Tag: Yose Rizal Damuri

  • Regulasi Berjibun dan Kerap Berubah Bikin Investor Ragu Tanam Modal di RI

    Regulasi Berjibun dan Kerap Berubah Bikin Investor Ragu Tanam Modal di RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Tumpukan regulasi yang jumlahnya hingga puluhan ribu dan kerap berubah-ubah menjadi salah satu alasan investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Tanah Air. 

    Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menyampaikan bahwa regulasi tersebut membuat ekonomi berbiaya mahal alias high cost economy. 

    “Indikator [high cost economy] salah satunya adalah jumlah regulasi yang begitu besar, sering sekali berubah-ubah. Di tingkat peraturan menteri saja itu tercatat ada hampir 19.000 regulasi,” ujarnya dalam diskusi publik Universitas Paramadina, Senin (28/4/2025). 

    Dalam paparannya, Yose menunjukkan jumlah peraturan menteri saat ini berjumlah 18.309 beleid. Lalu, UU berjumlah 1.751 dokumen, peraturan pemerintah mencapai 4.887 ketentuan. Sementara peraturan daerah saja melebihi jumlah peraturan menteri dengan mencapai 18.817 peraturan. 

    Meski kondisi high cost economy ini kerap disebut-sebut bersumber dari korupsi, tetapi rumitnya regulasi yang ada menambah beban dalam ekonomi tersebut. 

    Belum lagi, satu peraturan dan lainnya kerap tumpang tindih dan berlawanan satu sama lain sehingga menyebabkan ketidakpastian yang tinggi. 

    Salah satu peraturan yang membebankan dunia usaha adalah kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang mengarah kepada inward looking atau menjadi perekonomian tertutup. 

    Yose menyampaikan dari hasil studi yang dilakukan oleh CSIS menunjukkan TKDN memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan sektor industri Tanah Air. 

    Di satu sisi sektor industri yang sifatnya downstream tidak mendapatkan manfaat karena kesulitan mendapatkan part dan komponen. 

    “Di sisi lain yang upstream-nya juga tidak terbangun, yang ada malah akhirnya hanya investasi padat modal yang mau masuk ke perekonomian Indonesia dan berinvestasi di Indonesia,” lanjutnya. 

    Padahal, realisasi investasi padat karya diharapkan terjadi lebih cepat karena menjadi harapan untuk mengungkit pertumbuhan sektor industri yang menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi. 

    Bank Dunia atau World Bank dalam laporan Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025 meramalkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor industri hanya mencapai 3,8% pada 2025, lebih rendah dari estimasi 2024 yang sebesar 5,2%. 

  • 100 Hari Kerja Prabowo: Anggaran Infrastruktur Dipangkas, PSN Belum Jelas

    100 Hari Kerja Prabowo: Anggaran Infrastruktur Dipangkas, PSN Belum Jelas

    Bisnis.com, JAKARTA – Masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tepat memasuki 100 hari kerja pada hari ini, Selasa (28/1/2025). Sebelumnya, keduanya dilantik pada 20 Oktober 2024.

    Meski telah mengeluarkan sejumlah kebijakan, sektor infrastruktur tampak menjadi salah satu yang kurang tersentuh sepanjang 100 hari pertama kepemimpinan Prabowo-Gibran.

    Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri menyoroti keputusan pemerintah yang belum kunjung menerbitkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

    Pasalnya, dokumen itu diperlukan sebagai pedoman awal rencana pembangunan Indonesia sepanjang satu periode pemerintahan.

    “Satu hal yang patut diperhatikan yakni RPJMN sebagai dokumen teknokratis kebijakan ekonomi itu belum. Sampai saat ini juga belum di-publish dan belum diresmikan,” kata Yose dalam Diskusi Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo yang dilakukan secara Daring, dikutip Selasa (28/1/2025).

    Padahal, tambah Yose, pemerintahan baru semestinya sudah harus merilis dokumen RPJMN terhitung 3 bulan sejak dilantik.Dengan demikian, dirinya meminta agar hal itu dapat segera direalisasikan guna mempertajam arah pembangunan nasional.

    “Jadi policy-nya masih ad hoc, masih kelihatannya seperti masih di tahap kampanye. Sehingga retorika-retorika itu yang masih terus kemungkinan dikeluarkan. Padahal tentu dunia bisnis, dunia usaha dan akademisi sudah menunggu-nunggu arah kebijakan itu seperti apa,” ujarnya.

    Pemangkasan Anggaran Infrastruktur

    Selain masalah pembentukan dokumen RPJMN yang tidak kunjung terlihat, isu mengenai pemangkasan anggaran infrastruktur juga menjadi salah satu yang disorot sepanjang 100 hari kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

    Dalam kabar terbarunya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati resmi menerbitkan surat nomor S-37/MK.02/2025 tentang Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan APBN 2025. Dalam beleid tersebut dituliskan bahwa Anggaran Infrastruktur bakal dipangkas hingga 34,3%.

    Sri Mulyani menjelaskan bahwa surat tersebut merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025.

    “Efisiensi atas anggaran belanja seluruh Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp256,1 triliun,” tulis Sri Mulyani dalam suratnya.

    Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad memproyeksi pemangkasan itu bakal berdampak pada kondisi ekonomi nasional.

