Tag: Yusuf Rendy Manilet

  • Alokasi Utang Negara Sebaiknya Jadi Insentif Daya Beli Kelas Menengah

    Alokasi Utang Negara Sebaiknya Jadi Insentif Daya Beli Kelas Menengah

    Jakarta, Beritasatu.com – Pengamat menilai bahwa penambahan utang negara sebaiknya diarahkan untuk memperkuat daya beli masyarakat. Meski pemerintah telah meluncurkan lima paket stimulus selama Juni dan Juli 2025, tetapi upaya peningkatan daya beli masih perlu ditingkatkan.

    Pengamat Ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE Indonesia) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, utang yang ditarik pemerintah pada pertengahan tahun ini seharusnya bisa memperluas ruang fiskal untuk menggelontorkan stimulus lanjutan.

    “Kami berharap dengan penambahan utang baru ini, pemerintah tetap memberikan stimulus serupa di bulan-bulan berikutnya, khususnya yang langsung menyentuh daya beli masyarakat seperti bantuan sosial atau subsidi listrik,” ujar Yusuf kepada Beritasatu.com, Jumat (4/7/2025).

    Ia mencontohkan, subsidi listrik merupakan salah satu bentuk bantuan yang terbukti efektif menjaga konsumsi rumah tangga, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Meski wacana pemberian diskon tarif listrik sempat muncul pada Juni dan Juli, program tersebut batal direalisasikan.

    “Padahal menurut kami, diskon tarif listrik sangat bermanfaat bagi masyarakat kelas menengah ke bawah,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Yusuf menekankan bahwa bila pemerintah memutuskan menambah utang, maka alokasi anggaran idealnya diarahkan pada kebijakan yang menyentuh langsung kebutuhan kelompok rentan. Evaluasi terhadap cakupan penerima stimulus juga perlu diperhatikan agar program yang diberikan lebih tepat sasaran.

    “Bukan hanya melanjutkan kebijakan lama, tetapi juga memastikan siapa yang benar-benar membutuhkan dan mendapatkan manfaat dari stimulus tersebut,” katanya.

    Pada sisi lain, Yusuf menilai kondisi penerimaan negara yang rendah sementara belanja program cukup agresif menjadi alasan logis bagi pemerintah untuk kembali menambah utang. Program-program, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), rumah subsidi, hingga Koperasi Desa Merah Putih tentu membutuhkan dana besar.

    “Memang pemerintah membutuhkan pembiayaan tambahan karena penerimaan belum optimal, sementara harus menjalankan kebijakan fiskal yang sifatnya counter-cyclical,” ujarnya.

    Kebijakan fiskal counter-cyclical yang dimaksud, kata Yusuf, adalah penggunaan anggaran untuk mendorong ekonomi di saat pendapatan negara lemah, salah satunya karena rasio pajak nasional yang stagnan.

    “Kalau kita lihat dari sisi waktu, cukup sulit berharap rasio pajak naik secara signifikan dalam setahun. Selama lima hingga sepuluh tahun terakhir, rasio pajak masih stagnan, bahkan belum mencapai 12% dari PDB,” tambah Yusuf.

    Ia menyimpulkan bahwa selama rasio pajak belum meningkat, dan di tengah ketidakpastian ekonomi global serta perlambatan ekonomi domestik, utang masih akan menjadi motor utama penggerak ekonomi.

    “Bukan tidak mungkin, di akhir tahun atau awal tahun depan, Presiden Trump kembali menerapkan kebijakan proteksionisme, dan itu akan berdampak buruk bagi negara berkembang seperti Indonesia,” tutupnya.

  • Rupiah melemah seiring eskalasi konflik di Timur Tengah

    Rupiah melemah seiring eskalasi konflik di Timur Tengah

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Rupiah melemah seiring eskalasi konflik di Timur Tengah
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 23 Juni 2025 – 18:34 WIB

    Elshinta.com – Pengamat mata uang sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi menganggap pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah pada Senin, dipengaruhi eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah.

    Kondisi ini dinilai mengancam stabilitas pasokan minyak global dan inflasi yang akan meningkat.

    “Pasar terus merespons negatif kondisi global yang terus meningkat akibat eskalasi di Timur Tengah terus memanas setelah AS (Amerika Serikat) ikut bersama Israel melakukan penyerangan terhadap fasilitas nuklir Iran, yang membuat harga minyak mentah melambung tinggi,” ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

    Saat ini, Indonesia diperkirakan mengimpor minyak mentah sebanyak 1 juta barel per hari untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bahan bakar minyak (BBM).

    Ancaman terbesar dari konflik ini terhadap ekonomi Tanah Air berasal dari potensi lonjakan harga minyak dunia, mengingat Indonesia bukan lagi eksportir minyak bersih, sehingga setiap kenaikan harga minyak mentah secara langsung berdampak pada biaya impor dan tekanan terhadap neraca perdagangan.

