Tag: Yusril Ihza Mahendra

  • Kasatgas KPK Rossa Purbo Bekti Dilaporkan ke Dewas, Diduga Hambat Pemanggilan Bobby Nasution  

    Kasatgas KPK Rossa Purbo Bekti Dilaporkan ke Dewas, Diduga Hambat Pemanggilan Bobby Nasution  

    JAKARTA – Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia (KAMI) melaporkan salah satu kepala satuan tugas (kasatgas) penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rossa Purbo Bekti ke Dewan Pengawas KPK.

    Koordinator KAMI, Yusril SK, mengatakan laporan dibuat karena Rossa sebagai kasatgas diduga menghambat pengusutan keterlibatan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dalam kasus suap proyek jalan yang menjerat anak buahnya. Karenanya, independensi KPK menjadi dipertanyakan.

    “Ada dugaan yang terjadi di KPK bahwa terkait dengan persoalan kasus ini dilakukan penghambatan oleh salah seorang Kasatgas KPK yang diduga atas nama AKBP Rossa Purba Bekti,” kata Yusril kepada wartawan di gedung ACLC atau kantor Dewas KPK, Rasuna Said, Jakarta Selatan.

    “Oleh karena itu kami Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia hari ini memberikan keterangan dan laporan,” sambung dia.

    KAMI, masih kata Yusril, menuntut KPK untuk melakukan evaluasi. “Dan audit di internal secara total,” tegas dia.

    Menurut Yusril, sudah tepat Dewas KPK memeriksa Rossa. Sebab, banyak indikasi keterlibatan Bobby selaku menantu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dalam kasus suap proyek jalan di Sumut.

    Senada, Usman selaku Sekretaris KAMI juga menyinggung Bobby harusnya diperiksa. “Tapi sampai hari ini yang dilakukan oleh teman-teman KPK hari ini sampai hari ini tidak memanggil daripada Bobby Nasution sendiri,” tegasnya di lokasi yang sama.

    “Sehingga hari ini kami hadir di depan dewas KPK dan sekaligus memasukkan laporan terhadap salah satu Kasatgas KPK untuk bagaimana mempertanyakan independensi KPK,” sambung dia.

     

    Diberitakan sebelumnya, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Zararah Azhim Syah menyebut kepala satuan tugas (kasatgas) penyidik KPK di kasus suap proyek jalan Provinsi Sumatera Utara tak berani memeriksa Bobby Nasution selaku Gubernur Sumatera Utara. Pernyataannya ini didasari hasil investigasi sebuah media massa.

    “Penyidik KPK bahkan sudah mengusulkan kepada ketua satgas yang menangani kasus ini untuk memeriksa Bobby. Tapi, ketiga kepala satgas tersebut tidak ada yang berani untuk memeriksa Bobby,” kata Zararah usai melaksanakan aksi di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan pada hari ini, 14 November.

    Zararah tak mengungkap siapa kasatgas tersebut. Namun, dari berbagai informasi yang dikumpulkan, salah satu yang ikut menangani kasus ini adalah Rossa Purbo Bekti selaku penyidik senior.

    Zararah berharap KPK segera mengusut keterlibatan Bobby dalam kasus korupsi proyek jalan di Sumatera Utara. Apalagi, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Medan sudah minta Bobby dihadirkan dalam persidangan.

    Pengembangan kasus ini, kata dia, juga harus dilakukan seperti dugaan korupsi lainnya. Jangan sampai ada kesan KPK ketakutan dengan Bobby Nasution.

    “Contohnya kasus E-KTP, kasus korupsi mantan Menpora itu juga dikembangkan dari fakta yang ada di persidangan,” tegasnya.

    “Maka harusnya pada kasus ini, apabila ada petunjuk baru dari persidangan, KPK seharusnya mengembangkan kasus gitu. Jadi membuka kasus baru. Nah, ini jangankan mengembangkan kasus tapi untuk memeriksa Bobby saja tidak berani begitu,” sambung dia.

    Lagipula, peranan Bobby juga harusnya terendus oleh KPK setelah ada informasi pergeseran anggaran menggunakan Peraturan Gubernur (Pergub).

    “Bobby itu terlibat pada tahap perencanaan, mengganti APBD Sumut sebanyak empat kali, untuk memasukkan proyek pembangunan ini. Padahal sebelumnya itu tidak termasuk kebutuhan Provinsi Sumut, tidak pernah ada di APBD Sumut, berarti kan tidak butuh,” ungkap Zararah.

