Tag: Yustinus Prastowo

  • Ekonomi Tumbuh 5,12%, tapi Penerimaan Pajak Malah Anjlok! Kok Bisa?

    Ekonomi Tumbuh 5,12%, tapi Penerimaan Pajak Malah Anjlok! Kok Bisa?

    Jakarta

    Ekonomi Indonesia baru diumumkan tumbuh 5,12% secara tahunan pada kuartal II-2025. Kinerja positif itu tidak sesuai dengan beberapa indikator ekonomi lainnya, termasuk penerimaan pajak yang justru mengalami penurunan.

    Pengamat perpajakan yang juga merupakan Eks Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo mengatakan ada beberapa penyebab penerimaan pajak turun saat ekonomi tumbuh hingga 5,12%.

    “BPS baru saja mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi Q2 sebesar 5,12%. Harapan lantas menyembul di tengah berbagai ketidakpastian dan tantangan yang datang silih berganti. Tapi kenapa penerimaan pajak turun? Ada beberapa penyebab dan penjelasan menurut saya,” katanya dikutip dari unggahan resmi media sosial X @prastow.

    Sebagai informasi, sampai semester I-2025 realisasi penerimaan pajak turun 6,21% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jumlahnya terkumpul Rp 837,8 triliun atau 38% dari target.

    Menurut Prastowo, penyebab pertama adalah adanya kejadian yang tidak berulang, seperti restitusi. Awal tahun 2025 terdapat restitusi (pengembalian kelebihan pajak) yang jumlahnya cukup besar dan tidak terjadi di tahun sebelumnya.

    “Tentu ini berpengaruh pada penerimaan neto kita. Semester II-2025 mestinya restitusi akan melandai dan normal,” ucapnya.

    Penyebab kedua adalah bedanya waktu pencatatan karena administrasi pajak pada umumnya menggunakan basis bulan penuh untuk mencatat dan menghitung kewajiban, sehingga pembayaran/pelaporan dilakukan di bulan berikutnya. Misal kinerja Mei yang dicatat BPS di kuartal II, akan menjadi penerimaan pajak di Juni atau kuartal III.

    Penyebab ketiga turunnya penerimaan pajak karena batalnya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang sebelumnya berpotensi menambah Rp 71 triliun. Hal ini membuat target terlalu besar dan gap melebar.

    Di sisi lain, pemerintah tetap memberikan berbagai stimulus dan insentif, termasuk insentif pajak yang menjadi penyebab keempat turunnya penerimaan pajak.

    “Tentu ini akan mengurangi realisasi penerimaan pajak, meski sebagai kebijakan berdampak positif terhadap perekonomian. Maka dalam menilai kinerja perpajakan, seyogianya juga memperhitungkan tax expenditure,” tuturnya.

    Penyebab kelima adalah adanya pengaruh Coretax. Dampak pemberlakuan Coretax di awal tahun yang belum sempurna untuk mendukung pelaksanaan kewajiban perpajakan, membuat pembayaran mengalami penundaan.

    “Akibatnya, pembayaran tertunda ke bulan-bulan berikutnya. Hal ini berangsur normal dan mestinya stabil di semester II,” jelas Prastowo.

    Penyebab keenam adalah adanya sektor yang tumbuh dan stagnan yang bisa jadi sebagai penyumbang besar penerimaan. Kemudian di awal tahun ada penyesuaian atau efisiensi belanja pemerintah yang berpengaruh ke penerimaan pajak.

    “Semoga kinerja perekonomian konsisten membaik, penerimaan pajak lekas pulih dan pemerintah dapat terus fokus ke upaya penciptaan lapangan kerja, menjaga daya beli dan pemerataan kesejahteraan,” harap Prastowo.

    (aid/rrd)

  • Ekonomi Tumbuh 5,12% tapi Penerimaan Pajak Turun, Kok Bisa?

    Ekonomi Tumbuh 5,12% tapi Penerimaan Pajak Turun, Kok Bisa?

    Jakarta

    Pertumbuhan ekonomi Indonesia baru saja diumumkan tumbuh 5,12% secara tahunan pada kuartal II-2025. Kinerja positif itu tidak sesuai dengan beberapa indikator ekonomi lainnya, termasuk penerimaan pajak yang justru mengalami penurunan.

    Pengamat perpajakan yang juga merupakan Eks Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo mengatakan ada beberapa penyebab penerimaan pajak turun saat ekonomi tumbuh hingga 5,12%.

