan Muhidin M. Dahlan, Herlambang P. Wiratraman mengatakan, demokrasi di Indonesia cenderung telah didominasi dan difasilitasi oleh sistem politik yang telah terkartelisasi.

    Fenomena ini oleh Richard S Katz dan Peter Mair disebut dengan istilah “partai kartel” yang kenunculannya ditandai dengan hubungan erat antara partai politik dan negara yang saling bekerja sama dalam berkolusi untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Salah satunya berkolusi dalam memenangkan pemilu.

    Tak bisa dipungkiri, demokrasi elektoral kita telah dilumuri politik uang. Biaya politik elektoral yang tinggi membuat partai politik memberi karpet merah kepada pemilik modal untuk ikut serta mengendalikan pemilu dan menjadi bagian di dalam negara. Akibatnya, pemilu hanya menjadi sarana bagi oligarki untuk mengontrol kebijakan negara.

    Untuk dapat berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya, partai politik tidak lagi memilih calon legislatif maupun eksekutif berdasarkan standar ideologis. Lebih condong kepada standar pragmatis. Sudah menjadi rahasia umum, mulai dari sejak fase pra pemilu (rekrutmen calon), yang dilihat paling pertama oleh partai politik bukanlah kualitas (kapabilitas), tetapi kuantitas (seberapa besar isi brangkas).

    Alhasil, mengutip laporan ICW (Indonesia Corruption Watch), yang diperoleh dari pemilu berbiaya tinggi tersebut adalah: Dari total 580 anggota DPR periode 2024- 2029, sekitar 354 orang (61%) terafiliasi dengan sektor bisnis. Dengan kata lain, sebagian besar anggota DPR yang memenangkan pemilu dan duduk di parlemen hari-hari ini adalah politisi pebisnis. Bukan ideolog, bukan pula aktivis, atau politisi yang berasal dari beragam latar belakang.

    Dengan besarnya postur politisi pebisnis yang duduk di DPR saat ini, jangan heran apabila mereka abai melaksanakan demokrasi deliberatif dalam pengambilan keputusan politik negara, terutama dalam proses pembentukan undang-undang kontroversial akhir-akhir ini (UU BUMN, UU Minerba, UU TNI).

    Data ini tidak hanya memperburuk kualitas parlemen dan pemerintahan kita, tapi juga akan memperpanjang nasib demokrasi elektoral yang berbiaya tinggi. Apalagi, di tahun 2024, menurut data yang dirilis Bank Dunia, angka kemiskinan masyarakat Indonesia mencapai 194,4 juta jiwa atau setara 68,2% dari total populasi sebanyak 285,1 juta penduduk.

    Kondisi ini tentu saja tidak bisa diselesaikan dengan sekali pukul perubahan jadwal pemilu, tapi juga harus diiringi dengan pembenahan di berbagai sektor: Partai politik, pembiayaan partai politik dan pemilu, hingga sistem pengawasan yang kuat. Jika tidak, kaki-kaki oligarki di dalam tubuh negara akan semakin kokoh, dan pemilu 2029 dan 2032 hanya akan memperluas potensi politik uang yang muaranya akan menghasilkan pemimpin serakah.

    Dengan begitu, mau sistem pemilu seperti apapun, baik serentak ataupun tidak, terpisah antara nasional dan lokal sekalipun, jika tidak diiringi dengan pembenahan lintas sektor, maka pemisahan jadwal pemilu hanya akan memperpanjang peluang oligarki untuk mengontrol kebijakan publik dengan seluruh perangkat yang mereka punya. Uang, media, aparat, dan segenap perangkat lainnya. Pada akhirnya, putusan MK tidak menyumbang apa-apa untuk peningkatan kualitas demokrasi kita.

    Zieyad Alfeiyad Ahfi atau Ziyad Ahfi. Mahasiswa pascasarjana hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang tengah mengambil studi Hukum Tata Negara.

