Tag: Yusril Ihza Mahendra

  • Dewas KPK Periksa Dua Penyidik yang Diduga Halangi Pemeriksaan Bobby Nasution

    Dewas KPK Periksa Dua Penyidik yang Diduga Halangi Pemeriksaan Bobby Nasution

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Pengawas (Dewas) KPK memanggil dua orang penyidik yang diduga menghalangi agar Gubernur Sumatra Utara Bobby Nasution dalam pemeriksaan di kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatra Utara.

    Dua penyidik tersebut adalah Rossa Purbo Bekti dan Boy. Keduanya menjalani pemeriksaan di Gedung C1 KPK pukul 10.00 WIB, Kamis (4/12/2025).

    “Yang bersangkutan sudah dipanggil, besok [4 Desember 2025] diperiksa,” kata Ketua Dewas KPK Gusrizal, dikutip Kamis (4/12/2025).

    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menyampaikan untuk menghormati proses pemeriksaan dua penyidik tersebut. Budi memastikan proses penanganan dilakukan sesuai dengan proses hukum dan peraturan perundangan yang berlaku, mulai dari tindakan-tindakan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan.

    Dia menjelaskan perkara yang bermula dari penyelidikan tertutup ini, yaitu kegiatan tertangkap tangan atas dugaan tindak pidana korupsi suap proyek pengadaan di dinas PUPR dan Satker PJN 1 wilayah Sumut, KPK telah menetapkan para tersangkanya, baik dari pihak pemberi maupun penerimanya.

    Menurutnya, lembaga antirasuah telah melakukan pemeriksaan secara intensif kepada tersangka, saksi, serta melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti. 

    “Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum melaksanakan limpah atas perkara ini ke PN Tipikor Medan, untuk masuk ke tahap persidangan,” katanya, Kamis (4/12/2025).

    Budi mengatakan persidangan dilaksanakan secara terbuka agar publik bisa melihat dan mencermati secara langsung setiap proses dan fakta-fakta persidangannya sehingga semua berjalan transparan.

    Pemeriksaan ini mencuat ketika sebelumnya Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia (KAMI) melayangkan laporan ke Dewa KPK karena menduga adanya penghambatan proses hukum bagi Bobby Nasution.

    KAMI menduga bahwa Bobby terlibat dalam perkara ini. Koordinator KAMI, Yusril, menuturkan pemanggilan Bobby juga didasari atas banyaknya berita yang beredar sehingga mendesak KPK melakukan evaluasi secara internal.

    Adapun menurut Sekretaris KAMI, Usman, alasan melaporkan Rossa karena Bobby tak kunjung dipanggil oleh KPK untuk dimintai keterangan. 

    “Kalau sampai ini ditutup-tutupi, kita harus mempertanyakan. Jangan sampai ada upaya penutupan atau penghambatan terhadap proses hukum,” kata Usman.

  • AKBP Rossa Diperiksa Dewas KPK Buntut Tak Panggil Bobby Nasution

    AKBP Rossa Diperiksa Dewas KPK Buntut Tak Panggil Bobby Nasution

    GELORA.CO -Drama internal di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanas. Buntut dari dugaan tidak dipanggilnya Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Nasution, sebagai saksi dalam kasus suap proyek jalan, AKBP Rossa Purbo Bekti (Kasatgas Penyidikan KPK) kini harus berhadapan dengan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

    Ketua Dewas KPK, Gusrizal, mengonfirmasi bahwa Rossa bersama satu penyidik lainnya, Boy, dipanggil untuk menjalani pemeriksaan pada Kamis 4 Desember 2025. Pemeriksaan ini adalah tahap klarifikasi awal mengenai alasan di balik tidak dipanggilnya Bobby Nasution.

    “Benar, dua orang penyidik Rossa dan Boy diperiksa,” kata Gusrizal kepada RMOL, Kamis pagi, 4 Desember 2025.

    Pemeriksaan ini tidak hanya menyasar penyidik. Sehari sebelumnya, pada Rabu 3 Desember 2025 Dewas juga telah memanggil dan memeriksa dua orang Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait isu pemanggilan Gubernur Sumut tersebut.

    Langkah klarifikasi ini merupakan pemeriksaan pendahuluan. Jika nantinya ditemukan bukti kuat adanya pelanggaran kode etik, kasus ini akan dinaikkan ke tahap sidang etik.

    Pemeriksaan ini berakar dari laporan yang dilayangkan oleh Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia (KAMI) ke Dewas KPK pada 17 November 2025. Koordinator KAMI, Yusril S Kaimudin, menduga adanya upaya penghambatan proses hukum terhadap Bobby Nasution yang diduga dilakukan oleh AKBP Rossa.

    Dalam laporannya, KAMI menyoroti isu independensi KPK. Yusril bahkan menyinggung peristiwa kebakaran rumah Hakim yang sebelumnya meminta tim JPU KPK untuk menghadirkan Bobby sebagai saksi di persidangan.

    “Kami percaya kepada KPK, bahwasanya ini harus dipandang semuanya sama rata. Jangan sampai ada intervensi-intervensi khusus yang kemudian mengamankan Bobby Nasution,” tegas Yusril, merujuk pada latar belakang Bobby sebagai menantu Presiden Jokowi.

    KAMI menuntut Dewas untuk melakukan pemeriksaan etik terhadap AKBP Rossa atas dugaan pelanggaran integritas dan profesionalitas, menilai sejauh mana tindakan ini memengaruhi kredibilitas Lembaga, serta mengambil langkah etik yang diperlukan demi memulihkan kepercayaan publik terhadap KPK.