    “Infrastruktur itu kan sebagian besar belanja modal. Kalau belanja modal berkurang, biasanya government expenditure dalam pembentukan PDB atau ekonomi secara umum pasti mengalami koreksi gitu ya. Jadi saya kira ya dampak ekonominya masih agak cukup besar lah begitu ya,” kata Tauhid.

  • Kenaikan UMP 6% Dinilai Tak Banyak Berpengaruh untuk Kesejahteraan Pekerja

    Kenaikan UMP 6% Dinilai Tak Banyak Berpengaruh untuk Kesejahteraan Pekerja

    Bisnis.com, JAKARTA – Center for Strategic and International Studies (CSIS) menilai kebijakan kenaikan UMP 6% tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan para pekerja.

    Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri mengemukakan bahwa pada 2023, kebijakan pemerintah menaikan UMP hanya berdampak pada 36% pekerja yang memiliki upah di atas UMP.

    “Itu saja masih penurunan di dibandingkan kenaikan UMP tahun 2019 sebesar 42%,” tuturnya di Jakarta, Kamis (23/1/2025).

    Yose juga mengaku khawatir jika kenaikan UMP 6% itu akan dijadikan instrumen politisasi pemerintah untuk kepentingan politik.

    “Apalagi dengan hilangnya formulasi upah minimum. Jadi UMP ini semakin tidak bisa dikontrol atau diprediksi,” katanya.

    Kendati demikian, Yose mengapresiasi sikap pemerintah yang telah mengumumkan ke publik terkait kenaikan UMP 6 persen.

    “Masalahnya, hal itu terkait juga dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut beberapa ketentuan dalam UU Ciptaker. Salah satunya adalah pembahasan formulasi dari UMP itu sendiri,” ujarnya.

  • Hadapi Ketidakpastian Ekonomi Global usai Pelantikan Trump, Indonesia Harus Apa?

    Hadapi Ketidakpastian Ekonomi Global usai Pelantikan Trump, Indonesia Harus Apa?

    Bisnis.com, JAKARTA — Center for Strategic and International Studies alias CSIS mewanti-wanti agar pemerintah tidak gegabah menghadapi ketidakpastian ekonomi global, terutama setelah Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat periode 2025—2029.

    Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri menekankan pemerintah harus menyiapkan strategi yang lebih komprehensif menghadapi ketidakpastian global ke depan. Menurutnya, kini perspektif geopolitik, ekonomi, hingga perdagangan tidak bisa dipisahkan.

    “Sayangnya memang kita tidak terlalu menempatkan hal tersebut secara komprehensif. Contohnya ketika kita memutuskan untuk bergabung dengan BRICS,” ujar Yose dalam diskusi Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintah Prabowo Bidang Ekonomi secara daring, Rabu (22/1/2025).

    Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu mengaku bingung dengan keputusan pemerintah bergabung dengan BRICS. Menurutnya, keputusan pemerintah hanya diambil dari satu perspektif.

    Yose mencontohkan dari perspektif perdagangan, Indonesia tidak memiliki untung bergabung dengan BRICS. Alasannya, kebanyakan negara yang tergabung dalam BRICS merupakan eksportir bukan importir.

    “Kalau kita mau mengharapkan ekspor ke negara-negara mereka, ya agak sulit. Jadi ini hal-hal yang sifatnya geopolitik itu tidak nyambung dengan kebijakan ekonomi Indonesia,” jelasnya.

    Sementara khusus untuk menghadapi Trump, Yose menyarankan agar pemerintah menyiapkan respons dalam segi kebijakan. Selain itu, pemerintah perlu bernegosiasi dengan pemerintah baru Trump.

    Dia mengingatkan, pada periode pertama (2017—2021), pemerintah Trump sempat mengancam ingin menghentikan fasilitas GSP [generalized system of preferences] yang didapatkan Indonesia. Saat itu, pemerintah Indonesia harus bernegosiasi kembali.

    “Untuk bernegosiasi ini kita harus tahu kelemahan kita seperti apa, apa yang bisa kita tawarkan, apa bargaining chip [alat tawar menawar] yang bisa kita punya,” kata Yose.

  • Amerika Serikat Keluar dari WHO, Donald Trump Hentikan Transfer Dana, Apa Efek pada Kesehatan Dunia? – Halaman all

    Amerika Serikat Keluar dari WHO, Donald Trump Hentikan Transfer Dana, Apa Efek pada Kesehatan Dunia? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JENEWA – Pernyataan mengejutkan keluar dari Donald Trump usai resmi dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), Senin (20/1/2025).

    Donald Trump mengumumkan AS keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 

    Pernyataan resmi ini dilontarkan dari Gedung Putih pada Senin (20/1/2025) waktu setempat. 

    Mengutip dari BCC, kebijakan itu diumumkan pada Senin (20/1/2025) melalui penandatangan perintah eksekutif.

    Apa dampaknya pada kelangsungan sistem kesehatan dunia? Berikut ulasannya

    Banyak yang menduga jika efek pertama keluarnya Amerika Serikat (AS) sebagai anggota WHO ialah pada pendanaan dan anggaran WHO.

    Kritik Trump Pada WHO, Merasa Ditipu Soal Covid-19 dan Memilih Keluar 

    Induk kesehatan dunia milik PBB itu berulang kali dikritik Trump atas penanganannya terhadap pandemi Covid-19.

    Beberapa jam setelah pelantikan, Trump berujar bahwa AS membayar jauh lebih banyak ke WHO daripada China.

