Pemerintah Siapkan PP, Bakal Izinkan Polisi Menjabat di Luar Polri?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pemerintah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk menyelesaikan polemik Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang mebuka ruang bagi anggota Polri menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga negara.
Pembahasan RPP ini diputuskan setelah pemerintah bersama Komite Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia menggelar rapat tingkat menteri.
“Dan kita sampai pada kesepakatan bahwa kita akan segera menyusun
Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP),” kata Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan,
Yusril Ihza Mahendra
, dalam konferensi pers di Balai Kartini, Jakarta Pusat, Sabtu (20/12/2025).
Rancangan PP itu nantinya akan membahas peluang polisi aktif untuk menjabat dalam kementerian/lembaga di luar Polri.
Namun, rinciannya akan dibahas lebih lanjut.
Yusril belum bisa memastikan apakah isi Perpol 10/2025 mengenai 17 kementerian/lembaga akan dimuat sama dalam PP.
“Ya, apakah 17 itu akan masuk atau tidak dalam PP, itu nanti akan kami diskusikan bersama-sama,” tutur dia.
Yusril menuturkan, isi rancangan PP akan merujuk ke Perpol 10/2025, tetapi pemerintah juga akan meminta masukan dari para tokoh, termasuk Komite Percepatan Reformasi Polri.
“Tentu itu menjadi referensi kami, di samping juga masukan-masukan yang dilakukan oleh para tokoh dan juga masukan-masukan dari komisi percepatan reformasi Polri,” lanjutnya.
Yusril menambahkan, draf PP ini sedang dipersiapkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) serta Kementerian Sekretariat Negara.
Penyusunan RPP ini akan dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
“Akan dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan, dan juga oleh Kementerian Hukum. Kebetulan Wamenkum, Pak Eddy, hadir hari ini,” ucapnya.
Yusril menargetkan PP ini segera selesai, yaitu pada akhir Januari 2026.
“Targetnya kapan akan selesai? Ya secepatnya. Mudah-mudahan bisa selesai akhir bulan Januari, paling lambat sudah keluar PP-nya,” kata Yusril.
Rapat yang digelar Yusril mengenai PP ini dihadiri Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djamari Chaniago, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD.
Diketahui, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 menjadi polemik karena membuka ruang bagi anggota Polri menduduki jabatan di 17 kementerian dan lembaga negara.
Kebijakan tersebut dinilai bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang melarang polisi aktif menduduki jabatan di luar struktur kepolisian.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Yusril Ihza Mahendra
-

Inkonsistensi yang Dilegalkan
OLEH: AHMADIE THAHA
ADA masa ketika hukum di negeri ini berdiri tegak seperti tiang bendera setiap Senin pagi: lurus, kaku, dan sedikit menegangkan. Tetapi belakangan, hukum kita tampaknya lebih mirip karet gelang — bisa ditarik ke mana saja, dipelintir secukupnya, lalu diklaim tetap utuh.
Tidak putus meski ditarik ke mana saja, kata mereka. Hanya lentur. Dan dalam kelenturan itulah, kita menyaksikan satu demi satu putusan konstitusi diuji bukan oleh pengadilan, melainkan oleh kreativitas birokrasi.
Yusril Ihza Mahendra, dengan ketenangan seorang profesor yang sudah kenyang debat konstitusi, belum lama ini menyimpulkan sesuatu yang pahit tapi jujur yakni hukum Indonesia sering inkonsisten.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurut Undang-Undang bersifat final dan mengikat, dalam praktiknya kerap diperlakukan seperti rekomendasi seminar — boleh diikuti, boleh juga tidak, tergantung suasana batin dan kepentingan.
Pernyataan itu belum sempat menjadi kutipan tetap di slide kuliah hukum tata negara, tiba-tiba pihak Kepolisian RI (Polri) datang membawa contoh empirisnya dengan terbitnya Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025.
Jika ini film, kita akan menyebutnya plot twist. Jika ini sinetron, penonton akan berteriak, “Lho, kok bisa?” Tetapi karena ini negara hukum, para pakar ramai-ramai mendiskusikannya, sementara publik hanya bisa menghela napas panjang.
