Tag: Yusuf Rendy

  • Ada Sinyal Daya Beli Lemah, Ekonomi Kuartal I/2025 Diramal Sekitar 5%

    Ada Sinyal Daya Beli Lemah, Ekonomi Kuartal I/2025 Diramal Sekitar 5%

    Bisnis.com, JAKARTA — Pelemahan daya beli berkali-kali pemerintah bantah meskipun sejumlah kondisi ekonomi telah menunjukkan sinyal adanya penurunan.

    Sebut saja deflasi beruntun dan terdalam dalam 25 tahun terakhir, keyakinan konsumen yang turun pada Februari 2025, hingga Indeks Penjualan Riil (IPR) yang kontraksi pada Januari 2025 sebesar 4,7% month to month (MtM). 

    Bahkan tradisi pulang kampung yang menjadi penggerak ekonomi tahunan, diprediksi terjadi penurunan jumlah pemudik pada Idulfitri/Lebaran tahun ini—yang jatuh di penghujung Maret 2025 atau akhir kuartal I/2025. 

    Di tengah munculnya sinyal-sinyal tersebut, peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan di LPEM FEB UI Teuku Riefky menyampaikan turunnya jumlah pemudik akan semakin berdampak terhadap koreksi ekonomi kuartal I/2025. 

    Riefky melihat pelemahan efek Ramadan maupun Idulfitri/Lebaran kemungkinan besar sudah muncul sejak periode yang sama tahun lalu, tetapi pada 2024 terdapat buffer berupa kegiatan Pemilu sehingga ekonomi mampu tumbuh 5,11%. 

    “Dampaknya terhadap perekonomian kuartal I/2025 masih mungkin 5%, tetapi sangat tipis, mungkin 5,0% sekian,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (25/3/2025). 

    Pelemahan maupun penurunan daya beli yang terjadi pasalnya terjadi pada kelompok menengah bawah, sementara kebijakan pemerintah yang dikeluarkan menjelang Lebaran lagi-lagi berpihak kepada kelompok menengah atas. 

    Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mencontohkan pencairan Tunjangan Hari Raya (THR) untuk sektor swasta seringkali terlambat, bahkan kerap menjadi polemik tahunan. 

    Keterlambatan ini memangkas daya beli masyarakat karena dana baru tersedia menjelang hari-H, saat harga kebutuhan pokok dan transportasi sudah melambung.

    Sementara diskon tarif tol hanya membantu pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi, sementara 60% pemudik mengandalkan transportasi umum seperti bus, kereta ekonomi, atau kapal laut—yang justru tidak mendapat subsidi serupa. 

    “Padahal, kenaikan harga tiket bus atau kapal mencapai 30%—50% saat puncak mudik, jauh melampaui kemampuan finansial buruh atau pekerja informal,” tuturnya. 

    Pada kesempatan berbeda, Ekonom Center on Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet mengamini bahwa prediksi jumlah pemudik yang lebih rendah menjadi salah satu indikator terkait kemampuan konsumsi masyarakat di Ramadan dan Lebaran.

    Apalagi jika indikator dari jumlah pemudik ini nantinya dikombinasikan dengan indikator lain seperti misalnya indikator penjualan riil, kemudian indikator pengunjung pusat perbelanjaan yang di beberapa kesempatan disampaikan mengalami perlambatan dibandingkan tahun lalu. 

    Yusuf berpandangan, beberapa kondisi tersebut dapat menjadi merupakan indikasi kuat terkait lebih lambatnya konsumsi rumah tangga di Ramadan dan jelang Lebaran tahun ini dibandingkan tahun lalu.

    “Saya kira ini juga akan ikut mempengaruhi bagaimana capaian pertumbuhan ekonomi terutama di kuartal pertama tahun ini,” ungkapnya. 

    Adapun Core masih menghitung estimasi pertumbuhan ekonomi kuartal I/2025, tetapi untuk sementara pihaknya memprediksi akan berada di rentang 4,9%—5%. 

    Untuk tahun ini, pemerintah menetapkan target pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 5,2%—tak berbeda dengan target 2024.

  • Rupiah Terburuk sejak Krisis Moneter, Awas Harga Melonjak hingga Beban Utang Meningkat

    Rupiah Terburuk sejak Krisis Moneter, Awas Harga Melonjak hingga Beban Utang Meningkat

    Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat anjlok hingga mencapai level terburuk sejak krisis keuangan 1998 pada hari ini, Selasa (25/3/2025). Ekonom menjelaskan pelemahan nilai rupiah tersebut akan berdampak ke kenaikan harga barang/jasa hingga beban utang pemerintah yang semakin berat.

    Dilansir dari Bloomberg, rupiah sempat melemah 0,5% ke level Rp16.642 per dolar AS pada Selasa (25/3/2025). Level itu merupakan level terlemah rupiah di hadapan dolar AS sejak krisis keuangan pada Juni 1998. 

    Ekonom Center on Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menjelaskan dampak pasti yang akan terasa yaitu dari sisi perdagangan. Alasannya, pelemahan rupiah akan membuat biaya atau selisih yang ditanggung untuk membayar kebutuhan barang impor relatif menjadi lebih mahal.