    Presiden Donald Trump mengumumkan keputusan untuk menarik Amerika Serikat (AS) keluar dari WHO. (Tangkap layar ABC News)

    “(Badan) Kesehatan Dunia menipu kita,” lanjutnya, dikutip Kompas.com.

    Trump sering mengkritik cara badan internasional tersebut menangani Covid-19 dan memulai proses penarikan diri dari lembaga yang berbasis di Jenewa tersebut selama pandemi.

    Sayangnya saat masa Presiden Joe Biden, Biden membatalkan keputusan itu.

    “WHO sangat menginginkan USA kembali, jadi  dilihat saja apa yang terjadi,” kata Trump.

    Trump beralasan jika AS menarik diri karena kesalahan organisasi tersebut dalam menangani pandemi Covid-19 yang muncul di Wuhan, Tiongkok, dan krisis kesehatan global lainnya, kegagalan organisasi tersebut untuk mengadopsi reformasi yang sangat diperlukan, dan ketidakmampuannya untuk menunjukkan kemandirian.

    Trump menuduh WHO bias terhadap Tiongkok dalam cara mereka mengeluarkan pedoman selama wabah ini terjadi.

    Bukan Kali Pertama, Trump Pernah Berupaya Bawa AS Keluar dari WHO

    Kali kedua Trump memerintahkan AS keluar dari WHO.

    Tindakan ini merupakan kali kedua Trump memerintahkan AS keluar dari WHO.

    Awalnya, ia berupaya membawa AS keluar dari WHO saat masa jabatan pertamanya.

    Trump sebagai presiden ke-45 AS menuduh WHO dipengaruhi China selama awal pandemi.

    Namun, upaya Trump dibatalkan oleh Joe Biden setelah politisi Demokrat itu menang pemilihan presiden atau pilpres AS 2020.

    AS Jadi Donatur Terbesar, Trump Perintahkan Stop Transfer Dana ke WHO

    Kantor pusat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Geneva, Swiss. WHO menyerukan tindakan segera dan terpadu untuk menindaklanjuti temuan kasus kematian anak-anak di sejumlah negara usai mengonsumsi obat batuk sirup. (Global Times/VCG)

    Pada keputusannya kali ini, Trump meneken perintah eksekutif yang memerintahkan badan-badan terkait menghentikan sementara transfer dana, dukungan, atau sumber daya Pemerintah AS ke WHO.

    Amerika Serikat adalah donatur terbesar bagi organisasi yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss, tersebut. 

    Dukungan finansial AS sangat penting bagi operasional WHO.

    Di bawah pemerintahan Biden, AS terus menjadi penyandang dana terbesar bagi WHO dan pada tahun 2023 menyumbang hampir seperlima anggaran badan tersebut. 

    Anggaran tahunan organisasi ini adalah $6,8 miliar (£5,5 miliar).

    Efek untuk Amerika Jika Keluar dari WHO

    Pakar kesehatan masyarakat mengkritik keputusan Trump untuk keluar dari WHO, dan memperingatkan bahwa mungkin ada konsekuensi bagi kesehatan masyarakat Amerika.

    Beberapa orang berpendapat bahwa langkah ini memutus kemajuan AS dalam memerangi penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis, dan Hiv & Aids.

    “Ini adalah keputusan presiden yang sangat dahsyat. Penarikan diri dari program ini merupakan luka yang sangat menyedihkan bagi kesehatan dunia, namun luka yang lebih dalam bagi Amerika Serikat,” kata pakar kesehatan masyarakat global dan profesor di Universitas Georgetown, Lawrence Gostin.

    Jika Amerika keluar dari WHO, akan memicu restrukturisasi besar-besaran lembaga itu dan dapat mengganggu rencana-rencana kesehatan global.

    Kabinet Trump juga mengumumkan rencana meninjau dan membatalkan Strategi Keamanan Kesehatan Global AS 2024, yang dirancang Biden untuk mencegah, mendeteksi, serta menanggapi ancaman penyakit menular.

    AS keluar dari WHO saat kekhawatiran dunia meningkat mengenai pandemi flu burung (H5N1). Puluhan orang terinfeksi dan satu pasien meninggal di Amerika Serikat.

    Negara-negara anggota WHO sejak akhir 2021 merundingkan perjanjian pertama di dunia tentang pencegahan, kesiapsiagaan, dan tanggapan pandemi.

    Dengan keluarnya AS, negosiasi akan dilanjutkan tanpa partisipasi Washington.

    Situasi Kesehatan Dunia Jika AS Keluar dari WHO

    Keputusan Presiden Trump yang mengeluarkan Amerika Serikat dari keanggotaaan WHO menimbulkan kekhawatiran pada situasi kesehatan global.

    Hal ini disampaikan Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Selasa (21/1/2025).

    Prof Tjandra Yoga Aditama (HO/TRIBUNNEWS)

    Ia menuturkan, Amerika Serikat mempunyai berbagai pusat kajian kesehatan yang diakui dunia seperti Center of Diseases Control and Prevention (CDC), National Institute of Health (NIH) dan lainnya.

    “Bagaimana peran berbagai organisasi ini sesudah Amerika Serikat menarik diri dari WHO,” ujar Prof Tjandra.

    Banyak pakar Amerika Serikat yang aktif dalam kesehatan global, termasuk bekerja di World Health Organization (WHO).