    Yusril mengultimatum, jika laporan ini tidak direspon secara transparan kepada publik, KAMI akan mengambil tindakan turun ke jalan. 

  • 2 Lansia WN Belanda Terpidana Mati dan Seumur Hidup Bakal Dipulangkan Pekan Depan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Desember 2025

    2 Lansia WN Belanda Terpidana Mati dan Seumur Hidup Bakal Dipulangkan Pekan Depan Nasional 2 Desember 2025

    2 Lansia WN Belanda Terpidana Mati dan Seumur Hidup Bakal Dipulangkan Pekan Depan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Pemerintah RI akan memulangkan dua Warga Negara (WN) Belanda ke negara asalnya pada 8 Desember 2025.
    Hal tersebut ditandai dengan penandatanganan
    Practical Arrangement
    dengan Pemerintah Kerajaan Belanda secara daring pada Selasa, (2/12/2025).
    Dua narapidana yang diproses pemindahannya melalui kesepakatan ini adalah Siegfried Mets,
    WN Belanda
    berusia 74 tahun yang menjalani pidana mati dengan riwayat perawatan medis atas cedera fraktur lengan.
    Kemudian, Ali Tokman, 65 tahun, terpidana seumur hidup kasus narkotika yang memiliki riwayat hipertensi.
    “Kesepakatan ini memastikan proses pemindahan dilakukan secara tertib, sesuai hukum, dan tetap mengedepankan aspek kemanusiaan,” kata Yusril di kantor Kemenko Kumham Imigrasi, Jakarta, Selasa malam.
    Yusril menjelaskan, Practical Arrangement tersebut mengatur kerangka teknis dan administratif pemindahan, termasuk tata cara pelaksanaan, pengaturan logistik, penanganan kondisi kesehatan narapidana, dan pembiayaan yang sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah Belanda.
    Dia mengatakan, seluruh mekanisme pemulangan sudah dibahas secara detail dalam rangkaian rapat sejak 28 Februari hingga 1 Desember 2025.
    “Keduanya direncanakan terbang menuju Amsterdam pada Senin, 8 Desember 2025, melalui Bandara Internasional Soekarno–Hatta,” ujarnya.
    Yusril menegaskan bahwa kerja sama ini mencerminkan komitmen kedua negara dalam memastikan proses pemindahan berjalan profesional dan transparan.
    “Indonesia selalu terbuka untuk kerja sama yang mengedepankan kepastian hukum dan penghormatan terhadap hak-hak setiap individu yang menjalani pidana,” tuturnya.
    Lebih lanjut, Yusril mengatakan, penandatanganan ini juga menunjukkan komitmen bersama untuk memastikan seluruh prosedur dilaksanakan sesuai ketentuan hukum nasional dan prinsip-prinsip kerja sama internasional, serta tetap menjaga perlindungan kesehatan narapidana.
    “Pemerintah Belanda turut menyampaikan apresiasi atas dukungan Pemerintah Indonesia dalam keseluruhan proses persiapan pemindahan yang berlangsung dengan koordinasi intensif,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menko Yusril Ancang-ancang RI Jadi Anggota OECD: Benahi Persoalan Korupsi-Judol

    Menko Yusril Ancang-ancang RI Jadi Anggota OECD: Benahi Persoalan Korupsi-Judol

    JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan Indonesia masih harus berbenah sebelum menjadi anggota penuh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), terutama dalam tata kelola hukum dan pemberantasan korupsi.

    Yusril mengingatkan bahwa menjadi anggota OECD menuntut komitmen kuat terhadap berbagai prinsip good governance atau pemerintahan yang baik.

    “OECD mensyaratkan standar integritas dan transparansi yang tinggi,” kata Yusril, seperti dikutip dari keterangan yang dikonfirmasi di Jakarta, Selasa, disitat Antara.

    Menko Yusril mengatakan hal itu saat acara Pelantikan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Periode 2025–2030 di Jakarta, Jumat 28 November.

    Ia menyinggung arah kebijakan pemerintah yang tengah membidik Indonesia agar dapat bergabung sebagai anggota penuh OECD dalam tiga tahun ke depan.

    Target tersebut merupakan langkah strategis mengingat posisi Indonesia kini berada pada jajaran pelaku ekonomi terbesar kelima atau keenam di dunia.

    Yusril turut mengungkap keprihatinannya terhadap maraknya judi daring (judol) di Indonesia.

    Ia mengungkapkan bahwa perputaran uang dari praktik ilegal tersebut kini bahkan melebihi nilai kerugian akibat kejahatan korupsi.

    “Ini harus menjadi perhatian kita bersama. Persoalan korupsi, persoalan judi online, dan persoalan narkoba memang harus diambil langkah-langkah tegas,” ujarnya.

    Sebelumnya, Ketua Koalisi Anti Korupsi Indonesia (KAKI) Erry Riyana Hardjapamekas menekankan pentingnya peran sektor swasta dalam memperkuat tata kelola perusahaan sebagai bagian dari langkah strategis Indonesia menuju keanggotaan OECD.

    “Jika Indonesia ingin segera menjadi anggota OECD maka sektor swasta harus memiliki sistem kepatuhan anti-suap yang kuat untuk memitigasi risiko. Integritas bukan hanya kewajiban moral, tapi juga investasi dalam keberlanjutan bisnis,” ujar Erry dalam keterangan pers di Jakarta, Senin 13 Oktober.

    Erry, yang juga Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2003–2007 itu, mengatakan sistem kepatuhan anti-suap yang kuat di sektor swasta merupakan syarat penting agar Indonesia dapat segera bergabung dengan OECD.

    Erry juga menyoroti urgensi pembenahan tata kelola korporasi menjelang diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2 Januari 2026, yang mengatur pertanggungjawaban pidana bagi korporasi.