    Sebagaimana diungkapkan peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, ancaman terbesar dari konflik ini terhadap ekonomi Indonesia berasal dari potensi lonjakan harga minyak dunia.

    Indonesia disebut bukan lagi eksportir minyak bersih, sehingga setiap kenaikan harga minyak mentah secara langsung berdampak pada biaya impor dan tekanan terhadap neraca perdagangan.

    Dampak lanjutan yang paling cepat terasa adalah pada nilai tukar (kurs) rupiah.

    Ketika harga minyak naik dan ketidakpastian global meningkat, lanjutnya, investor cenderung menarik dana dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk dialihkan ke berbagai aset safe haven seperti dolar Amerika Serikat (AS) atau emas. Hal ini berakibat pada pelemahan kurs rupiah.

    Pelemahan rupiah kemudian dianggap akan membawa implikasi fiskal yang cukup serius, terutama terhadap beban subsidi pemerintah.

    Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari Senin di Jakarta melemah sebesar 96 poin atau 0,58 persen menjadi Rp16.492 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.397 per dolar AS.

    Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada hari ini juga melemah ke level Rp16.484 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.399 per dolar AS.

    Sumber : Antara

  • Pertumbuhan Ekonomi 7% Sulit Digapai Tahun Ini, RI Bisa Apa?

    Pertumbuhan Ekonomi 7% Sulit Digapai Tahun Ini, RI Bisa Apa?

    Jakarta

    Pertumbuhan ekonomi senilai 7% dinilai bakal sulit digapai Indonesia akhir tahun ini. Target pertumbuhan tinggi itu sempat diungkap Presiden Prabowo Subianto, dia percaya diri hingga akhir tahun pertumbuhan sebesar 7% bisa digenjot dari perekonomian Indonesia.

    Namun, daripada mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar itu, pemerintah diminta untuk fokus mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi setidaknya sampai target 5,2% seperti dalam APBN.

    Hal ini diungkapkan oleh Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet. Menurutnya target pertumbuhan ekonomi 7% untuk jangka pendek terlalu berat untuk digapai.

    “Menurut saya, ketimbang mengejar target yang 7%, dalam jangka pendek, atau sampai akhir tahun 2025, setidaknya pemerintah perlu fokus dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi di 5%,” sebut Rendy ketika dihubungi detikcom, Senin (23/6/2025).

    Optimalisasi yang bisa dilakukan pemerintah misalnya dengan melakukan akselerasi belanja pemerintah, hingga mempertimbangkan memperluas cakupan stimulus pemerintah pada angka yang lebih rasional.

    Meski begitu, Rendy bilang target pertumbuhan sampai 7% bukan berarti menjadi semu buat ekonomi Indonesia. Target itu bisa saja ditetapkan dan diraih dalam jangka panjang.

    “Dalam jangka panjang, target pertumbuhan 7%, dapat dicapai dengan berbagai cara, misalnya dengan mengaktifkan kembali industri atau reindustrialisasi. Serta menyelesaikan berbagai permasalahan struktural, hingga peningkatan SDM,” sebut Rendy.

    Yang jelas, saat ini ekonomi Indonesia akan dihadapkan dengan kondisi ekonomi dunia yang memburuk. Perang di Timur Tengah bakal menekan minat investasi dan meningkatkan risiko nilai tukar yang melemah.

    Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira bisa saja pertumbuhan ekonomi Indonesia tak mencapai 5% tahun ini bila kondisi buruk ekonomi dunia tak diantisipasi.

    Belum lagi ada potensi harga minyak dunia akan terus meningkat seiring dengan panasnya konflik. Bila harga minyak naik terus, pada ujungnya inflasi energi bisa terjadi, khususnya apabila perusahaan sampai terpaksa melakukan penyesuaian harga BBM, LPG, dan juga tarif listrik imbas harga minyak yang meroket.

    “Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan bisa 4,5-4,7% year on year jauh dari mimpi 7%. Perang di timur tengah membuat investasi melemah, risiko kurs juga meningkat tajam,” papar Bhima kepada detikcom.

    (hal/kil)

  • Sulitnya Ekonomi RI Genjot Pertumbuhan 7% Seperti Keinginan Prabowo

    Sulitnya Ekonomi RI Genjot Pertumbuhan 7% Seperti Keinginan Prabowo

    Jakarta

    Ekonomi Indonesia diperkirakan bisa tumbuh sampai 7% tahun ini. Perkiraan ini diungkapkan Presiden Prabowo Subianto di depan publik internasional pada pidatonya di dalam St. Petersburg International Economic Forum 2025 akhir pekan lalu.