    Ada berbagai Universitas ternama di Amerika Serikat yang bergerak dalam kesehatan global pula.

    “Tentu patut ditelusuri bagaimana peran para pakar ini di kesehatan global kelak, sehubungan dengan kebijakan Trump di hari pertama kerjanya ini,” kata dia.

    Lebih jauh, aspek pendanaan dan anggaran WHO terkena dampak cukup bermakna jika kontribusi dari Amerika Serikat dihentikan.

    Amerika Serikat sudah lama dikenal sebagai donatur WHO.

    Imbasnya, apakah kondisi setelah ini tetap bisa terjaga kesehatan dunia.

    Situasi kesehatan dunia akan jadi perhatian penting karena besarnya jumlah penduduk Amerika Serikat, yang juga banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara di dunia.

    Kondisi ini membawa dampak dalam pengawasan perjalanan kesehatan internasonal.

    “Harus ditunggu bagaimana implementasi atau eksekusi keputusan itu, apakah akan ada waktu tertentu sampai ini benar-benar terlaksana. Pernah ada informasi bahwa prosesnya akan memakan waktu 1 tahun, tetapi mungkin saja situasinya berbeda kini,” kata direktur pascasarjana RS YARSI ini.

    Respon WHO, Masih Berharap AS  Tak Keluar dari Keanggotaan

     (Times of Israel)

    Organisasi kesehatan dunia atau WHO buka suara terkait keluarnya Amerika Serikat dari keanggotaan WHO.

    Melalui keterangan tertulis, WHO menyesalkan pengumuman penarikan diri Amerika Serikat dari organisasi tersebut.

    WHO memainkan peran penting dalam melindungi kesehatan dan keamanan masyarakat dunia, termasuk warga Amerika dalam merespons keadaan darurat kesehatan seperti wabah penyakit.

    Amerika Serikat merupakan anggota pendiri WHO pada tahun 1948 dan telah berpartisipasi dalam membentuk dan mengatur kerja WHO sejak saat itu, bersama dengan 193 Negara Anggota lainnya, termasuk melalui partisipasi aktifnya dalam Majelis Kesehatan Dunia dan Dewan Eksekutif. 

    Selama lebih dari tujuh dekade, WHO dan Amerika Serikat telah menyelamatkan banyak nyawa dan melindungi warga Amerika dan semua orang dari ancaman kesehatan. 

    “Bersama-sama, WHO dan AS mengakhiri penyakit cacar, dan bersama-sama kita membawa polio ke ambang pemberantasan. Institusi-institusi Amerika telah berkontribusi dan memperoleh manfaat dari keanggotaan WHO,” tulis WHO dilaman resminya, Selasa (22/1/2025).

    Dengan partisipasi Amerika Serikat dan Negara Anggota lainnya, WHO selama 7 tahun terakhir telah menerapkan rangkaian reformasi terbesar dalam sejarahnya, untuk mengubah akuntabilitas, efektivitas biaya, dan dampaknya di berbagai negara. 

    “Kami berharap Amerika Serikat akan mempertimbangkan kembali dan kami berharap dapat terlibat dalam dialog konstruktif untuk mempertahankan kemitraan antara Amerika Serikat dan WHO, demi kepentingan kesehatan dan kesejahteraan jutaan orang di seluruh dunia,” lanjut keterangan tersebut.

    Pengamat: Potensi Amerika Serikat jadi ‘Preman Dunia’ di Bawah Kendali Donald Trump 2.0

    Terpisah, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri membeberkan soal kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dunia global usai Donald Trump kembali memimpin Amerika Serikat.

    Menurut Yose, pemerintahan administrasi Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump jilid dua dimungkinkan akan lebih kontroversial dibandingkan periode pertama Trump memimpin.

    “Dan kemarin-kemarin juga dengan statement-statement yang diberikan itu kelihatan sekali bahwa presiden Trump dan administrasi nya itu akan menjadi kontroversial dibandingkan tahun tahun sebelumnya,” kata Yose saat media briefing dengan tema Pelantikan Trump Dinamika Baru persaingan AS-China dan Tantangan bagi Indonesia, di Auditorium CSIS, Jakarta, Selasa (21/1/2025).

    Bahkan, pada hari ini atau belum tepat 24 jam Donald Trump dilantik, presiden yang berasal dari Republican Party tersebut sudah meneken beberapa kesepakatan.

    Satu di antaranya keputusan Amerika Serikat yang keluar dari Paris Agreement dan keluar sebagai anggota World Health Organization (WHO).

    “Sudah ada beberapa eksekutif order yang sudah ditandatangani yang kemudian memperlihatkan bahwa berbagai tindak kontroversial itu akan dijalankan oleh presiden Trump sendiri,” kata dia.

    “Jadi kelihatan nya ada keinginan dari administrasi baru ini untuk work the talk, apa yang mereka sudah kabarkan sudah beritakan sebelumnya,” sambung Yose.

    Atas hal itu, Yose menilai kondisi tersebut harus diantisipasi ke depan dan jangan sampai setiap bangsa khususnya Indonesia, merasa terkejut dengan berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Trump yang baru ini.

    “Dan untuk itu kita di Indonesia juga perlu untuk mengantisipasi serta merespons dengan tepat berbagai kemungkinan-kemungkinan tadi,” beber dia.

