Tag: Zaenur Rohman

  • Prabowo Diminta Hati-hati Lunasi Utang Kereta Cepat, Bisa Jadi Senjata Makan Tuan

    Prabowo Diminta Hati-hati Lunasi Utang Kereta Cepat, Bisa Jadi Senjata Makan Tuan

    GELORA.CO  – Pegiat Antikorupsi Zaenur Rohman memperingatkan Presiden RI Prabowo Subianto untuk hati-hati dalam penyelesaian masalah utang kereta cepat Indonesia-China (KCIC).

    Pasalnya, penyelesaian utang kereta cepat Whoosh menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa jadi senjata makan tuan untuk Prabowo Subianto. 

    Pernyataan ini disampaikan Zaenur usai Prabowo Subianto mengaku siap bertanggung jawab dalam polemik utang kereta cepat yang dibuat di era Jokowi. 

    Prabowo sendiri tidak menyebut bagaimana skema pelunasan utang kereta cepat. 

    Kepala Negara RI hanya meminta doa masyarakat untuk memberantas korupsi sehingga uang koruptor bisa dijadikan biaya pembangunan fasilitas publik.

    Namun demikian Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman meminta Prabowo berhati-hati.

    Dalam dialog di program Kompas Petang, Kompas TV, Selasa (4/11/2025), Zaenur menegaskan bahwa langkah tersebut berpotensi menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.

    Bahkan Prabowo bisa dijerat dengan tindak pidana korupsi apabila nekat mengubah pembayaran skema Business to Business (B2B) menjadi menggunakan APBN.

    Apabila rezim berganti, hal itu bisa menjadi senjata makan tuan untuk Prabowo.

    “Rencana untuk menggunakan APBN membayar utang korporasi B2B itu punya risiko hukum. Hati-hati rezim kalau sudah berganti nanti bisa dijerat dengan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu harus hati-hati pemerintah jangan sembrono, jangan sembarangan,” ujar Zaenur seperti dimuat Surya.co.id.

    Ia menilai, pemerintah semestinya tidak gegabah mengambil keputusan sebelum melakukan kajian hukum mendalam.

    Menurutnya, legal due diligence perlu dilakukan untuk memastikan apakah penggunaan APBN dalam transaksi antar-badan usaha (B2B) itu sah secara aturan.

    Legal due diligence adalah proses pemeriksaan menyeluruh aspek hukum suatu perusahaan atau objek transaksi untuk mengidentifikasi dan menilai risiko hukum yang mungkin timbul, serta mengevaluasi potensi aset dan ekonomi dari transaksi tersebut. 

    Proses ini penting sebelum melakukan transaksi besar seperti merger, akuisisi, atau investasi untuk memastikan perusahaan memahami potensi risiko dan mengambil keputusan berdasarkan data yang valid.

    Namun apabila pembayaran kereta cepat tetap dipaksakan menggunakan APBN, maka hal itu tentu akan menjadi beban rakyat dimana sedari awal konsep kereta cepat sudah disepakati B2B.

    “Lakukan legal due diligence terlebih dahulu untuk menilai apakah B2B itu bisa dibayar oleh APBN. Kalau secara langsung saya lihat tidak bisa. Secara tidak langsung melalui PMN, melalui skema-skema lain, melalui penugasan barangkali bisa,”

    “Tetapi apapun itu, itu merupakan beban bagi rakyat yang tadinya dipikirkan sebagai sebuah mekanisme bisnis murni berubah menjadi APBN, gitu.”

    Ia juga menegaskan kembali, jika pemerintah tetap memaksakan pembayaran menggunakan dana negara, maka risiko pidana korupsi sangat mungkin muncul.

    “Ini kalau dipaksakan dibayar pakai APBN sekali lagi ini ada risiko hukum,” tambahnya.

    Selain persoalan hukum, Zaenur juga menyoroti pentingnya audit menyeluruh terhadap proyek kereta cepat Whoosh, mulai dari tahap perencanaan hingga pembiayaan.

    Audit tersebut diperlukan untuk memastikan tidak ada penyimpangan dalam proyek yang telah menelan dana besar itu.

    Sehingga masyarakat bisa tahu apakah proyek tersebut sudah berjalan baik atau tidak.

    “Kita tidak langsung menuduh ini ada korupsi, tapi memang itu semua baru akan terjawab kalau ada audit sehingga nanti kelihatan apakah persoalannya perencanaan yang buruk atau proses pembangunan yang buruk atau ada markup atau seperti apa,” jelasnya

  • Gaji Hakim Naik 280 Persen, Pukat UGM: Bisa Tekan “Corruption by need”

    Gaji Hakim Naik 280 Persen, Pukat UGM: Bisa Tekan “Corruption by need”