    (rdp/rdp)

  • Tegaskan Syarat Pemakzulan Gibran Terpenuhi, Pakar Hukum Ungkap Realitas Politik

    Tegaskan Syarat Pemakzulan Gibran Terpenuhi, Pakar Hukum Ungkap Realitas Politik

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Wacana pemakzulan Gibran dari jabatan Wapres hingga kini masih jadi perhatian publik.

    Pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan bahwa secara konstitusional, semua syarat untuk memakzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sudah terpenuhi.

    Pria yang akrab disapa Uceng ini mengungkapkan hal itu dalam forum diskusi bertajuk “Menuju Pemakzulan Gibran: Sampai Kemana DPR Melangkah?” yang digelar oleh Formappi, Rabu, 18 Juni 2025.

    “Ada tiga dasar pemakzulan dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945: pelanggaran pidana, administratif, dan perbuatan tercela,” ujar Zainal melansir laman msn.

    Ia menyoroti laporan dugaan korupsi yang dilayangkan Ubedilah Badrun sebagai potensi unsur pelanggaran pidana. Sementara dari sisi administratif, kata dia, keabsahan dokumen seperti ijazah menjadi bahan pertimbangan penting.

    “Kalau bicara perbuatan tercela? Ya ampun, itu sudah banyak. Dari Fufufafa sampai praktik nepotisme,” sindirnya, tajam.

    Menurutnya, secara teori hukum, pemakzulan terhadap Gibran sangat mungkin dilakukan. Namun realitas politik di DPR menjadi tembok penghalang yang sulit ditembus.

    Hak menyatakan pendapat, sebagai tahapan awal proses pemakzulan, hanya bisa dilakukan jika mayoritas anggota DPR sepakat.

    “Dengan koalisi Prabowo-Gibran yang masih solid, saya pesimistis DPR akan berani memulai langkah itu,” jelasnya.

    Uceng juga menilai Mahkamah Konstitusi (MK), yang memiliki peran penting dalam menilai pelanggaran hukum Wapres, sudah tidak netral.

    “Maaf, saya tak bisa lagi anggap MK sebagai lembaga hukum. Bagi saya, MK sudah jadi makhluk politik,” tegasnya.

  • Zainal Arifin Mochtar: Syarat Pemakzulan Gibran Sudah Terpenuhi, Hambatannya di Politik

    Zainal Arifin Mochtar: Syarat Pemakzulan Gibran Sudah Terpenuhi, Hambatannya di Politik

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar menyebut bahwa secara konstitusional, syarat untuk memakzulkan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka sejatinya sudah terpenuhi.

    Hal tersebut diungkapkannya saat menjadi narasumber dalam diskusi publik bertajuk “Menuju Pemakzulan Gibran: Sampai Kemana DPR Melangkah?” yang digelar Formappi, kemarin.

    “Ada tiga alasan pemakzulan berdasarkan pasal 7, khususnya dari pasal 7A-7B UUD 1945, yaitu pelanggaran pidana, pelanggaran administratif, dan perbuatan tercela,” kata Zainal dikutip pada Kamis (19/6/2025).

    Dikatakan Zainal, unsur pelanggaran pidana bisa dilihat dari laporan yang disampaikan Ubedilah Badrun terkait dugaan keterlibatan Gibran dalam kasus korupsi.

    Sementara aspek administratif, lanjut Zainal, bisa muncul dari persoalan seperti legalitas ijazah atau tahapan verifikasi administratif lainnya.

    “Perbuatan tercela? Banyak sekali. Ada Fufufafa, nepotisme,” tegasnya.

    Meski menyebut konstruksi hukum untuk pemakzulan telah tersedia, pria yang akrab disapa Uceng ini menilai bahwa proses tersebut sulit diwujudkan karena hambatan politik yang cukup besar.

    Ia juga menyinggung dominasi koalisi pendukung pemerintah sebagai faktor kunci.