  • MPR Desak Penguatan Penegakan Hukum Minerba, Inspektur Tambang Dinilai Kurang Sigap

    MPR Desak Penguatan Penegakan Hukum Minerba, Inspektur Tambang Dinilai Kurang Sigap

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno menekankan pentingnya penguatan penegakan hukum dalam tata kelola pertambangan mineral dan batu bara (minerba).

    Menurutnya, maraknya tambang ilegal tak lepas dari lemahnya pengawasan. Ini termasuk kurang sigapnya inspektur tambang dalam merespons berbagai modus pelanggaran.

    Eddy berpendapat, kondisi itu membuat praktik pertambangan ilegal terus menjamur dan menimbulkan kerugian negara sekaligus kerusakan lingkungan.

    “Kami melihat begitu banyak terjadi pelanggaran dan minimnya pengawasan khususnya dari aspek inspektur-inspektur pertambangan yang terlihat kalah lihai, kalah cepat bergeraknya dibandingkan mereka-mereka yang melakukan kegiatan dan pelanggaran di sektor pertambangan,” ucap Eddy kepada Bisnis, Jumat (28/11/2025).

    Oleh karena itu, Eddy menekankan bahwa pemecahan masalah pertambangan ilegal harus dilakukan dengan melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga.

    Selain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tata kelola minerba juga melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hingga aparat penegak hukum.

    Karena itu, Eddy mendorong agar upaya penegakan hukum tidak hanya mengandalkan satuan tugas (satgas) semata. Menurutnya, perlu ada komando tunggal yang memimpin koordinasi antar instansi terkait.

    “Penanganan ini harus dikomandoi oleh Menteri Koordinator Hukum, dalam hal ini Pak Yusril Ihza Mahendra, agar beliau bisa secara lebih koordinatif dan aktif menjadi komandan dari upaya penegakan hukum di bidang minerba,” jelasnya.

    Eddy menilai, penguatan komando penegakan hukum akan berdampak pada tiga hal. Pertama, menjaga potensi penerimaan negara.

    Kedua, menertibkan praktik pertambangan ilegal yang merusak lingkungan. Ketiga,  memastikan kegiatan penambangan ke depan berjalan secara berkelanjutan.

    “Dengan koordinasi yang kuat dan kelembagaan yang tepat, tata kelola pertambangan kita dapat menjadi lebih tertib dan memberi manfaat optimal bagi negara,” kata Eddy.

    Maraknya tambang ilegal belakangan tengah menjadi perhatian Presiden Prabowo Subianto. Bahkan, Prabowo menggelar rapat terbatas pada Minggu (23/11/2025) khusus untuk membahas pertambangan ilegal yang selama ini sulit dijangkau aparat.

    Dalam pertemuan di kawasan Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Prabowo menekankan perlunya langkah terpadu lintas lembaga untuk memastikan penegakan hukum dapat dilakukan secara efektif di wilayah-wilayah rawan tersebut.

    “Presiden Prabowo menegaskan komitmennya untuk menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945 bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya dikutip dari Antara.

    Teddy menyampaikan bahwa pertemuan membahas hasil kerja dan rencana tindak lanjut Satgas Penertiban Kawasan Hutan, penertiban kawasan pertambangan, serta konsekuensi hukum atas berbagai pelanggaran dan aktivitas ilegal di kedua sektor tersebut.