    Gaji Hakim Naik 280 Persen, Pukat UGM: Bisa Tekan “Corruption by need”
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) mendukung langkah pemerintah dalam menaikkan gaji hakim di Indonesia.
    Peneliti Pukat
    UGM
    Zaenur Rohman mengatakan,
    kenaikan gaji hakim
    ini bisa menjadi upaya untuk menekan
    korupsi
    yang dilatarbelakangi oleh kebutuhan ekonomi atau
    corruption by need
    .
    “Dengan dinaikkannya gaji hakim itu maka risiko untuk
    corruption by need
    itu mudah mendapat menjadi lebih rendah,” kata Zaenur saat dihubungi
    Kompas.com
    , Kamis (12/6/2025).
    Zaenur menilai, peningkatan kesejahteraan hakim dapat menekan korupsi dengan alasan kebutuhan ekonomi. Sebab, kata dia, keterbatasan keuangan yang dialami hakim dapat membuat mereka tergoda dengan suap dan gratifikasi.
    “Misalnya gaji hakim terbatas tetapi hakimnya tinggal di area remote yang memiliki tingkat kemahalan harga yang jauh lebih tinggi, sehingga ada kebutuhan nyata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujarnya.
    Meski demikian, Zaenur mengatakan, peningkatan gaji hakim tidak akan efektif mencegah korupsi yang dilatarbelakangi dari keserakahan atau
    corruption by greed
    .
    Dia menyinggung sejumlah hakim senior yang tetap terseret kasus suap meski memiliki penghasilan tinggi.
    “Itu masih menerima suap bahkan untuk hakim agung. Sehingga itu menunjukkan bahwa untuk yang corruption by greed itu tidak bisa diselesaikan dengan meningkatkan kesejahteraan. Butuh solusi lainnya, tidak sekadar menaikkan gaji hakim,” tuturnya.
    Berdasarkan hal tersebut, Zaenur menyarankan reformasi sistem manajemen sumber daya manusia di lembaga peradilan, agar hanya hakim-hakim berintegritas yang dapat menduduki posisi pimpinan.
    Selain itu, pengawasan dan sanksi tegas juga perlu diperkuat.
    “Jadi memang ini (kenaikan gaji) adalah satu langkah baik, langkah penting, langkah perlu tetapi tidak menjadi silver bullet yang akan menyelesaikan semua masalah korupsi, tidak, masih dibutuhkan langkah-langkah lain,” ucap dia.
    Sebelumnya, Presiden RI
    Prabowo Subianto
    mengumumkan kenaikan gaji hakim di Indonesia.
    Prabowo menyatakan gaji para hakim akan naik secara bervariasi sesuai dengan golongannya.
    “Saya Prabowo Subianto, Presiden Indonesia ke-8, hari ini mengumumkan bahwa gaji-gaji hakim akan dinaikkan demi kesejahteraan para hakim dengan tingkat kenaikan bervariasi sesuai golongan,” kata Prabowo di acara pengukuhan calon hakim di Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Kamis (12/6/2025).
    Prabowo mengungkapkan bahwa kenaikan gaji paling tinggi akan mencapai angka 280 persen.
    Ia menyebutkan, kenaikan gaji tertinggi itu akan diberikan kepada hakim yang paling junior.
    “Di mana kenaikan tertinggi mencapai 280 persen dan golongan yang naik tertinggi adalah golongan junior, paling bawah,” kata Prabowo disambut tepuk tangan meriah.
    Prabowo pun menegaskan semua hakim akan mendapat kenaikan gaji secara signifikan. Namun, ia tak merincikan detilnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Direktur JAK TV Dijerat Pasal Perintangan Penyidikan, Kejagung Harus Buktikan Penegakan Hukum Terganggu
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 April 2025

    Direktur JAK TV Dijerat Pasal Perintangan Penyidikan, Kejagung Harus Buktikan Penegakan Hukum Terganggu Nasional 23 April 2025

    Direktur JAK TV Dijerat Pasal Perintangan Penyidikan, Kejagung Harus Buktikan Penegakan Hukum Terganggu
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) Zaenur Rohman menyebut Kejaksaan Agung (
    Kejagung
    ) harus memiliki bukti yang bisa menunjukkan adanya gangguan terhadap proses penegakan hukum karena menggunakan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk menjerat Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB).
    Sebab, dalam pandangannya, pengunaan
    Pasal 21 UU Tipikor
    tentang
    perintangan penyidikan
    atau
    obstruction of justice
    , kurang tepat.
    “Yang menjadi perdebatan adalah apakah ketika seorang tersangka itu berusaha untuk memengaruhi pendapat publik dengan melakukan upaya-upaya untuk menyebarkan informasi kasus yang sedang dialaminya, itu kemudian bisa berujung pada
    obstruction of justice
    ? Saya lihat belum tentu,” kata Zaenur kepada
    Kompas.com
    , Rabu (23/4/2025).
    Bahkan, menurut Zaenur, belum tentu Pasal 21 UU Tipikor tepat dipakai jika ada tersangka menggunakan uangnya untuk membuat media memuat berita dengan tujuan menguntungkan dirinya dan mendeskriditkan proses penegakan hukum.
    Pasalnya, Zaenur mengatakan, perbuatan bisa dikatakan
    obstruction of justice
    jika disengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan proses penegakan hukum di tahap penyidikan, penuntutan hingga persidangan.