    Tak cukup di situ, Yose juga melihat kalau kebijakan Trump yang dinilai bakal menuai kontroversial itu akan turut didukung oleh banyak pihak.

    “Catatan saya adalah bahwa ini kelihatan nya kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh adminstrasi baru ini mendapatkan dukungan yang cukup luas dari berbagai pihak di Amerika Serikat sendiri,” kata dia.

    “Baik itu dari, sisi pemerintahannya karena memang kita bisa lihat sendiri Republikan itu sendiri mendapatkan porsi dukungan yang cukup kuat di kongres serta juga di berbagai tempat-tempat yang lainnya,” sambung Yose.

    Bahkan lebih jauh, beberapa pegiat bisnis yang berbasis di Amerika Serikat juga sudah mulai mengarah untuk memberikan dukungan terhadap kebijakan Trump.

    Padahal menurut Yose, pada masa kepemimpinan Trump yang pertama, banyak pebisnis yang tidak sejalan dengan kebijakan Presiden berusia 78 tahun itu.

    “Dan itu mungkin catatan yang pertama, jadi ada kecenderungan dukungan yang cukup kuat juga dari dunia usaha terutama yang datangnya dari Amerika Serikat sendiri tentunya ini diberikan dengan berbagai konsesi-konsesi yang ada,” ucap Yose.

    Lebih lanjut, dia juga berpandangan kalau ke depan di sektor ekonomi, pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump akan lebih mementingkan negaranya itu sendiri.

    Terkait dengan itu tentunya menurut Yose, posisi geopolitik Amerika Serikat akan menjadi lebih penting.

    Bahkan bukan tidak mungkin, Amerika Serikat ke depan akan banyak menarik diri dari beragam kesepakatan-kesepakatan internasional.

    “Itu dalam rangka agar Amerika Serikat sendiri bisa menerapkan kebijakan-kebijakan yang sifatnya lebih unilateral dan menekan mitra-mitra atau negara-negara yang lainnya,” ujar dia.

    Dalam momen ini, Yose berkelakar kalau bukan tidak mungkin, Amerika Serikat di bawah Donald Trump akan membuat kebijakan-kebijakan baru yang sifatnya lebih menekan kepada mitra negara.

    Lebih jauh, dirinya menyebut, jika sebelumnya Amerika Serikat kerap disebut Polisi Dunia, maka bukan tidak mungkin ke depan Amerika Serikat akan bersikap sebagai Preman Dunia.

    “Mungkin bisa dibilang secara bercanda ya, kalau dulu kita selalu komplain karena Amerika Serikat menempatkan diri sebagai polisi dunia, mengatur-atur dunia dan mencoba memberikan menetapkan rambu-rambu dunia, tapi ke depannya mungkin kita harus mengantisipasi ketika Amerika Serikat menjadi preman dunia,” kata dia.

    Preman di sini artinya menurut Yose, Amerika Serikat akan membuat kebijakan yang sifatnya unilateral dengan menekan berbagai negara mitra untuk mengikuti keinginan mereka.

    “Preman ini artinya memang maunya hanya menekan kepada berbagai negara-negara lain mitra-mitra lainnya untuk mengikuti keinginan atau interest mereka bahkan tidak mengindahkan rambu-rambu yang tadinya atau berbagai agreement-agreement yang tadinya dibuat oleh Amerika Serikat sendiri, ataupun juga bersama dengan negara-negara lainnya,” tukas dia.

    (Tribunnews.com/Anita K Wardhani/Rina Ayu/Rizki Sandi Saputra/BBC/Kompas.com)

  • CSIS ungkap transportasi logistik masih menopang beban biaya tinggi

    CSIS ungkap transportasi logistik masih menopang beban biaya tinggi

    Jasa transportasi logistik sangat penting bagi perekonomian sayangnya memang porsinya masih 23 persen besar sekali…

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, beban biaya transportasi logistik terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional berada pada level tinggi yakni kisaran 23 persen, sehingga diprediksi akan memberatkan perekonomian pada waktu mendatang.

    “Jasa transportasi logistik sangat penting bagi perekonomian sayangnya memang porsinya masih 23 persen besar sekali, itu artinya hampir sebesar seperempat dari pengeluaran kita untuk suatu barang hanya untuk menanggung distribusinya saja,” ujar Yose dalam webinar yang dipantau dari Jakarta, Jumat.

    Ia mengatakan jasa transportasi logistik (translog) menjadi sektor yang penting dalam pertumbuhan ekonomi. Namun seringkali tidak disadari masyarakat secara luas jika sektor ini mendukung perekonomian dan sektor-sektor lainnya di Indonesia.

    Lewat translog, katanya lagi, perekonomian Indonesia dapat berjalan secara efisien dan kompetitif sehingga butuh sokongan dan keseriusan pemerintah agar mampu menekan biaya logistik yang terbilang tinggi.

    Meski sebelumnya pemerintah telah menghadirkan inisiatif untuk mengurungkan biaya logistik nasional lewat target biaya logistik dalam RPJMN 2020-2024, namun tantangan soal biaya logistik yang tinggi terhadap PDB masih ada.

    Sementara itu, berdasarkan laporan tinjauan strategis logistik darat di Indonesia yang dilakukan oleh Tenggara Strategics dan CSIS Indonesia menyebut tingginya biaya logistik seringkali sejalan dengan indeks harga produsen (IHP) yang mencerminkan naiknya bisa input dalam proses produksi.

    Sehingga ketika IHP naik maka produsen mengalami kenaikan biaya bahan baku, energi, komponen dan lainnya yang berujung mempengaruhi biaya transportasi dan distribusi produk.

    Pihaknya pun mengusulkan agar pemerintahan era Presiden Prabowo Subianto melanjutkna pemberian insentif fiskal yang sebelumnya telah ada, salah satu kebijakan itu adalah penerbitan aturan Peraturan Menteri Keuangan No. 71 Tahun 2022 yang mengatur pajak pertambahan nilai (PPN) untuk jasa kena pajak tertentu (JKPT).

    Aturan ini pun dinilai memberikan dampak positif terhadap penurunan biaya logistik darat. Melalui insentif fiskal berupa pengurangan tarif PPN menjadi 1,1 persen dari DPP itu, pelaku. Usaha di sektor ini mendapatkan pengurangan beban pajak yang signifikan, sehingga memungkinkan menekan biaya operasional.

    Pewarta: Sinta Ambarwati
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2024

  • Bila Tak Jadi Gabung Brics, RI Tetap Bisa Berperan Aktif di Pentas Dunia?

    Bila Tak Jadi Gabung Brics, RI Tetap Bisa Berperan Aktif di Pentas Dunia?

    Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia diperkirakan akan mampu memainkan peranan aktif di pentas dunia bila bergabung dengan organisasi Brics.

    Lantas, bagaimana bila Indonesia memilih jalan sebaliknya atau tidak bergabung dengan kelompok negara yang diinisiasi Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan itu?

    Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri mengatakan Indonesia sudah mempunyai berbagai wadah yang cukup kuat dan bisa dipergunakan untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara anggota Brics, secara bilateral.

    Selain itu, Indonesia juga memiliki platform lain yang sudah dipergunakan selama ini, untuk mendorong kepentingan negeri ini seperti forum G20.  Di forum itu, dia menilai Indonesia memaksimalkan mendorong berbagai kepentingan Indonesia.

    Oleh karena itu, dia mempertanyakan mengapa Indonesia harus bergabung pula ke dalam Brics. Tanpa bergabung dalam organisasi Brics pun, jelasnya, Indonesia mampu memainkan peran aktif dalam pentas dunia.

    “Kelihatannya malah cukup dan kita mungkin lebih perlu untuk memfokuskan diri serta meningkatkan kinerja kita agar berbagai forum-forum tersebut memang bisa membawa manfaat yang lebih tinggi lagi kepada kita,” ujarnya dalam siaran Broadcash di kanal YouTube Bisniscom.

    Yose Rizal Damuri mengakui bahwa ada sebagian pihak yang menyebut Brics sebagai ‘global south’. Namun, dia mengatakan sebenarnya Indonesia pun dari dulu sudah berusaha memperkuat global south ini.

    Indonesia, katanya, punya wadah yang bernama kerja sama ‘Selatan-Selatan’ atau South-South Cooperation, lalu ada juga Konferensi Asia-Afrika (KAA). Karena itu, tuturnya, berbagai forum-forum patut didorong, bukan malah ikut-ikutan misalkan dengan bergabung ke dalam suatu kelompok yang terbilang baru.

    “Kenapa kita tidak mengefektifkan berbagai forum, berbagai platform yang kita sudah punya. Tahun depan misalnya, ada perayaan 70 tahun Asia-Afrika. Ini merupakan momen yang penting buat Indonesia kalau kita memang ingin membuat South-South Cooperation yang lebih kuat lagi  dibandingkan dengan hanya mengambil berbagai narasi yang dibentuk oleh pihak-pihak lain.  Seperti narasi yang dibentuk oleh BRICS sekarang ini. Kita bisa membawa narasi yang memang sesuai dengan keinginan kita,” ujarnya.

    Indonesia pun menurutnya bisa membawa juga narasi yang menjadi jembatan bagi perdamaian dunia mengingat saat ini terjadi banyak konflik di berbagai belahan dunia, terutama antara negara maju seperti  G7, dengan negara-negara yang membawa narasi serta aspirasi yang berbeda.

    G20, ucapnya, sebenarnya itu bisa menjadi forum untuk membawa misi perdamaian itu asalkan Indonesia memang menjadi lebih aktif lagi di kelompok ini, di samping Indonesia bisa membawa forum-forum sendiri seperti KAA.

    Bergabung menjadi anggota Brics menurutnya bisa membuat Indonesia menjadi tidak fokus dengan berbagai platform yang sudah dimiliki selama ini. Padahal wadah-wadah tersebut berpotensi untuk dikembangkan.

    “Jadinya malah nanti karena memang seperti tadi saya katakan bahwa Brics itu lebih didominasi dengan suara-suara counter narrative yang mungkin kurang produktif pada saat ini. Kita membutuhkan pemikiran, membutuhkan tenaga yang sebenarnya mungkin kita bisa bawa ke tingkatan internasional itu dari berbagai forum yang memang kita sudah punyai,” terangnya.

    Jikalau pun Indonesia menjadi anggota Brics, tentunya harus tetap mempertahankan karakteristik bebas aktif dengan tidak terlalu membawa counter narrative karena yang lebih penting bagi Indonesia adalah mendorong reformasi tatanan dunia yang berkeadilan.

    “Kita mendorong reformasi dari berbagai tatanan dunia yang ada. Memang kita harus akui bahwa tatanan dunia itu perlu melakukan perubahan-perubahan. Tetapi ini tidak akan bisa produktif kalau kita hanya mengikuti berbagai narasi yang sifatnya sangat bertentangan,” ucapnya.

  • Gabung Brics, Pengamat: Indonesia akan Makin Aktif di Pentas Dunia

    Gabung Brics, Pengamat: Indonesia akan Makin Aktif di Pentas Dunia

    Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia diyakini bakal memainkan peran aktif dalam percaturan politik internasional dengan bergabung ke dalam kelompok negara-negara Brics.

    Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri mengatakan bahwa kebijakan internasional Indonesia itu adalah bebas dan aktif. Artinya, bebas dari berbagai tekanan atau juga tidak bergabung kepada salah satu blok.

    “Kita juga harus aktif memberikan kontribusi kepada perdamaian dunia, kepada kestabilan dunia, yang juga diamanatkan sebenarnya di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” ujarnya dalam siaran Broadcash di kanal YouTube Bisniscom.

    Menurutnya, pada masa-masa yang akan datang, Indonesia tampak akan lebih aktif lagi memainkan peran di pentas internasional. Brics, tuturnya, menjadi salah satu wadah bagi Indonesia untuk memainkan peran aktif tersebut.

    Untuk bergabung ke dalam Brics, menurutnya Indonesia harus melihat dari sisi kacamata geopolitik atau stratejik, serta tentunya dampak ekonominya pula. Secara strategis, lanjutnya, Indonesia akan mendapatkan posisi yang lebih baik, sedangkan secara ekonomi membawa banyak keuntungan saat bergabung dengan Brics.

    “Brics itu juga walaupun awalnya adalah satu platform atau satu forum yang ditujukan untuk forum ekonomi, kelihatannya sekarang-sekarang ini sudah tidak terlalu lagi membicarakan mengenai permasalahan-permasalahan ekonom. Yang lebih banyak malah kita dengar sekarang-sekarang ini bahwa BRICS banyak membicarakan isu geopolitik ataupun isu security yang lebih banyak.”

    “Bahkan banyak negara-negara anggota Brics atau ada beberapa negara anggota yang memposisikan diri sebagai counter narrative daripada tatanan dunia yang dibawa saat ini,” bebernya.

    Jadi, sambung Yose, meski ada dampak ekonomi dengan bergabung ke dalam Brics, Indonesia masih harus mendiskusikan lagi niatnya itu. Hal itu diperlukan untuk melihat secara jernih keuntungan bagi Indonesia. 

    Langkah tersebut, menurutnya, wajar karena kondisi wadah tersebut sudah berbeda misalnya dari 10 atau 15 tahun lalu ketika didirikan.

     

    Perang Kepentingan di Brics

    Dia menjelaskan, pada mulanya Bric merupakan satu kumpulan dari negara-negara yang dianggap pasar berkembang atau emerging markets dan bisa mempunyai kontribusi lebih tinggi lagi. Negara-negar tersebut juga mempunyai aspirasi yang lebih tinggi lagi atas perkumpulan itu sehingga mereka bisa menyuarakan aspirasinya.

    “Permasalahannya adalah apakah negara-negara anggota BRICS ini memang mempunyai aspirasi yang sama. Sekarang kita lihat bahwa ternyata masing-masing itu juga berbeda-beda,” ungkapnya.

    Rusia saat ini membawa aspirasi mengenai geopolitik yang nampak sekali dalam konferensi tingkat tinggi terakhir. Isu itu tidak terlalu diterima oleh negara-negara anggota lainnya. Di samping itu, di dalam Brics pun terdapat rivalitas misalnya antara China dan India yang kerap bersitegang soal wilayah perbatasan.

    Di sisi lain, isu mengenai dedolarisasi menjadi agenda yang kuat bagi negara-negara Brics selama beberapa tahun belakangan. Bila nantinya memutuskan untuk bergabung dalam perkumpulan negara-negara itu, maka Indonesia bisa membawa agenda penggunaan mata uang lokal atau local currency settlement dalam transaksi perdagangan.

    “Jadi local currency settlement ini menurut saya mempunyai potensi yang lebih besar dibandingkan dengan agenda dedolarisasi yang datangnya dari Brics. Jadi masing-masing negara punya agendanya sendiri-sendiri yang tentunya kalau dibawa ke Brics harapannya mendapat dukungan dari negara-negara lain dan agenda Brics kadang memang tidak didukung oleh sebanyak negara-negara seluruhnya ini,”katanya.

  • Antara Lawatan Prabowo ke G20, BRICS, hingga Gibran Jadi Plt Presiden

    Antara Lawatan Prabowo ke G20, BRICS, hingga Gibran Jadi Plt Presiden

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk sementara akan menggantikan tugas sebagai presiden saat Prabowo Subianto melawat ke luar negeri.

    Seperti diketahui, informasi yang berkembang, Presiden Prabowo Subianto akan melawat ke sejumlah Negara di luar negeri. Mulai dari kunjungan kenegaraan ke China untuk bertemu dengan Presiden Xi Jinping. Lalu, menemui Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Gedung Putih, Washington DC.

    Dari AS, Prabowo akan terbang ke Peru untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) pada 14—15 November 2024. Terakhir, Prabowo akan bertolak ke Rio de Janeiro, Brasil untuk menghadiri KTT Group of Twenty (G20) pada 18—19 November 2024 mendatang.

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi telah memastikan bahwa Presiden Prabowo Subianto akan menghadiri dua konferensi tingkat tinggi (KTT) tersebut.

    “Kan ada undangan, ada G20, ada APEC, sebagai Kepala Negara ya pasti beliau kan harus hadir,” ujarnya kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (29/10/2024).

    Nantinya, Prasetyo membenarkan bahwa selama kekosongan pemerintahan saat Prabowo melakukan lawatan ke Luar Negeri, maka Negara akan dipegang oleh Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka.

    Dia mengatakan bahwa saat ini Kementeriannya sedang menyiapkan surat untuk penunjukkan Gibran sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Presiden selama kepergian Prabowo ke luar Negeri. 

    “Ya pasti dong [pemerintahan dipegang Gibran], kan aturannya pasti begitu. Iyalah pasti [kami keluarkan surat],” pungkas Prasetyo.

    BRICS atau OECD?

    Kunjungan Prabowo ke G20 dan APEC akan berlangsung di tengah proses keanggotaan Indonesia sebagai negara BRICS yang diajukan pada KTT di Kazan, Rusia pekan lalu.

    BRICS sendiri merupakan akronim dari Brasil, Rusia, India, China, dan South Afrika (Afrika Selatan). Kelimanya merupakan negara-negara awal yang tergabung dalam blok ini.

    Adapun, BRICS awalnya terdiri dari Brasil, Rusia, India, dan China. Afrika Selatan bergabung pada tahun 2010, sementara Mesir, Ethiopia, Iran dan Uni Emirat Arab (UEA) menjadi anggota BRICS tahun ini. 

    Prabowo mengungkapkan alasan Indonesia ingin bergabung dalam blok ini. Menurutnya, negara-negara anggota BRICS merupakan negara-negara besar. Terlebih lagi, dia juga melihat bahwa banyak beberapa negara tetangga juga sudah menyatakan minat pada blok tersebut. 

    “Dan BRICS kita lihat ekonomi-ekonomi besar, India, Brazil, Tiongkok, Afrika Selatan sudah di situ dan negara-negara tetangga kita banyak yang sudah ke situ. Thailand, Malaysia nyatakan minat, Emirat Arab, Mesir,” terang Prabowo.

    Sementara itu, keinginan Prabowo membawa Indonesia ke BRICS bertolak belakang dengan kebijakan luar negeri pendahulunya yang ingin Indonesia menjadi negara OECD.

    Sebelumnya, pada akhir pemerintahan Jokowi, pemerintah mengungkapkan sedang mengerjakan sederet tugas sebagai syarat untuk aksesi menjadi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 

    Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto selaku Ketua Tim Nasional OECD menyampaikan tugas berupa perbaikan-perbaikan public service tersebut sebagai upaya agar standar pelayanan dapat setara dengan negara maju, sesuai dengan standar OECD. 

    “Kami berharap bahwa proses ini yang akan kita kerja sama antar-Kementerian/Lembaga, kita kerja sama juga dengan masyarakat, dengan institusi termasuk di sini dari KPK,” tuturnya dalam usai Rapat Koordinasi Tim Nasional OECD dan Peluncuran Portal Aksesi OECD, Kamis (3/10/2024). 

    Pemerintah pun terus melakukan benchmarking atau tolok ukur dengan negara-negara yang telah menjadi anggota OECD. 

    Menteri Keuangan yang menjadi Wakil Ketua Tim Nasional OECD, dalam hal ini Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan instansinya terus melakukan reformasi seperti pengelolaan APBN, fiskal, perpajakan, belanja, pembiayaan maupun reformasi yang tercantum dalam UU No.4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). 

    “Jadi, banyak yang masuk di dalam OECD itu sebetulnya sudah masuk di dalam reform yang sudah kita kerjakan,” ujar Sri Mulyani. 

    Dikritik CSIS

    Sementara itu, Centre for Strategic and International Studies atau CSIS mengkritisi keputusan pemerintah untuk bergabung ke blok ekonomi BRICS, padahal Indonesia sudah menjadi anggota G20.

    Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri mengaku kaget dengan keputusan pemerintah yang mengikuti jejak tiga negara Asean lain yaitu Malaysia, Vietnam, dan Thailand yang bergabung ke BRICS. Dia menekankan, level Indonesia sudah di atas Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

    “Indonesia itu sudah berada di atas dari tiga negara anggota Asean ini, Indonesia itu anggota G20 kok, kita enggak terlalu memerlukan satu platform baru untuk tampil ataupun mempunyai corong di tingkatan global,” ujar Yose dalam media briefing yang disiarkan di kanal YouTube CSIS Indonesia, Jumat (25/10/2024).

    Oleh sebab itu, dia menilai seharusnya pemerintah cukup fokus ke G20. Bahkan, sambungnya, Indonesia bisa pimpin negara-negara kawasan dengan membawa Asean sebagai organisasi bergabung ke G20.

    “Seperti African Union misalnya, dan itu yang kita bisa coba kembangkan ke depannya, bukan bagian dari satu kelompok yang mungkin sampai sekarang belum ketahuan juga tujuannya untuk apa,” kata Yose.