  • KPK Jawab soal Perintah Hakim Hadirkan Bobby Nasution di Sidang

    KPK Jawab soal Perintah Hakim Hadirkan Bobby Nasution di Sidang

    KPK Jawab soal Perintah Hakim Hadirkan Bobby Nasution di Sidang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali bicara perihal menghadirkan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dalam persidangan kasus dugaan korupsi terkait proyek pembangunan jalan di Sumut.
    Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi
    KPK
    Asep Guntur Rahayu mengatakan, jaksa penuntut umum (JPU) KPK sempat bertanya ulang kepada majelis hakim terkait mennghadirkan Bobby dalam sidang.
    “Ditanya lagi sama JPU-nya, ‘Pak, yang ini mau minta dihadirkan enggak?’ Nah itu tidak dijawab,” ujar Asep Guntur di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/11/2025), dikutip dari Antaranews.
    Kemudian, Asep menjelaskan bahwa selama penyidikan kasus tersebut, kelima tersangka tidak pernah memberikan informasi mengenai keterlibatan
    Bobby Nasution
    , termasuk Topan Obaja Putra Ginting (TOP) yang disebut teman dekat Gubernur Sumut.
    “Begitu pun dari TOP. Penyidik periksa, minta keterangan, dan tidak ada informasi dari yang bersangkutan. Ya, orang atau beberapa pihak menyatakan bahwa ‘itu teman dekatnya, Pak’. Betul, mungkin itu teman dekatnya, tetapi kan yang kami jadikan landasan adalah informasi atau data yang dimiliki oleh saudara TOP maupun saksi lainnya yang melihat, mendengar atau mengalami,” ujarnya.
    Selain itu, dia mengatakan tersangka lain, yakni Muhammad Akhirun Piliang (KIR), tidak pernah menyebut memberikan uang secara langsung kepada Bobby Nasution
    “Sejauh ini pemeriksaan terhadap saudara KIR ya, ini sebagai pemberi, pemberi duluan yang diajukan ke pengadilan, itu tidak pernah ada informasi ya dari KIR ini bertemu. Artinya, menyerahkan uang kepada saudara BN (Bobby Nasution). Tidak ada,” katanya.
    Sebagaimana diketahui, pada 24 September 2025, Ketua Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Khamozaro Waruwu, sempat meminta JPU KPK untuk menghadirkan Bobby Nasution selaku Gubernur Sumut dan Effendy Pohan selaku Sekretaris Daerah Sumut dalam persidangan.
    Terkait Bobby Nasution, Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia (KAMI) melaporkan Penyidik KPK, AKBP Rossa Purbo Bekti ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK karena belum memanggil Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumut
    Koordinator KAMI, Yusril mengungkapkan, AKBP Rossa Purbo Bekti merupakan Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) pada perkara tersebut.
    “Kami hari ini melaporkan kepada KPK, khususnya Dewan Pengawas KPK terkait dengan dugaan upaya penghambatan proses hukum terhadap Bobby Nasution yang diduga dilakukan oleh AKBP Rosa Purbo Bekti,” ujar Yusril usai membuat laporan pada Senin, 17 November 2025
    Yusril menjelaskan, laporan tersebut sekaligus mempertanyakan independensi KPK sebagai lembaga reformasi yang diberi amanat oleh undang-undang dan rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi.
    Oleh karena itu, menurut dia, KPK seharusnya sudah memanggil Bobby sesuai perintah Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Medan.
    “Saya pikir bahwa seharusnya pemanggilan terhadap saudara Bobby Nasution ini sudah dilakukan oleh KPK. Tapi sampai hari ini, yang dilakukan oleh teman-teman KPK sampai hari ini tidak memanggil daripada Bobby Nasution,” katanya.
    “Jangan sampai ada intervensi-intervensi khusus yang kemudian mengamankan Bobby Nasution,” ujar Yusril lagi.
    Sebelumnya, KPK menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara (Sumut) pada 28 Juni 2025.
    Mereka adalah Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting (TOP); Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut yang juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen, Rasuli Efendi Siregar (RES); Pejabat Pembuat Komitmen di Satuan Kerja PJN Wilayah I Sumatera Utara, Heliyanto (HEL); Direktur Utama PT DNG, M Akhirun Efendi Siregar (KIR); serta Direktur PT RN, M Rayhan Dulasmi Pilang (RAY).
    Penindakan ini menyeret pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumut dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Sumut.
    KPK sebelumnya menggelar dua operasi tangkap tangan (OTT) terkait proyek jalan di Sumatera Utara.
    Dari hasil penelusuran, total nilai proyek yang diduga bermasalah mencapai Rp 231,8 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kasatgas KPK Rossa Purbo Bekti Dilaporkan ke Dewas, Diduga Hambat Pemanggilan Bobby Nasution  

    Kasatgas KPK Rossa Purbo Bekti Dilaporkan ke Dewas, Diduga Hambat Pemanggilan Bobby Nasution  

    JAKARTA – Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia (KAMI) melaporkan salah satu kepala satuan tugas (kasatgas) penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rossa Purbo Bekti ke Dewan Pengawas KPK.

    Koordinator KAMI, Yusril SK, mengatakan laporan dibuat karena Rossa sebagai kasatgas diduga menghambat pengusutan keterlibatan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dalam kasus suap proyek jalan yang menjerat anak buahnya. Karenanya, independensi KPK menjadi dipertanyakan.

    “Ada dugaan yang terjadi di KPK bahwa terkait dengan persoalan kasus ini dilakukan penghambatan oleh salah seorang Kasatgas KPK yang diduga atas nama AKBP Rossa Purba Bekti,” kata Yusril kepada wartawan di gedung ACLC atau kantor Dewas KPK, Rasuna Said, Jakarta Selatan.

    “Oleh karena itu kami Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia hari ini memberikan keterangan dan laporan,” sambung dia.

    KAMI, masih kata Yusril, menuntut KPK untuk melakukan evaluasi. “Dan audit di internal secara total,” tegas dia.

    Menurut Yusril, sudah tepat Dewas KPK memeriksa Rossa. Sebab, banyak indikasi keterlibatan Bobby selaku menantu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dalam kasus suap proyek jalan di Sumut.

    Senada, Usman selaku Sekretaris KAMI juga menyinggung Bobby harusnya diperiksa. “Tapi sampai hari ini yang dilakukan oleh teman-teman KPK hari ini sampai hari ini tidak memanggil daripada Bobby Nasution sendiri,” tegasnya di lokasi yang sama.

    “Sehingga hari ini kami hadir di depan dewas KPK dan sekaligus memasukkan laporan terhadap salah satu Kasatgas KPK untuk bagaimana mempertanyakan independensi KPK,” sambung dia.

     

    Diberitakan sebelumnya, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Zararah Azhim Syah menyebut kepala satuan tugas (kasatgas) penyidik KPK di kasus suap proyek jalan Provinsi Sumatera Utara tak berani memeriksa Bobby Nasution selaku Gubernur Sumatera Utara. Pernyataannya ini didasari hasil investigasi sebuah media massa.

    “Penyidik KPK bahkan sudah mengusulkan kepada ketua satgas yang menangani kasus ini untuk memeriksa Bobby. Tapi, ketiga kepala satgas tersebut tidak ada yang berani untuk memeriksa Bobby,” kata Zararah usai melaksanakan aksi di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan pada hari ini, 14 November.

    Zararah tak mengungkap siapa kasatgas tersebut. Namun, dari berbagai informasi yang dikumpulkan, salah satu yang ikut menangani kasus ini adalah Rossa Purbo Bekti selaku penyidik senior.

    Zararah berharap KPK segera mengusut keterlibatan Bobby dalam kasus korupsi proyek jalan di Sumatera Utara. Apalagi, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Medan sudah minta Bobby dihadirkan dalam persidangan.