    “Saya masih bertanya-tanya, apakah kalau sebuah berita negatif itu bisa berdampak misalnya, pada gagalnya atau terganggungnya, atau tercegahnya upaya penyidikan itu hingga tuntas? Saya melihat ini masih
    debatable
    ya. Saya melihat ini kok agak jauh ketika yang seperti ini kemudian dijerat menggunakan (pasal)
    obstruction of justice
    ,” ujarnya.
    Zanur lantas mencontohkan kasus yang mungkin bisa dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor, yakni jika seorang tersangka membayar media atau jurnalis untuk terus menerus menyudutkan seorang saksi. Padahal, sanksi itu merupakan saksi yang memberatkan untuk tersangka.
    Kemudian, akibat pemberitaan masif tersebut, saksi yang memberatkan itu menjadi enggan bahkan takut untuk memberikan kesaksian.
    “Sehingga, saksi itu menjadi tidak kooperatif dan kemudian penyidik mengalami hambatan karena saksinya dibunuh karakternya oleh media dengan sedemikian rupa hasil bayaran oleh tersangka. Menurut saya, mungkin itu bisa masuk pada
    obstruction of justice
    ,” katanya.
    “Untuk kasus ini, saya katakan, kecuali kejaksaan punya bukti yang menunjukkan adanya gangguan terhadap aspek penegakan hukumnya melalui jalur pemberitaan,” ujar Zaenur.
    “Seharusnya kan yang menjadi poin
    obstruction of justice
     adalah merusak alat bukti, kemudian membantu melarikan diri, membantu merusak alat bukti. Tapi, kalau membangun opini media dengan cara membeli awak media atau pejabat media, menurut saya itu belum tentu merupakan
    obstruction of justice
    ,” katanya lagi.
    Menurut Zaenur, penting bagi Kejagung memperlihatkan bukti tersebut karena bukan hanya mengacam kebebasan pers tetapi juga kebebasan berpendapat.
    “Nanti bagaimana dengan kritik yang bersifat murni terhadap penegakan hukum. Bagaimana dengan gugatan-gugatan para pakar, para ahli, atau LSM terhadap proses penegakan hukum yang misalnya dipertanyakan. Berisiko kalau Pasal 21 itu tidak digunakan dengan ketat,” ujarnya.
    Pasal 21 UU Tipikor berbunyi, ”
    Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau 33 denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
    ”.
    Sebagaimana diberitakan, Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB) disangkakan dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah undang-undang nomor 21 tahun 2021 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
    Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar menyebut, Tian diduga membuat berita-berita berdasarkan pesanan dari Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS) selaku advokat para tersangka maupun terdakwa kasus-kasus yang diusut oleh Kejagung.
    “Tersangka MS dan JS mengorder tersangka TB untuk membuat berita-berita negatif dan konten-konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan terkait dengan penanganan perkara
    a quo
    , baik di penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan,” ujar Qohar di Kantor Kejagung, Selasa (22/4/2025) dini hari.
    Untuk hal itu, Tian diduga menerima uang sebesar Rp 478.500.000 yang masuk kantong pribadi setelah memuat konten-konten negatif terkait Kejagung. Perbuatan Tian itu dilakukan tanpa sepengetahuan jajaran JAK TV.
    “Sementara yang saat ini prosesnya sedang berlangsung di pengadilan dengan biaya sebesar Rp 478.500.000 yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan JS kepada TB,” kata Qohar.
    Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar dalam pernyataan terbarunya menegaskan bahwa perbuatan pidana yang disangkakan kepada Direktur Pemberitaan JAKTV, Tian Bahtiar, murni merupakan tindakan pribadi yang tidak berkaitan dengan aktivitas jurnalistik maupun institusi media tempatnya bekerja.
    “Perbuatan yang dipersangkakan kepada yang bersangkutan itu adalah perbuatan personal, yang tidak terkait dengan media. Itu tegas,” ujar Harli di Kejagung Jakarta, Selasa.
    Harli juga menegaskan bahwa yang menjadi perhatian Kejagung bukan soal pemberitaan, melainkan tindakan permufakatan jahat untuk merintangi proses hukum yang sedang berjalan.
    “Yang dipersoalkan oleh Kejaksaan bukan soal pemberitaan, karena kita tidak anti kritik,” kata Harli.
    “Tetapi yang dipersoalkan adalah tindak pidana permupatatan jahatnya antar pihak-pihak ini, sehingga melakukan perintangan terhadap proses hukum yang sedang berjalan,” ujarnya lagi.
    Lebih lanjut, Harli memastikan bahwa Kejagung menghormati otoritas Dewan Pers dalam menilai dan menangani persoalan etik atau dugaan pelanggaran dalam karya jurnalistik.
    “Ada rekayasa disitu, dan setelah mendapat penjelasan-penjelasan itu tentu terkait dengan penegakan hukum, Dewan Pers sangat menghormati itu,” katanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketika Pengawas Duduk di Meja Kuasa: Menggali Liang Kubur Integritas
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 April 2025