Yang membuat cerita ini semakin ironis adalah konteks waktunya. Presiden Prabowo Subianto belum lama ini membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri, dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie — nama yang bagi mahasiswa hukum lebih sakral daripada daftar pustaka skripsi.
Komisi ini dibentuk untuk membenahi Polri: dari regulasi, kelembagaan, hingga kultur. Singkatnya, Polri sedang masuk bengkel besar nasional. Namun, sebelum mesin Polri dibongkar dan onderdilnya diperiksa, dari dalam bengkel justru keluar suara mesin yang dipaksa ngebut.
Kapolri menandatangani Perpol 10/2025, sebuah peraturan yang oleh Harian Kompas disebut secara lugas dan tanpa basa-basi sebagai “pembangkangan konstitusional.” Ini bukan istilah sembarangan. Ini tudingan serius: bahwa sebuah peraturan internal lembaga negara bertentangan langsung dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Masalahnya bukan sepele. Mahkamah Konstitusi, lewat Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, telah menyatakan bahwa frasa di Pasal 28 ayat (3) UU Polri — yang bunyinya: “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” — bertentangan dengan UUD 1945.
Frasa itu dipangkas oleh MK dalam putusannya terbaru, dicoret, dan secara hukum dinyatakan mati. Artinya, pasal itu sudah tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam istilah medis, death certificate-nya sudah keluar.
Tetapi di republik yang penuh kejutan ini, kematian hukum sering kali bersifat administratif, bukan eksistensial. Frasa yang sudah mati itu justru dijadikan fondasi hidup Perpol 10/2025. Seolah-olah MK hanya memberikan cuti sakit, bukan vonis akhir.
Maka, berbekal SK tersebut, anggota Polri aktif tetap atau kembali diberi jalan untuk menduduki jabatan di luar struktur kepolisian, di 17 kementerian dan lembaga negara, baik jabatan manajerial maupun non manajerial.
Tujuh belas! Angka yang mengesankan. Hampir seperti daftar fakultas di universitas besar. Dari urusan politik-keamanan, energi, hukum, kehutanan, kelautan, perhubungan, hingga lembaga-lembaga super strategis seperti OJK, PPATK, BIN, BSSN, bahkan KPK.
Negara mendadak terasa seperti papan catur raksasa, dan perwira Polri bisa melangkah ke banyak petak. Sementara bidak lain — ASN karier — hanya bisa menonton dari garis start. Tak ayal, dari Jimly hingga Mahfud MD gerah dengan Perpol itu.
Bahkan, Zennis Helen, dosen hukum tata negara tak setenar Yusril, masuk membawa pisau analisis yang tajam tapi dingin. Ia mengingatkan sesuatu yang seharusnya menjadi pelajaran dasar: asas penjenjangan norma.
Ia mengutip Hans Kelsen yang sudah mengajarkannya hampir seabad lalu melalui Stufenbau Theorie. Bahwa norma hukum itu bertingkat. Yang rendah tidak boleh melawan yang tinggi. Jika melawan, ia gugur dengan sendirinya.
Dalam bahasa Latin yang sering membuat mahasiswa mengangguk sambil pura-pura paham, lex superior derogat legi inferiori. Peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Ini bukan sekadar etika hukum. Ini struktur logika negara hukum.
Memang benar, Perpol yang diterbitkan Kapolri tidak masuk dalam hierarki utama Pasal 7 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tetapi ia tetap peraturan. Ia tetap regeling. Ia tetap tunduk pada asas penjenjangan norma.
Perpol tersebut tidak hidup di alam bebas, apalagi di luar konstitusi. Maka ketika Perpol 10/2025 bertentangan dengan putusan MK, yang terjadi bukan perbedaan tafsir biasa, melainkan anomali hukum.
Anomali ini terasa semakin ganjil karena, pasca putusan MK, pihak Polri sempat menarik satu perwira tingginya dari jabatan sipil. Publik melihat ini sebuah isyarat kepatuhan yang tampak manis di awal.