     

  • 6
                    
                        KPK Tak Kunjung Panggil Bobby Nasution, Rossa Purbo Bekti Diadukan ke Dewas
                        Nasional

    6 KPK Tak Kunjung Panggil Bobby Nasution, Rossa Purbo Bekti Diadukan ke Dewas Nasional

    KPK Tak Kunjung Panggil Bobby Nasution, Rossa Purbo Bekti Diadukan ke Dewas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Penyidik AKBP Rossa Purbo Bekti dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK usai tak kunjung memanggil Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, sebagai saksi terkait dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara (Sumut).
    “Kami hari ini melaporkan kepada
    KPK
    , khususnya Dewan Pengawas KPK, terkait dengan dugaan upaya penghambatan proses hukum terhadap
    Bobby Nasution
    yang diduga dilakukan oleh
    AKBP Rossa Purbo Bekti
    ,” ujar Koordinator Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia (KAMI), Yusril, usai membuat laporan di Kantor Dewas KPK, Jakarta Selatan, Senin (17/11/2025).
    Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia atau KAMI adalah pihak yang membuat laporan ke Dewas KPK tersebut.
    Yusril selaku Koordinator KAMI mengungkapkan bahwa AKBP Rossa Purbo Bekti merupakan Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) pada perkara tersebut.
    Yusril menjelaskan, laporan tersebut sekaligus mempertanyakan independensi KPK sebagai lembaga era reformasi yang diberi amanat oleh undang-undang dan rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi.
    Seharusnya, kata Yusril, KPK sudah memanggil Bobby sesuai perintah Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Medan.
    “Saya pikir bahwa seharusnya pemanggilan terhadap saudara Bobby Nasution ini sudah dilakukan oleh KPK. Tapi sampai hari ini, yang dilakukan oleh teman-teman KPK tidak memanggil Bobby Nasution,” jelas dia.
    “Jangan sampai ada intervensi-intervensi khusus yang kemudian mengamankan Bobby Nasution,” lanjut dia.
    Pada 26 September 2025, KPK mengatakan akan menindaklanjuti perintah Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Medan untuk memanggil Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution terkait kasus
    dugaan korupsi
    proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara (Sumut).
    Hal tersebut disampaikan oleh Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu saat menanggapi adanya perintah dari Hakim Pengadilan Tipikor Medan untuk memanggil Bobby Nasution terkait perkara tersebut.
    Asep mengatakan, pihaknya terlebih dahulu menunggu Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK kembali dari Medan untuk menjelaskan perintah hakim Pengadilan Tipikor Medan tersebut.
    “Kemudian saudara BN (Bobby Nasution), kapan dilakukan pemanggilan? Ini kita nanti nunggu (JPU) pulang dulu, seperti itu. Dan ini juga nanti kita akan tanyakan dari Pak JPU-nya itu seperti apa,” kata Asep, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (25/9/2025).
    Asep mengatakan, Jaksa KPK nantinya juga akan mendiskusikan materi yang akan didalami terkait pemanggilan Bobby Nasution tersebut.
    “Materinya akan didiskusikan dengan Pak JPU, biar tidak berlarut-larut dan tidak efektif,” ujar dia.
    Sebelumnya, KPK menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara (Sumut) pada 28 Juni 2025.
    Mereka adalah Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting (TOP);
    Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut yang juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen, Rasuli Efendi Siregar (RES); Pejabat Pembuat Komitmen di Satuan Kerja PJN Wilayah I Sumatera Utara, Heliyanto (HEL); Direktur Utama PT DNG, M Akhirun Efendi Siregar (KIR); serta Direktur PT RN, M Rayhan Dulasmi Pilang (RAY).
    Penindakan ini menyeret pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumut dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Sumut.
    KPK sebelumnya menggelar dua operasi tangkap tangan (OTT) terkait proyek jalan di Sumatera Utara.
    Dari hasil penelusuran, total nilai proyek yang diduga bermasalah mencapai Rp 231,8 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 2
                    
                        Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif
                        Nasional

    2 Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif Nasional

    Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Erga omnes
    , istilah yang kerap dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki arti berlaku terhadap semua.
    Erga omnes
    adalah bahasa latin yang memberikan pengertian bahwa putusan MK adalah putusan yang memberlakukan norma untuk semua warga negara di Indonesia atas sengketa undang-undang yang diuji.
    Putusan
    MK
    juga bersifat
    final and binding
    , yang memiliki arti
    putusan MK
    langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh setelahnya.
    Penjelasan terkait
    final and binding
    ini juga dimuat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
    Mahkamah Konstitusi
    .
    Namun seiring berjalannya waktu, putusan MK yang bersifat mengikat ini tak lantas dipatuhi, termasuk oleh para pejabat penyelenggara negara.
    Hal ini disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti saat ditemui di Harris Hotel, Bandung, Jawa Barat, Jumat (15/11/2025).
    Dia langsung memberikan contoh putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam proses pembentukannya.
    “Itu kan (putusan) nggak dilaksanakan, yang dilaksanakan (pemerintah dan DPR) itu hanya mengubah undang-undang nomor 12 tahun 2011 untuk memasukkan metode omnibus,” katanya.
    Padahal sangat jelas, MK meminta agar ada pembahasan ulang. Pemerintah juga bermanuver dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
    Susi juga menyebut, pembangkangan terhadap putusan MK juga terlihat dari putusan yang meminta agar wakil menteri dilarang merangkap jabatan.
    “Nah seperti itu kan wakil menteri sudah enggak boleh,” katanya.
    Untuk diketahui, MK menyatakan wakil menteri dilarang rangkap jabatan melalui putusan 128/PUU-XXIII/2025.
    Namun dalam putusan itu, MK kembali menegaskan, aturan tersebut sebenarnya sudah lama diputuskan MK, yakni saat pembacaan putusan 80/PUU-XVII/2019 yang dibacakan 11 Agustus 2020.
    MK dalam pertimbangannya menyatakan:

    Berkenaan dengan pokok permohonan Pemohon a quo yang mempersoalkan larangan rangkap jabatan wakil menteri, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 sesungguhnya telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri.