    Ketika Pengawas Duduk di Meja Kuasa: Menggali Liang Kubur Integritas Nasional 17 April 2025

    Ketika Pengawas Duduk di Meja Kuasa: Menggali Liang Kubur Integritas
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    DALAM
    lanskap pemberantasan korupsi di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) adalah simbol. Simbol harapan, integritas, dan perlawanan terhadap kebusukan kekuasaan.
    Namun, simbol hanya hidup jika ia terus dipelihara dalam jarak dari kekuasaan itu sendiri. Ketika jarak itu lenyap, maka runtuh pula kepercayaan publik yang menjadi pondasi utama keberadaan KPK.
    Masuknya Ketua KPK, Setyo Budiyanto, ke dalam struktur Komite Pengawasan dan Akuntabilitas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI
    Danantara
    ), adalah kabar buruk bagi demokrasi, lebih-lebih bagi agenda antikorupsi.
    Sebab di sanalah pengawas formal ikut duduk di meja kuasa, dan batas etik pun tergilas logika kekuasaan.
    KPK melalui juru bicaranya berusaha menjelaskan bahwa keikutsertaan Ketua KPK adalah representasi institusi, bukan pribadi.
    Penjelasan itu tampak normatif dan steril. Publik bukan sedang membahas legalitas formal, melainkan integritas moral.
    Dalam praktiknya, KPK tidak pernah lepas dari wajah-wajah yang memimpinnya. Ketua KPK adalah simbol politik etik institusional. Ketika simbol itu bergabung dalam struktur pengelola kekayaan negara, yang diawasi justru kehilangan pengawasan.
    Lebih runyam lagi, Ketua KPK tidak sendirian. Di dalam struktur itu juga duduk Ketua BPK, Kepala PPATK, Kepala BPKP, Jaksa Agung, dan Kapolri.
    Maka lengkap sudah: seluruh simpul utama pengawasan dan penegakan hukum negara duduk dalam satu struktur yang sama dengan objek yang semestinya mereka awasi.
    Inilah ironi pengawasan dalam rezim modern. Dalam bayang-bayang
    good governance
    , pengawasan dilebur ke dalam kuasa.
    Dalam balutan akuntabilitas, pengawas disulap jadi kolega. Sementara publik, yang selama ini menggantungkan harapan pada institusi seperti KPK, hanya bisa menyaksikan pergeseran ini dengan getir.
    Masuknya Ketua KPK dalam struktur Danantara bukan sekadar soal formalisme jabatan. Ini adalah titik balik dalam sejarah relasi antara lembaga pengawas dan kekuasaan yang diawasinya.
    KPK sejak awal didesain sebagai lembaga ad hoc, independen, dan bebas dari intervensi politik serta konflik kepentingan. Bahkan pada masa-masa awal pascareformasi, prinsip “jaga jarak dengan kekuasaan” menjadi mantra etik yang dijaga ketat.
    Namun kini, KPK bukan saja tak menjaga jarak, ia justru mengambil tempat di lingkaran dalam. Di sinilah letak soal utamanya: potensi konflik kepentingan tak lagi potensial, melainkan faktual.
    Kita tentu ingat bagaimana sejarah Indonesia mencatat upaya sistematis pelemahan KPK sejak revisi UU No. 30 Tahun 2002 menjadi UU No. 19 Tahun 2019.
    Perubahan itu telah menempatkan KPK sebagai bagian dari cabang eksekutif, tunduk pada presiden melalui Dewan Pengawas, dan terbelenggu dalam tata birokrasi yang kaku.
    Kini, setelah nyaris tak bertaji dalam penindakan, KPK malah aktif menempatkan diri dalam pusaran kekuasaan.
    Pertanyaannya sederhana: bagaimana publik dapat memercayai KPK mengusut kasus korupsi dalam tubuh Danantara jika ketua KPK adalah bagian dari struktur pengawas lembaga tersebut?
    Bagaimana prinsip kehati-hatian dan independensi ditegakkan jika batas antara pengawasan dan keterlibatan menjadi kabur?
    Tidak ada yang salah dengan tujuan Danantara: mengelola dana investasi negara untuk kemakmuran rakyat. Namun, pengelolaan dana jumbo selalu membuka celah korupsi.
    Dan ketika pengelolaan itu tidak diawasi secara independen, maka lubang hitam penyalahgunaan akan tumbuh lebar.
    Pengawasan tidak cukup dijalankan dari dalam. Ia butuh jarak, tegas, dan bebas dari komitmen loyalitas.
    Masuknya pengawas dalam ruang kuasa justru mengaburkan peran dan memperbesar ruang kompromi. Yang terjadi kemudian bukan pengawasan, melainkan normalisasi kekuasaan tanpa kritik.
    Zaenur Rohman, peneliti PUKAT UGM, menyebut bahwa struktur dan tugas Komite Pengawasan Danantara tidak transparan. Tidak ada kejelasan soal bagaimana keputusan dibuat, bagaimana independensi dijaga, dan bagaimana mekanisme koreksi internal dibentuk.
    Artinya, keterlibatan KPK dalam struktur itu bukan hanya berisiko secara etik, tetapi juga secara prosedural dan substantif.
    Dalam konteks itu, KPK tak lagi bisa berdalih. Ia tak bisa berlindung di balik retorika representasi kelembagaan, karena sesungguhnya ia tengah menggali liang kubur bagi integritasnya sendiri.
    Dalam bahasa yang lebih keras, publik bisa saja menyimpulkan: KPK tak lagi menjadi bagian dari solusi, melainkan bagian dari sistem yang hendak dipertahankan kekuasaannya.
    Publik tentu tak berharap KPK menjadi musuh negara. Namun, yang diharapkan adalah KPK tetap menjadi musuh korupsi.
    Untuk itu, ia harus menjaga jarak dari kekuasaan, sebab kekuasaanlah ruang paling rawan bagi praktik korupsi. Ketika lembaga antikorupsi justru memeluk kekuasaan, maka tak ada lagi yang menjaga pagar dari dalam.
    Kita sedang menyaksikan pergeseran besar dalam peta etika kelembagaan. KPK tidak lagi berdiri sebagai institusi yang merepresentasikan keberanian moral dalam melawan korupsi.
    Ia kini lebih mirip seperti lembaga birokratis yang jinak, mengikuti irama kekuasaan yang sedang dominan.
    Masyarakat sipil harus bersuara. Lembaga pengawas tidak boleh larut dalam sistem yang diawasi.
    Pemisahan peran bukan soal ego institusional, tapi soal akuntabilitas demokratis. KPK harus segera menarik diri dari struktur Danantara jika ingin memulihkan kembali kepercayaan publik.
    Kita tak bisa terus-menerus membenarkan langkah keliru dengan dalih formalitas hukum. Etika publik adalah pijakan utama dalam pemberantasan korupsi. Ia tak bisa dinegosiasikan, apalagi dikompromikan demi kenyamanan politik atau keterlibatan struktural.
    Kini, saat pengawas duduk di meja kuasa, publik mesti bertanya: siapa yang akan mengawasi pengawas? Siapa yang akan menegakkan etika, jika institusi penjaga etika justru memilih jadi bagian dari kuasa?
    KPK bisa saja bertahan secara legal. Tapi tanpa legitimasi moral, keberadaannya hanya akan menjadi simbol kosong.
    Kita tak butuh KPK yang sekadar ada, kita butuh KPK yang bekerja dan menjaga jarak. Sebab hanya dengan jarak, pengawasan bisa tajam. Hanya dengan integritas, kepercayaan bisa tumbuh.
    Dan hanya dengan kepercayaan publik, KPK bisa kembali jadi harapan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Masuk Kepengurusan BPI Danantara, Setara Institute Pertanyakan Independensi Lembaga Antirasuah – Halaman all

    KPK Masuk Kepengurusan BPI Danantara, Setara Institute Pertanyakan Independensi Lembaga Antirasuah – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Setara Institute mempertanyakan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masuk dalam kepengurusan tim Komite Pengawasan dan Akuntabilitas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

    Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengatakan, secara normatif, masuknya KPK sebagai pengawas Danantara merupakan sesuatu yang baik.

    Ia menilai, penyelenggaraan negara dalam tata pemerintahan demokratis pada berbagai aspeknya harus menjadi objek pengawasan.

    “Tidak boleh ada penyelenggaraan negara yang berjalan tanpa pengawasan. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Begitulah bunyi adagium Acton,” kata Halili, saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (9/4/2025).

    Menurutnya, kekuasaan itu cenderung korup, jika kekuasaaan itu mutlak, maka akan korup secara mutlak pula.

    Terkait hal ini, Halili kemudian mempertanyakan independensi lembaga antirasuah itu setelah masuk dalam kepengurusan BPI Danantara.

    “Hanya, apakah KPK sepenuhnya independen dari kekuasaan dalam melaksanakan fungsi pengawasan di Danantara, itu masalahnya,” ucap Halili.

    Ia mengatakan, apabila KPK hanya dilibatkan sebagai selubung politik bagi sentimen negatif di ruang publik yang mengemuka berkaitan dengan Danantara, tidak ada yang bisa diharapkan dari pelibatan KPK.

    Lebih lanjut, menurutnya, butuh waktu untuk KPK bisa membuktikan integritasnya dalam hal pengawasan di Danantara.

    “Butuh pembuktian dari KPK soal integritas mereka dalam hal independensi dan profesionalitas keterlibatan mereka dalam pengawasan tata kelola Danantara,” imbuh Halili.

    Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan tidak akan ada konflik kepentingan meskipun mereka terlibat dalam tim Komite Pengawasan dan Akuntabilitas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

    Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menegaskan bahwa KPK akan tetap menjaga objektivitas dalam setiap keputusan yang diambil.