    “Ketika nilai impor menjadi lebih besar, pelaku usaha atau industri berpotensi untuk melakukan penyesuaian harga. Penyesuaian harga yang dilakukan bukan tidak mungkin akan ditransmisikan ke harga yang harus ditanggung oleh konsumen atau masyarakat,” ujar Yusuf kepada Bisnis, Selasa (25/3/2025).

    Dengan demikian, terjadi kenaikan harga konsumen. Pada akhirnya, kelemahan nilai tukar rupiah ataupun perubahan nilai tukar secara umum menyebabkan peningkatan inflasi di dalam negeri.

    Di samping itu, Yusuf menjelaskan pelemahan nilai tukar rupiah juga akan berdampak ke signifikan terhadap struktur APBN baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran.

    Di sisi penerimaan, sambungnya, depresiasi rupiah cenderung meningkatkan nilai ekspor yang dihitung dalam rupiah karena produk-produk ekspor menjadi lebih kompetitif di pasar internasional. Dalam hal ini, dampaknya akan positif.

    “Hal ini berpotensi menambah penerimaan devisa yang pada gilirannya mendukung peningkatan pajak terkait ekspor dan penerimaan non pajak dari sektor komoditas, terutama yang bernilai tinggi dan dihargai dalam mata uang asing,” jelasnya.

    Selain itu, meski volume impor bisa menurun karena harga yang relatif lebih mahal, nilai impor yang lebih tinggi dalam rupiah juga dapat meningkatkan penerimaan dari bea masuk dan pajak impor.

    Di sisi pengeluaran, Yusuf menjelaskan pelemahan rupiah cenderung membengkakkan pos-pos yang terkait dengan pembayaran utang luar negeri serta pengadaan barang dan jasa impor.

    Artinya, jika pemerintah memiliki utang yang berbasis mata uang asing maka beban bunga dan pelunasan pokok utang akan meningkat secara nominal dalam rupiah sehingga menekan sisi belanja APBN.

    Tak sampai situ, pengadaan barang impor untuk kebutuhan operasional dan belanja modal pemerintah juga akan mengalami kenaikan harga sehingga berdampak pada peningkatan pengeluaran.

    “Kondisi ini berpotensi memicu inflasi yang, pada gilirannya, dapat menambah beban pengeluaran untuk subsidi atau program penyesuaian sosial guna menjaga daya beli masyarakat,” ungkap Yusuf.

    Dia pun mendorong agar pemerintah meninjau kembali asumsi nilai tukar yang digunakan dalam penyusunan APBN 2025. Menurutnya, langkah tersebut krusial agar proyeksi penerimaan dan pengeluaran negara mencerminkan kondisi pasar yang lebih realistis.

    “Dengan menyesuaikan asumsi, pemerintah dapat mengantisipasi pembengkakan biaya utang dan harga barang impor serta memaksimalkan potensi peningkatan penerimaan dari sektor ekspor,” tutup Yusuf.

  • Ini Biang Kerok Penerimaan Pajak Sulit Mencapai Target

    Ini Biang Kerok Penerimaan Pajak Sulit Mencapai Target

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah menargetkan penerimaan negara  termasuk dari pajak sebesar Rp 3.005,1 triliun pada tahun ini. Angka ini lebih tinggi dibandingkan target tahun lalu sebesar Rp2 .232,7 triliun.

    Namun, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak hingga akhir Februari 2025 hanya mencapai Rp 1 87,8 triliun, turun 30,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Penurunan penerimaan pajak ini menuai kritik dari berbagai pihak. Peneliti CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyoroti beberapa tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mencapai target tersebut.

    Salah satunya adalah pembatalan kenaikan tarif PPN menjadi 12% yang semula direncanakan berlaku pada awal tahun ini.

    “Jika dibandingkan dengan 2024, ada peningkatan target sekitar 7,8%. Sebenarnya, target tahun ini relatif lebih moderat dibandingkan kenaikan target tahun lalu yang mencapai 9%. Namun, kita juga perlu mempertimbangkan faktor pembatalan PPN 12% di awal tahun ini. Dalam penyusunan APBN 2025, pemerintah masih memasukkan potensi penerimaan dari kenaikan tarif PPN tersebut,” ujar Yusuf kepada Beritasatu.com dalam wawancara daring, Senin (17/3/2025).

    Lebih lanjut, Yusuf menjelaskan bahwa meskipun kebijakan PPN 12% dibatalkan, target penerimaan pajak tetap tidak berubah. Di sisi lain, rencana belanja pemerintah untuk 2025 masih sejalan dengan program-program sebelumnya.

    “Program seperti makan bergizi gratis serta kelanjutan inisiatif dari pemerintahan sebelumnya tetap dijalankan. Bahkan, anggaran untuk program Makan Bergizi Gratis berpotensi meningkat. Ini tentu membutuhkan penerimaan pajak yang lebih besar, yang pada akhirnya turut memengaruhi defisit anggaran,” pungkas Yusuf.