Tetapi nyatanya, itu pemanis saja. Dengan Perpol tadi, anggota Polri aktif justeru merasa punya hak untuk bercokol dengan nyaman di berbagai kementerian dan lembaga. Bahkan posisi mereka kini dilegitimasi ulang lewat Perpol baru.
Maka, penarikan itu pun terlihat seperti formalitas: cukup untuk disebut patuh, tapi tidak cukup untuk benar-benar taat.
Dampaknya tidak berhenti pada soal legalitas. Ia merembet ke jantung tata kelola negara. Sistem meritokrasi ASN — yang selama ini didorong habis-habisan agar birokrasi diisi oleh kompetensi, bukan koneksi — terancam menjadi jargon kosong.
ASN yang puluhan tahun meniti karier, mengikuti pelatihan, menunggu promosi, bisa tersalip oleh jalur penugasan berseragam cokelat. Meritokrasi pun berubah menjadi dekorasi, indah di dokumen, rapuh di praktik.
Dalam perspektif sosiologi birokrasi, ini berbahaya. Ia merusak kultur kerja, mematahkan motivasi, dan menciptakan kasta implisit di tubuh birokrasi.
Negara-negara demokrasi mapan sangat hati-hati dalam urusan ini. Inggris memisahkan polisi dari jabatan birokrasi sipil strategis. Amerika Serikat, dengan segala kekuatannya, tetap menjaga jarak institusional agar aparat penegak hukum tidak menjadi perpanjangan tangan kekuasaan administratif.
Pihak Kepolisian Indonesia tampaknya memilih jalur berbeda yaitu memperluas ruang, lalu berharap konflik kepentingan bisa dikelola dengan surat mutasi.
Padahal, jalan keluar konstitusional tersedia. Zennis Helen menyebut dua jalur. Pertama, dialog administratif melalui Komisi Percepatan Reformasi Polri. Komisi ini justru punya legitimasi moral dan politik untuk mengingatkan pimpinan Polri bahwa reformasi bukan sekadar slogan.
Kedua, uji legalitas Perpol ke Mahkamah Agung. Karena Perpol adalah peraturan, maka MA menjadi rumah pengujiannya.
Dua jalan ini memang tidak instan. Ia butuh waktu, energi, dan kesabaran. Tetapi negara hukum memang tidak dibangun dengan jalan pintas. Ia dibangun dengan kepatuhan pada prosedur, bahkan ketika prosedur itu tidak nyaman.
Di titik inilah, pernyataan Yusril Ihza Mahendra menemukan wajahnya yang paling terang. Inkonsistensi hukum bukan lagi diskursus akademik, melainkan pengalaman sehari-hari warga negara.
Ketika putusan MK bisa “diakali” lewat peraturan internal, maka istilah “final dan mengikat” berubah dari norma menjadi retorika. Dan ketika itu terjadi berulang-ulang, kepercayaan publik pelan-pelan terkikis — bukan oleh satu skandal besar, melainkan oleh kebiasaan kecil yang dianggap wajar.
Negara tidak selalu runtuh oleh kudeta berdarah. Kadang ia melemah karena terlalu sering menoleransi penyimpangan kecil. Putusan yang dibelokkan. Norma yang dinegosiasikan. Konstitusi yang diperlakukan seperti saran, bukan perintah.
Mungkin inilah paradoks terbesar kita hari ini. Reformasi Polri ingin memperbaiki institusi, tetapi justru diuji oleh regulasi dari dalam. Seperti seseorang yang ingin diet serius, tetapi lemari esnya penuh kue tart ulang tahun.
Dan publik, yang menyaksikan semua ini, hanya bisa bertanya dengan logika paling sederhana — logika yang bahkan tidak butuh gelar profesor: jika putusan Mahkamah Konstitusi saja bisa diperlakukan seperti ini, lalu apa sebenarnya yang benar-benar final di negeri ini?
-
Komisi Reformasi Polri Akan Bahas Aturan Baru Kapolri Bolehkan Polisi Aktif Menjabat di 17 Kementerian
Liputan6.com, Jakarta – Komisi Percepatan Reformasi Polri akan membahas polemik Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polisi aktif pun dapat menjabat di 17 Kementerian/Lembaga.