    Secara yuridis, pertimbangan hukum putusan sebelumnya memiliki kekuatan hukum mengikat karena merupakan bagian dari putusan Mahkamah Konstitusi yang secara konstitusional bersifat final.
    Sebab, putusan Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan, bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
    MK kemudian memberikan waktu 2 tahun kepada pemerintah untuk menarik para wakil menterinya dari jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN.
    Namun yang terjadi justru sebaliknya, ada lebih banyak wakil menteri yang merangkap jabatan.
    Salah satunya, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Angga Raka Prabowo yang diangkat menjadi Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, dan Komisaris Utama PT Telkom.
    Dalam penjelasannya, Angga Raka mengaku posisi yang dia rangkap adalah penugasan, dan tidak mendapat fasilitas tambahan atas rangkap jabatannya tersebut.
    “Sesuai yang diketahui, saya ditugaskan oleh Presiden untuk memimpin Badan Komunikasi Pemerintah. Saya jelaskan dulu bahwa seperti peraturan yang berlaku, ini sifatnya penugasan. Yang namanya penugasan tidak berarti pendapatan dan fasilitas juga
    double
    , tetap satu sesuai ketentuan, tanggung jawabnya yang bertambah. Ini praktik umum untuk penguatan fungsi tertentu dan sejalan dengan arahan Presiden agar kita efektif dan efisien,” ujar Angga Raka kepada
    Kompas.com
    , Jumat (19/9/2025) lalu.
    Angga Raka menyampaikan bahwa tugas-tugas tersebut diberikan karena Presiden Prabowo melihat ada kesinambungan antara posisinya sebagai Wamen Komdigi, Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, serta Komut PT Telkom. Menurutnya, substansi dan bidang dari semua tugasnya itu sama.
    “Ini penting, karena kita ingin segera mewujudkan instruksi Presiden untuk mengakselerasi penguatan komunikasi pemerintah sesegera mungkin,” tegasnya.
    Maka dari itu, dengan penugasan ini, Angga Raka merasa fungsi kedua instansi pemerintah tersebut makin kuat. Dia pun jadi bisa membuat sisi regulasi dan eksekusi selaras, serta langsung melakukan aksi.
    “Sehingga publik akan mendapatkan informasi yang jernih dan tidak tumpang tindih dari seluruh lembaga pemerintah,” imbuh Angga Raka.
    Pembangkangan terhadap putusan MK juga dilakukan oleh lembaga politik seperti Partai Politik saat diucapkan putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menetapkan pemilihan umum lokal dan nasional dipisah dengan jeda waktu dua tahun.
    MK menetapkan, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden.
    Sedangkan pemilihan legislatif (Pileg) anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Reaksi pembangkangan paling keras datang dari Partai Nasdem yang menyebut MK mencuri kedaulatan rakyat.
    “Putusan MK ini menimbulkan problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara,” ujar anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, dalam pembacaan sikap resmi DPP Nasdem di Nasdem Tower, Jakarta, Senin (30/6/2025) malam.
    Lewat pernyataan sikap yang dibacakan Lestari, Nasdem menyampaikan sepuluh poin keberatannya terhadap putusan tersebut. Salah satunya, Nasdem menilai MK telah memasuki kewenangan legislatif dengan menciptakan norma baru yang seharusnya menjadi domain DPR dan pemerintah.
    Menurut Nasdem, hal itu bertentangan dengan prinsip
    open legal policy
    yang dimiliki lembaga legislatif.
    “MK telah menjadi
    negative legislator
    sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum demokratis,” kata Lestari.
    Sementara itu, Golkar melalui Wakil Ketua Umum Adies Kadir menilai, putusan MK berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan serta memunculkan ketidakpastian hukum.
    Menurut Adies, Pasal 22E dan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan satu rezim yang harus dilaksanakan setiap lima tahun.
    Selain itu, pemisahan pemilu nasional dan daerah dinilai bertentangan dengan semangat keserentakan yang justru pernah diputuskan MK sendiri melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    “Putusan itu memberikan enam pilihan dan dipilih satu. Itu kan juga putusan MK yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan pemilu,” kata Adies.
    Sikap tegas juga disampaikan Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal yang menyebut MK telah melampaui batas konstitusional dengan memutuskan pemilu dipisah.
    “Putusannya sudah melebihi undang-undang, konstitusi. Konstitusi pemilu itu kan lima tahun sekali. Masa penjaga konstitusi, konstitusinya dilanggar,” kata Cucun.
    Pemerintah juga saat itu menilai putusan MK justru berpotensi melanggar konstitusi.
    Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Karena dalam konstitusi disebutkan pemilu dari tingkat nasional dan lokal harus terselenggara lima tahun sekali.
    Putusan MK ini akan berakibat pada penundaan pemilu selama 2 tahun untuk Pilkada.
    MK secara langsung pernah menjawab bentuk pembangkangan ini dalam putusan 98/PUU-XVI/2018.
    Ketika itu, terbit putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga Mahkamah Agung (MA) yang berkebalikan dengan putusan MK mengenai syarat pengunduran diri calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari partai politik.
    Akibat hal itu, terjadi ketidakpastian hukum yang membelit KPU karena ada dua putusan berbeda yang tersedia, namun KPU akhirnya memilih manut putusan MK.
    Majelis hakim konstitusi tidak setuju jika situasi pada tahun 2018 itu disebut sebagai ketidakpastian hukum, karena putusan MK seharusnya final dan mengikat untuk semua (
    erga omnes
    ).
    “Sekali Mahkamah telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka tindakan yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi demikian, dalam pengertian tetap menggunakan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, membawa konsekuensi bukan hanya ilegalnya tindakan itu, melainkan pada saat yang sama juga bertentangan dengan UUD 1945,” bunyi putusan tersebut.
    “Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi,” tulis putusan tersebut.
    Namun terlepas dari penegasan MK tersebut, Guru Besar FH Unpad Susi Dwi Harijanti menilai, fenomena pembangkangan ini sebagai bukti bahwa cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang yang paling lemah.