    “Kalau pendukung Prabowo-Gibran masih bersatu padu kuat maka hitungannya tidak akan mencapai menuju kepada hak menyampaikan pendapat, itu kalau kita melihat secara koalisi pemerintahan,” jelasnya.

    Lebih jauh, Zainal juga mengkritisi peran Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurutnya tidak lagi berdiri sebagai institusi hukum yang netral.

  • Relawan Jokowi Sebut Gibran Cakap karena Berhasil Bangun Solo: Usulan Purnawirawan TNI Mengada-ada – Halaman all

    Relawan Jokowi Sebut Gibran Cakap karena Berhasil Bangun Solo: Usulan Purnawirawan TNI Mengada-ada – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Ketua Umum Solidaritas Merah Putih Silfester Matutina menganggap Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka merupakan anak muda yang berhasil dalam langkahnya.

    Hal ini juga senagai tanggapannya soal Forum Purnawirawan TNI yang mengusulkan agar Wapres Gibran dicopot dari jabatan.

    Relawan Joko Widodo (Jokowi) tersebut mengatakan keunggulan Gibran terlihat dari sepak terjang putra sulung Jokowi sebelum menjabat sebagai Wapres RI.

    “Saya juga mengingatkan, mas Gibran ini kalau dibilang tidak cakap, dia mungkin tidak berhasil membangun Solo.”

    “Atau sebagai anak muda yang memiliki perusahaan yang cukup lumayan dari perusahaan kecil ke perusahaan besar,” ujarmya saat menjadi narasumber dalam acara Overview Tribunnews, ditayangan YouTube Tribunnews, Rabu (30/4/2025).

    Silfester menekankan bahwa usulan Forum Purnawirawan TNI yang mengusulkan agar Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka dicopot, mengada-ada.

    “Saya pikir terlalu mengada-ada juga yang dituduhkan,” kata Silfester.

    Sebelumnya, Silfester memberikan kritik tajam terhadap usulan purnawirawan tersebut.

    Relawan Joko Widodo (Jokowi) menekankan usulan tersebut merupakan bagian dari politik adu domba.

    Silfester juga menegaskan bahwa pemilih Presiden Prabowo dan Wapres Gibran sebesar 58,59 persen atau 96.214.691 suara sah tidak akan menggubris usulan tersebut.

    “Saya meyakini mayoritas rakyat kita apalagi pendukung Prabowo Gibran tidak akan menggubris usulan dari bapak-bapak purnawirawan yang hanya 300 orang,” katanya.

    “Dan mayoritas mereka (purnawirawan TNI yang usul Gibran dicopot) kebanyakan bukan pendukung Prabowo-Gibran,” lanjutnya.

    Silfester pun meminta sebaiknya usulan itu bersifat logis.

    Terutama yang berguna bagi bangsa dan negara Indonesia.

    “Saya hanya mengimbau, sesuatu itu harus yang logis dan berguna bagi bangsa dan dilandasi oleh dasar-dasar dari hukum dan konstitusi kita yang jelas,” imbuhnya.

    Di sisi lain dirinya juga mengimbau agar Forum Purnawirawan TNI menyampaikan usulan dengan menempuh jalur-jalur konstitusi.

    Termasuk ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), ataupun bertemu langsung denga Presiden RI.

    “Atau bila perlu bertemu dengan Mas Gibran, berdiskusi, apakah benar (Gibran) melakukan pelanggaran atau tidak,” kata Silfester.

    Hal-hal Ini Bisa Jadi Syarat Memakzulkan Gibran, Apa Saja?

    Pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar memberikan pandangannya tentang usulan pemakzulan Wapres Gibran.

    Menurut Zainal terdapat tiga syarat untuk memakzulkan Gibran.

    “Syarat pemberhentian presiden selain soal meninggal dan lain-lain sebagainya, syarat pemberhentian di tengah jalan itu kan ada tiga,” kata Zainal di program Sapa Indonesia Pagi, Kompas TV, Senin (28/4/2025).