“Akan ada kelanjutan rapat dari Komisi Percepatan Reformasi Polri di Gedung Sekretariat Negara di Jalan Veteran mengenai hal ini,” tutur Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, Rabu (17/12/2025), dikutip dari Antara.
Nantinya, dalam rapat tersebut akan dibahas berbagai masukan yang telah diterima Komisi Percepatan Reformasi Polri, khususnya mengenai terbitnya Perpol Nomor 10 Tahun 2025 yang menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Yusril mengaku telah mendengar pendapat dari jajaran Komisi Percepatan Reformasi Polri, seperti Mahfud MD dan Jimly Asshiddiqie perihal Perpol tersebut. Hanya saja, dia belum dapat memberikan tanggapan lantaran dirinya merupakan anggota komisi yang berada dalam pemerintahan.
“Tentu membutuhkan satu koordinasi untuk membahas masalah ini dengan sebaik-baiknya,” jelas dia.
Selain itu, pihaknya juga masih berkoordinasi dengan Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Hukum, serta Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, sebelum memberikan pandangan mengenai Perpol Nomor 10 Tahun 2025.
Lama dinanti, Presiden Prabowo Subianto akhirnya melantik 10 anggota Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian (KPRK).
-
/data/photo/2025/12/17/6942448bc6a3c.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Menko Yusril Serahkan 33 Rekomendasi Kebijakan Strategis ke-14 Kementerian/Lembaga
Menko Yusril Serahkan 33 Rekomendasi Kebijakan Strategis ke-14 Kementerian/Lembaga
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyerahkan 33 rekomendasi kebijakan kepada 14 Kementerian dan Lembaga (K/L).
Yusril mengatakan, 33 rekomendasi disusun melalui proses sinkronisasi dan koordinasi sektoral terkait isu-isu strategis.
Tujuannya adalah untuk menjamin keselarasan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan visi Astacita Presiden.
”
Rekomendasi kebijakan
ini bertujuan untuk menghindari tumpang tindih kebijakan, memastikan efektivitas program, serta menyelesaikan isu-isu yang tidak dapat ditangani oleh satu kementerian secara mandiri,” kata Yusril, dalam konferensi pers di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Yusril mengatakan, dari 33 rekomendasi tersebut,
Kementerian Hukum
mendapatkan porsi terbesar, yaitu 13 rekomendasi.
Poin-poin penting yang dilampirkan di antaranya adalah beneficial
ownership
, interoperabilitas data kekayaan intelektual, keadilan restoratif (
restorative justice
), hingga pembaruan KUHP.
Sementara itu, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan mendapatkan 6 rekomendasi yang menyoroti penanganan warga keturunan Filipina (Filipino Descent), penanganan tahanan
overstay
, serta penguatan Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
Kemudian, terdapat rekomendasi untuk Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), salah satunya berisi pembentukan lembaga regulasi nasional atau badan legislasi nasional.
“Pembentukan lembaga regulasi nasional atau istilah lain dalam badan legislasi nasional ini adalah sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perubahan undang-undang 2012 dan 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,” ujar dia.
Selain itu, Yusril juga menyerahkan rekomendasi untuk Kementerian HAM, Komnas HAM, dan LPSK.
Kementerian/Lembaga di sektor HAM ini diminta melakukan sinkronisasi satu data korban dan pemulihan korban pelanggaran HAM berat.
Yusril mengatakan, kementeriannya terus memantau pelaksanaan rekomendasi ini secara ketat.
Dia memastikan, Kemenko Kumham Imigrasi akan melakukan evaluasi pada tahun 2026.
“Kami akan melakukan pemantauan dan evaluasi atas tindak lanjut rekomendasi ini pada tahun 2026 mendatang untuk memastikan implementasi berjalan sesuai rencana aksi dan memberikan manfaat nyata bagi
pembangunan nasional
,” ucap dia.