    “Memang itu menunjukkan bahwa cabang kekuasaan kehakiman itu adalah cabang kekuasaan yang paling lemah di antara legislatif dan eksekutif,” ucapnya.
    Dia mengutip pandangan alam buku
    The Federalist Papers
    karya Alexander Hamilton, John Jay, dan James Madison, bahwa kekuasaan kehakiman hanya punya palu untuk memutus.
    Berbeda dengan kekuasaan eksekutif memiliki pedang untuk mengeksekusi, sedangkan legislatif punya kekuasaan untuk mengatur anggaran.
    Sebab itu, Susi menilai sudah saatnya Indonesia mulai memikirkan aturan yang lebih rigit untuk kekuasaan yudikatif sebagai upaya independensi dan akuntabilitas prinsip negara hukum.
    Negara harus mengatur agar
    contempt of court
    atau penghinaan dan tindakan yang merendahkan pengadilan bisa juga mendapat hukuman yang jelas, termasuk membangkang dari perintah pengadilan.
    “Sekarang persoalannya, ketika mereka tidak memenuhi apa yang diminta oleh Mahkamah, apa yang bisa dilakukan? Ini yang saya lagi berpikir, bisa nggak dia terkena
    contempt of court
    ? Sayangnya di Indonesia belum ada undang-undang
    contempt of court
    ,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan

    Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan

    Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memberikan putusan progresif dalam sidang uji materi beberapa undang-undang.
    Putusan terbaru itu diucapkan pada 13 November 2025, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025) terhadap Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (
    Polri
    ).
    Putusan itu menegaskan, anggota Polri tak bisa lagi merangkap jabatan, sebagai penegak hukum sekaligus menduduki jabatan sipil seperti yang sering dilakukan belakangan ini.
    Putusan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 itu menegaskan, frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah syarat mutlak jika anggota Polri mau cawe-cawe duduk pada jabatan sipil.
    Rumusan tersebut adalah rumusan norma yang
    expressis verbis
    yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain.
    Sementara itu, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan terhadap norma dimaksud.
    Terlebih, adanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002.
    Menurut hakim konstitusi Ridwan mansyur, hal tersebut berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian; dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.
    “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum,” jelas Ridwan.

    Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti mengatakan, putusan
    progresif
    ini menjadi hal yang menggembirakan masyarakat secara luas.
    Dia melihat putusan-putusan ini semakin terlihat progresivitasnya dan tak terlepas dari titik nadir MK saat mengeluarkan putusan 90/2023 yang mengubah batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
    “Akibat putusan 90 MK itu berada di titik nadir, dan dengan putusan-putusan progresif ini mereka berusaha untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik,” kata Susi saat ditemui di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/11/2025) malam.
    Saat ini yang perlu dilakukan MK adalah bagaimana progresivitas ini bisa tetap dipertahankan.
    Salah satu caranya adalah tenaga ahli di MK yang sangat bagus dan memberikan perspektif terkait jalan lurus yang pernah dicetak MK.
    Hakim memang memiliki independensi, tetapi hakim juga bisa berdiskusi terkait dengan diskursus yang sedang digugat di MK.
    “Jadi di MK sendiri harus dibangun sebuah lingkungan yang memastikan progresivitas itu tetap terpelihara,” katanya.
    “Dan jangan lupa bahwa mereka itu dinilai loh oleh masyarakat. Progresifitas itu tetap diharapkan gitu. Nanti kalau Anda nggak progresif lagi, di ini lagi sama masyarakat,” tuturnya.
    Masyarakat juga berperan penting agar para hakim bisa tetap mempertahankan putusan yang progresif.
    Catatan
    Kompas.com
    ,
    putusan MK
    yang melarang anggota Polri aktif duduk di jabatan sipil bukan satu-satunya putusan progresif yang diputus sepanjang tahun 2025.
    Berikut beberapa putusan progresif yang diputus MK:
    Putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Juni 2025 itu menyatakan, keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
    Putusan MK ini juga menyatakan bahwa pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.
    Putusan tersebut disambut gembira oleh para penyelenggara pemilu seperti Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merasakan lelahnya pemilu serentak lokal dan nasional.
    Tetapi berbeda sikap dengan elit partai politik yang merasa keberatan atas putusan tersebut, karena biaya logistik yang bisa lebih besar setelah pemisahan pemilu tersebut.
    Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra bahkan menyebut putusan MK berpotensi melanggar konstitusi.
    Karena dalam konstitusi disebutkan pemilu dari tingkat nasional dan lokal harus terselenggara lima tahun sekali. Putusan MK ini akan berakibat pada penundaan pemilu selama 2 tahun untuk Pilkada.
    Putusan lainnya adalah putusan nomor 96/PUU-XXII/2024 terkait Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera).
    MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya yang dibacakan pada 29 September 2025.
    Pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra saat itu menyebut, Tapera menimbulkan persoalan khususnya untuk para pekerja.
    Pasalnya, beleid itu diikuti dengan unsur pemaksaan dengan meletakkan kata wajib sebagai peserta Tapera, sehingga secara konseptual, tidak sesuai dengan karakteristik hakikat tabungan yang sesungguhnya karena tidak lagi terdapat kehendak yang bebas.
    Padahal Tapera bukan termasuk dalam kategori pungutan lain yang bersifat memaksa layaknya pajak dan pungutan resmi lainnya.
    “Oleh karena itu, Mahkamah menilai Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana didalilkan Pemohon,” kata Saldi.
    Putusan ini juga memberikan kesempatan kepada BP Tapera untuk mengatur uang nasabah yang sudah terlanjur menyetor, seperti para aparatur sipil negara (ASN), TNI dan Polri.
    Putusan lainnya yakni perkara nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang berkaitan dengan rangkap jabatan wakil menteri khususnya sebagai komisioner di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
    Hakim MK Enny Nurbaningsih menyebutkan, dalil pemohon yang meminta agar para wakil menteri fokus mengurus kementerian dinilai sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
    Atas hal tersebut, MK menilai perlu agar para wakil menteri dilarang merangkap jabatan agar fokus mengurus kementerian.
    “Dalam batas penalaran yang wajar, peraturan perundang-undangan dimaksud salah satunya adalah UU 39/2008. Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah menegaskan dalam amar Putusan
    a quo
    mengenai larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri termasuk sebagai komisaris, sebagaimana halnya menteri agar fokus pada penanganan urusan kementerian,” kata Enny.
    Putusan yang dibacakan pada 28 Agustus 2025 itu menyebut wakil menteri juga memerlukan konsentrasi waktu untuk menjalankan jabatannya sebagai komisaris.
    “Terlebih, pengaturan larangan rangkap jabatan karena berkaitan pula dengan prinsip penyelenggaraan negara yang bersih, bebas dari konflik kepentingan, serta pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik,” kata Enny.
    Atas dasar hal tersebut, MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon dan melarang wamen rangkap jabatan.
    Putusan yang tak kalah progresif adalah perhatian MK terhadap komposisi perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
    Putusan nomor 169/PUU-XXII/2024 ini dibacakan pada Kamis, 30 Oktober 2025 dengan penggugat adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia, dan Titi Anggraini
    Dalam putusan ini, MK menyatakan agar setiap (AKD) mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan setiap pimpinan alat kelengkapan dewan harus memiliki keterwakilan perempuan.
    Dalam putusan tersebut, MK menilai kebijakan afirmatif untuk kelompok perempuan menjadi kesepakatan nasional untuk memberikan jaminan pemenuhan hak asasi manusia yang lebih komperhensif.
    Karena faktanya, meskipun perbandingan jumlah penduduk antara perempuan dan laki-laki relatif berimbang, namun perempuan jauh tertinggal dibandingkan dengan laki-laki pada hampir semua penyelenggara negara.
    Fakta tersebut membuat negara harus memberikan perlakuan khusus untuk kelompok perempuan. Dasar tersebut menjadi alasan, jumlah perempuan yang berimbang pada sistem politik juga harus tercermin pada semua alat kelengkapan anggota lembaga perwakilan, termasuk AKD.
    Dua putusan lainnya adalah putusan terkait dengan hak atas tanah dalam gugatan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) nomor perkara 181/PUU-XXII/2024, dan Hak Atas Tanah (HAT) di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur (Kaltim) melalui putusan perkara 185/PUU-XXII/2024.
    Pada perkara 181, MK mengabulkan agar masyarakat tak perlu izin pemerintah untuk menggarap lahan hutan untuk berkebun.
    Dalam pertimbangan hukumnya, putusan yang dibacakan pada 17 Oktober 2025 itu menyebut larangan setiap orang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat dikecualikan bagi masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
    Terakhir terkait dengan hak atas tanah di IKN lewat putusan 185. Ketentuan soal Hak Atas Tanah (HAT) di IKN diatur dalam Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahu 2023 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).
    Putusan ini mengatur, agar HAT tak lagi bisa diperpanjang menjadi 190 tahun.
    Artinya, batasan waktu HGB paling lama kini mencapai 80 tahun, yang dapat diperoleh sepanjang memenuhi persyaratan selama memenuhi kriteria dan tahapan evaluasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemerintah Buka Peluang Beri Amnesti Pemakai-Pengedar Narkoba Skala Kecil

    Pemerintah Buka Peluang Beri Amnesti Pemakai-Pengedar Narkoba Skala Kecil

    JAKARTA – Pemerintah membuka peluang untuk memberikan amnesti kepada narapidana yang merupakan pengguna dan pengedar narkoba dalam skala kecil.

    Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyebutkan wacana pemberian amnesti pada terpidana tersebut mempertimbangkan kemanusiaan dan menghargai usia produktif napi agar bisa diberikan kesempatan menjalankan rehabilitasi dan bekerja seluas-luasnya. 

    “Di samping itu juga akan mampu mengurangi kepadatan yang ada di berbagai lembaga-lembaga pemasyarakatan di seluruh tanah air,” ujar Yusril dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 13 November dilansir ANTARA.

    Pemerintah kini sedang mengkaji hal tersebut dan mengoordinasikannya supaya dalam mengambil keputusan pemberian amnesti.

    Presiden Prabowo Subianto menurut Yusril akan mendengar semua pendapat dan masukan dari berbagai kementerian/lembaga terkait yang telah disinkronkan. 

    Menurutnya dalam rapat koordinasi, sudah terdapat beberapa masukan mengenai wacana tersebut, baik dari Badan Narkotika Nasional (BNN), Kejaksaan Agung (Kejagung), Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Ditjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum, serta lainnya.

    Pada intinya, kata Yusril, berbagai pemangku kepentingan memberikan masukan mengenai adanya kriteria tertentu apabila amnesti akan diberikan kepada narapidana yang merupakan pemakai dan pengedar narkotika skala kecil.

    “Tapi umumnya tidak diberikan kepada pengedar dalam skala yang besar atau satu jaringan narkotika yang besar,” ucap dia menegaskan.

     

     

    Presiden Prabowo disebut akan kembali memberikan amnesti, abolisi, hingga rehabilitasi kepada para tersangka, terdakwa, narapidana, maupun terpidana yang telah menjalani hukuman, setelah memberikan amnesti kepada 1.178 orang dan abolisi terhadap satu orang beberapa waktu lalu.

    Amnesti dan abolisi kali ini rencananya diberikan kepada beberapa orang, baik yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, maupun pelaksanaan pidana. Sementara, rehabilitasi akan diberikan kepada para narapidana yang sudah selesai menjalani hukuman. 

    “Langkah ini tidak hanya sekadar pengampunan, tetapi bagian dari konsolidasi hukum dan rekonsiliasi nasional,” ungkap Yusril.

  • Yusril Minta Gubernur Sulsel Aktifkan Lagi 2 Guru yang Dipecat Usai Prabowo Beri Rehabilitasi

    Yusril Minta Gubernur Sulsel Aktifkan Lagi 2 Guru yang Dipecat Usai Prabowo Beri Rehabilitasi

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan Gubernur Sulawesi Selatan wajib mengaktifkan kembali dua guru aparatur sipil negara (ASN) di Luwu Utara setelah adanya pemberian rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto.

    Dia menuturkan rehabilitasi yang diberikan Presiden kepada dua guru tersebut, yakni Abdul Muis dan Rasnal, merupakan tindakan konstitusional yang sah dan sesuai dengan kewenangan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

    “Dengan terbitnya keputusan presiden (keppres) mengenai rehabilitasi, harkat dan martabat kedua guru harus dipulihkan seperti keadaan sebelum adanya putusan yang menjatuhkan pidana kepada mereka,” ujar Yusril dikutip dari Antara, Jumat (14/11/2025).

    Yusril menjelaskan sebelum meneken Keppres Rehabilitasi tersebut, Presiden telah minta pertimbangan kepada Mahkamah Agung (MA). MA telah memberikan pertimbangan sebagaimana diminta dan telah dirujuk dalam konsideran menimbang keppres tentang rehabilitasi tersebut.

    Lebih lanjut, dia menuturkan pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH) terhadap kedua guru itu bukan merupakan hukuman tambahan yang dijatuhkan dalam putusan kasasi MA, melainkan konsekuensi administratif dari ketentuan dalam UU ASN.

    Dalam beleid itu, mewajibkan pemberhentian ASN yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

    Karena itu, menurut Menko, tindakan Gubernur Sulawesi Selatan memberhentikan mereka kala itu merupakan pelaksanaan norma hukum sebagaimana diatur dalam UU ASN.

    Namun setelah Presiden memberikan rehabilitasi, sambung dia, status hukum keduanya wajib dikembalikan seperti keadaan semula.

    “Dengan rehabilitasi, Gubernur Sulsel wajib mengaktifkan kembali kedua ASN tersebut ke jabatan asalnya karena pemulihan nama baik itu otomatis pula memulihkan kedudukan status kepegawaiannya,” tuturnya.

    Di sisi lain, Yusril menekankan rehabilitasi tidak membatalkan putusan pidana. Putusan MA tetap sah, tetapi rehabilitasi memberikan pemulihan kehormatan dan status sosial kepada seseorang kepada keadaan semula.

    Dengan demikian, disebutkan bahwa MA tidak perlu mengadili ulang perkara tersebut karena rehabilitasi berbeda dengan Peninjauan Kembali (PK).

    Jika PK diajukan, kata dia, barulah MA wajib mengadili kembali perkara yang sudah diputus sebelumnya, sehingga rehabilitasi hanya memulihkan nama baik tanpa mengubah putusan.