    Akademisi Universitas Gajah Mada (UGM) ini mengatakan syaratnya termasuk soal pelanggaran hukum dan pidana.

    “Yang pertama diberhentikan karena soalan administrasi, misalnya dia tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden.”

    “Yang kedua lebih bersifat pelanggaran hukum atau pidana, misalnya menerima suap dan lain sebagainya.”

    “Ketiga adalah syarat melakukan perbuatan tercela atau misdemeanor,” paparnya, mengutip TribunJakarta.com.

    Secara mekanisme, proses pemakzulan dimulai dari kesepakatan DPR, lalu pengujian di Mahkamah Konstitusi dan proses akhir di MPR.

    “Tapi kalau kita bicara mekanismenya, mekanisme kan tidak melalui MPR semata. Dia harus dimulai dari DPR, DPR menyatakan hak menyatakan pendapatnya, lalu dibawa ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi akan mengatakan ya atau tidak, kemudian dibawa ke MPR untuk diputuskan di ujungnya,” jelasnya.

    Lantas bagaimana bunyi aturan di Undang-undang?

    Pemberhentian wapres dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 7A dan 7B.

    Pasal 7A mengatur alasan pemberhentian, yaitu jika Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, atau jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden.

    Pasal 7B mengatur prosedur pemberhentian, yaitu melalui usulan DPR kepada MPR.

    Berikut bunyinya, mengutip bphn.go.id:

    Pasal 7A

    Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

    Pasal 7B

    (1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukalele n permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan
    memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

    (2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.

    (3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

    (4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil- adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

    (5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

    (6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.

    (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang- kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

    Usulan Purnawirawan

    Sebelumnya, Purnawirawan Prajurit TNI mengusulkan pergantian Gibran sebagai wapres saat mereka berkumpul dalam acara Silaturahmi Purnawirawan Prajurit TNI dengan Tokoh Masyarakat di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (17/4/2025).

    Adapun, jumlah pensiunan yang mendukung pencopotan Gibran dan sudah membubuhkan tanda tangan yakni 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.

    Ada delapan sikap yang disampaikan para Purnawirawan Prajurit TNI kepada Prabowo saat mereka berkumpul itu.

    Berikut selengkapnya delapan sikap forum Purnawirawan TNI tersebut:

    Kembali ke UUD 1945 asli sebagai Tata Hukum Politik dan Tata Tertib Pemerintahan.
    Mendukung Program Kerja Kabinet Merah Putih yang dikenal sebagai Asta Cita, kecuali untuk kelanjutan pembangunan IKN.
    Menghentikan PSN PIK 2, PSN Rempang dan kasus-kasus yang serupa dikarenakan sangat merugikan dan menindas masyarakat serta berdampak pada kerusakan lingkungan.
    Menghentikan tenaga kerja asing Cina yang masuk ke wilayah NKRI dan mengembalikan tenaga kerja Cina ke Negara asalnya.
    Pemerintah wajib melakukan penertiban pengelolaan pertambangan yang tidak sesuai dengan aturan dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan Ayat 3.
    Melakukan reshuffle kepada para menteri, yang sangat diduga telah melakukan kejahatan korupsi dan mengambil tindakan tegas kepada para Pejabat dan Aparat Negara yang masih terikat dengan kepentingan mantan Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
    Mengembalikan Polri pada fungsi Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) di bawah Kemendagri.
    Mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan MK terhadap Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com dengan judul Pakar Hukum Tata Negara Jelaskan Syarat dan Mekanisme Pemakzulan Gibran, DPR Harus Memilih Caranya

    (Tribunnews.com/Garudea Prabawati/Rifqah) (TribunJakarta.com)

     

     

     