    “KPK menegaskan bahwa tidak akan ada konflik kepentingan dalam kepengurusan KPK di Danantara. KPK yang terlibat dalam komite pengawasan dan akuntabilitas Danantara akan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil tidak mempengaruhi objektivitas KPK dalam menjalankan tugasnya,” kata Tessa dalam keterangannya, Senin (7/4/2025).

    Menurutnya, meskipun KPK menjadi bagian dari pengawasan Danantara, lembaga antikorupsi ini tetap berkomitmen untuk bertindak profesional dan transparan, terutama jika terjadi permasalahan hukum.

    Tessa juga menjelaskan bahwa penunjukan KPK dalam struktur Danantara adalah untuk lembaga, bukan individu, sehingga keputusan yang diambil selalu berdasarkan pertimbangan organisasi.

    “Penunjukan KPK sebagai salah satu tim Komite Pengawasan dan Akuntabilitas BPI Danantara tersebut adalah kepada KPK sebagai institusi, bukan merujuk kepada kapasitas personal, dalam hal ini Ketua KPK Setyo Budiyanto,” katanya.

    Meskipun banyak yang mengkritik langkah ini, termasuk peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, yang berpendapat bahwa KPK seharusnya tetap berada di luar struktur Danantara untuk menjaga independensi, Tessa menegaskan bahwa KPK tetap akan menjaga standar tata kelola yang baik dan mengedepankan akuntabilitas.

    Dengan bergabung dalam Komite Pengawasan dan Akuntabilitas, KPK berharap dapat berkolaborasi dengan lembaga-lembaga penting lainnya, seperti PPATK, BPK, BPKP, Polri, dan Kejaksaan Agung, untuk meningkatkan pengawasan terhadap BPI Danantara secara profesional.

    “KPK akan terus mengevaluasi efektivitas keterlibatan KPK, untuk langkah-langkah perbaikan selanjutnya,” kata Tessa.

    Sebagai informasi, Presiden Prabowo Subianto resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pada 24 Februari 2025.

    Danantara bertugas mengelola dividen BUMN dan langsung bertanggung jawab kepada presiden. Badan ini memiliki Komite Pengawasan dan Akuntabilitas yang terdiri dari berbagai lembaga penting, termasuk KPK, PPATK, BPKP, BPK, Kapolri, dan Kejaksaan Agung.

    Namun, keputusan memasukkan KPK dalam kepengurusan Danantara mendapat kritik dari Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada. Zaenur berpendapat bahwa KPK seharusnya tetap berada di luar struktur Danantara sebagai lembaga independen untuk menghindari potensi konflik kepentingan.

    Dia mengkhawatirkan, jika terjadi kasus korupsi, keberadaan KPK dalam struktur Danantara akan menambah masalah baru.
     “Kalau suatu saat terjadi tindak pidana korupsi, padahal dia menjadi bagian dari Danantara itu sendiri, mau bagaimana? Itu potensi kepentingan yang sangat jelas,” kata Zaenur.

  • Langkah-langkah Prabowo Memberantas Korupsi, Sudah Tepat?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 April 2025

    Langkah-langkah Prabowo Memberantas Korupsi, Sudah Tepat? Nasional 9 April 2025

    Langkah-langkah Prabowo Memberantas Korupsi, Sudah Tepat?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden
    Prabowo
    Subianto berulang kali menegaskan komitmennya dalam pemberantasan
    korupsi
    di Tanah Air.
    Baru-baru ini, Prabowo mengaku geram dengan kasus korupsi yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan.
    Dia pin mendukung beberapa langkah untuk membuat koruptor jera. Salah satunya adalah penyitaan aset koruptor.
    Hal tersebut disampaikannya dalam pertemuan dengan enam pemimpin redaksi di kediaman pribadinya, di Padepokan Garuda Yaksa Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (6/4/2025).
    “Ada soal memiskinkan (koruptor), saya berpendapat begini. Makanya, saya mau negosiasi, kembalikan uang yang kau curi. Tetapi, memang susah, ya kan? Karena, secara sifat, manusia enggak mau mengaku,” ujar Prabowo, dilansir dari
    Kompas.id
    , Senin (7/4/2025).
    “Jadi, pertama harus dikasih kesempatan. Apa kerugian negara yang dia timbulkan harus dikembalikan. Maka, aset-aset, pantas kalau negara itu menyita,” katanya lagi.
    Kendati demikian, menurut Prabowo, keadilan untuk anak dan istri koruptor tetap harus diperhatikan.
    Sebab, Prabowo mengatakan, dalam aset yang dimiliki seorang koruptor, bisa saja terdapat harta yang dimilikinya sebelum melakukan tindak pidana korupsi.
    “Nanti para ahli hukum suruh bahas. Apakah adil anaknya menderita juga? Kan, dosa seorang tua tidak boleh diturunkan ke anaknya. Tetapi, ini saya minta masukan dari ahli-ahli hukum,” ujar Prabowo.
    Di sisi lain, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, rancangan undang-undang (RUU) Perampasan Aset resmi dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) untuk periode 2025-2029.
    “Pemerintah itu komit mengusulkan, itu ada di daftar 40 RUU yang kami ajukan dalam prolegnas 2025-2029, dan RUU Perampasan Aset itu ada di urutan kelima,” ujar Supratman dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Senin (18/11/2024).
    Langkah berikutnya, Prabowo akan menaikkan gaji semua hakim secara signifikan agar mereka tidak dapat disuap.
    Dalam waktu dekat, dia mengatakan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi akan mendiskusikan hal tersebut.
    “Hakim harus dibikin begitu terhormat dan begitu yakin sehingga dia tidak bisa disuap. Saya juga beri petunjuk agar hakim punya rumah dinas yang layak. Ini sedang dikerjakan Menteri Perumahan. Kalau tidak salah, hakim kita di seluruh Indonesia tidak sampai 10.000 orang,” ujar Prabowo.
    Dalam kesempatan lain, Prabowo sempat meminta para hakim menghukum koruptor seberat-beratnya jika sudah jelas dan nyata merugikan negara.
    “Saya mohon ya kalau sudah jelas melanggar, jelas mengakibatkan kerugian triliunan, ya semua unsur lah, terutama juga hakim-hakim, vonisnya jangan terlalu ringan,” kata Prabowo di Gedung Bappenas, Menteng, Jakarta Pusat pada 30 Desember 2024.
    Pada momen tersebut, Prabowo bertanya langkah yang diambil Kejaksaan Agung atas ringannya vonis hakim terhadap salah satu koruptor.
    Kepala Negara tidak menyebutkan secara spesifik koruptor yang dimaksud, tetapi publik baru-baru ini dihebohkan dengan vonis ringan terhadap Harvey Moeis.
    Kejaksaan Agung pun akan melakukan banding atas vonis hakim.
    “Tolong menteri pemasyarakatan ya, Jaksa Agung. Naik banding enggak? Naik banding. Vonisnya ya 50 tahun begitu kira-kira, ya,” ujar Prabowo.
    Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menilai bahwa
    Presiden Prabowo
    belum memahami secara menyeluruh akar persoalan korupsi di Indonesia.
    Menurut Zaenur, pernyataan Prabowo dalam wawancara dengan enam pemimpin redaksi itu menunjukkan bahwa belum memiliki peta jalan yang jelas untuk
    pemberantasan korupsi
    dalam lima tahun masa jabatannya.
    “Dari jawaban-jawabannya, saya melihat Presiden Prabowo tidak benar-benar paham akar masalah korupsi dan tidak punya rencana yang jelas bagaimana selama lima tahun pemerintahannya akan melakukan pemberantasan korupsi,” kata Zaenur, Senin (8/4/2025).
    Zaenur menilai, langkah-langkah yang disampaikan Presiden Prabowo belum menjawab tantangan utama dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
    Salah satu yang disorot adalah rencana Prabowo untuk menaikkan gaji dan memberikan rumah dinas bagi para hakim agar mereka tidak mudah disuap.
    Selain itu, Prabowo juga tampak ragu dalam mendukung upaya pemiskinan koruptor melalui pengesahan UU Perampasan Aset.
    Zaenur juga menyoroti soal dorongan Prabowo kepada jaksa agar mengajukan banding terhadap vonis ringan dalam perkara korupsi.
    Menurut dia, penyataan Kepala Negara dalam wawancara tersebut tidak memperlihatkan adanya arah yang jelas dalam pemberantasan korupsi selama lima tahun ke depan.
    “Ini tentu cukup meresahkan. Karena apa yang disampaikan beliau sebagai langkah-langkah pemberantasan korupsi itu bukan merupakan jawaban atas permasalahan-permasalahan utama korupsi di Indonesia,” ujar Zaenur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Pastikan Tak Ada Konflik Kepentingan Meski Masuk dalam Kepengurusan BPI Danantara – Halaman all