    “BPS baru saja mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi Q2 sebesar 5,12%. Harapan lantas menyembul di tengah berbagai ketidakpastian dan tantangan yang datang silih berganti. Tapi kenapa penerimaan pajak turun? Ada beberapa penyebab dan penjelasan menurut saya,” katanya dikutip dari unggahan resmi media sosial X @prastow, Jumat (8/8/2025).

    Sebagai informasi, sampai semester I-2025 realisasi penerimaan pajak turun 6,21% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jumlahnya terkumpul Rp 837,8 triliun atau 38% dari target.

    Menurut Prastowo, penyebab pertama adalah adanya kejadian yang tidak berulang, seperti restitusi. Awal tahun 2025 terdapat restitusi (pengembalian kelebihan pajak) yang jumlahnya cukup besar dan tidak terjadi di tahun sebelumnya.

    “Tentu ini berpengaruh pada penerimaan neto kita. Semester II-2025 mestinya restitusi akan melandai dan normal,” ucapnya.

    Penyebab kedua adalah bedanya waktu pencatatan karena administrasi pajak pada umumnya menggunakan basis bulan penuh untuk mencatat dan menghitung kewajiban, sehingga pembayaran/pelaporan dilakukan di bulan berikutnya. Misal kinerja Mei yang dicatat BPS di kuartal II, akan menjadi penerimaan pajak di Juni atau kuartal III.

    Penyebab ketiga turunnya penerimaan pajak karena batalnya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang sebelumnya berpotensi menambah Rp 71 triliun. Hal ini membuat target terlalu besar dan gap melebar.

    Di sisi lain, pemerintah tetap memberikan berbagai stimulus dan insentif, termasuk insentif pajak yang menjadi penyebab keempat turunnya penerimaan pajak.

    “Tentu ini akan mengurangi realisasi penerimaan pajak, meski sebagai kebijakan berdampak positif terhadap perekonomian. Maka dalam menilai kinerja perpajakan, seyogianya juga memperhitungkan tax expenditure,” tuturnya.

    Penyebab kelima adalah adanya pengaruh Coretax. Dampak pemberlakuan Coretax di awal tahun yang belum sempurna untuk mendukung pelaksanaan kewajiban perpajakan, membuat pembayaran mengalami penundaan.

    “Akibatnya, pembayaran tertunda ke bulan-bulan berikutnya. Hal ini berangsur normal dan mestinya stabil di semester II,” jelas Prastowo.

    Penyebab keenam adalah adanya sektor yang tumbuh dan stagnan yang bisa jadi sebagai penyumbang besar penerimaan. Kemudian di awal tahun ada penyesuaian atau efisiensi belanja pemerintah yang berpengaruh ke penerimaan pajak.

    “Semoga kinerja perekonomian konsisten membaik, penerimaan pajak lekas pulih dan pemerintah dapat terus fokus ke upaya penciptaan lapangan kerja, menjaga daya beli dan pemerataan kesejahteraan,” harap Prastowo.

    (aid/rrd)

  • Atasi Kemiskinan, Pemprov DKI Terapkan 7 Strategi Ini – Page 3

    Atasi Kemiskinan, Pemprov DKI Terapkan 7 Strategi Ini – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta fokus menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata, sebagai respons cepat dalam mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial yang terjadi di Ibu Kota.  

    “Fokus kami bukan hanya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga mempersempit kesenjangan. Kami ingin memastikan pertumbuhan ekonomi Jakarta lebih merata dan adil,” ungkap Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, Suharini Eliawati. 

    “Beban ekonomi makin berat dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Kami akan mengambil tujuh langkah cepat untuk mengatasi kemiskinan baru dan menekan ketimpangan,” ujar Suharini di Balai Kota Jakarta, pada Senin (28/7).

    Pemprov DKI pun segera menyiapkan tujuh langkah strategis yang akan dilakukan untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ini.

    1. Memperluas dan memperkuat bantuan sosial (bansos), dengan menyasar kelompok hampir miskin dan masyarakat yang baru jatuh miskin akibat tekanan ekonomi. Gubernur Pramono terus menyalurkan bansos sebagai langkah cepat untuk merespons kondisi ekonomi terkini warga Jakarta. 

    Adapun bansos yang disalurkan Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Sosial DKI Jakarta, antara lain melalui Kartu Lansia Jakarta (KLJ), Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta (KPDJ), dan Kartu Anak Jakarta (KAJ) dengan jumlah penerima manfaat mencapai 149.687. Bantuan yang diberikan adalah sebesar Rp300.000 per bulan. 