  • 5
                    
                        Oposisi Individual Mahfud MD
                        Nasional

    5 Oposisi Individual Mahfud MD Nasional

    Oposisi Individual Mahfud MD
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    SAHABAT
    saya, Sukidi Mulyadi, mengirim tautan berita. Berita itu berjudul: ”
    Mahfud MD
    Dorong RUU Kepresidenan Cegah ‘Abuse of Power’”.
    Beberapa saat kemudian, seorang rekan lain mengirimkan tautan berita: “Mahfud Sebut MK Larang Menteri-Wamen Rangkap Jabatan”.
    Saya ingin menempatkan Mahfud sebagai figur awal dari “
    oposisi
    individual” atau oposisi yang tidak dibentuk oleh struktur partai atau parlemen, tetapi oleh legitimasi moral, pengalaman pemerintah dan keberanian publik dalam melawan dominasi kekuasaan.
    Memang belum ada teori politik manapun yang menjelaskan “oposisi individual” atau bagi saya semacam “Citizen whistleblower in democratic crisis” atau “Symbolic counter-power”.
    Dari sisi substansi, usulan kembali perlunya UU Kepresidenan adalah refleksi kegalauan negeri ini, termasuk Mahfud.
    Mantan Ketua MK ini terasa begitu galau dengan dunia hukum negeri ini. Ia menyebut RUU Kepresidenan dibutuhkan untuk mencegah hadirnya seorang presiden yang bisa berpotensi “abuse of power”, yang cenderung memanfaatkan jabatan untuk kepentingan kelompoknya.
    Yang cenderung menggunakan pengaruhnya untuk kepentingan kelompok dan keluarganya di masa-masa lame “duck periode”.
    Sejak Soekarno hingga Prabowo Subianto, bangsa ini tak memiliki UU Kepresidenan. Undang-undang yang minimal membedakan posisi presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, penguasa tertinggi atas angkatan, ketua partai dan kepala keluarga.
    Pembedaan itu dimaksud untuk mencegah konflik kepentingan yang amat menggejala di negeri ini.
    Salah satu penyebab konflik kepentingan adalah tren rangkap jabatan. Rangkap jabatan menteri yang menjadi CEO, menjadi komisaris di BUMN.
    Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melarang adanya rangkap jabatan menteri/wakil menteri sebagai komisaris BUMN.
    Dalam UU Kementerian Negara No 39/2008, pasal 23 ditulis:
    Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:

    a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

    b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau

    c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
    Pertanyannya, apakah UU Kementerian Negara itu ditaati? Jawabannya: jelas tidak ditaati!
    Beberapa menteri dan wakil menteri rangkap jabatan menjabat CEO perusahaan, termasuk Danantara atau Komisaris BUMN. Ada beberapa wamen yang menduduki jabatan Komisaris BUMN dan dibiarkan saja.
    Lalu, masalahnya buat apa pasal pelarangan menteri rangkap jabatan ditulis dalam undang-undang? Lalu, mengapa DPR sebagai lembaga kontrol diam saja? Tak terdengar suara DPR mengkritisi penyimpangan tersebut.
    Dan Mahfud bersuara. “Itu ada indikasi korupsi,” katanya kepada Rizal Mustari dalam kanal Youtubenya.
    Beberapa produk hukum lolos dari kontrol. Salah satunya yang menimbulkan kegelisahan dan ketidakpastian di kalangan pekerja sawit adalah Peraturan Presiden No 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.
    Perpres itu membentuk satuan tugas pengawasan kawasan hutan dengan Ketua Dewan Pengarah: Menteri Pertahanan bersama sejumlah pejabat lainnya dan Dewan Pelaksana yang diketuai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus.
    Dalam Pasal 5 Perpres tersebut disebutkan: Kawasan Hutan berupa pemulihan aset di Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat dilakukan melalui mekanisme pidana, perdata, dan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Setelah muncul Perpers itu berseliweran foto-foto di media sosial bahwa suatu kawasan telah disita. Namun, pertanyaannya kemudian bagaimana kelanjutannnya?
    Saya
    ngobrol
    dengan sejumlah pekerja sawit yang mengkhawatirkan kelanjutan operasional usaha sawit serta beban finansial. “Ini menimbulkan ketidakpastian,” ucapnya.
    Perpres itu diidentifikasi memunculkan beberapa persoalan seperti konflik regulasi, kelembagaan satgas yang dipimpin Menhan dan Kejaksaan Agung, dan ancaman penggunaan pidana yang tak jelas kapan akan digunakan.
    Tata kelola tampaknya menjadi pekerjaan rumah di negeri. Hampir selama dua bulan, berita media banyak menyajikan keluhan dunia usaha soal gangguan preman.
    Namun, sejauh ini tak ada upaya signifikan untuk menyelesaikannya. Preman seakan menjadi proxi dari negara.
    Isu premanisme baru mencuat menjadi isu publik dalam enam bulan belakangan. Dan, seperti dibiarkan.
    Komunitas bisnis perlu mencari cara sendiri untuk mengamankan bisnisnya. Berbagai anomali atau penyimpangan di tengah masyarakat itu seperti tak terselesaikan. Pelanggaran hukum seakan menjadi benar karena tiadanya kontrol.
    Mahfud pernah menyebut kebusukan telah melingkupi dunia hukum negeri ini. Padahal, jika membaca para filsuf seperti Aristoteles (384-322 SM) menulis: “hukum harus memerintah” dan “punggawa hukum pun harus tunduk kepada hukum”.
    Cicero (136-43 SM) menulis bahwa, “kita menghamba pada hukum agar kita dapat bebas”.
    Adapun John Locke (1690) mengatakan, “di mana hukum berakhir, di situ tirani bermula”. John Adams menyebutkan, “Pemerintahan hukum, bukan manusia”.
    Di negeri ini, hukum dipermainkan, aturan diubah sesuai selera kekuasaan. Di Indonesia, keruntuhan dunia hukum sudah nyata. Vonis hakim diperjualbelikan. Sebuah undang-undang bukan untuk keadilan, tapi untuk kepentingan lain untuk termasuk “state reclaiming”.
    Produk hukum ada ongkosnya. Itulah menjelaskan mengapa UU Perampasan Aset tak mau dibahas DPR. Namun, semuanya memilih diam.
    Dalam konteks ketidakberdayaan infrastruktur politik atau tiadanya krisis oposisi institusional, peran Mahfud menjadi penting.
    Dalam sistem presidensial multipartai seperti Indonesia, oposisi kelembagaan (DPR, partai politik) dan ormas, tak berdaya karena terlanjur dikooptasi kekuasaan atau ikut menikmati madu kekuasaan.
    DPR dan partai-partai kehilangan fungsi pengawasan karena ikut dalam lingkar kekuasaan (
    executive aggrandizement
    ). Dalam konteks seperti itu, muncul ruang kosong untuk oposisi yang tidak dilembagakan.
    Tokoh seperti Mahfud —yang punya kredibilitas hukum, rekam jejak reformasi, dan otoritas moral—dapat muncul sebagai aktor soliter yang melakukan koreksi terhadap kekuasaan.
    Ia tidak mewakili partai, bukan pemimpin oposisi formal, tapi suaranya bisa menggugah publik dan menggoncang kenyaman kekuasaan.
    Jika mengikuti pemikiran Pierre Bourdieu, Mahfud memiliki modal sosial, modal budaya, modal simbolik. Namun, masih kurang di modal ekonomi dan modal politik karena tidak dalam posisi memegang jabatan.
    Kaum intelegensia—Sukidi Mulyadi, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, Fathul Wahid, Sulistyowati Irianto, Yanuar Nugroho sekadar menyebut nama – yang masih berserak saatnya mengkonsolidasikan diri membuat peta jalan untuk memperbaiki negeri dan mengembankan “oposisi individual” menjadi “oposisi masyarakat sipil”.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jalan Pemakzulan Wapres Gibran Dibocorkan Pakar Hukum UGM, Dugaan Ijazah Palsu Mencuat

    Jalan Pemakzulan Wapres Gibran Dibocorkan Pakar Hukum UGM, Dugaan Ijazah Palsu Mencuat

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat setelah Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, membeberkan tiga kemungkinan dasar hukum yang bisa digunakan sebagai pintu masuk proses impeachment.