    Menurut prediksi, yang diklaimnya didapatkan dari para ahli ekonomi, perrtumbuhan ekonomi Indonesia di akhir tahun akan mencapai 7%. Sementara itu di tengah tahun ini, ekonomi Indonesia akan kembali tumbuh ke level 5% untuk hitungan satu semester. Di kuartal I sebelumnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit melambat dengan pertumbuhan cuma 4,87%.

    “Para ahli saya mengatakan kepada saya bahwa pada semester pertama ini, pertumbuhan ekonomi kita lebih dari 5%. Bahkan, pada akhir tahun ini, pertumbuhan ekonomi kita bisa mencapai hampir 7% atau bahkan lebih,” beber Prabowo saat berpidato di St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025.

    Sulit Diwujudkan

    Pertumbuhan ekonomi hingga 7% di akhir tahun ini sendiri dinilai bakal sulit untuk diwujudkan. Menurut Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet dibutuhkan setidaknya pertumbuhan ekonomi hingga 7% selama kuartal II, III, dan IV tahun ini bila ingin apa yang diungkapkan Prabowo terwujud.

    “Saya kira sangat sulit, jika tidak mau dikatakan mustahil, untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 7% di akhir tahun ini. Jika berkaca pada pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama, maka di sisa kuartal di tahun ini, dibutuhkan pertumbuhan setidaknya 7% di setiap kuartalnya,” beber Rendy ketika dihubungi detikcom, Senin (23/6/2025).

    Target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% disebut jauh dari realitas yang ada saat ini, saat capaian pertumbuhan ekonomi di Indonesia stagnan di 5%.

    Rendy mengatakan kalaupun pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi melalui intervensi fiskal, hasilnya pasti tak bisa instan. Tantangannya juga banyak agar belanja pemerintah bisa diserap dengan baik untuk mengungkit pertumbuhan.

    “Kalau pun pemerintah ingin mendorong pertumbuhan tersebut melalui intervensi kebijakan fiskal, ini juga masih akan menemui tantangan karena dibutuhkan waktu untuk kemudian menyerap belanja pemerintah yang akan dikeluarkan dari rencana stimulus yang dikeluarkan pemerintah,” sebut Rendy.

    Pertumbuhan Ekonomi di Bawah 5%

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira justru menyebut kemungkinan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini justru bakal berada di bawah 5%. Jauh dari target Prabowo hingga 7%.

    Dia mengatakan kondisi ekonomi dunia yang buruk bakal menghantam Indonesia. Perang di Timur Tengah bakal menekan minat investasi dan meningkatkan risiko nilai tukar yang melemah.

    “Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan bisa 4,5-4,7% year on year jauh dari mimpi 7%. Perang di timur tengah membuat investasi melemah, risiko kurs juga meningkat tajam,” papar Bhima kepada detikcom.

    Belum lagi ada potensi harga minyak dunia akan terus meningkat seiring dengan panasnya konflik. Bila harga minyak naik terus, pada ujungnya inflasi energi bisa terjadi, khususnya apabila perusahaan sampai terpaksa melakukan penyesuaian harga BBM, LPG, dan juga tarif listrik imbas harga minyak yang meroket.

    Dari sisi masyarakat, Bhima mengatakan akan sulit menggenjot pertumbuhan ekonomi bila konsumsi rumah tangga daya belinya lesu. Potensi penambahan pendapatan masyarakat juga banyak hilang karena PHK massal terjadi, konsumsi masyarakat menurutnya kian melemah paska lebaran.

    Sementara itu, dari sisi pemerintah, dia menilai banyak sekali kebijakan yang justru tak mampu mengungkit gerak perekonomian.

    “Efisiensi anggaran pemerintah menambah berat tekanan ekonomi, di saat yang sama program populis MBG belum bisa jadi penggerak roda ekonomi dibanding efek efisiensi belanja lainnya,” pungkas Bhima.

    Tonton juga “Gubernur Lemhannas: Rebana Berpotensi Jadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru” di sini:

    (kil/kil)

  • Indikator Ekonomi Belum Sesuai Ekspektasi, Perlukah Revisi Target APBN?

    Indikator Ekonomi Belum Sesuai Ekspektasi, Perlukah Revisi Target APBN?

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah indikator ekonomi makro mulai dari pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, hingga harga minyak mentah Indonesia alias Indonesia Crude Price atau ICP belum bergerak sesuai ekspektasi.

    Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai jika mengikuti aturan, sebenarnya kondisi saat ini sudah memenuhi persyaratan pemerintah untuk melakukan penyesuaian pada APBN. 

    Melihat data Kementerian Keuangan soal perkembangan Asumsi Dasar Ekonomi Makro (ADEM) 2025 per Mei 2025, dari tujuh indikator, ICP dan inflasi masih dalam jangkauan pemerintah. 