    Dikutip dari situs Dinas Sosial DKI Jakarta, Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta, Iqbal Akbarudin, mengatakan, pencairan bansos KLJ, KPDJ, dan KAJ merupakan bagian dari komitmen Pemprov DKI Jakarta dalam mempercepat penanggulangan kemiskinan, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas dan anak-anak dari keluarga prasejahtera.

    Leni (42), yang bekerja sebagai driver salah satu layanan antar makanan menyebutkan bahwa bansos yang diberikan Pemprov DKI sangat membantu kehidupan sehari-harinya. 

    “Kalau bansos Alhamdulillah ikut merasakan manfaatnya. Saya daftarin anak biar dapet KJP. Selain itu kakak saya juga disabilitas, tapi bukan disabilitas dari lahir. Dia pernah kecelakaan terus tidak bisa berjalan lagi. Nah, dia juga dapat bansos untuk disabilitas. Semoga ke depannya pemerintah juga kasih bantuan-bantuan lain dan lebih memperhatikan masyarakat kayak kita gini,” cerita Leni. 

    2. Mengendalikan inflasi pangan dan energi, melalui intervensi harga pasar, subsidi ongkos distribusi, serta memperkuat cadangan pangan strategis. Kenaikan harga bahan pokok yang tidak stabil membuat masyarakat menengah ke bawah merasakan dampaknya. 

    Pengendalian inflasi pangan selama ini konsisten dilakukan oleh Pemprov DKI. Misalnya, operasi pasar besar-besaran untuk menjaga kestabilan harga bahan pokok jelang Ramadan. Pemprov DKI terus melakukan pengendalian lewat intervensi harga pasar, subsidi ongkos distribusi dan memperkuat cadangan pangan strategis. 

    3. Meningkatkan akses terhadap hunian dan layanan dasar dengan menyediakan hunian terjangkau dan subsidi untuk listrik, transportasi publik, serta pendidikan. Pemprov DKI terus menggenjot akses hunian layak ini lewat berbagai program, salah satunya lewat penyediaan rusunawa melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP). 

    “Selama ini para penghuni nyaman bertempat tinggal di Rusunawa karena mendapatkan banyak fasilitas dan program bantuan dari pemerintah pusat dan daerah. Berbagai program tersebut sebetulnya diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup warga rusun,” ujar Kepala Dinas PRKP DKI Jakarta, Kelik Indriyanto, Jumat (14/2).

    Dewi (33), seorang ibu rumah tangga memilih tinggal di rusunawa Rawa Bebek, Jakarta Timur, bersama suami dan anaknya karena lebih nyaman. 

    “Kalau tinggal di rusunawa memang jadi pilihan karena harga sewanya murah. Apalagi kalau di Rawa Bebek sini kan deket ya mau ke mana-mana, terus fasilitas lengkap, keamanan juga bagus. Kalau pemerintah DKI mau memperbanyak tempat kayak gini sih bagus banget ya, jadi kita yang tinggal di Jakarta ada banyak pilihan gitu,” ungkap Dewi. 

    Sementara itu, subsidi transportasi publik juga terus dilakukan lewat armada TransJakarta dan TransJabodetabek. Dalam hal ini, Pemprov DKI sudah mengajukan anggaran tambahan dalam perubahan APBD sebesar Rp300-400 miliar. 

    “Itu sebagian untuk Transjabodetabek dan sebagian lagi untuk kebutuhan layanan dalam kota,” ujar Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Syafrin Liputo yang dikutip dari Antaranews.

    4. Mendorong penciptaan kerja formal, termasuk perluasan program padat karya, pelatihan keterampilan digital, penguatan UMKM, dan kemitraan dengan sektor swasta. Pemprov DKI Jakarta telah meluncurkan berbagai program strategis terkait pembukaan lapangan kerja dan mewujudkan ekosistem ketenagakerjaan yang inklusif. 

    Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi (Nakertransgi) DKI Jakarta, Hari Nugroho mengatakan, job fair saat ini diadakan setiap bulan, bahkan dalam beberapa bulan bisa diadakan tiga kali. “Kita mengadakan job fair sebulan sekali, tidak lagi tiga bulan sekali, karena ini penting untuk menekan tingkat pengangguran terbuka yang masih, 6,1 persen,” ujar Hari. 

    Terkait hal ini, Bambang (45) yang berprofesi sebagai seniman jalanan di kawasan Monas menaruh harapan tinggi kepada Pemprov DKI Jakarta untuk membuka akses lapangan kerja seluas-luasnya. 

    “Kalau memang ada rencana pemerintah DKI memperbanyak lapangan kerja, harapan saya sih semoga terwujud. Soalnya anak saya baru lulus sekolah, waktunya cari kerja,” ungkap Bambang. 