    Hal itu disinggung Zainal dalam diskusi yang digelar Kompas TV bertajuk ‘Forum Purnawirawan TNI Desak MPR Copot Wapres Gibran’ pada Senin (28/4/2025), kemarin.

    Zainal yang akrab disapa Uceng menilai, langkah awal bisa dimulai dari DPR jika dinilai terdapat pelanggaran konstitusi.

    “Saya kira lebih baik DPR memulainya dengan apa, misalnya silakan pilih, misalnya kalau Gibran dianggap tidak memenuhi syarat sebagai wakil presiden, kan barangkali sempat heboh-heboh soal ijazah, ya silahkan kalau memang ditemukan bukti yang kuat soal itu,” ujar Zainal dikutip pada Rabu (30/4/2025).

    Uceng menyebut, jalur kedua adalah jika terdapat unsur perbuatan tercela, meskipun dilakukan sebelum Gibran resmi menjabat sebagai wakil presiden.

    Ia menyinggung soal dugaan keterkaitan Gibran dengan akun media sosial fufufafa yang sempat ramai diperbincangkan karena memuat hinaan terhadap Prabowo Subianto dan keluarganya.

    “Perbuatan tercela, nah silakan tuh, apakah konteks fufufafanya kemarin itu betulkah dia yang melakukan dan sebagainya silakan itu yang dielaborasi,” katanya.

    Sementara itu, jalur ketiga adalah terkait potensi pelanggaran hukum pidana.

    Uceng menyebut laporan yang pernah disampaikan Ubaidilah Badrun ke KPK sebagai salah satu contoh yang bisa ditindaklanjuti, jika ditemukan bukti kuat.

  • Tegaskan Syarat Pemakzulan Gibran Terpenuhi, Pakar Hukum Ungkap Realitas Politik

    Zainal Arifin Mochtar Soroti Wawancara Prabowo: Seolah Punya Fantasi Sendiri Terhadap Realitas

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar, mengapresiasi langkah Presiden terpilih Prabowo Subianto yang membuka ruang wawancara dengan sejumlah pemimpin redaksi media nasional di kediamannya di Hambalang, Bogor.

    Dikatakan Zainal, memberikan ruang wawancara terbuka tanpa potongan dan tanpa pengarahan pertanyaan adalah bentuk keterbukaan yang patut diapresiasi.

    “Memberi kesempatan wawancara tanpa potongan dan pertanyaan arahan adalah hal yang bagus. Harus dipuji,” ujar Zainal di X @zainalamochtar (8/4/2025).

    Namun, meskipun menghargai format wawancara tersebut, Zainal mengaku merasa khawatir setelah menyimak sejumlah jawaban yang disampaikan Prabowo dalam pertemuan itu.

    “Tapi melihat beberapa jawaban, maap, pantesan kita khawatir dengan negara ini,” tandasnya.

    Zainal mengkritik bahwa beberapa tanggapan yang disampaikan Prabowo terkesan tidak selaras dengan kondisi nyata di lapangan.

    “Kayak punya fantasi sendiri terhadap realitas,” tegasnya.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menerima kunjungan tujuh pemimpin redaksi media besar nasional di kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada Minggu (6/4/2025).

    Momen tersebut turut ia bagikan melalui akun Instagram resminya.

    Dalam pertemuan tersebut, Prabowo berdiskusi dengan para jurnalis senior mengenai sejumlah isu aktual yang tengah menjadi perhatian publik.

    Beberapa topik yang diangkat termasuk penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) serta polemik terkait Undang-Undang TNI.

    Para tokoh media yang hadir dalam pertemuan itu antara lain Alfito Deannova Gintings (Pemimpin Redaksi Detikcom), Lalu Mara Satriawangsa (tvOne), Uni Lubis (IDN Times), Najwa Shihab (Founder Narasi), Sutta Dharmasaputra (Kompas), Retno Pinasti (SCTV-Indosiar), dan Valerina Daniel (TVRI).