    KPK Pastikan Tak Ada Konflik Kepentingan Meski Masuk dalam Kepengurusan BPI Danantara – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan tidak akan ada konflik kepentingan meskipun mereka terlibat dalam tim Komite Pengawasan dan Akuntabilitas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

    Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menegaskan bahwa KPK akan tetap menjaga objektivitas dalam setiap keputusan yang diambil.

    “KPK menegaskan bahwa tidak akan ada konflik kepentingan dalam kepengurusan KPK di Danantara. KPK yang terlibat dalam komite pengawasan dan akuntabilitas Danantara akan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil tidak mempengaruhi objektivitas KPK dalam menjalankan tugasnya,” kata Tessa dalam keterangannya, Senin (7/4/2025).

    Menurutnya, meskipun KPK menjadi bagian dari pengawasan Danantara, lembaga antikorupsi ini tetap berkomitmen untuk bertindak profesional dan transparan, terutama jika terjadi permasalahan hukum.

    Tessa juga menjelaskan bahwa penunjukan KPK dalam struktur Danantara adalah untuk lembaga, bukan individu, sehingga keputusan yang diambil selalu berdasarkan pertimbangan organisasi.

    “Penunjukan KPK sebagai salah satu tim Komite Pengawasan dan Akuntabilitas BPI Danantara tersebut adalah kepada KPK sebagai institusi, bukan merujuk kepada kapasitas personal, dalam hal ini Ketua KPK Setyo Budiyanto,” katanya.

    Meskipun banyak yang mengkritik langkah ini, termasuk peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, yang berpendapat bahwa KPK seharusnya tetap berada di luar struktur Danantara untuk menjaga independensi, Tessa menegaskan bahwa KPK tetap akan menjaga standar tata kelola yang baik dan mengedepankan akuntabilitas.

    Dengan bergabung dalam Komite Pengawasan dan Akuntabilitas, KPK berharap dapat berkolaborasi dengan lembaga-lembaga penting lainnya, seperti PPATK, BPK, BPKP, Polri, dan Kejaksaan Agung, untuk meningkatkan pengawasan terhadap BPI Danantara secara profesional.

    “KPK akan terus mengevaluasi efektivitas keterlibatan KPK, untuk langkah-langkah perbaikan selanjutnya,” kata Tessa.

    Presiden Prabowo Subianto resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pada 24 Februari 2025.

    Danantara bertugas mengelola dividen BUMN dan langsung bertanggung jawab kepada presiden. Badan ini memiliki Komite Pengawasan dan Akuntabilitas yang terdiri dari berbagai lembaga penting, termasuk KPK, PPATK, BPKP, BPK, Kapolri, dan Kejaksaan Agung.

    Namun, keputusan memasukkan KPK dalam kepengurusan Danantara mendapat kritik dari Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada. Zaenur berpendapat bahwa KPK seharusnya tetap berada di luar struktur Danantara sebagai lembaga independen untuk menghindari potensi konflik kepentingan.

    Dia mengkhawatirkan, jika terjadi kasus korupsi, keberadaan KPK dalam struktur Danantara akan menambah masalah baru.
     
    “Kalau suatu saat terjadi tindak pidana korupsi, padahal dia menjadi bagian dari Danantara itu sendiri, mau bagaimana? Itu potensi kepentingan yang sangat jelas,” kata Zaenur.

  • KPK Disarankan Gandeng PPATK Dalami Potensi Hasto Danai Harun Masiku

    KPK Disarankan Gandeng PPATK Dalami Potensi Hasto Danai Harun Masiku

    Jakarta

    KPK menduga ada donatur dalam pelarian Harun Masiku yang sudah genap lima tahun menjadi buron. Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM meminta KPK menggandeng Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak hal tersebut.