    Sayangnya, Yusuf memandang pelaksanaan APBN Perubahan (APBN-P) tampaknya sulit dilakukan karena pemerintah punya sederet pekerjaan rumah, yakni perumusan APBN 2026. 

    “Apakah kemudian Pemerintah perlu melakukan penyesuaian dari asumsi makro, menurut saya ini akan tergantung pada apakah perubahan yang terjadi saat ini akan lebih banyak merugikan atau menguntungkan APBN,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (22/6/2025). 

    Misalnya, kata Yusuf, untuk harga komoditas saat ini meskipun berada pada kondisi geopolitik yang bisa mempengaruhi ICP pada asumsi makro namun harga minyak global, saat ini masih berada pada batas asumsi makro yang ditetapkan oleh pemerintah.

    “Dalam konteks tersebut, saya prediksi pemerintah tidak akan mengubah asumsi untuk ICP selama harga minyak belum melampaui asumsi ICP APBN,” lanjutnya. 

    Secara perinci melihat perkembangan ADEM 2025, pada saat rupiah terpengaruh dinamika global dan gejolak pasar keuangan akibat arah kebijakan AS, yield SBN justru terjaga dan relatif stabil meski menghadapi gejolak pasar uang dan dinamika global.

    Imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun yang per 13 Juni 2025 sebesar 6,89%, bergerak mendekati asumsi 7%. 

    Pada periode yang sama, rupiah yang diasumsikan senilai Rp16.000 per dolar AS tercatat rata-rata senilai Rp16.437 (year to date/YtD). Sementara pada penutupan perdagangan Jumat (20/6/2025), rupiah bertengger di level Rp16.396,5 per dolar—lebih tinggi dari asumsi.

    Perkembangan ADEM 2025

    Indikator 
    APBN
    Realisasi 

    Pertumbuhan ekonomi (%, YoY)
    5,2
    4,87 (kuartal I/2025)

    Inflasi (%)
    2,5
    1,6 (YoY), -0,37% (MtM)

    Nilai tukar (Rp/US$)
    16.000
    16.237 (eop), 16.437 (YtD)

    Yield SBN 10 Tahun )%)
    7
    6,89 (eop), 6,72 (YtD)

    ICP (US$/barel)
    82
    62,75 (eop), 70,05 (YtD)

    Lifting minyak (rbph)
    605
    657,9

    Lifting gas (rbsmph)
    1.005
    987,5

    Sumber: Kemenkeu 

    Keterangan: realisasi akhir Mei 2025

    eop: per 13 Juni 2025 

    YtD: per akhir Mei 2025

    Pergerakan tersebut pun turut terjadi pada target ekonomi yang meski tetap tumbuh positif di tengah gejolak global, namun tidak sesuai harapan 5,2%. Pada kuartal I/2025, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,87% secara tahunan. 

    Sementara inflasi per Mei 2025 cukup rendah di level 1,6% year on year (YoY), namun masih dalam target pemerintah dan Bank Indonesia di kisaran 1,5%—3,5%. 

    Lifting minyak per akhir Mei tercatat sejumlah 567,9 ribu barel per hari, di bawah target 605 ribu barel per hari. Sementara lifting gas juga masih rendah di angka 987,5 ribu barel setara minyak per hari dari target 1.005 ribu barel setara minyak per hari. 

    Terakhir, harga ICP terpantau masih di bawah batas asumsi, yakni US$62,75 per barel dari target US$82 per barel. 

    Dalam sepekan terakhir sejalan dengan meningkatnya tensi Israel dengan Iran, ICP terpantau belum melonjak selayaknya Brent. 

    Di mana ICP pada akhir perdagangan Jumat (20/6/2025), berada di angka US$65,29 per barel—termasuk dalam level terendah sepanjang tahun ini—sementara Brent ditutup pada US$77,17 per barel usai mencapai level tertinggi sepanjang tahun ini pada 19 Juni 2025 senilai US$78,85 per barel. 

    Pada dasarnya asumsi makro menjadi acuan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Misalnya, harga minyak global dan rupiah akan mempengaruhi besaran subsidi energi. 

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menekankan bahwa APBN bukanlah sesuatu yang tetap, namun bergerak mengikuti kondisi perkembangan ekonomi, misalnya oleh kejadian perang yang berlangsung di sejumlah tempat.  

    Tiga indikator yakni ICP, lifting minyak, dan gas, selain dipengaruhi oleh kondisi di dalam negeri kita, terutama untuk sektor pertahanan minyak juga dipengaruhi oleh apa yang sekarang sedang berlangsung di Timur Tengah, yaitu perang antara Israel dengan Iran. 

    “Tadi karena semua bergerak, jadi APBN itu bukanlah sesuatu yang fix atau tetap, tapi dia terus-menerus mengalami dampak dari kondisi ekonomi yang bergerak,” jelasnya beberapa waktu lalu. 

    Meski demikian, pemerintah terus melakuakn mitigasi khususnya soal pertumbuhan ekonomi dengan melalukan kebijakan countercyclical untuk menahan agar ekonomi tetap tumbuh mendekati 5% pada tahun ini. 

  • Lelang Surat Utang Negara Diyakini Alami Kelebihan Permintaan

    Lelang Surat Utang Negara Diyakini Alami Kelebihan Permintaan

    Jakarta, Beritasatu.com – Ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI) sebesar 50–75 bps menjadi narasi dominan yang membentuk persepsi positif terhadap instrumen Surat Berharga Negara (SBN). Stabilitas inflasi dan nilai tukar rupiah yang terjaga turut memperkuat daya tarik investasi.

    “Ketika suku bunga turun, imbal hasil obligasi di pasar sekunder juga cenderung turun. Ini menciptakan peluang capital gain bagi investor yang sudah memegang obligasi atau masuk sebelum yield lebih rendah. Kondisi ini menjadikan SBN sangat menarik saat ini,” jelas peneliti Ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet.

    Meskipun, sepanjang awal tahun 2025 investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) sekira Rp 49 triliun di pasar keuangan, pasar obligasi menunjukkan arah berbeda.

    Data per akhir Mei mencatat, kepemilikan asing di SBN naik menjadi sekira Rp 926 triliun atau setara 14,60% dari total outstandin, tingkat tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Ini menunjukkan bahwa minat asing terhadap instrumen berdenominasi rupiah mulai pulih, bahkan sebelum keputusan suku bunga BI diumumkan.

    Menurut Yusuf, kepercayaan investor terhadap fundamental ekonomi Indonesia dan prospek capital gain dari yield tinggi menjadi modal penting menjelang pekan depan, di mana pasar akan mencermati dua hal: rilis data inflasi Amerika Serikat dan sinyal kebijakan dari Bank Indonesia.

    Pemerintah dijadwalkan akan melelang tujuh seri SBSN dengan target indikatif sebesar Rp 8 triliun. Seri benchmark seperti PBS tenor 5 dan 10 tahun diprediksi akan menjadi incaran utama investor institusi karena menawarkan kombinasi likuiditas yang baik dan durasi yang menarik.

  • Harga Emas Dorong Inflasi Inti Naik, Daya Beli Masyarakat Masih Lemah

    Harga Emas Dorong Inflasi Inti Naik, Daya Beli Masyarakat Masih Lemah

    Bisnis.com, JAKARTA — Komponen inti tercatat mengalami inflasi tahunan yang lebih tinggi, dari Maret sebesar 2,48% menjadi 2,5% pada April 2025. 

    Jika dibandingkan dengan April 2024 yang sebesar 1,82%, inflasi inti atau core inflation April 2025 masih lebih tinggi. Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, inflasi inti biasanya mencerminkan tekanan harga dari sisi permintaan, sehingga sering digunakan sebagai indikator daya beli masyarakat.

    Sementara untuk menilai cerminan daya beli yang membaik dibutuhkan inflasi inti secara lebih spesifik. Yusuf melihat berdasarkan data terbaru itu,  meski naik, namun bukan didorong oleh  pemulihan daya beli masyarakat, melainkan akibat kenaikan harga emas perhiasan. 

    Emas perhiasan maupun logam belakangan diburu masyarakat sebagai sarana investasi. Yusuf menekankan bahwa emas yang digunakan sebagai aset investasi tidak sama dengan barang konsumsi sehari-hari seperti makanan atau kebutuhan pokok. 

    “Artinya, meskipun inflasi inti sedikit meningkat, kenaikan ini tidak serta merta menunjukkan bahwa masyarakat memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan pada kebutuhan dasar,” ujarnya, Jumat (2/5/2025). 

    Daya beli yang semakin lemah dibuktikan dari data penjualan eceran yang menunjukkan perlambatan. 

    Bank Indonesia melaporkan kinerja penjualan eceran meningkat 3,3% secara bulanan atau month to month/MtM pada Februari 2025. Pertumbuhan tersebut menandai kenaikan signifikan Indeks Penjualan Riil (IPR) dari 211,5 menjadi 218,5. Jika dibandingkan dengan Januari 2025, sebelumnya terdapat kontraksi sebesar 4,7% MtM. Bahkan, proyeksi untuk Maret 2025 menunjukkan potensi penurunan lebih lanjut.

    Jika daya beli masyarakat benar-benar membaik, seharusnya penjualan eceran meningkat, bukan menurun. “Penurunan ini mengisyaratkan bahwa kemampuan masyarakat untuk berbelanja justru melemah, yang bertolak belakang dengan anggapan bahwa inflasi inti yang lebih tinggi menandakan daya beli yang lebih kuat,” tutur Yusuf. 

    Deputi Bidang Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Pudji Ismartini menyampaikan secara umum, tingkat inflasi Indonesia April 2025 mencapai 1,95% YoY, lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar 1,01%. Tingkat inflasi komponen inti meningkat dibandingkan bulan yang sama tahun lalu, yakni dari 1,82% menjadi 2,5% YoY. 

    Komoditas yang memberikan andil inflasi pada April 2025 di antaranya adalah emas perhiasan, kopi bubuk, minyak goreng, nasi dengan lauk dan sewa rumah.

  • Pertumbuhan Investasi Melambat, Ekonom Ungkap Penyebab dan Dampaknya

    Pertumbuhan Investasi Melambat, Ekonom Ungkap Penyebab dan Dampaknya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan realisasi investasi Indonesia pada kuartal I/2025 melambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan permintaan dari dalam dan luar negeri diyakini menjadi penyebabnya.

    Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menjelaskan secara eksternal, ketidakpastian global yang timbul akibat eskalasi perang dagang bisa menjadi pemicu penurunan investasi langsung.

    Yusuf mencontohkan pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia seperti Amerika Serikat (AS) dan China berpotensi mengalami perlambatan akibat perang dagang. Akibatnya, terjadi penurunan permintaan komoditas utama ekspor Indonesia seperti minyak sawit (CPO) dan batu bara dari  negara-negara tersebut.

    “Hal ini diperparah penurunan indeks harga komoditas energi dari 100,8 pada 2024 menjadi 94,5 pada 2025. Penurunan harga ini tidak hanya menekan pendapatan ekspor, tetapi juga mengurangi daya tarik sektor ekstraktif bagi investor,” jelas Yusuf kepada Bisnis, Selasa (29/4/2025).

    Selain tekanan eksternal, dia meyakini faktor domestik turut memperlemah kinerja investasi. Menurutnya, ketidakpastian politik dan kebijakan fiskal di masa transisi pemerintahan mendorong pelaku usaha untuk bersikap menunggu dan mengawasi (wait-and-see).

    Akibatnya, pelaku usaha menunda ekspansi sampai regulasi dan insentif yang akan diberikan pemerintah baru sudah lebih jelas.

    Di sisi lain, sambungnya, deflasi yang terjadi pada Januari–Februari 2025 menjadi sinyal melemahnya permintaan domestik. Meskipun secara teknis menurunkan harga barang, Yusuf melihat deflasi tersebut mencerminkan turunnya daya beli masyarakat.

    “Yang pada akhirnya mengurangi prospek pasar domestik sebagai tujuan investasi dan juga menahan pelaku usaha untuk melakukan ekspansi menjadi lebih besar,” ungkapnya.

    Selain itu, Yusuf melihat kondisi moneter global dan domestik juga mempengaruhi investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal. Prospek ketidakpastian global dan kenaikan harga-harga barang impor membuat bank-bank sentral cenderung menahan suku bunga.

    Dia mencontohkan Bank sentral AS Federal Reserve alias The Fed yang diprediksi hanya menurunkan suku bunga sebesar 0,5% pada 2025, yang mana lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya. Akibatnya, bank sentral negara lain seperti Indonesia akan turut lebih lama mempertahankan suku bunga tinggi agar menahan modal asing dari pasar keuangan dalam negeri.

    Sejalan dengan itu, Yusuf meyakini biaya pinjaman akan semakin meningkat. Setidaknya itu terlihat dari adanya indikasi perlambatan pertumbuhan kredit perbankan dari 10,3% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada Februari menjadi 9,16% YoY pada Maret 2025.

    “Meskipun kredit investasi masih tumbuh cukup tinggi 13,36% YoY, perlambatan pada kredit konsumsi dan modal kerja menunjukkan menurunnya aktivitas ekonomi secara keseluruhan, yang akhirnya menahan ekspansi sektor riil,” ungkapnya.

    Masalahnya, sambung Yusuf, investasi menjadi salah satu komponen penting dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB). Sepanjang tahun lalu misalnya, investasi berkontribusi hingga 29,15% terhadap pembentukan PDB Indonesia (tertinggi kedua setelah konsumsi rumah tangga).

    “Ketika pertumbuhan PMTB [investasi] melambat, kontribusinya terhadap PDB pun menurun. Dengan demikian, perlambatan investasi menjadi salah satu faktor utama di balik melambatnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal 2025,” tutup Yusuf.

    Data Perlambatan Investasi

    Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani melaporkan bahwa realisasi investasi mencapai Rp465,2 triliun selama Januari—Maret 2025. Realisasi itu tumbuh 15,9% YoY.

    Kendati demikian, jika dibandingkan dengan pertumbuhan investasi pada periode yang sama tahun lalu maka terjadi perlambatan pertumbuhan.

    BKPM mencatat realisasi investasi mencapai Rp401,5 triliun pada kuartal I/2024, yang mana angka tersebut tumbuh sebesar 22,1% YoY. Artinya, pertumbuhan investasi tahun lalu lebih tinggi daripada tahun ini.

    Rosan tidak mau mengomentari terkait perlambatan pertumbuhan investasi tersebut. Kendati demikian, dia juga menyoroti sejumlah persoalan.

    Mantan bos Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu menyatakan pihaknya ingin terus melakukan penyempurnaan iklim investasi Tanah Air.

    “Bagaimana kita lebih memberikan kepastian baik dari segi waktu, baik dari perizinan,” jelas Rosan dalam konferensi pers di Kantor BKPM, Jakarta Selatan, Selasa (29/4/2025).

    Selain itu, dia juga menyoroti persoalan premanisme yang mengganggu iklim investasi. Rosan mengaku sudah menerima keluhan dari investor terkait permasalahan tersebut.

    “Kami pun berkoordinasi dengan Kapolri dan juga dengan pemerintah daerah, untuk memastikan hal-hal ini jangan terjadi lah karena ini memberikan dampak yang negatif ya terhadap investasi yang masuk,” kata Rosan.

  • Ada Sinyal Daya Beli Lemah, Ekonomi Kuartal I/2025 Diramal Sekitar 5%

    Ada Sinyal Daya Beli Lemah, Ekonomi Kuartal I/2025 Diramal Sekitar 5%

    Bisnis.com, JAKARTA — Pelemahan daya beli berkali-kali pemerintah bantah meskipun sejumlah kondisi ekonomi telah menunjukkan sinyal adanya penurunan.

    Sebut saja deflasi beruntun dan terdalam dalam 25 tahun terakhir, keyakinan konsumen yang turun pada Februari 2025, hingga Indeks Penjualan Riil (IPR) yang kontraksi pada Januari 2025 sebesar 4,7% month to month (MtM). 

    Bahkan tradisi pulang kampung yang menjadi penggerak ekonomi tahunan, diprediksi terjadi penurunan jumlah pemudik pada Idulfitri/Lebaran tahun ini—yang jatuh di penghujung Maret 2025 atau akhir kuartal I/2025. 

    Di tengah munculnya sinyal-sinyal tersebut, peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan di LPEM FEB UI Teuku Riefky menyampaikan turunnya jumlah pemudik akan semakin berdampak terhadap koreksi ekonomi kuartal I/2025. 

    Riefky melihat pelemahan efek Ramadan maupun Idulfitri/Lebaran kemungkinan besar sudah muncul sejak periode yang sama tahun lalu, tetapi pada 2024 terdapat buffer berupa kegiatan Pemilu sehingga ekonomi mampu tumbuh 5,11%. 

    “Dampaknya terhadap perekonomian kuartal I/2025 masih mungkin 5%, tetapi sangat tipis, mungkin 5,0% sekian,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (25/3/2025). 

    Pelemahan maupun penurunan daya beli yang terjadi pasalnya terjadi pada kelompok menengah bawah, sementara kebijakan pemerintah yang dikeluarkan menjelang Lebaran lagi-lagi berpihak kepada kelompok menengah atas. 

    Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mencontohkan pencairan Tunjangan Hari Raya (THR) untuk sektor swasta seringkali terlambat, bahkan kerap menjadi polemik tahunan. 

    Keterlambatan ini memangkas daya beli masyarakat karena dana baru tersedia menjelang hari-H, saat harga kebutuhan pokok dan transportasi sudah melambung.

    Sementara diskon tarif tol hanya membantu pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi, sementara 60% pemudik mengandalkan transportasi umum seperti bus, kereta ekonomi, atau kapal laut—yang justru tidak mendapat subsidi serupa. 

    “Padahal, kenaikan harga tiket bus atau kapal mencapai 30%—50% saat puncak mudik, jauh melampaui kemampuan finansial buruh atau pekerja informal,” tuturnya. 

    Pada kesempatan berbeda, Ekonom Center on Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet mengamini bahwa prediksi jumlah pemudik yang lebih rendah menjadi salah satu indikator terkait kemampuan konsumsi masyarakat di Ramadan dan Lebaran.

    Apalagi jika indikator dari jumlah pemudik ini nantinya dikombinasikan dengan indikator lain seperti misalnya indikator penjualan riil, kemudian indikator pengunjung pusat perbelanjaan yang di beberapa kesempatan disampaikan mengalami perlambatan dibandingkan tahun lalu. 