  • TNI Bakal Lakukan Operasi di Ruang Siber, Zainal Arifin Muchtar Soal UU TNI: Masih Percaya Tak Ada Relasinya dengan Kebebasan Berekspresi?

    TNI Bakal Lakukan Operasi di Ruang Siber, Zainal Arifin Muchtar Soal UU TNI: Masih Percaya Tak Ada Relasinya dengan Kebebasan Berekspresi?

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Militer bakal melakukan operasi informasi di ruang siber. Itu setelah revisi Undang-Undang (UU) TNI terbaru.

    Hal tersebut kini menjadi sorotan. Salah satunya datang dari Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar.

    Ia mengajukan pertanyaan spekulasi. Bahwa apakah revisi UU TNI benar-benar tak berpengaruh ke ruang sipil.

    “Masih percaya tak ada relasinya dengan ruang sipil dan kebebasan berekspresi?” kata Zainal dikutip dari unggahannya di X, Rabu (26/3/2025).

    Dosen Universitas Gadjah Mada itu menyoal operasi tersebut. Menurutnya bisa saja menjadi hal yang diartikan semaunya.

    Pasalnya, pihak TNI mengatakan operasi siber menyasar pihak yang mengancam kedaulatan bangsa.

    “Bayangkan jika ancaman kedaulatan bangsa itu diterjemahkan serampangan? Camkan, kisanak,” terangnya.

    Sebelumnya, revisi UU TNI menuai penolakan dari masyarakat sipil. Karena dianggap akan mengembalikan dwifungsi TNI.

    Namun terjadi pro kontra. Pemerintah menyebut revisi UU TNI tidak akan mengembalikan dwifungsi TNI seperti saat orde baru.
    (Arya/Fajar)

  • PDIP Larang Kader Ikut Retret, Zainal Arifin: Kenapa Heboh?

    PDIP Larang Kader Ikut Retret, Zainal Arifin: Kenapa Heboh?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar, menyoroti larangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terhadap kadernya untuk mengikuti retret di Magelang.

    Zainal mempertanyakan esensi di balik larangan tersebut dan dampaknya bagi partai.

    “Dibalik larangan ke retreat, pertanyaannya apa gunanya?,” ujar Zainal di X @zainalamochtar (23/2/2025).

    Ia menilai bahwa PDIP saat ini tidak bersikap oposisi terhadap Presiden Prabowo Subianto, melainkan hanya terhadap Jokowi dan anaknya, Gibran Rakabuming Raka.

    “Kan, partai merah gak oposisi ke Prabowo, tapi hanya ke Jokowi dan anaknya,” cetusnya.

    Zainal juga mempertanyakan apakah ada sanksi bagi kader yang tidak mengikuti retret tersebut.

    “Sebaliknya, emang ada hukuman gak ikut retreat? Kan gak ada juga,” Zainal menuturkan.

    Ia menegaskan bahwa ketidakhadiran dalam retret tidak serta-merta mencerminkan ketidaksamaan visi dengan rakyat.

    “Emangnya gak ikut retreat pertanda gak ikut rakyat? Kan gak juga. So, kenapa heboh?,” kuncinya.

    Sebelumnya, Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mengeluarkan instruksi tegas kepada seluruh kadernya melalui surat Nomor 7294/IN/DPP/II/2025 yang diterbitkan pada Kamis (20/2/2025).

    Instruksi ini berisi arahan strategis dalam menyikapi dinamika politik nasional yang semakin memanas.

    Dalam surat tersebut, Megawati memerintahkan dua hal utama.

    Pertama, seluruh kader yang menjabat sebagai kepala daerah maupun wakil kepala daerah dari PDIP diminta untuk tidak menghadiri retreat di Magelang bersama Presiden Prabowo Subianto.