  • Ekonom Ingatkan Pengusaha untuk Pegang Peran Sebagai Pengawas Pemerintah

    Ekonom Ingatkan Pengusaha untuk Pegang Peran Sebagai Pengawas Pemerintah

    Bisnis.com, JAKARTA – Para ekonom mengingatkan pentingnya peran pengusaha sebagai pengawas pemerintah. Pengusaha harus tetap kritis meski dengan para pejabat pemerintahan.

    Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menjelaskan asosiasi pengusaha seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia perlu bersifat kritis terutama untuk memastikan kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah bisa mendorong perbaikan iklim usaha dan investasi.

    “Jika ada yang bengkok berani mengusulkan pelurusan; kritis tetapi obyektif dan solutif,” jelas Wija kepada Bisnis, Sabtu (15/3/2025).

    Bagaimanapun, staf khusus wakil presiden untuk ekonomi dan keuangan periode 2014—2019 itu menilai pengusaha merupakan pelaku utama ekonomi. Menurutnya, ekonomi negara akan berhenti berputar tanpa pengusaha.Sen

    Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai pengusaha merupakan aktor yang menjalankan berbagai aktivitas lapangan usaha sehingga berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi, investasi, dan lapangan kerja.

    Untuk itu, sambungnya, para pengusaha tidak boleh diam apabila pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dirasakan berdampak buruk bagi dunia usaha.

    “Pengusaha yang merasakan dan mengetahui efek dari sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah,” ujar Yusuf kepada Bisnis, Sabtu (15/3/2025).

    Jaga Jarak

    Oleh karena itu, tak kalah penting bagi para pelaku usaha untuk menjaga jarak dengan pemerintah—begitu juga sebaliknya. Wija menilai kedekatan para pengusaha dengan pemerintah sangat positif apabila dimanfaatkan untuk kepentingan yang konstruktif.

    Menurutnya, kedekatan pemerintah dengan pengusaha memiliki garis batas. Dia menekankan pemerintah tidak boleh menyusun kebijakan atas pesanan para pengusaha.

    “Ini masuk kategori grand corruption atau state capture [bentuk suap secara sistematis]. Jika ini terjadi, maka dampaknya akan buruk bagi ekonomi,” ungkap Wija.

    Senada, Yusuf juga menggarisbawahi bahwa negara perlu memastikan bahwa regulasi yang ada mengakomodir kepentingan usaha. Kendati demikian, regulasi tersebut adil terhadap semua kelompok usaha yang ada—bukan terhadap pengusaha tertentu.

    Dia mencontohkan, yang kerap terjadi yaitu negara ikut bermain dalam aktivitas bisnis yang sebenarnya bisa diisi oleh pengusaha atau swasta. Masalahnya, kebijakan negara terserah kerap diperuntukkan untuk keuntungan kelompok ataupun pengusaha tertentu saja.

    “Hal-hal seperti inilah yang menurut saya perlu diawasi oleh presiden, jangan sampai kemudian kebijakannya condong pada keuntungan kelompok usaha tertentu dan justru merugikan kelompok usaha yang lain,” tutup Yusuf.

    Sebelumnya, kepengurusan baru Kadin Indonesia periode 2024–2029 resmi dikukuhkan pada Jumat (14/3/2025) dengan jumlah total 2.800 orang atau dua kali lipat dari periode sebelumnya.

    Ketua Umum Kadin Indonesia Anindya Novyan Bakrie menyatakan kepengurusan baru ini akan mendukung berbagai program pemerintahan. Bahkan, empat program quick win Kadin 2024—2029 berkaitan dengan program pemerintah yaitu dukungan program Makan Bergizi Gratis (MBG), Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG), Penyediaan Rumah Terjangkau, dan Dukungan Optimasi Tenaga Kerja Migran.

  • Efek Ramadan, Tren Deflasi Diperkirakan Akan Berakhir

    Efek Ramadan, Tren Deflasi Diperkirakan Akan Berakhir

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah ekonom meyakini tren deflasi yang terjadi dua bulan belakangan akan berakhir akibat momentum Ramadan.

    Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menjelaskan deflasi yang terjadi dua bulan pertama 2025 tidak terlepas dari program diskon tarif listrik 50% yang dikeluarkan pemerintah.

    Listrik, sambungnya, merupakan salah satu komponen konsumsi yang punya kontribusi besar dalam perhitungan inflasi. Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa diskon listrik tersebut tidak berlaku lagi untuk Maret 2025 dan seterusnya.

    Pada Maret 2025 juga terdapat momen Ramadan yang secara historis kerap menaikkan harga barang dan jasa. Oleh sebab itu, Yusuf meyakini tren deflasi akan berakhir.

    “Pada bulan Maret, di mana ada momentum Ramadan dan lebaran, kami memperkirakan inflasi akan terjadi kembali,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (4/2/2025).

    Senada, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menjelaskan secara tahunan terjadi deflasi sebesar 1,24% pada Februari 2025 yang sebagian besar karena diskon tarif listrik. Menurutnya, jika indeks harga konsumen tidak mencatat dampak diskon tarif listrik maka inflasi akan mencapai 0,9% secara tahunan pada Februari 2025.

    “Dengan kata lain, terdapat potensi normalisasi berupa kenaikan inflasi sebesar 2,14% setelah diskon tarif listrik berakhir,” ujar Josua, Selasa (4/2/2025).