    Pengembangan kasus ini, kata dia, juga harus dilakukan seperti dugaan korupsi lainnya. Jangan sampai ada kesan KPK ketakutan dengan Bobby Nasution.

    “Contohnya kasus E-KTP, kasus korupsi mantan Menpora itu juga dikembangkan dari fakta yang ada di persidangan,” tegasnya.

    “Maka harusnya pada kasus ini, apabila ada petunjuk baru dari persidangan, KPK seharusnya mengembangkan kasus gitu. Jadi membuka kasus baru. Nah, ini jangankan mengembangkan kasus tapi untuk memeriksa Bobby saja tidak berani begitu,” sambung dia.

    Lagipula, peranan Bobby juga harusnya terendus oleh KPK setelah ada informasi pergeseran anggaran menggunakan Peraturan Gubernur (Pergub).

    “Bobby itu terlibat pada tahap perencanaan, mengganti APBD Sumut sebanyak empat kali, untuk memasukkan proyek pembangunan ini. Padahal sebelumnya itu tidak termasuk kebutuhan Provinsi Sumut, tidak pernah ada di APBD Sumut, berarti kan tidak butuh,” ungkap Zararah.

     

  • 6
                    
                        KPK Tak Kunjung Panggil Bobby Nasution, Rossa Purbo Bekti Diadukan ke Dewas
                        Nasional

    6 KPK Tak Kunjung Panggil Bobby Nasution, Rossa Purbo Bekti Diadukan ke Dewas Nasional

    KPK Tak Kunjung Panggil Bobby Nasution, Rossa Purbo Bekti Diadukan ke Dewas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Penyidik AKBP Rossa Purbo Bekti dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK usai tak kunjung memanggil Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, sebagai saksi terkait dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara (Sumut).
    “Kami hari ini melaporkan kepada
    KPK
    , khususnya Dewan Pengawas KPK, terkait dengan dugaan upaya penghambatan proses hukum terhadap
    Bobby Nasution
    yang diduga dilakukan oleh
    AKBP Rossa Purbo Bekti
    ,” ujar Koordinator Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia (KAMI), Yusril, usai membuat laporan di Kantor Dewas KPK, Jakarta Selatan, Senin (17/11/2025).
    Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia atau KAMI adalah pihak yang membuat laporan ke Dewas KPK tersebut.
    Yusril selaku Koordinator KAMI mengungkapkan bahwa AKBP Rossa Purbo Bekti merupakan Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) pada perkara tersebut.
    Yusril menjelaskan, laporan tersebut sekaligus mempertanyakan independensi KPK sebagai lembaga era reformasi yang diberi amanat oleh undang-undang dan rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi.
    Seharusnya, kata Yusril, KPK sudah memanggil Bobby sesuai perintah Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Medan.
    “Saya pikir bahwa seharusnya pemanggilan terhadap saudara Bobby Nasution ini sudah dilakukan oleh KPK. Tapi sampai hari ini, yang dilakukan oleh teman-teman KPK tidak memanggil Bobby Nasution,” jelas dia.
    “Jangan sampai ada intervensi-intervensi khusus yang kemudian mengamankan Bobby Nasution,” lanjut dia.
    Pada 26 September 2025, KPK mengatakan akan menindaklanjuti perintah Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Medan untuk memanggil Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution terkait kasus
    dugaan korupsi
    proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara (Sumut).
    Hal tersebut disampaikan oleh Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu saat menanggapi adanya perintah dari Hakim Pengadilan Tipikor Medan untuk memanggil Bobby Nasution terkait perkara tersebut.
    Asep mengatakan, pihaknya terlebih dahulu menunggu Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK kembali dari Medan untuk menjelaskan perintah hakim Pengadilan Tipikor Medan tersebut.
    “Kemudian saudara BN (Bobby Nasution), kapan dilakukan pemanggilan? Ini kita nanti nunggu (JPU) pulang dulu, seperti itu. Dan ini juga nanti kita akan tanyakan dari Pak JPU-nya itu seperti apa,” kata Asep, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (25/9/2025).
    Asep mengatakan, Jaksa KPK nantinya juga akan mendiskusikan materi yang akan didalami terkait pemanggilan Bobby Nasution tersebut.
    “Materinya akan didiskusikan dengan Pak JPU, biar tidak berlarut-larut dan tidak efektif,” ujar dia.
    Sebelumnya, KPK menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara (Sumut) pada 28 Juni 2025.
    Mereka adalah Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting (TOP);
    Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut yang juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen, Rasuli Efendi Siregar (RES); Pejabat Pembuat Komitmen di Satuan Kerja PJN Wilayah I Sumatera Utara, Heliyanto (HEL); Direktur Utama PT DNG, M Akhirun Efendi Siregar (KIR); serta Direktur PT RN, M Rayhan Dulasmi Pilang (RAY).
    Penindakan ini menyeret pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumut dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Sumut.
    KPK sebelumnya menggelar dua operasi tangkap tangan (OTT) terkait proyek jalan di Sumatera Utara.
    Dari hasil penelusuran, total nilai proyek yang diduga bermasalah mencapai Rp 231,8 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 2
                    
                        Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif
                        Nasional