    Yusuf berpandangan, beberapa kondisi tersebut dapat menjadi merupakan indikasi kuat terkait lebih lambatnya konsumsi rumah tangga di Ramadan dan jelang Lebaran tahun ini dibandingkan tahun lalu.

    “Saya kira ini juga akan ikut mempengaruhi bagaimana capaian pertumbuhan ekonomi terutama di kuartal pertama tahun ini,” ungkapnya. 

    Adapun Core masih menghitung estimasi pertumbuhan ekonomi kuartal I/2025, tetapi untuk sementara pihaknya memprediksi akan berada di rentang 4,9%—5%. 

    Untuk tahun ini, pemerintah menetapkan target pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 5,2%—tak berbeda dengan target 2024.

  • Rupiah Terburuk sejak Krisis Moneter, Awas Harga Melonjak hingga Beban Utang Meningkat

    Rupiah Terburuk sejak Krisis Moneter, Awas Harga Melonjak hingga Beban Utang Meningkat

    Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat anjlok hingga mencapai level terburuk sejak krisis keuangan 1998 pada hari ini, Selasa (25/3/2025). Ekonom menjelaskan pelemahan nilai rupiah tersebut akan berdampak ke kenaikan harga barang/jasa hingga beban utang pemerintah yang semakin berat.

    Dilansir dari Bloomberg, rupiah sempat melemah 0,5% ke level Rp16.642 per dolar AS pada Selasa (25/3/2025). Level itu merupakan level terlemah rupiah di hadapan dolar AS sejak krisis keuangan pada Juni 1998. 

    Ekonom Center on Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menjelaskan dampak pasti yang akan terasa yaitu dari sisi perdagangan. Alasannya, pelemahan rupiah akan membuat biaya atau selisih yang ditanggung untuk membayar kebutuhan barang impor relatif menjadi lebih mahal.

    “Ketika nilai impor menjadi lebih besar, pelaku usaha atau industri berpotensi untuk melakukan penyesuaian harga. Penyesuaian harga yang dilakukan bukan tidak mungkin akan ditransmisikan ke harga yang harus ditanggung oleh konsumen atau masyarakat,” ujar Yusuf kepada Bisnis, Selasa (25/3/2025).

    Dengan demikian, terjadi kenaikan harga konsumen. Pada akhirnya, kelemahan nilai tukar rupiah ataupun perubahan nilai tukar secara umum menyebabkan peningkatan inflasi di dalam negeri.

    Di samping itu, Yusuf menjelaskan pelemahan nilai tukar rupiah juga akan berdampak ke signifikan terhadap struktur APBN baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran.

    Di sisi penerimaan, sambungnya, depresiasi rupiah cenderung meningkatkan nilai ekspor yang dihitung dalam rupiah karena produk-produk ekspor menjadi lebih kompetitif di pasar internasional. Dalam hal ini, dampaknya akan positif.

    “Hal ini berpotensi menambah penerimaan devisa yang pada gilirannya mendukung peningkatan pajak terkait ekspor dan penerimaan non pajak dari sektor komoditas, terutama yang bernilai tinggi dan dihargai dalam mata uang asing,” jelasnya.

    Selain itu, meski volume impor bisa menurun karena harga yang relatif lebih mahal, nilai impor yang lebih tinggi dalam rupiah juga dapat meningkatkan penerimaan dari bea masuk dan pajak impor.

    Di sisi pengeluaran, Yusuf menjelaskan pelemahan rupiah cenderung membengkakkan pos-pos yang terkait dengan pembayaran utang luar negeri serta pengadaan barang dan jasa impor.

    Artinya, jika pemerintah memiliki utang yang berbasis mata uang asing maka beban bunga dan pelunasan pokok utang akan meningkat secara nominal dalam rupiah sehingga menekan sisi belanja APBN.

    Tak sampai situ, pengadaan barang impor untuk kebutuhan operasional dan belanja modal pemerintah juga akan mengalami kenaikan harga sehingga berdampak pada peningkatan pengeluaran.

    “Kondisi ini berpotensi memicu inflasi yang, pada gilirannya, dapat menambah beban pengeluaran untuk subsidi atau program penyesuaian sosial guna menjaga daya beli masyarakat,” ungkap Yusuf.

    Dia pun mendorong agar pemerintah meninjau kembali asumsi nilai tukar yang digunakan dalam penyusunan APBN 2025. Menurutnya, langkah tersebut krusial agar proyeksi penerimaan dan pengeluaran negara mencerminkan kondisi pasar yang lebih realistis.

    “Dengan menyesuaikan asumsi, pemerintah dapat mengantisipasi pembengkakan biaya utang dan harga barang impor serta memaksimalkan potensi peningkatan penerimaan dari sektor ekspor,” tutup Yusuf.