    Selain job fair, Pemprov DKI Jakarta membuka beragam pelatihan berbasis kompetensi, pelatihan reguler, hingga Mobile Training Unit (MTU) untuk melatih warga agar siap kerja atau buka usaha.

    5. Memberi insentif kepada pelaku usaha yang mempekerjakan kelompok rentan, serta memperluas layanan publik di wilayah padat penduduk. Pemprov DKI Jakarta memberikan insentif kepada para pelaku usaha. Terbaru adalah insentif pajak untuk hotel dan restoran. 

    6. Membangun pondasi dan menyusun indikator untuk menjawab kebutuhan konkret warga, seperti penyediaan infrastruktur dasar, pengembangan ekonomi hijau, serta penguatan akses terhadap pendidikan dan kesehatan.

    7. Mewujudkan Jakarta Fund untuk memperkuat investasi yang mendukung perekonomian Jakarta. Program ini termasuk program unggulan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung yang tujuannya sebagai sumber dana baru bagi Jakarta, termasuk untuk menekan angka ketimpangan sosial. Pemprov DKI Jakarta berkomitmen memperkuat sinergi lintas sektor, termasuk dengan pemerintah pusat, lembaga filantropi, dan dunia usaha, guna menciptakan perlindungan sosial yang adaptif dan penciptaan kerja yang berkelanjutan.

    Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Yustinus Prastowo menyatakan, Jakarta Fund adalah ide baru yang dikomunikasikan dengan pemerintah pusat dan stakeholders agar mendapatkan landasan hukum dan benchmark yang baik. 

    “Jadi, saat ini kita masuk dalam fase kajian dan juga koordinasi dengan pemerintah pusat, termasuk berkonsultasi dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Negeri, dan juga INA termasuk dan antara-antara. Sebagai awal juga, kami bersama dengan beberapa pihak mengadakan semacam leader forum, leader talks untuk mendengarkan masukan sekaligus melakukan sosialisasi awal,” ungkap Prastowo.

    (*)

  • Alasan Padel Kena Pajak 10%: Ciptakan Rasa Keadilan!

    Alasan Padel Kena Pajak 10%: Ciptakan Rasa Keadilan!

    Jakarta

    Pemerintah DKI Jakarta mengenakan pajak terhadap fasilitas olahraga padel sebesar 10%. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Kepala Bapenda Nomor 854 Tahun 2024.

    Staf Khusus (Stafsus) Gubernur DKI Jakarta Yustinus Prastowo menjelaskan, sudah sejak lama olahraga berbayar masuk obyek kena pajak hiburan. Fasilitas olahraga yang tengah viral ini dikenakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dalam kategori jasa kesenian dan hiburan.

    “Padel mau kena pajak hiburan? Olahraga permainan berbayar kena pajak hiburan itu sudah lama, setidaknya sejak UU 28/2009 (tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah),” kata Prastowo, dikutip dari unggahan pada akun media sosial X @prastow, Jumat (4/7/2025).

    Yustinus itu juga bilang, kebijakan pengenaan pajak terhadap olahraga berbayar juga berlaku di semua daerah. Tidak hanya padel yang ramai seperti saat ini, fasilitas olahraga futsal hingga tenis juga terkena pajak.

    “Dulu fitness, futsal, tenis, squash, billiard, softbol, bisbol dan lain-lain. Kini disesuaikan dengan berkembangnya ragam olahraga permainan,” terang mantan Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini.

    Melalui keterangan terpisah, Prastowo juga menjelaskan alasan permainan padel mesti kena pajak. Yustinus menerangkan, Pajak Hiburan adalah bagian Pajak Daerah dan sejatinya bukan jenis pajak baru. Pajak tersebut telah ada sejak tahun 1997, melalui UU 19 Tahun 1997.

    Kemudian, melalui UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, pemerintah mengatur ulang pengelompokan jenis pajak daerah agar tarif yang dibebankan lebih sesuai dengan prinsip keadilan. Muncul nomenklatur baru Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), dengan objek makanan/minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian/hiburan.

    Olahraga yang dikenai Pajak Hiburan adalah olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran. Ada hiburan yang sifatnya mewah dan konsumsinya harus dikendalikan, kena tarif tinggi antara 40% sampai 75%.

    Namun ada hiburan yang dinikmati masyarakat luas seperti olahraga permainan, hanya dikenai pajak 10%, lebih rendah dari PPN yang tarifnya 11%.

    Pemprov DKI melalui Perda No 1/2024 mengatur olahraga permainan adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran, lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya. SK Kepala Bapenda No. 257/2025 hanya mendetailkan jenis olahraga permainan yang menjadi objek Pajak Hiburan.

    Pajak Hiburan dikenakan atas tempat kebugaran (fitness center, yoga, pilates, zumba), lalu lapangan untuk futsal/sepak bola/mini soccer, lapangan tenis/basket/bulu tangkis/voli/tenis meja/squash/panahan/bisbol/softbol/tembak, tempat biliar, tempat panjat tebing/sasana tinju/atletik, jetski, dan terakhir lapangan padel.

    “Jadi pengenaan Pajak Hiburan atas olahraga permainan padel justru untuk menciptakan rasa keadilan, karena Pajak Hiburan atas berbagai jenis olahraga permainan lainnya telah dikenakan sejak lama. Yang penting, pemungutan pajak ini dilakukan secara fair dan transparan, dan uang pajak digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik,” tutur Prastowo.

    (shc/rrd)

  • 21 Olahraga Terkena Pajak Hiburan di Jakarta, Mengapa Golf Tidak?
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Juli 2025

    21 Olahraga Terkena Pajak Hiburan di Jakarta, Mengapa Golf Tidak? Megapolitan 4 Juli 2025

    21 Olahraga Terkena Pajak Hiburan di Jakarta, Mengapa Golf Tidak?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Koordinator Staf Khusus Gubernur Jakarta, Yustinus Prastowo, mengungkap alasan olahraga golf tidak dikenakan rencana
    pajak hiburan
    di Jakarta. 
    Yustinus menerangkan, sebelumnya golf menjadi salah satu cabang olahraga yang dikenakan pajak hiburan sekaligus pajak pertambahan nilai (PPN). Namun, pada prinsipnya, pajak tak bisa berlaku ganda terhadap objek yang sama.
    Oleh sebab itu, pajak hiburan golf digugat oleh asosiasi pemilik lapangan golf hingga terbit Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2012 yang menyatakan layanan lapangan dan peralatan golf bukan objek pajak hiburan.
    Atas putusan tersebut, saat ini olahraga golf hanya dikenai pengenaan PPN sebesar 11 persen.
    “Prinsipnya tidak boleh pajak berganda karena objeknya sama. Jadi sekarang hanya kena PPN,” ujar Yustinus kepada
    Kompas.com,
    Jumat (4/7/2025).
    Yustinus juga mengungkap, alasan pengenaan pajak hiburan terhadap olahraga padel dan 20 cabang olahraga lainnya adalah untuk menciptakan rasa keadilan.
    Pemerintah Provinsi Jakarta melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 telah menyatakan bahwa persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran, lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Kemudian, Surat Keputusan (SK) Kepala Bapenda Nomor 257 Tahun 2025 hanya mendetailkan jenis olahraga yang menjadi objek pajak hiburan.
    “Jadi pengenaan pajak hiburan atas olahraga permainan padel justru untuk menciptakan rasa keadilan, karena pajak hiburan atas berbagai jenis olahraga permainan lainnya telah dikenakan sejak lama,” ungkap Yustinus.
    Menurutnya, yang terpenting adalah pemungutan pajak dilakukan secara adil dan transparan, dan uang pajak digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik.
    “Dengan demikian masyarakat tak perlu khawatir. Mari tetap berolahraga agar sehat dan riang gembira, sekaligus bergotong-royong membayar pajak untuk kebaikan bersama,” ujarnya.
    Sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta resmi menetapkan olahraga padel sebagai salah satu objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) di sektor hiburan.
    Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Kepala Bapenda Jakarta Nomor 257 Tahun 2025.
    Dalam keputusan tersebut, tarif PBJT yang dikenakan untuk penggunaan lapangan padel ditetapkan sebesar 10 persen.
    “Betul (dikenakan pajak 10 persen). Lapangan padel termasuk dikenakan pajak daerah sesuai dengan Keputusan Kepala Bapenda Nomor 257 Tahun 2025,” ujar Ketua Pelaksanaan Penyuluhan Badan Pendapatan Daerah Provinsi Jakarta, Andri Mauludi Rijal saat dikonfirmasi, Rabu (2/7/2025).
    Tarif pajak sebesar 10 persen diberlakukan untuk transaksi seperti sewa lapangan, tiket masuk, hingga pemesanan melalui platform digital.
    “Pajak dikenakan atas penyediaan jasa hiburan kepada konsumen, termasuk penggunaan sarana dan prasarana olahraga yang dikomersialkan, baik melalui biaya masuk, sewa tempat, atau bentuk pembayaran lain,” kata Andri.
    Termasuk padel, jenis olahraga permainan lain yang dikenakan PBJ, meliputi:
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Stafsus Pramono Beberkan Alasan Olahraga Padel Kena Pajak 10%

    Stafsus Pramono Beberkan Alasan Olahraga Padel Kena Pajak 10%

    Jakarta

    Staf Khusus (Stafsus) Gubernur DKI Jakarta Yustinus Prastowo memberikan penjelasan tentang fasilitas olahraga padel dikenakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dalam kategori jasa kesenian dan hiburan. Fasilitas olahraga padel seperti lapangan dikenakan pajak sebesar 10%.

    Hal tersebut berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Kepala Bapenda Nomor 854 Tahun 2024. Prastowo menjelaskan, sudah sejak lama olahraga berbayar masuk ke dalam objek kena pajak hiburan.

    “Padel mau kena pajak hiburan? Olahraga permainan berbayar kena pajak hiburan itu sudah lama, setidaknya sejak UU 28/2009 (tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah),” kata Prastowo, dikutip dari unggahan pada akun media sosial X @prastow, Jumat (4/7/2025).

    Eks Stafsus Sri Mulyani itu juga bilang, kebijakan pengenaan pajak terhadap olahraga berbayar juga berlaku di semua daerah. Tidak hanya padel yang ramai seperti saat ini, fasilitas olahraga futsal hingga tenis juga terkena pajak.

    “Dulu fitness, futsal, tenis, squash, billiar, softbol, bisbol dan lain-lain. Kini disesuaikan dengan berkembangnya ragam olahraga permainan,” ujarnya.

    Melalui keterangan terpisah, Prastowo juga menjelaskan alasan permainan padel mesti kena pajak. Mulanya ia menerangkan, Pajak Hiburan adalah bagian Pajak Daerah dan sejatinya bukan jenis pajak baru. Pajak tersebut telah ada sejak tahun 1997, melalui UU 19 Tahun 1997.

    Menurutnya, hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan dan/atau atau keramaian yang dinikmati masyarakat dengan dipungut bayaran. UU 28/2009 memberi contoh yang lebih jelas tentang objek Pajak Hiburan, seperti tontonan film, diskotek, permainan biliar, pacuan kuda, hingga pertandingan olahraga.

    “Sedangkan Perda DKI No 13/2010 menyebut misalnya renang, tenis, squash, futsal, dan jenis olahraga lain. Jadi sebenarnya olahraga permainan sudah dikenai Pajak Hiburan sejak lama dan tidak ada masalah. Adem ayem tanpa kegaduhan,” jelas Prastowo, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima detikcom.

    Melalui UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, pemerintah mengatur ulang pengelompokan jenis pajak daerah agar tarif yang dibebankan lebih sesuai dengan prinsip keadilan. Muncul nomenklatur baru Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), dengan objek makanan/minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian/hiburan.

    Olahraga yang dikenai Pajak Hiburan adalah olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran. Ada hiburan yang sifatnya mewah dan konsumsinya harus dikendalikan, kena tarif tinggi antara 40% s.d 75%. Namun ada hiburan yang dinikmati masyarakat luas seperti olahraga permainan, hanya dikenai pajak 10%, lebih rendah dari PPN yang tarifnya 11%.

    Pemprov DKI melalui Perda No 1/2024 mengatur olahraga permainan adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran, lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya. SK Kepala Bapenda No. 257/2025 hanya mendetailkan jenis olahraga permainan yang menjadi objek Pajak Hiburan.

    Pajak Hiburan dikenakan atas tempat kebugaran (fitness center, yoga, pilates, zumba), lalu lapangan untuk futsal/sepak bola/mini soccer, lapangan tenis/basket/bulu tangkis/voli/tenis meja/squash/panahan/bisbol/softbol/tembak, tempat biliar, tempat panjat tebing/sasana tinju/atletik, jetski, dan terakhir lapangan padel.

    “Jadi pengenaan Pajak Hiburan atas olahraga permainan padel justru untuk menciptakan rasa keadilan, karena Pajak Hiburan atas berbagai jenis olahraga permainan lainnya telah dikenakan sejak lama. Yang penting, pemungutan pajak ini dilakukan secara fair dan transparan, dan uang pajak digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik,” ujar Prastowo.

    (shc/rrd)

  • 3 Hal Penting soal Rencana Pajak Pedagang Online: Siapa Kena, Siapa Aman?

    3 Hal Penting soal Rencana Pajak Pedagang Online: Siapa Kena, Siapa Aman?

    Jakarta

    Pengamat Perpajakan yang juga merupakan Eks Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo ikut bicara tentang wacana penerapan kebijakan pungutan pajak penghasilan (PPh) 22 terhadap para pedagang online di e-commerce. Terkait kebijakan ini, setidaknya ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan.

    Prastowo menyebut kebijakan tersebut dengan istilah ‘pajak merchant’. Ia menjabarkan tiga poin penting untuk menggambarkan rencana pengenaan pajak terhadap para pedagang toko online di Tokopedia hingga Shopee itu.

    “Esensi pajak ya gotong royong. Pajak memang beban, tapi dengan cara itulah hidup bersama menjadi mungkin,” ujar Prastowo, dikutip dari unggahan pada akun media sosial X @prastow.

    Poin tersebut antara lain pertama, pedagang atau merchant dengan omzet sampai dengan Rp 500 juta setahun tetap tidak membayar pajak. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Kedua, merchant dengan omzet di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp 4,8 miliar setahun, selama ini dikenai pajak hanya 0,5% dari omzet. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

    Lalu yang ketiga, untuk merchant dengan omzet di atas Rp 4,8 miliar, maka Marketplace akan memungut PPh 0,5% dari transaksi. Jumlah ini boleh dikurangkan dari kewajiban pajak akhir tahun.

    “Ini yang akan diatur. Adil kan? Yang mikro dilindungi. Yang kecil dibantu dengan tarif rendah. Yang menengah difasilitasi dengan pemungutan yang lebih mudah dan tarif rendah,” kata pria yang kini menjadi Stafsus Gubernur DKI Jakarta itu.

    Sebagai informasi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sudah melakukan sosialisasi terbatas menyangkut rencana mewajibkan e-commerce seperti Tokopedia hingga Shopee memungut pajak kepada pedagang di platform mereka.

    DJP juga diketahui sedang mempersiapkan aturan yang menunjuk platform e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh merchant yang berjualan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

    (shc/fdl)

  • DKI akan beri sanksi tegas kontraktor yang langgar aturan

    DKI akan beri sanksi tegas kontraktor yang langgar aturan

    Pengendara melintas di dekat tiang bekas proyek monorel Jakarta di kawasan Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Kamis (29/5/2025). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

    DKI akan beri sanksi tegas kontraktor yang langgar aturan
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 27 Juni 2025 – 16:18 WIB

    Elshinta.com – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan memberikan sanksi tegas kepada kontraktor yang tidak mematuhi standar keselamatan serta pengelolaan lalu lintas yang sesuai dengan dokumen perencanaan.

    Beragam proyek strategis seperti MRT, LRT, JSDP, PAM Jaya, dan Harbour Road Toll disebut menjadi penyebab utama kemacetan di sejumlah ruas jalan utama Jakarta.

    “Kita harus lebih sensitif dan responsif. Masyarakat membutuhkan kehadiran petugas di lapangan, terutama dari Dinas Perhubungan, untuk mengatur lalu lintas di titik-titik proyek,” ujar Wakil Koordinator Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Yustinus Prastowo di Jakarta, Jumat.

    Pemberian sanksi tegas proyek konstruksi yang mengganggu arus lalu lintas itu juga dibahas dalam rapat koordinasi lintas sektor.

    Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo juga telah meminta agar lokasi pekerjaan lapangan yang mangkrak atau tidak aktif untuk ditertibkan agar tidak menimbulkan kemacetan.

    Pramono juga meminta adanya koordinasi lebih intensif dengan kementerian dan lembaga terkait.

    Menurut dia, keberadaan galian yang terbengkalai, namun tetap dipagari atau diberi penyekat, memperburuk arus lalu lintas.

    Oleh karena itu, Pramono telah meminta agar lokasi proyek yang tidak aktif segera dibuka untuk mengurangi kemacetan.

    Lebih lanjut, dia menekankan perlunya integrasi kerja antarinstansi, termasuk dengan kementerian pusat, dalam pengaturan dan penjadwalan proyek infrastruktur agar tidak saling tumpang tindih.

    Sumber : Antara

  • Eks Stafsus Sri Mulyani Bicara soal Pajak Pedagang di Toko Online

    Eks Stafsus Sri Mulyani Bicara soal Pajak Pedagang di Toko Online

    Jakarta

    Wacana pemerintah untuk menerapkan kebijakan pungutan pajak penghasilan (PPh) 22 terhadap para pedagang online di e-commerce tengah mendapat sorotan dari masyarakat. Pengamat Perpajakan yang juga merupakan Eks Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo ikut memberikan respons tentang hal ini.

    Prastowo memberikan sejumlah penjelasan untuk memahami kebijakan baru tersebut atau yang ia sebut dengan istilah ‘pajak merchant’. Setidaknya ada tiga poin penjelasan yang ia jabarkan untuk menggambarkan pajak tersebut.

    Pertama, pedagang atau merchant dengan omzet sampai dengan Rp 500 juta setahun tetap tidak membayar pajak. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Kedua, merchant dengan omzet di atas Rp 500 juta s.d Rp 4,8 miliar setahun, selama ini dikenai pajak hanya 0,5% dari omzet. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

    Lalu yang ketiga, untuk merchant dengan omzet di atas Rp 4,8 miliar, maka Marketplace akan memungut PPh 0,5% dari transaksi. Jumlah ini boleh dikurangkan dari kewajiban pajak akhir tahun.

    “Ini yang akan diatur. Adil kan? Yang mikro dilindungi. Yang kecil dibantu dengan tarif rendah. Yang menengah difasilitasi dengan pemungutan yang lebih mudah dan tarif rendah,” ujar Prastowo, dikutip dari unggahan pada akun media sosial X @prastow, Jumat (27/6/2025).

    Pria yang kini menjadi Stafsus Gubernur DKI Jakarta ini juga menekankan, esensi pajak itu sendiri ialah nilai gotong royong. Ia juga mengakui bahwa pajak memang beban, namun dengan cara tersebutlah hidup bersama menjadi mungkin berjalan.

    Sebagai informasi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sudah melakukan sosialisasi terbatas menyangkut rencana mewajibkan e-commerce seperti Tokopedia hingga Shopee memungut pajak kepada pedagang di platform mereka.

    DJP diketahui sedang mempersiapkan aturan yang menunjuk platform e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh merchant yang berjualan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli mengatakan rencana ini bukanlah pengenaan pajak baru. Ketentuan ini mengatur pergeseran (shifting) dari mekanisme pembayaran PPh secara mandiri oleh pedagang online, menjadi sistem pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan marketplace sebagai pihak yang ditunjuk.

    “Rencana ketentuan ini bukanlah pengenaan pajak baru. Ketentuan ini pada dasarnya mengatur pergeseran (shifting) dari mekanisme pembayaran PPh secara mandiri oleh pedagang online, menjadi sistem pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh marketplace sebagai pihak yang ditunjuk,” jelas Rosmauli dalam keterangan tertulis.

    (shc/rrd)

  • Perusahaan Wajib Tanggung Jawab atas Dampak Lingkungan

    Perusahaan Wajib Tanggung Jawab atas Dampak Lingkungan

    GELORA.CO -Aspek kerusakan lingkungan dinilai penting untuk dimasukan ke dalam teori dan praktik ilmu ekonomi, akuntansi, serta perpajakan. 

    Ekonom Yustinus Prastowo menilai, selama ini kerusakan lingkungan belum dihitung secara sistematis dalam pengambilan kebijakan maupun laporan keuangan.

    “Selama ini pengakuan biaya hanya didasarkan pada pengeluaran aktual, tanpa memperhitungkan potensi dan risiko kerugian akibat rusaknya lingkungan,” kata Prastowo lewat akun X pribadinya, Selasa 10 Juni 2025.

    Prastowo mengusulkan agar dalam bidang ekonomi, dampak kerusakan lingkungan akibat pembangunan dan eksploitasi dapat dihitung dan dikurangkan dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. 

    Hal ini bertujuan agar terlihat jelas generasi dan sektor mana yang mewariskan masalah lingkungan ke masa depan.

    Dalam konteks akuntansi, ia menyarankan potensi dan risiko kerusakan lingkungan dicatat sebagai kewajiban (liability) perusahaan. Nilai kewajiban tersebut dapat dikurangi kalau perusahaan melakukan pemeliharaan lingkungan atau membayar kompensasi.

    Sementara di bidang perpajakan, ia mendorong perluasan konsep biaya 3M (mendapatkan, memelihara, dan menagih penghasilan). 

    Menurutnya, potensi kerusakan lingkungan tidak seharusnya diakui sebagai biaya fiskal hingga perusahaan mengambil langkah konkret memperbaiki kerusakan. Seperti menutup lubang tambang, melakukan penghijauan, dan memberikan kompensasi.

    “Semoga kebijakan publik dan hukum yang berperspektif keadilan ekologis semakin mendapat tempat,” pungkas Prastowo