    2 Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif Nasional

    Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Erga omnes
    , istilah yang kerap dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki arti berlaku terhadap semua.
    Erga omnes
    adalah bahasa latin yang memberikan pengertian bahwa putusan MK adalah putusan yang memberlakukan norma untuk semua warga negara di Indonesia atas sengketa undang-undang yang diuji.
    Putusan
    MK
    juga bersifat
    final and binding
    , yang memiliki arti
    putusan MK
    langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh setelahnya.
    Penjelasan terkait
    final and binding
    ini juga dimuat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
    Mahkamah Konstitusi
    .
    Namun seiring berjalannya waktu, putusan MK yang bersifat mengikat ini tak lantas dipatuhi, termasuk oleh para pejabat penyelenggara negara.
    Hal ini disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti saat ditemui di Harris Hotel, Bandung, Jawa Barat, Jumat (15/11/2025).
    Dia langsung memberikan contoh putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam proses pembentukannya.
    “Itu kan (putusan) nggak dilaksanakan, yang dilaksanakan (pemerintah dan DPR) itu hanya mengubah undang-undang nomor 12 tahun 2011 untuk memasukkan metode omnibus,” katanya.
    Padahal sangat jelas, MK meminta agar ada pembahasan ulang. Pemerintah juga bermanuver dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
    Susi juga menyebut, pembangkangan terhadap putusan MK juga terlihat dari putusan yang meminta agar wakil menteri dilarang merangkap jabatan.
    “Nah seperti itu kan wakil menteri sudah enggak boleh,” katanya.
    Untuk diketahui, MK menyatakan wakil menteri dilarang rangkap jabatan melalui putusan 128/PUU-XXIII/2025.
    Namun dalam putusan itu, MK kembali menegaskan, aturan tersebut sebenarnya sudah lama diputuskan MK, yakni saat pembacaan putusan 80/PUU-XVII/2019 yang dibacakan 11 Agustus 2020.
    MK dalam pertimbangannya menyatakan:

    Berkenaan dengan pokok permohonan Pemohon a quo yang mempersoalkan larangan rangkap jabatan wakil menteri, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 sesungguhnya telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri.

    Secara yuridis, pertimbangan hukum putusan sebelumnya memiliki kekuatan hukum mengikat karena merupakan bagian dari putusan Mahkamah Konstitusi yang secara konstitusional bersifat final.
    Sebab, putusan Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan, bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
    MK kemudian memberikan waktu 2 tahun kepada pemerintah untuk menarik para wakil menterinya dari jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN.
    Namun yang terjadi justru sebaliknya, ada lebih banyak wakil menteri yang merangkap jabatan.
    Salah satunya, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Angga Raka Prabowo yang diangkat menjadi Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, dan Komisaris Utama PT Telkom.
    Dalam penjelasannya, Angga Raka mengaku posisi yang dia rangkap adalah penugasan, dan tidak mendapat fasilitas tambahan atas rangkap jabatannya tersebut.
    “Sesuai yang diketahui, saya ditugaskan oleh Presiden untuk memimpin Badan Komunikasi Pemerintah. Saya jelaskan dulu bahwa seperti peraturan yang berlaku, ini sifatnya penugasan. Yang namanya penugasan tidak berarti pendapatan dan fasilitas juga
    double
    , tetap satu sesuai ketentuan, tanggung jawabnya yang bertambah. Ini praktik umum untuk penguatan fungsi tertentu dan sejalan dengan arahan Presiden agar kita efektif dan efisien,” ujar Angga Raka kepada
    Kompas.com
    , Jumat (19/9/2025) lalu.
    Angga Raka menyampaikan bahwa tugas-tugas tersebut diberikan karena Presiden Prabowo melihat ada kesinambungan antara posisinya sebagai Wamen Komdigi, Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, serta Komut PT Telkom. Menurutnya, substansi dan bidang dari semua tugasnya itu sama.
    “Ini penting, karena kita ingin segera mewujudkan instruksi Presiden untuk mengakselerasi penguatan komunikasi pemerintah sesegera mungkin,” tegasnya.
    Maka dari itu, dengan penugasan ini, Angga Raka merasa fungsi kedua instansi pemerintah tersebut makin kuat. Dia pun jadi bisa membuat sisi regulasi dan eksekusi selaras, serta langsung melakukan aksi.
    “Sehingga publik akan mendapatkan informasi yang jernih dan tidak tumpang tindih dari seluruh lembaga pemerintah,” imbuh Angga Raka.
    Pembangkangan terhadap putusan MK juga dilakukan oleh lembaga politik seperti Partai Politik saat diucapkan putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menetapkan pemilihan umum lokal dan nasional dipisah dengan jeda waktu dua tahun.
    MK menetapkan, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden.
    Sedangkan pemilihan legislatif (Pileg) anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Reaksi pembangkangan paling keras datang dari Partai Nasdem yang menyebut MK mencuri kedaulatan rakyat.
    “Putusan MK ini menimbulkan problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara,” ujar anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, dalam pembacaan sikap resmi DPP Nasdem di Nasdem Tower, Jakarta, Senin (30/6/2025) malam.
    Lewat pernyataan sikap yang dibacakan Lestari, Nasdem menyampaikan sepuluh poin keberatannya terhadap putusan tersebut. Salah satunya, Nasdem menilai MK telah memasuki kewenangan legislatif dengan menciptakan norma baru yang seharusnya menjadi domain DPR dan pemerintah.
    Menurut Nasdem, hal itu bertentangan dengan prinsip
    open legal policy
    yang dimiliki lembaga legislatif.
    “MK telah menjadi
    negative legislator
    sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum demokratis,” kata Lestari.
    Sementara itu, Golkar melalui Wakil Ketua Umum Adies Kadir menilai, putusan MK berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan serta memunculkan ketidakpastian hukum.
    Menurut Adies, Pasal 22E dan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan satu rezim yang harus dilaksanakan setiap lima tahun.
    Selain itu, pemisahan pemilu nasional dan daerah dinilai bertentangan dengan semangat keserentakan yang justru pernah diputuskan MK sendiri melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    “Putusan itu memberikan enam pilihan dan dipilih satu. Itu kan juga putusan MK yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan pemilu,” kata Adies.
    Sikap tegas juga disampaikan Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal yang menyebut MK telah melampaui batas konstitusional dengan memutuskan pemilu dipisah.
    “Putusannya sudah melebihi undang-undang, konstitusi. Konstitusi pemilu itu kan lima tahun sekali. Masa penjaga konstitusi, konstitusinya dilanggar,” kata Cucun.
    Pemerintah juga saat itu menilai putusan MK justru berpotensi melanggar konstitusi.
    Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Karena dalam konstitusi disebutkan pemilu dari tingkat nasional dan lokal harus terselenggara lima tahun sekali.
    Putusan MK ini akan berakibat pada penundaan pemilu selama 2 tahun untuk Pilkada.
    MK secara langsung pernah menjawab bentuk pembangkangan ini dalam putusan 98/PUU-XVI/2018.
    Ketika itu, terbit putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga Mahkamah Agung (MA) yang berkebalikan dengan putusan MK mengenai syarat pengunduran diri calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari partai politik.
    Akibat hal itu, terjadi ketidakpastian hukum yang membelit KPU karena ada dua putusan berbeda yang tersedia, namun KPU akhirnya memilih manut putusan MK.
    Majelis hakim konstitusi tidak setuju jika situasi pada tahun 2018 itu disebut sebagai ketidakpastian hukum, karena putusan MK seharusnya final dan mengikat untuk semua (
    erga omnes
    ).
    “Sekali Mahkamah telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka tindakan yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi demikian, dalam pengertian tetap menggunakan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, membawa konsekuensi bukan hanya ilegalnya tindakan itu, melainkan pada saat yang sama juga bertentangan dengan UUD 1945,” bunyi putusan tersebut.
    “Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi,” tulis putusan tersebut.
    Namun terlepas dari penegasan MK tersebut, Guru Besar FH Unpad Susi Dwi Harijanti menilai, fenomena pembangkangan ini sebagai bukti bahwa cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang yang paling lemah.

    “Memang itu menunjukkan bahwa cabang kekuasaan kehakiman itu adalah cabang kekuasaan yang paling lemah di antara legislatif dan eksekutif,” ucapnya.
    Dia mengutip pandangan alam buku
    The Federalist Papers
    karya Alexander Hamilton, John Jay, dan James Madison, bahwa kekuasaan kehakiman hanya punya palu untuk memutus.
    Berbeda dengan kekuasaan eksekutif memiliki pedang untuk mengeksekusi, sedangkan legislatif punya kekuasaan untuk mengatur anggaran.
    Sebab itu, Susi menilai sudah saatnya Indonesia mulai memikirkan aturan yang lebih rigit untuk kekuasaan yudikatif sebagai upaya independensi dan akuntabilitas prinsip negara hukum.
    Negara harus mengatur agar
    contempt of court
    atau penghinaan dan tindakan yang merendahkan pengadilan bisa juga mendapat hukuman yang jelas, termasuk membangkang dari perintah pengadilan.
    “Sekarang persoalannya, ketika mereka tidak memenuhi apa yang diminta oleh Mahkamah, apa yang bisa dilakukan? Ini yang saya lagi berpikir, bisa nggak dia terkena
    contempt of court
    ? Sayangnya di Indonesia belum ada undang-undang
    contempt of court
    ,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan

    Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan

    Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memberikan putusan progresif dalam sidang uji materi beberapa undang-undang.
    Putusan terbaru itu diucapkan pada 13 November 2025, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025) terhadap Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (
    Polri
    ).
    Putusan itu menegaskan, anggota Polri tak bisa lagi merangkap jabatan, sebagai penegak hukum sekaligus menduduki jabatan sipil seperti yang sering dilakukan belakangan ini.
    Putusan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 itu menegaskan, frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah syarat mutlak jika anggota Polri mau cawe-cawe duduk pada jabatan sipil.
    Rumusan tersebut adalah rumusan norma yang
    expressis verbis
    yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain.
    Sementara itu, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan terhadap norma dimaksud.
    Terlebih, adanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002.
    Menurut hakim konstitusi Ridwan mansyur, hal tersebut berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian; dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.
    “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum,” jelas Ridwan.

    Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti mengatakan, putusan
    progresif
    ini menjadi hal yang menggembirakan masyarakat secara luas.
    Dia melihat putusan-putusan ini semakin terlihat progresivitasnya dan tak terlepas dari titik nadir MK saat mengeluarkan putusan 90/2023 yang mengubah batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
    “Akibat putusan 90 MK itu berada di titik nadir, dan dengan putusan-putusan progresif ini mereka berusaha untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik,” kata Susi saat ditemui di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/11/2025) malam.
    Saat ini yang perlu dilakukan MK adalah bagaimana progresivitas ini bisa tetap dipertahankan.
    Salah satu caranya adalah tenaga ahli di MK yang sangat bagus dan memberikan perspektif terkait jalan lurus yang pernah dicetak MK.
    Hakim memang memiliki independensi, tetapi hakim juga bisa berdiskusi terkait dengan diskursus yang sedang digugat di MK.
    “Jadi di MK sendiri harus dibangun sebuah lingkungan yang memastikan progresivitas itu tetap terpelihara,” katanya.
    “Dan jangan lupa bahwa mereka itu dinilai loh oleh masyarakat. Progresifitas itu tetap diharapkan gitu. Nanti kalau Anda nggak progresif lagi, di ini lagi sama masyarakat,” tuturnya.
    Masyarakat juga berperan penting agar para hakim bisa tetap mempertahankan putusan yang progresif.
    Catatan
    Kompas.com
    ,
    putusan MK
    yang melarang anggota Polri aktif duduk di jabatan sipil bukan satu-satunya putusan progresif yang diputus sepanjang tahun 2025.
    Berikut beberapa putusan progresif yang diputus MK:
    Putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Juni 2025 itu menyatakan, keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
    Putusan MK ini juga menyatakan bahwa pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.
    Putusan tersebut disambut gembira oleh para penyelenggara pemilu seperti Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merasakan lelahnya pemilu serentak lokal dan nasional.
    Tetapi berbeda sikap dengan elit partai politik yang merasa keberatan atas putusan tersebut, karena biaya logistik yang bisa lebih besar setelah pemisahan pemilu tersebut.
    Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra bahkan menyebut putusan MK berpotensi melanggar konstitusi.
    Karena dalam konstitusi disebutkan pemilu dari tingkat nasional dan lokal harus terselenggara lima tahun sekali. Putusan MK ini akan berakibat pada penundaan pemilu selama 2 tahun untuk Pilkada.
    Putusan lainnya adalah putusan nomor 96/PUU-XXII/2024 terkait Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera).
    MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya yang dibacakan pada 29 September 2025.
    Pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra saat itu menyebut, Tapera menimbulkan persoalan khususnya untuk para pekerja.
    Pasalnya, beleid itu diikuti dengan unsur pemaksaan dengan meletakkan kata wajib sebagai peserta Tapera, sehingga secara konseptual, tidak sesuai dengan karakteristik hakikat tabungan yang sesungguhnya karena tidak lagi terdapat kehendak yang bebas.
    Padahal Tapera bukan termasuk dalam kategori pungutan lain yang bersifat memaksa layaknya pajak dan pungutan resmi lainnya.
    “Oleh karena itu, Mahkamah menilai Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana didalilkan Pemohon,” kata Saldi.
    Putusan ini juga memberikan kesempatan kepada BP Tapera untuk mengatur uang nasabah yang sudah terlanjur menyetor, seperti para aparatur sipil negara (ASN), TNI dan Polri.
    Putusan lainnya yakni perkara nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang berkaitan dengan rangkap jabatan wakil menteri khususnya sebagai komisioner di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
    Hakim MK Enny Nurbaningsih menyebutkan, dalil pemohon yang meminta agar para wakil menteri fokus mengurus kementerian dinilai sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
    Atas hal tersebut, MK menilai perlu agar para wakil menteri dilarang merangkap jabatan agar fokus mengurus kementerian.
    “Dalam batas penalaran yang wajar, peraturan perundang-undangan dimaksud salah satunya adalah UU 39/2008. Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah menegaskan dalam amar Putusan
    a quo
    mengenai larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri termasuk sebagai komisaris, sebagaimana halnya menteri agar fokus pada penanganan urusan kementerian,” kata Enny.
    Putusan yang dibacakan pada 28 Agustus 2025 itu menyebut wakil menteri juga memerlukan konsentrasi waktu untuk menjalankan jabatannya sebagai komisaris.
    “Terlebih, pengaturan larangan rangkap jabatan karena berkaitan pula dengan prinsip penyelenggaraan negara yang bersih, bebas dari konflik kepentingan, serta pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik,” kata Enny.
    Atas dasar hal tersebut, MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon dan melarang wamen rangkap jabatan.
    Putusan yang tak kalah progresif adalah perhatian MK terhadap komposisi perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
    Putusan nomor 169/PUU-XXII/2024 ini dibacakan pada Kamis, 30 Oktober 2025 dengan penggugat adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia, dan Titi Anggraini
    Dalam putusan ini, MK menyatakan agar setiap (AKD) mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan setiap pimpinan alat kelengkapan dewan harus memiliki keterwakilan perempuan.
    Dalam putusan tersebut, MK menilai kebijakan afirmatif untuk kelompok perempuan menjadi kesepakatan nasional untuk memberikan jaminan pemenuhan hak asasi manusia yang lebih komperhensif.
    Karena faktanya, meskipun perbandingan jumlah penduduk antara perempuan dan laki-laki relatif berimbang, namun perempuan jauh tertinggal dibandingkan dengan laki-laki pada hampir semua penyelenggara negara.
    Fakta tersebut membuat negara harus memberikan perlakuan khusus untuk kelompok perempuan. Dasar tersebut menjadi alasan, jumlah perempuan yang berimbang pada sistem politik juga harus tercermin pada semua alat kelengkapan anggota lembaga perwakilan, termasuk AKD.
    Dua putusan lainnya adalah putusan terkait dengan hak atas tanah dalam gugatan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) nomor perkara 181/PUU-XXII/2024, dan Hak Atas Tanah (HAT) di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur (Kaltim) melalui putusan perkara 185/PUU-XXII/2024.
    Pada perkara 181, MK mengabulkan agar masyarakat tak perlu izin pemerintah untuk menggarap lahan hutan untuk berkebun.
    Dalam pertimbangan hukumnya, putusan yang dibacakan pada 17 Oktober 2025 itu menyebut larangan setiap orang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat dikecualikan bagi masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
    Terakhir terkait dengan hak atas tanah di IKN lewat putusan 185. Ketentuan soal Hak Atas Tanah (HAT) di IKN diatur dalam Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahu 2023 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).
    Putusan ini mengatur, agar HAT tak lagi bisa diperpanjang menjadi 190 tahun.
    Artinya, batasan waktu HGB paling lama kini mencapai 80 tahun, yang dapat diperoleh sepanjang memenuhi persyaratan selama memenuhi kriteria dan tahapan evaluasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.