    “Tentu dengan mengetahui transaksi keuangan ya, dan itu bisa meminta bantuan PPATK misalnya. Jadi transaksi keuangan itu bisa di-trace, juga bisa dilihat melalui komunikasi, melalui media digital, biasanya orang kan kalau sudah transfer dikasih tahu,” ujar Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman kepada wartawan, Jumat (21/2/2025).

    Zaenur menyebut transaksi itu diduga kuat menggunakan nama orang lain untuk menyamarkan. Dia meminta KPK untuk memastikan apakah ada kaitannya dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang sudah ditetapkan sebagai tersangka perintangan,

    “Jadi semua bisa ditrace, dan hal-hal yang terkait kejahatan biasanya menggunakan nama orang lain, memerintahkan orang lain, itu hal biasa bagi penyidik KPK, tinggal dibuktikan nanti apakah berkaitan dengan Hasto,” katanya.

    “Oleh karena itu, karena memang ini menjadi bagian yang penting untuk didalami. KPK juga kan menyadap juga, nggak cuma Hasto, orang sekitarnya itu semua menggunakan metode pengungkapan, kalau Harun Masiku disokong oleh pendana itu sudah pasti, siapa pendananya itu tugas KPK,” tambahnya.

    Sebelumnya, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menyebut pelarian seseorang pasti memerlukan dana tempat tinggal hingga transportasi. Dia memastikan KPK akan mengusut siapa saja donatur dalam pelarian Harun Masiku.

    “Itu juga sebenarnya yang sedang kita dalami karena kami penyidik melihat bahwa seseorang yang melarikan diri itu kan memerlukan sokongan biaya atau dana logistik segala macam, berpindah-pindah tempat. Misalnya menyewa tempat dan lain-lain, transportasi, itu lah sebabnya kita sedang mendalami itu,” ujar Asep dalam konferensi persnya, Kamis (20/2).

    “Tapi sampai sejauh ini ini menjadi materi yang sedang kita dalami, mohon maaf belum kita sampaikan, jadi sabar, kita tentu akan sampai di sana, siapa saja yang menjadi donatur dalam hal ini. Orang melarikan diri kan tidak bisa kerja karena ketahuan sama khalayak, dia pasti bersembunyi, dan untuk kebutuhan hidup sehari-harinya harus ada yang nanggung, itu yang sedang kita dalami,” tambahnya.

    (azh/dnu)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • 2
                    
                        Sengkarut Komunikasi di Seputar Istana
                        Nasional

    2 Sengkarut Komunikasi di Seputar Istana Nasional

    Sengkarut Komunikasi di Seputar Istana
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    KONTROVERSI
    soal pemaafan
    koruptor
    , amnesti untuk koruptor, dan penerapan denda damai untuk koruptor, mempertontonkan salah satunya, ada problem besar komunikasi di seputar Istana, selain problem subtansi.
    Pernyataan Presiden Prabowo Subianto di Kairo yang akan memaafkan koruptor asal mengembalikan kekayaannya menimbulkan kontroversi meluas.
    Menteri Koordinator Hukum Yusril Ihza Mahendra membenarkan bahwa Presiden punya hak konstitusional memberikan amnesti, abolisi, dan grasi untuk terpidana.
    Yusril juga mengatakan, dari 44.000 terpidana yang akan mendapatkan amnesti, jumlah terpidana
    korupsi
    hanya beberapa ribu orang.
    Tidak ada yang membantah bahwa Presiden punya hak konstitusional untuk memberikan amnesti, abolisi, dan grasi.
    Pernyataan Yusril itu menunjukkan ada proses hukum yang mendahului sebelum kemudian dihentikan penuntutannya.
    Namun, pembelaan Yusril itu bisa kurang sinkron ketika Presiden Prabowo sudah berbicara soal mekanisme pengembalian kekayaan secara diam-diam.
    Pernyataan Yusril kemudian disusul pernyatan Menteri Hukum Supratman Andi Atgas yang menawarkan solusi denda damai untuk koruptor.
    Sayangnya, pernyataan politisi Partai Gerindra ini juga kurang tepat karena denda damai yang dimiliki Jaksa Agung hanya untuk tindak pidana ekonomi, seperti kepabeanan atau bea cukai, bukan untuk korupsi.
    Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Harli Siregar juga membantah. “Denda damai tidak untuk koruptor,” kata Harli.
    Soal amnesti untuk koruptor, Supratman juga meluruskan pernyataan Yusril bahwa tidak ada pemberian amnesti untuk terpidana korupsi yang diberikan Presiden Prabowo.
    Sengkarut komunikasi di kalangan pembantu Presiden Prabowo itu bisa merugikan citra Presiden yang pemerintahannya belum berusia 100 hari.
    Sengkarut komunikasi bisa dibaca publik sebagai belum adanya kajian komprehensif soal pemaafan koruptor yang akan diambil Presiden Prabowo. Selayaknya kebijakan didasarkan ada
    evidence based policy.
    Apresiasi harus diberikan kepada Menteri Supratman yang secara cepat meluruskan dan membatalkan gagasan denda damai untuk koruptor.
    Pembatalan gagasan denda damai – yang memang tidak tepat diterapkan untuk tindak pidana korupsi – sedikit meredakan perbedaan pendapat yang tidak produktif di antara pembantu Presiden.
    Publik bertanya-tanya di mana peran Kantor Komunikasi Presiden dengan sejumlah juru bicara presiden?
    Sejumlah juru bicara presiden yang sebelum ini begitu piawai berbicara di televisi memberikan analisa politik, mengapa tidak terdengar kiprahnya mengatasi sengkarut komunikasi seputar pemaafan koruptor?
    Selain substansinya yang sangat sensitif, komunikasi publik menjadi penting. Terlebih, meminjam istilah Jakob Oetama, kita berkomunikasi di masyarakat yang tidak tulus sehingga dibutuhkan strategi komunikasi yang
    ngepas
    .
    Pesan komunikasi bukan hanya teks, tapi konteks. Ketika konteks tak diberikan, jangan memaksa pubik harus memahami konteks masalahnya. Dan, jangan terlalu cepat menghakimi publik dengan ungkapan, “tokoh gagal”.
    Isu korupsi adalah masih menjadi isu sensitif. Belum saatnya negara memaafkan koruptor.
    Mengutip esai Aswar Hasan di
    Kompas
    , 27 Desember 2024, “…
    Korupsi
    bukan hanya kejahatan individu, melainkan juga ancaman serius terhadap kedaulatan, keadilan, dan masa depan suatu bangsa. Ketika korupsi dibiarkan atau dianggap remeh, negara kehilangan legitimasi, kepercayaan rakyat, dan koruptor berpotensi untuk berkembang. Negara harus menunjukkan bahwa hukum berlaku tanpa pandang bulu, termasuk kepada pejabat tinggi dan tokoh berpengaruh yang terlibat korupsi. Korupsi telah merampas hak masyarakat atas pendidikan, kesehatan, dan pembangunan yang layak. Negara wajib melindungi rakyat dari dampak buruk tersebut…”
    Psikologi publik dihadapkan pada rasa perasaan ketidakadilan ketika majelis hakim menjatuhkan vonis 6,5 tahun terhadap Harvey Moeis atas kerugian perekonomian negara Rp 300 triliun dalam kasus korupsi timah di Bangka.
    Publik juga gerah ketika kasus mafia peradilan bekas pejabat MA Zarof Ricar ditangani secara biasa-biasa saja. Istana juga tidak bereaksi atas berbagai peristiwa hukum yang melukai perasaan publik.
    Mengambil terobosan atau kebijakan di luar kebiasaan selayaknya mempertimbangkan sentimen dan rasa perasaan publik.
    Pada masa Orde Baru, Istana kerap mengundang secara terbatas sejumlah pemimpin redaksi untuk mendiskusikan kebijakan baru yang diambil pemerintah disertai latar belakangnya.
    Pemimpin redaksi ditempatkan sebagai “devil advocate” untuk men-
    challenge
    —kebijakan yang diambil pemerintah.
    Dari situlah, strategi dan mitigasi komunikasi dipersiapkan sehingga reaksi yang timbul sudah bisa dimitigasi. Fase ini bisa disebut fase “building understanding” antara pemerintah dan media.
    Tahapan ini tidak dilakukan. Pemerintah tampaknya sangat percaya diri dengan dukungan mayoritas partai politik di DPR.
    Partai politik memang seperti mengalami disfungsi menghadapi isu kepublikan, termasuk program pemaafan koruptor.
    Elite partai politik berupaya main aman dengan mengamini semua kebijakan pemerintah. Partai politik yang saat kampanye garang terhadap korupsi, kini
    mlempem.
    Bahkan, anggota DPR menghardik dengan kata-kata kasar, termasuk menyebut gagal terhadap tokoh di luar pemerintahan yang gencar mengkritik dan program pemerintah.
    Bangsa ini masih beruntung masih ada secercah harapan pada minoritas kreatif yang tetap menjaga akal sehat dan nurani publik.
    Di tengah disfungsi partai politik, masih ada suara kritis seperti disuarakan Zaenur Rohman dari Pukat UGM atau pun Mahfud MD yang dinilai “tokoh gagal” oleh Ketua Komisi III Habiburohman.
    Masih ada suara kenabian dari Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo soal dijadikannya korupsi sebagai alat sandera politik.
    Saya bertanya pada Chat GPT soal sengkarut komunikasi seputar pemaafan koruptor. Dan ini jawabannya:
    “…
    Pernyataan pembantu presiden soal pemafaan koruptor memiliki pengaruh langsung terhadap persepsi publik tentang keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Misalnya, jika pola komunikasinya cenderung membela koruptor dengan dalih seperti usia lanjut atau kesehatan, publik bisa menganggap pemerintah tidak berkomitmen terhadap agenda pemberantasan korupsi. Persepsi negatif ini dapat melemahkan legitimasi pemerintah dan memperkuat narasi bahwa ada pelemahan sistemik terhadap institusi antikorupsi seperti KPK
    …”
    Hati-hati berkomunikasi karena komunikasi membentuk persepsi. Jangan sampai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia kian anjlok.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pukat UGM: Tindak Pidana Korupsi Tak Bisa Diselesaikan dengan Denda Damai

    Pukat UGM: Tindak Pidana Korupsi Tak Bisa Diselesaikan dengan Denda Damai

    Pukat UGM: Tindak Pidana Korupsi Tak Bisa Diselesaikan dengan Denda Damai
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM)
    Zaenur Rohman
    mengatakan, tindak pidana korupsi tidak bisa diselesaikan dengan
    denda damai
    .
    Ia menyebutkan, denda damai hanya bisa diperuntukkan untuk tindak pidana ekonomi.
    “Tindak pidana korupsi tidak bisa diselesaikan dengan denda damai. Mengapa? Karena denda damai itu khusus untuk tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Undang-Undang Darurat (UU Drt) Nomor 7 Tahun 1955,” kata Zaenur saat dihubungi, Kamis (26/12/2024).
    Zaenur menuturkan, secara teori, tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan ekonomi.
    Namun, dalam aturan perundang-undangan, hanya tindak pidana ekonomi yang diatur secara khusus mengenai denda damai.
    “Sehingga tindak pidana korupsi tidak bisa diselesaikan menggunakan denda damai,” ujar dia.
    Lebih lanjut, Zaenur menilai pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas terkait denda damai untuk tindak pidana korupsi belum didasari dengan kajian yang matang.
    “Sayang sekali. Artinya ini usulan yang masih sangat mentah,” ucap Zaenur.
    Sebelumnya, Supratman menyatakan, selain pengampunan dari Presiden, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, juga bisa diberikan melalui denda damai.
    Dia menjelaskan bahwa kewenangan denda damai dimiliki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) karena Undang-Undang (UU) tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.
    “Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman, Rabu (25/12/2024), dikutip dari Antara.
    Seperti diketahui, pemerintah berencana memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana (napi).
    “Beberapa kasus yang terkait dengan penghinaan terhadap kepala negara atau pelanggaran UU ITE, Presiden meminta untuk diberi amnesti,” ujar Supratman.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.