    Sebelumnya, dua guru SMAN 1 Masamba di Luwu Utara, yaitu Abdul Muis dan Rasnal, dipecat sebagai guru ASN oleh Gubernur Sulawesi Selatan, masing-masing pada 4 Oktober 2025 dan 21 Agustus 2025.

    Keduanya dijatuhi sanksi pemecatan sebagai buntut dari pemungutan iuran sebesar Rp20 ribu dari orang tua murid pada tahun 2018. Hasil uang yang dikumpulkan itu diberikan kepada guru-guru honorer yang terlambat menerima gaji hingga 10 bulan.

    Tak hanya dikenakan sanksi pemecatan, Abdul Muis dan Rasnal juga dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke polisi atas dugaan tindak pidana korupsi. Kasus itu bergulir hingga tingkat kasasi dan MA memutuskan keduanya bersalah sehingga divonis penjara 1 tahun.

    Kasus itu kemudian menjadi sorotan publik, karena perbuatan Abdul Muis dan Rasnal menurut banyak orang justru dinilai berjasa untuk para guru honorer.

  • Yusril Perkirakan Jumlah Penerima Amnesti dan Abolisi Jilid II Akan Lebih Banyak

    Yusril Perkirakan Jumlah Penerima Amnesti dan Abolisi Jilid II Akan Lebih Banyak

    Yusril Perkirakan Jumlah Penerima Amnesti dan Abolisi Jilid II Akan Lebih Banyak
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menyampaikan kemungkinan jumlah penerima amnesti dan abolisi jilid II bakal lebih banyak dari jilid I pada bulan Agustus 2025.
    Diketahui, pemerintah berencana kembali memberikan
    abolisi
    ,
    amnesti
    , dan rehabilitasi kepada sejumlah pihak yang terjerat perkara pidana. Sedangkan, pada Agustus 2025, Presiden Prabowo memberikan
    amnesti dan abolisi
    kepada 1.179 orang.
    Menurut
    Yusril
    , perkiraan jumlah penerima bertambah karena akan terdapat beberapa kriteria terbaru dan ada wacana penambahan pemberian rehabilitasi.
    “Nanti barangkali lebih dari jumlah sebelumnya. Harapan kami seperti itu,” kata Yusril dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (13/11/2025), dikutip dari
    Antaranews
    .
    Namun, Yusril mengaku, belum bisa mengungkapkan perihal jumlah pasti narapidana yang akan diberikan amnesti, abolisi, maupun rehabilitasi. Sebab, pihaknya akan melakukan kajian dan verifikasi sebelum nama-nama calon penerima diserahkan ke Presiden Prabowo.
    Selain itu, keputusan juga berada di tangan Presiden Prabowo, serta hasil pertimbangan dari DPR RI.
    “Mungkin sejumlah nama akan diajukan kepada Pak Presiden tapi kan tentu beliau akan pertimbangkan mana yang mungkin ada yang beliau setuju, mungkin tidak setuju. Itu sepenuhnya adalah kewenangannya Pak Presiden dalam mengambil keputusan,” ujarnya.
    Lebih lanjut, Yusril mengungkapkan, pihaknya tengah mengkaji rencana pemberian amnesti kepada narapidana yang merupakan pengguna dan pengedar narkoba dalam skala kecil.
    Sementara untuk penerima abolisi, menurut dia, terdapat kemungkinan diberikan kepada tersangka maupun terdakwa yang masih dalam proses hukum atau dalam putusan yang belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap.
    Sementara itu, Yusril menyebut, kemungkinan pemberian rehabilitasi terhadap para narapidana yang telah menerima amnesti sebelumnya.
    “Jadi, kemungkinan orangnya diberi amnesti sekaligus dikasih rehabilitasi, itu mungkin,” kata Yusril.
    Sebagaimana diketahui, pada 1 Agustus 2025, Presiden Prabowo memberikan amnesti kepada 1.178 orang. Salah satunya, terdakwa kasus suap Harun Masiku, Hasto Kristiyanto.
    Usai mendapat amnesti, Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tersebut resmi dibebaskan dari Rumah Tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih.
    Sebelumnya, Hasto dijatuhi vonis 3,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam kasus suap Harun Masiku.
    Kemudian, pada hari yang sama, Prabowo memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.
    Sama seperti Hasto, Tom Lembong langsung bebas dari Rutan Cipinang, Jakarta Timur, usai mendapatkan abolisi dari Prabowo.
    Sebelumnya, Tom Lembong diputus bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan dijatuhi hukuman pidana 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 miliar subsidair enam bulan kurungan.
    Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Tom Lembong terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait kebijakan importasi Gula di Kemendag, sebagaimana dakwaan primair jaksa penuntut umum, yakni Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Hanya saja, dalam putusannya, majelis hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti karena Tom Lembong dinilai menikmati hasil tindak pidana korupsi dari kebijakan importasi gula di Kemendag tahun 2015-2016.
    “Kepada terdakwa tidak dikenakan ketentuan Pasal 18 Ayat 1 Huruf b UU Tipikor karena faktanya terdakwa tidak memeroleh harta benda dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa,” kata hakim anggota Alfis Setiawan dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada 18 Juli 2025.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MK Larang Polisi Aktif Isi Jabatan Sipil, Yusril: Akan Jadi Masukan Komisi Reformasi Polri