Berikut ini rincian rekomendasi yang diserahkan Kemenko Kumham Imipas kepada 14 Kementerian/Lembaga:
1. Kementerian Hukum (13 Rekomendasi): Fokus pada beneficial ownership, interoperabilitas data kekayaan intelektual, royalti musik, keadilan restoratif, pembaruan KUHP, arbitrase, partisipasi publik (meaningful participation), akses keadilan, dan reformasi regulasi.
2. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (6 Rekomendasi): Termasuk interoperabilitas data, penanganan Filipino Descent (Sumatera Utara), tahanan overstay, implementasi KUHP, dan penguatan layanan BAPAS.
3. Kementerian Dalam Negeri (6 Rekomendasi): Meliputi data Pos Lintas Batas Negara (PLBN), status warga keturunan Filipina di Sulawesi Utara, perlindungan pekerja migran, dan diklat HAM terpadu.
4. PPATK (3 Rekomendasi): Fokus pada transparansi korporasi dan kepatuhan Financial Action Task Force (FATF).
5. OJK (3 Rekomendasi): Penguatan tata kelola
beneficial ownership
dan verifikasi multipihak.
6. BNPP (1 Rekomendasi): Optimalisasi tata kelola Pos Lintas Batas Negara.
7. Kementerian HAM (1 Rekomendasi): Sinkronisasi satu data korban pelanggaran HAM berat.
8. BKN (1 Rekomendasi): Percepatan diklat HAM terpadu bagi ASN dan guru.
9. Komnas HAM (1 Rekomendasi): Sinkronisasi pemulihan korban pelanggaran HAM berat.
10. LPSK (1 Rekomendasi): Penguatan satu data pemulihan korban pelanggaran HAM berat.
11. KemenPPPA (1 Rekomendasi): Akselerasi revisi UU Perlindungan Anak.
12. BP2MI (1 Rekomendasi): Pembentukan Perda perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
13. Baleg DPR (1 Rekomendasi): Percepatan pembahasan revisi UU Perlindungan Anak.
14. KemenPAN-RB (1 Rekomendasi): Pembentukan lembaga regulasi nasional (Badan Legislasi Nasional).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Menko Yusril Dorong Penguatan Struktur demi Kebijakan Hukum-HAM Selaras
Jakarta –
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mendorong adanya penguatan struktur di institusinya. Dia menyebut hal ini demi kebijakan yang diambil tak berjalan sendiri-sendiri.
“Kementerian koordinator ini dibentuk agar kebijakan hukum, HAM, imigrasi, dan pemasyarakatan tidak berjalan sendiri-sendiri. Penguatan struktur menjadi fondasi agar koordinasi dapat dijalankan secara konsisten,” ujar Yusril kepada wartawan, Jumat (5/12/2025).
Kemenko Kumham Imipas diketahui memasuki fase penguatan kelembagaan setelah dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 142 Tahun 2024. Lembaga yang lahir pada Oktober 2024 ini memikul mandat untuk memastikan keselarasan kebijakan nasional di empat sektor strategis yang kini tersebar di berbagai kementerian teknis.
Yusril menyebut regulasi itu menjadi dasar pembentukan struktur awal, diikuti pelantikan pimpinan tinggi pratama dan pejabat manajerial pada Desember 2024. Juga pejabat tinggi madya pada Februari 2025, yaitu Sekretaris Kemenko, Deputi Koordinasi Hukum, Deputi Koordinasi HAM, serta Deputi Koordinasi Keimigrasian dan Pemasyarakatan.
Struktur tersebut dilengkapi dengan empat kepala biro, tiga sekretaris deputi, lima belas asisten deputi, inspektur, dan jajaran manajerial lainnya. Dengan formasi ini, Kemenko Kumham Imipas mulai menyiapkan kapasitas internal untuk mengoordinasikan dinamika kebijakan lintas kementerian/lembaga.
Koordinasi ini juga diarahkan untuk memperluas akses publik terhadap regulasi dan mendorong partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan
Di bidang HAM, kementerian koordinator memainkan peran dalam penyelesaian HAM berat masa lalu, penguatan forum pemajuan HAM untuk isu perempuan, pekerja migran, dan penyandang disabilitas, peningkatan mekanisme pelaporan instrumen HAM internasional, serta dialog terkait isu HAM di Papua. Dukungan terhadap penyelenggaraan Memorial Living Park Aceh dan koordinasi perlindungan HAM dalam penanganan demonstrasi publik turut menjadi bagian dari capaian 2025.
Sekretariat Kemenko juga hadir untuk memperkuat fungsi internal kementerian koordinator melalui digitalisasi administrasi, modernisasi publikasi informasi, serta peningkatan sistem pengaduan masyarakat. Langkah ini diarahkan untuk memperkuat transparansi dan tata kelola internal.
Lalu, menjelang tahun 2026, Kemenko Kumham Imipas akan berfokus pada optimalisasi koordinasi lintas kementerian/lembaga, percepatan digitalisasi di empat sektor prioritas, peningkatan kompetensi ASN, serta penguatan kerja sama strategis dengan pemerintah daerah.
Upaya konsolidasi ini dipandang sebagai langkah penting untuk memperkuat efektivitas kebijakan.
“Setelah fondasi terbentuk, sistem harus berjalan dan menghasilkan dampak nyata. Itulah fokus kami pada 2026,” ujar Wamenko Kumham Imipas, Otto Hasibuan dalam kesempatan terpisah.
(azh/azh)
-

Dewas KPK Periksa Dua Penyidik yang Diduga Halangi Pemeriksaan Bobby Nasution
Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Pengawas (Dewas) KPK memanggil dua orang penyidik yang diduga menghalangi agar Gubernur Sumatra Utara Bobby Nasution dalam pemeriksaan di kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatra Utara.
Dua penyidik tersebut adalah Rossa Purbo Bekti dan Boy. Keduanya menjalani pemeriksaan di Gedung C1 KPK pukul 10.00 WIB, Kamis (4/12/2025).
“Yang bersangkutan sudah dipanggil, besok [4 Desember 2025] diperiksa,” kata Ketua Dewas KPK Gusrizal, dikutip Kamis (4/12/2025).
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menyampaikan untuk menghormati proses pemeriksaan dua penyidik tersebut. Budi memastikan proses penanganan dilakukan sesuai dengan proses hukum dan peraturan perundangan yang berlaku, mulai dari tindakan-tindakan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan.
Dia menjelaskan perkara yang bermula dari penyelidikan tertutup ini, yaitu kegiatan tertangkap tangan atas dugaan tindak pidana korupsi suap proyek pengadaan di dinas PUPR dan Satker PJN 1 wilayah Sumut, KPK telah menetapkan para tersangkanya, baik dari pihak pemberi maupun penerimanya.
Menurutnya, lembaga antirasuah telah melakukan pemeriksaan secara intensif kepada tersangka, saksi, serta melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti.
“Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum melaksanakan limpah atas perkara ini ke PN Tipikor Medan, untuk masuk ke tahap persidangan,” katanya, Kamis (4/12/2025).
Budi mengatakan persidangan dilaksanakan secara terbuka agar publik bisa melihat dan mencermati secara langsung setiap proses dan fakta-fakta persidangannya sehingga semua berjalan transparan.
Pemeriksaan ini mencuat ketika sebelumnya Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia (KAMI) melayangkan laporan ke Dewa KPK karena menduga adanya penghambatan proses hukum bagi Bobby Nasution.
KAMI menduga bahwa Bobby terlibat dalam perkara ini. Koordinator KAMI, Yusril, menuturkan pemanggilan Bobby juga didasari atas banyaknya berita yang beredar sehingga mendesak KPK melakukan evaluasi secara internal.
Adapun menurut Sekretaris KAMI, Usman, alasan melaporkan Rossa karena Bobby tak kunjung dipanggil oleh KPK untuk dimintai keterangan.
“Kalau sampai ini ditutup-tutupi, kita harus mempertanyakan. Jangan sampai ada upaya penutupan atau penghambatan terhadap proses hukum,” kata Usman.
/data/photo/2025/12/20/6946756bcb802.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