    Apalagi, dia melihat adanya pemulihan permintaan konsumen sehingga dapat berkontribusi pada inflasi sisi permintaan yang moderat. Selain itu, depresiasi rupiah beberapa waktu terakhir turut akan mendorong terjadinya inflasi barang impor yang akan menambah tekanan harga secara keseluruhan.

    Sebagai informasi, secara bulanan terjadi deflasi sebesar 0,76% pada Januari 2025 dan 0,48% pada Februari 2025.

    Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menyebut, pada Februari 2025 kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar adalah perumahan air, listrik dan bahan bakar rumah tangga dengan deflasi 3,59% MtM dan memberikan andil deflasi 0,52%.

    “Komoditas yang dominan mendorong deflasi kelompok ini adalah diskon tarif listrik yang memberikan andil deflasi sebesar 0,67%,” kata Amalia, Senin (3/3/2025).

  • Harga Pangan Naik pada Awal Ramadan 2025, Masyarakat Diimbau Atur Pola Konsumsi

    Harga Pangan Naik pada Awal Ramadan 2025, Masyarakat Diimbau Atur Pola Konsumsi

    Jakarta, Beritasatu.com – Memasuki Ramadan 2025, masyarakat kembali dihadapkan pada lonjakan harga pangan. Sejumlah komoditas mengalami kenaikan signifikan, seperti cabai rawit yang melonjak hingga Rp 150.000 per kilogram (kg).

    Peneliti ekonomi Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyarankan, masyarakat perlu mengatur pola konsumsi guna mengurangi tekanan permintaan yang berlebihan.

    “Mengatur pola konsumsi dengan membeli kebutuhan secukupnya dan menghindari panic buying dapat membantu menekan lonjakan permintaan,” ujarnya kepada Beritasatu.com, Minggu (2/3/2025).

    Menurut Yusuf, ada beberapa faktor yang menyebabkan harga pangan naik, antara lain tingginya permintaan saat Ramadan 2025, distribusi yang terganggu, terutama untuk bahan pangan segar seperti cabai dan sayuran, dan spekulasi harga oleh oknum pedagang.

    Sebagai solusi, masyarakat dapat berkolaborasi dalam komunitas, misalnya dengan membentuk kelompok belanja bersama atau koperasi pangan. Cara tersebut dinilai dapat membantu mendapatkan harga yang lebih stabil melalui pembelian langsung dari petani atau distributor utama.

    Untuk memastikan ketersediaan bahan pangan tetap aman dan harga stabil, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman melakukan inspeksi mendadak (sidak) di dua pasar di Jakarta pada Sabtu (1/3/2025).

    Mentan Amran menegaskan pemerintah siap mengambil langkah tegas jika menemukan indikasi spekulasi harga. “Pemerintah tidak akan ragu bertindak jika ada pihak yang memanfaatkan momen Ramadan 2025 untuk mengambil keuntungan berlebihan,” ujar Amran.

    Dengan upaya pemerintah dan kesadaran masyarakat dalam mengatur pola konsumsi, diharapkan lonjakan harga pangan dapat ditekan sehingga masyarakat dapat menjalankan ibadah Ramadan 2025 dengan lebih tenang.

  • Harga Pangan Naik, Operasi Pasar Dinilai Masih Belum Efektif

    Harga Pangan Naik, Operasi Pasar Dinilai Masih Belum Efektif

    Jakarta, Beritasatu.com – Harga komoditas pangan terus mengalami kenaikan selama Ramadan 2025. Bahkan harga cabai rawit merah di beberapa pasar tradisional sudah menembus Rp 150.000 per kilogram.

    Peneliti ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, efektivitas operasi pasar yang dilakukan pemerintah masih terbatas dan belum menyelesaikan akar permasalahan.

    “Operasi pasar dapat menstabilkan harga sementara, tetapi tanpa koordinasi yang optimal dan kebijakan jangka panjang, dampaknya tidak berkelanjutan,” ujar Yusuf Rendy Manilet kepada Beritasatu.com, Minggu (2/3/2025).

    Menurutnya, pemerintah perlu memastikan operasi pasar menyasar daerah-daerah dengan potensi kenaikan harga yang tinggi dibandingkan wilayah lain.

    Selain itu, langkah strategis seperti pengawasan distribusi memang telah dilakukan pemerintah, tetapi dinilai masih belum cukup untuk mengendalikan lonjakan harga pangan.

    Yusuf menekankan pentingnya pendekatan yang lebih komprehensif dalam menekan kenaikan harga pangan, terutama selama Ramadan.

    “Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif, mencakup peningkatan produksi, penguatan infrastruktur pertanian, serta regulasi yang mencegah praktik monopoli dan penimbunan, agar lonjakan harga pangan saat Ramadan dapat ditekan secara lebih efektif,” katanya.

    Selain itu, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah juga menjadi faktor krusial dalam mengatasi inflasi pangan yang bervariasi di setiap wilayah. Yusuf menyarankan agar edukasi kepada masyarakat mengenai pola konsumsi yang bijak dapat menjadi solusi dalam mengurangi tekanan permintaan berlebihan yang membuat harga pangan naik.

  • Harga Pangan Naik, Ini Biang Kerok yang Bikin Dompet Jebol Tiap Ramadan

    Harga Pangan Naik, Ini Biang Kerok yang Bikin Dompet Jebol Tiap Ramadan

    Jakarta, Beritasatu.com – Kenaikan harga pangan kembali terjadi pada awal Ramadan 2025. Peneliti ekonomi dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan, fenomena tahunan ini dipicu oleh kombinasi empat faktor utama.

    “Kenaikan harga pangan berulang setiap tahun akibat kombinasi peningkatan permintaan, gangguan pasokan, praktik monopoli, serta faktor psikologis pasar,” ujar Yusuf Rendy kepada Beritasatu.com, Minggu (2/3/2025).

    Menurut Yusuf, lonjakan konsumsi terhadap komoditas seperti cabai, bawang, dan sayuran menjelang Ramadan dan Lebaran menjadi faktor utama yang mendorong kenaikan harga. Kondisi ini diperburuk oleh cuaca ekstrem yang mengganggu produksi dan distribusi pangan.

    Selain itu, praktik penimbunan oleh oknum spekulan juga memperparah situasi, menciptakan kelangkaan pasokan di pasar.

    Untuk mengatasi masalah masalah harga pangan yang naik, Yusuf menekankan perlunya langkah-langkah terpadu, di antaranya meningkatkan produksi pangan domestik guna memastikan ketersediaan pasokan yang mencukupi lonjakan permintaan.

    Langkah berikutnya adalah efisiensi distribusi melalui penguatan infrastruktur pertanian dan koordinasi yang lebih baik antarinstansi, serta penguatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah lantaran inflasi pangan bervariasi di setiap wilayah.

    “Pemerintah perlu memantau secara regional bagaimana pergerakan inflasi pangan,” ujarnya.

    Yang juga penting adalah pengawasan ketat terhadap praktik monopoli dan penimbunan, didukung oleh regulasi yang lebih tegas. Langkah selanjutnya yaitu operasi pasar di daerah rawan kenaikan harga, agar harga pangan tetap terkendali dan terjangkau bagi masyarakat.

    Sementara itu, di pasar tradisional, harga pangan masih terus naik. Di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, misalnya, harga cabai rawit mencapai Rp 150.000 per kilogram.

  • Di Tengah Tekanan Global Hingga PHK Massal, Ramadan Tetap Berefek Positif ke Ekonomi?

    Di Tengah Tekanan Global Hingga PHK Massal, Ramadan Tetap Berefek Positif ke Ekonomi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Secara historis, momen Ramadan dan Lebaran akan mendorong konsumsi masyarakat sehingga berdampak positif ke pertumbuhan ekonomi. Kendati demikian, momen Ramadan dan Lebaran 2025 kali ini diiringi oleh tekanan global hingga PHK massal di sejumlah sektor.

    Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengakui momen Ramadan kerap berdampak positif ke perekonomian terutama di sektor perdagangan, transportasi, serta makanan & minuman. 

    “Namun, efeknya cenderung bersifat temporer dan bisa terkompensasi oleh perlambatan di sektor lain,” jelas Yusuf kepada Bisnis, Jumat (28/2/2025).

    Dia mencontohkan, ketidakpastian global masih akan sangat berpengaruh ke perekonomian domestik. Misalnya, perlambatan ekonomi di negara mitra-mitra dagang utama akan menghambat ekspor Indonesia.

    Selain itu, sambungnya, pelemahan rupiah yang telah menyentuh Rp16.500 per dolar AS juga bisa meningkatkan tekanan inflasi—terutama pada barang impor—yang pada akhirnya dapat menggerus daya beli masyarakat.

    Yusuf turut mengingatkan bahwa tren pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri padat karya masih terus berlanjut. Terbaru, setidaknya 10 ribu buruh Sritex alias PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) telah terkena PHK; 1.100 buruh pabrik piano milik Yamaha di sejumlah daerah juga terancam di-PHK. 

    “Tren PHK massal di beberapa sektor menandakan adanya pelemahan di pasar tenaga kerja, yang berpotensi menekan konsumsi dalam jangka menengah,” ujarnya.

    Dia pun menyambut positif apabila pemerintah menggelontorkan sejumlah insentif fiskal untuk mendorong konsumsi rumah tangga selama momen Ramadan dan Lebaran. Oleh sebab itu, Yusuf memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kuartal I/2025 berada di kisaran 4,9%—5,0%.

    “Meskipun masih cukup kuat, pencapaian angka 5% akan sangat bergantung pada efektivitas insentif fiskal dalam mendorong konsumsi di tengah tekanan eksternal dan pelemahan rupiah,” tutupnya.

    Keyakinan Pemerintah 

    Sebelumnya, pemerintah meyakini pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2025 akan mencapai 5%, terutama didorong oleh momen Ramadan dan Lebaran.

    Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Morgiarso menyatakan indikator-indikator makro ekonomi seperti inflasi dan PMI manufaktur masih menunjukkan angka yang bagus pada Januari. Selain itu, dia berharap tren positif tetap berlanjut pada Februari.

    Kendati demikian, Susi tidak menampik bahwa banyak pengamat dan pakar yang memberi catatan terkait kinerja perekonomian pada dua bulan ini. Oleh sebab itu, dia mengungkapkan pemerintah akan mendorong pertumbuhan pada Maret yang menjadi momen Ramadan.

    “Harusnya kita dorong di Maret ini. Insya Allah mudah-mudahan masih bisa [tercapai pertumbuhan 5%],” ujar Susi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (28/2/2025).

    Dia meyakini daya beli masyarakat akan terdongkrak pada Maret karena tunjangan hari raya (THR) akan cair. Sejalan dengan itu, sambungnya, pemerintah juga memberi insentif fiskal.

    Susi mencontohkan bahwa pemerintah akan memberikan diskon tiket pesawat dan tarif tol menjelang mudik Lebaran. Selain itu, akan ada program Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) edisi Ramadan.

    “Kita keroyok bareng-bareng sih. Mudah-mudahan semua program efektif sehingga ngangkat di kuartal I-nya, karena psikologisnya penting di kuartal I,” jelasnya.

  • Wanti-wanti Ekonom ke Prabowo soal Tata Kelola hingga Calon Bos Danantara

    Wanti-wanti Ekonom ke Prabowo soal Tata Kelola hingga Calon Bos Danantara

    Bisnis.com, JAKARTA – Mimpi lama Sumitro Djojohadikusumo agar Indonesia memiliki Super Holding BUMN sebentar lagi jadi kenyataan saat anaknya, yaitu Presiden Prabowo Subianto, meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara di Istana Merdeka, pada Senin (24/2/2025) pukul 10.00 WIB.

    Dalam forum internasional bergengsi World Government Summit 2025, Prabowo mengumumkan kesiapan Indonesia meluncurkan Danantara. Dia mengungkapkan bahwa Danantara akan memiliki aset kelolaan lebih dari US$900 miliar atau setara dengan Rp14.725 triliun. 

    Dana tersebut akan digunakan untuk mengembangkan proyek berkelanjutan di sektor energi terbarukan, manufaktur canggih, industri hilir, produksi pangan, dan lainnya.

    “Danantara, yang akan diluncurkan pada 24 Februari ini, akan menginvestasikan sumber daya alam dan aset negara kami ke dalam proyek yang berkelanjutan dan berdampak tinggi di berbagai sektor seperti energi terbarukan, manufaktur canggih, industri hilir, produksi pangan, dan lain-lain,” ujarnya dalam forum itu.

    Prabowo mengatakan bahwa semua proyek tersebut diharapkan akan berkontribusi pada pencapaian target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8%. 

    “Kami tengah mempersiapkan peluncuran Danantara Indonesia, sovereign wealth fund terbaru kami, yang menurut evaluasi awal kami akan mengelola lebih dari US$900 miliar aset dalam pengelolaan (AUM),” katanya.

    Lebih lanjut, orang nomor satu di Indonesia itu pun mengungkapkan bahwa initial funding atau pendanaan awal Danantara diproyeksi mencapai US$20 miliar.

    “Kami berencana untuk memulai sekitar 15 hingga 20 proyek bernilai miliaran dolar, yang akan menciptakan nilai tambah yang signifikan bagi negara kami. Saya sangat yakin, saya sangat optimistis. Indonesia akan maju dengan kecepatan penuh,” pungkas Prabowo.

    Di balik ambisi besar Prabowo, masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan agar Danantara tidak menjadi bumerang bagi perekonomian nasional. 

    Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menyoroti sejumlah tantangan utama yang harus diantisipasi oleh pemerintah sebelum Danantara resmi beroperasi.

    Salah satu pekerjaan rumah utama yang harus segera diselesaikan dalam jangka pendek, katanya, yaitu integrasi antar-BUMN, tata kelola, pengawasan, dan manajemen.  Dia mengingatkan bahwa jika tidak dikelola dengan presisi dan ketegasan, skema ini berpotensi menjadi jebakan birokrasi baru yang justru memperlambat kinerja BUMN.

    “Alih-alih menciptakan sinergi, tanpa strategi yang solid, penggabungan ini bisa melahirkan konglomerasi kompleks yang lamban dalam pengambilan keputusan dan sarat dengan kepentingan politik,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (24/2/2025).

    Lebih lanjut, dia menekankan bahwa jika tata kelola tidak profesional dan transparan, maka Danantara bisa berubah menjadi alat sentralisasi kekuasaan atas aset strategis negara yang hanya menguntungkan segelintir elite, bukan kepentingan nasional secara luas.

    Secara konseptual, Danantara menjanjikan efisiensi dan daya saing BUMN serta aset negara yang strategis. Namun, Rizal mengingatkan bahwa dampak negatifnya bisa jauh lebih berbahaya jika tidak dikendalikan dengan disiplin manajerial yang ekstrem.

    “Kehilangan otonomi masing-masing BUMN bisa menjadi bumerang, menyebabkan perusahaan-perusahaan strategis justru kehilangan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan bisnis,” imbuhnya.

    Selain itu, resistensi internal terhadap kebijakan super holding juga menjadi tantangan besar. Perusahaan yang selama ini sudah memiliki ekosistem bisnis yang mapan bisa mengalami friksi internal yang dapat merusak stabilitas sektor BUMN secara keseluruhan. 

    Tak hanya itu, Rizal juga memperingatkan bahwa tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, Danantara bisa menjadi monopoli yang menekan kompetisi pasar, membunuh inovasi, dan menghambat pertumbuhan sektor swasta. Hal ini akan bertentangan dengan visi awal pembentukannya yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing.

    “Beberapa hal yang dapat menjadi penghambat utama dalam mencapai visi-misi Danantara adalah aspek regulasi dan birokrasi yang masih berbelit. Penggabungan banyak entitas ke dalam satu super holding memerlukan harmonisasi kebijakan yang kompleks, yang jika tidak diselesaikan dengan cepat, justru akan memperlambat efektivitasnya,” tuturnya.

    Belum lagi, kata Rizal, faktor kepemimpinan dan tata kelola menjadi aspek krusial yang tidak boleh diabaikan. Tanpa pemimpin yang memiliki kompetensi tinggi serta pemahaman mendalam terhadap tantangan bisnis global, Danantara bisa gagal mencapai tujuan utamanya.

    Salah satu hal yang juga perlu diperhatikan adalah pengawasan terhadap alokasi anggaran. Jika tidak ditangani dengan baik, alih-alih meningkatkan daya saing, Danantara justru bisa menjadi beban baru bagi kinerja ekonomi nasional.

    “Mekanisme transparansi dan akuntabilitas juga harus diperkuat agar holding ini tidak menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk mengonsolidasikan kekuasaan ekonomi tanpa memberikan manfaat nyata bagi negara dan masyarakat,” pungkas Rizal.

    Perbesar

    Hati-Hati Pilih Pimpinan Danantara 

    Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara melihat bahwa jelang peluncuran Danantara sebagai super investment vehicle, berbagai tantangan tata kelola dan independensi manajemen menjadi sorotan utama.

    Dia menekankan bahwa tata kelola (governance) yang baik harus menjadi prioritas utama agar Danantara dapat menarik kerja sama investasi internasional dan menghindari risiko politik serta korupsi. 

    “Danantara ini sebagai super investment vehicle untuk menarik kerja sama internasional. Pembelajaran dari pengalaman Indonesia Investment Authority (INA-SWF) sebelumnya menunjukkan bahwa tata kelola menjadi hal yang sangat penting. Good Corporate Governance [GCG] dan standar investasi berkelanjutan (ISG) harus dijunjung tinggi agar dapat menarik investasi,” ujarnya kepada Bisnis.

    Bhima menyoroti pentingnya pemilihan board yang lebih didominasi oleh profesional ketimbang figur politik yang ditunjuk oleh pemerintah.

    Menurutnya, proporsi yang tidak seimbang dalam dewan direksi dan komisaris dapat menimbulkan konflik kepentingan dan menurunkan reputasi Danantara di mata investor global.

    “Kami sudah sarankan sejak awal bahwa proporsi board yang berasal dari profesional harus lebih dominan, bukan dari penunjukan pemerintah. Jika board diisi oleh politisi atau mantan pejabat, ini bisa menimbulkan konflik kepentingan yang besar,” tegasnya.

    Lebih lanjut, Bhima mengingatkan bahwa Indonesia sedang dalam proses aksesi ke Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang mensyaratkan standar tata kelola perusahaan yang lebih tinggi, termasuk bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan entitas seperti Danantara.

    “Kalau kita ingin menarik investasi dari negara maju, termasuk Sovereign Wealth Fund dari Timur Tengah maupun Norwegia, maka standar tata kelola Danantara harus sesuai dengan standar OECD. Ini adalah peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah,” imbuhnya.

    Bhima juga mengingatkan risiko trust issue atau hilangnya kepercayaan investor jika tata kelola Danantara tidak dijaga dengan baik. Hal ini berisiko menurunkan minat kerja sama dari investor strategis, meningkatkan potensi korupsi, dan bahkan merugikan BUMN yang asetnya dikonsolidasikan dalam Danantara.

    “Kalau ada trust issue dalam Danantara, pertama, investor yang tertarik bekerja sama bisa berkurang. Kedua, potensi korupsinya tinggi, apalagi kerugian Danantara tidak dianggap sebagai kerugian negara. Ketiga, ini bisa berdampak langsung pada BUMN yang asetnya masuk ke dalam Danantara,” katanya.

    Selain itu, Bhima menyoroti risiko finansial bagi Danantara jika governance risk tidak dikelola dengan baik. Jika Danantara nantinya menerbitkan surat utang dengan jaminan aset BUMN yang dikelolanya, maka persepsi risiko yang buruk akan berdampak pada imbal hasil yang lebih tinggi bagi investor.

    “Artinya, Danantara harus membayar bunga jauh lebih mahal karena adanya risiko tata kelola. Ini harusnya jadi perhatian utama, bukan malah fokus menjadikan Danantara sebagai alat politik,” ujarnya.

    Bhima menekankan bahwa konsep Danantara sebagai investment vehicle yang lebih baik dari INA-SWF sebenarnya adalah langkah positif. Namun, jika tidak dikawal dengan tata kelola yang ketat dan transparan, ada risiko besar bahwa Danantara justru menjadi mesin politik alih-alih instrumen investasi yang kredibel.

    Dengan potensi besar yang dimiliki, keberhasilan Danantara sangat bergantung pada seberapa baik pemerintah dapat menjaga independensi, transparansi, dan profesionalisme dalam pengelolaannya.

    “Ekspektasi investor terhadap Danantara itu tinggi. Jangan sampai blunder dalam governance membuat kita kehilangan peluang besar untuk menarik investasi global,” pungkas Bhima.

    Calon petinggi BPI Danantara, (dari kiri) Dony Oskaria, Rosan Roeslani, dan Pandu Sjahrir. JIBI/Maria Y. BenyaminPerbesar

    Tata Kelola Danantara Harus Jelas

    Setali tiga uang, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy dalam waktu dekat, Danantara akan menghadapi sejumlah tugas mendesak yang sangat krusial untuk menentukan fondasi keberhasilannya.  

    Salah satu langkah pertama yang harus diambil adalah membangun kerangka hukum dan tata kelola yang jelas, terutama mengingat peran Danantara yang masih ambigu dalam ekosistem BUMN.  

    Tanpa adanya mandat yang tegas, transparansi yang memadai, serta mekanisme pengawasan yang kuat, risiko tumpang tindih wewenang atau bahkan penyalahgunaan kekuasaan dapat muncul, yang tentu saja akan sangat merugikan.

    “Danantara harus segera memiliki landasan hukum yang kokoh dan tata kelola yang jelas, agar tidak ada celah untuk penyalahgunaan wewenang atau korupsi. Tanpa itu, sulit bagi Danantara untuk mewujudkan tujuan utamanya, yaitu meningkatkan efisiensi dan daya saing BUMN,” ujarnya kepada Bisnis.

    Selain itu, menurut Yusuf, penilaian terhadap kesehatan finansial BUMN yang menjadi bagian dari portofolio Danantara juga sangat penting. Hal ini melibatkan identifikasi perusahaan-perusahaan yang membutuhkan restrukturisasi atau bahkan penutupan.  

    Tanpa langkah-langkah ini, kata Yusuf negara berisiko menanggung beban yang semakin berat dan bisa menggangu kelancaran operasional BUMN yang sudah berjalan dengan stabil.  

    “Danantara perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi keuangan BUMN yang dikelolanya. Beberapa di antaranya mungkin perlu restrukturisasi, sementara yang lainnya mungkin harus ditutup agar tidak menambah beban fiskal negara,” imbuhnya.

    Menurutnya, keberhasilan Danantara juga sangat bergantung pada bagaimana entitas ini menyeimbangkan potensi keuntungan dan risiko dari konsolidasi superholding BUMN. Dengan total aset mencapai Rp9.400 triliun, Danantara memiliki potensi besar untuk meningkatkan efisiensi, menarik investasi asing, dan mendukung proyek-proyek strategis nasional.

    Namun, di sisi lain, skala besar ini juga membawa tantangan tersendiri, seperti risiko inefisiensi, korupsi, dan campur tangan politik yang bisa mengalihkan fokus dari tujuan utamanya.

    “Skala besar Danantara memang menawarkan peluang, tetapi juga membawa potensi risiko yang tinggi. Tanpa pengawasan yang ketat dan tata kelola yang transparan, Danantara berisiko menjadi alat patronase atau bahkan birokrasi tambahan yang menghambat tujuan ekonomi yang lebih luas,” jelasnya.

    Tidak hanya tantangan manajerial dan finansial, Yusuf pun menyoroti bahwa Danantara juga harus siap menghadapi resistensi dari birokrasi dan BUMN yang sudah memiliki kepentingan politik dan ekonomi yang mengakar. Selain itu, ketidakjelasan hukum bisa memicu konflik dalam hal kewenangan antar lembaga, yang pada akhirnya akan memperlambat implementasi kebijakan.

    “Birokrasi yang sudah memiliki vested interest tentu akan menantang model ini, karena akan ada perubahan dalam pengelolaan dan pengawasan. Jika Danantara tidak mampu menanggapi resistensi ini dengan baik, proses konsolidasi bisa terhambat,” ungkapnya.

    Meski model seperti Temasek yang sukses di Singapura bisa menjadi inspirasi, Yusuf menekankan bahwa Indonesia memiliki lanskap politik dan ekonomi yang jauh lebih kompleks.

    Tanpa adanya komitmen yang kuat terhadap transparansi dan akuntabilitas, Danantara berisiko hanya menjadi instrumen politik atau bahkan lapisan birokrasi tambahan yang hanya menyimpang dari misi awalnya.

    “Dalam konteks Indonesia yang penuh dinamika politik, jika tidak ada pengawasan yang ketat, Danantara bisa saja kehilangan arah dan tujuan. Di sinilah pentingnya peran masyarakat sipil, media, dan lembaga pengawasan untuk memastikan bahwa Danantara tetap pada jalur yang benar,” pungkas Yusuf.