    MK Larang Polisi Aktif Isi Jabatan Sipil, Yusril: Akan Jadi Masukan Komisi Reformasi Polri

    MK Larang Polisi Aktif Isi Jabatan Sipil, Yusril: Akan Jadi Masukan Komisi Reformasi Polri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil akan menjadi masukan bagi Komisi Reformasi Polri.
    “Ya, ini tentu nanti akan jadi masukan bagi Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian,” kata Yusril saat ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
    Yusril meyakini bahwa para anggota Komisi
    Reformasi Polri
    telah mengetahui tentang adanya
    putusan MK
    tersebut.
    Sebab, putusan MK dibacakan secara terbuka dan diketahui oleh semua orang.
    Dalam putusan itu, MK memutuskan anggota polisi aktif tidak boleh lagi menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, termasuk apabila ada arahan maupun perintah Kapolri semata.
    “Kemudian juga tentu ada transisi bagaimana mereka yang sudah telanjur memegang jabatan di kementerian atau di lembaga itu akan seperti apa,” kata Yusril mengutip putusan MK.
    Diberitakan sebelumnya, anggota polisi aktif diputuskan tidak boleh lagi menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, termasuk apabila ada arahan maupun perintah Kapolri semata.
    Hal ini menyusul putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang mengabulkan permohonan perkara 114/PUU-XXIII/2025 untuk seluruhnya terhadap gugatan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (
    UU Polri
    ) terkait kedudukan anggota polisi di jabatan sipil.
    “Amar putusan, mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).
    Hakim konstitusi Ridwan Mansyur berpandangan, frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan sipil.
    Rumusan tersebut adalah rumusan norma yang
    expressis verbis
    yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain.
    Sementara itu, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan terhadap norma dimaksud.
    Terlebih, adanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002.
    Menurutnya, hal tersebut berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian, dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.
    “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum,” kata Ridwan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tim Reformasi Polri Buatan Prabowo Bakal Tambah Anggota Perempuan

    Tim Reformasi Polri Buatan Prabowo Bakal Tambah Anggota Perempuan

    Bisnis.com, JAKARTA — Tim Reformasi Polri bentukan Presiden Prabowo Subianto bakal menambah satu anggota baru dengan gender perempuan.

    Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Assiddiqie mengatakan penambahan anggota itu bakal dilakukan pada pekan depan.

    “Nah, kami rapat bersepuluh dan insyaallah mungkin minggu depan atau apa akan ada tambahan satu orang ya, ibu-ibu,” ujar Jimly di Mabes Polri, Senin (10/11/2025).

    Hanya saja, Jimly enggan mengemukakan sosok perempuan yang akan bergabung menjadi tim reformasi Polri ini.

    Di samping itu, Jimly mengemukakan bahwa penambahan itu dilakukan agar memenuhi keterwakilan dari pihak perempuan.

    “Nah, belum saya sebut namanya. Ini untuk melengkapi sesuai dengan harapan Presiden supaya ada keterwakilan perempuan. Maka nanti jumlahnya tim ini 11 orang,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, Prabowo resmi melantik Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (7/11/2025).

    Pembentukan komisi ini dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 122P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian.

    Dalam keputusan tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie ditunjuk sebagai Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian.

    Adapun, komisi ini dibentuk untuk mempercepat proses reformasi kelembagaan, profesionalisme, dan tata kelola di tubuh Polri. Nah, berikut ini struktur keanggotaan tim reformasi Polri:

    Ketua Percepatan Reformasi Kepolisian: 

    Jimly Asshiddiqie

    Anggota:

    1. Eks Menkopolhukam, Mahfud MD

    2. Menko Hukum, HAM, dan Imipas, Yusril Ihza Mahendra

    3. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas

    4. Wamenko Hukum, Ham dan Imipas Otto Hasibuan

    5. Mendagri sekaligus mantan Kapolri Tito Karnavian

    6. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo

    7. Eks Kapolri Idham Azis

    8. Eks Kapolri Badrodin Haiti

    9. Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Reformasi Polri, Ahmad Dofiri

  • Tancap Gas, Komisi Percepatan Reformasi Polri Langsung Rapat Perdana Siang Ini

    Tancap Gas, Komisi Percepatan Reformasi Polri Langsung Rapat Perdana Siang Ini

    Komisi Reformasi Polri berisi tokoh hukum, sejumlah menteri kabinet, dan mantan Kapolri.

    Berikut ini 10 anggota Komisi Reformasi Polri yang dilantik:

     

    1. Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie, Ketua merangkap Anggota

    Anggota:

    2. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra

    3. Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan

    4. Menteri Dalam Negeri sekaligus mantan Kapolri Jenderal (Purn) Tito Karnavian

    5. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas

    6. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan periode 2019-2024 Mahfud MD

    7. Kapolri periode 2019-2021 Jenderal (Purn) Idham Aziz

    8. Kapolri periode 2015-2016 Jenderal (Purn) Badrodin Haiti

    9. Penasihat Khusus Presiden bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat, dan Reformasi Kepolisian Ahmad Dofiri

    10. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo