Tag: Yon Arsal

  • Dapat Suntikan Modal Rp 5 T, LPEI Jamin Bukan buat Bayar Utang

    Dapat Suntikan Modal Rp 5 T, LPEI Jamin Bukan buat Bayar Utang

    Jakarta

    Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) mendapatkan suntikan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 5 triliun di tahun anggaran 2024. Dana tersebut dipastikan bukan untuk bayar utang.

    Hal itu ditegaskan Plt Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif LPEI, Yon Arsal saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI. Dia bilang suntikan modal Rp 5 triliun akan digunakan untuk berbagai program kerja LPEI yang sudah ditetapkan.

    “Concern tentang PMN yang Rp 5 triliun, Rp 5 triliun ini mau apa? Bayar utang nggak? Enggak itu kita jamin tidak,” kata Yon Arsal, Kamis (27/2/2025).

    Penggunaan PMN Rp 5 triliun telah dibagi untuk dua komponen yakni Rp 3,5 triliun untuk Penugasan Khusus Ekspor (PKE) trade finance (Rp 1,5 triliun), PKE Kawasan (Rp 1 triliun) dan PKE UKM (Rp 1 triliun). Sisanya Rp 1,5 triliun akan dimanfaatkan untuk mandat di bidang penjaminan PKE dan asuransi.

    “Ini kami diawasi betul oleh Kementerian Keuangan dan OJK untuk penyaluran. Jadi nggak boleh ini digunakan di luar peruntukan yang sudah ada,” ucap Yon Arsal.

    Saat ini LPEI sedang menunggu aturan tentang pencairan PMN keluar. Harapannya, aturan bisa terbit dalam waktu dekat sehingga suntikan modal yang sudah disetujui dapat digunakan sesuai peruntukannya.

    “Terkait PMN Rp 5 triliun yang baru saja kami peroleh, ini sedang kami tunggu KMK-nya mudah-mudahan segera keluar sehingga kita bisa segera gunakan untuk financing. Alhamdulillah kalau line-nya sudah ada,” tutur Yon Arsal.

    Lihat juga video: Kejagung Belum Tetapkan Status Hukum 4 Debitur Terindikasi Fraud di LPEI

    (aid/fdl)

  • ‘Sulap’ Rugi Jadi Untung, LPEI Cetak Laba Rp 233 M

    ‘Sulap’ Rugi Jadi Untung, LPEI Cetak Laba Rp 233 M

    Jakarta

    Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp 232,52 miliar pada 2024. Realisasi itu lebih baik dibandingkan periode akhir 2023 yang mencatatkan rugi Rp 18,11 triliun.

    Plt Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif LPEI, Yon Arsal mengatakan kinerja positif ini akan terus ditingkatkan di tahun-tahun mendatang dengan target di atas Rp 250 miliar.

    “2023 adalah tahun bottom-nya LPEI dan mudah-mudahan kita bisa terus meningkat di tahun-tahun yang akan datang. Tahun 2024 kami mencatatkan laba Rp 233 miliar, mudah-mudahan secara konsisten nanti sustainable, kita akan berusaha untuk mencapai target profit after tax di tahun-tahun yang akan datang di atas Rp 250 miliar,” kata Yon Arsal dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (27/2/2025).

    Perbaikan kinerja keuangan itu ditunjukkan melalui rasio keuangan seperti meningkatnya rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) sebesar 34,25%, dari 17,82% di tahun sebelumnya. Dari sisi kualitas aset produktif, pertumbuhan pembiayaan difokuskan pada selected portofolio yang tumbuh 2% menjadi Rp 30,2 triliun.

    Selain itu, recovery asset collection mencapai Rp 2,8 triliun pada 2024 dengan Non Performing Financing (NPF) net sebesar 4,52%, masih dalam batas yang dapat diterima industri keuangan dan Return on Equity (ROE) sebesar 2,51%, meningkat dari -71,71% pada tahun sebelumnya.

    Manajemen LPEI disebut telah melaksanakan berbagai langkah strategis dalam lima tahun terakhir untuk menyehatkan lembaga antara lain penerapan strategi bisnis yang selektif, penguatan aspek manajemen risiko melalui perbaikan proses, sistem dan penyempurnaan kebijakan. Lalu manajemen juga fokus untuk melakukan pemulihan dan pengelolaan aset bermasalah, penguatan sumber daya manusia, teknologi informasi, serta pengelolaan biaya operasional yang hati-hati dan disiplin.

    “Kita baru separuh jalan dari proses transformasi yang dilakukan, masih banyak yang harus dijalankan LPEI untuk mencapai target setidaknya target market dan rebranding new LPEI ke depan,” imbuhnya.

    Sepanjang 2024, LPEI berhasil mendorong tumbuhnya 1.097 eksportir baru dan pembangunan 928 Desa Devisa baru sehingga total Desa Devisa mencapai 1.845 desa secara akumulatif. Capaian ini tidak terlepas dari kerja sama dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Bank Indonesia dan berbagai pemerintah daerah.

    Dalam menjalankan peran sebagai Special Mission Vehicle (SMV) pemerintah, LPEI mencatat penyaluran pembiayaan melalui program Penugasan Khusus Ekspor (PKE) mencapai lebih dari Rp 7,2 triliun di 2024 dan lebih dari Rp 20 triliun sejak 2020. Melalui PKE, LPEI mendukung program strategis pemerintah dalam mendorong daya saing ekspor nasional, termasuk fasilitasi perluasan pasar ekspor ke negara-negara di Kawasan Afrika, Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa Timur dan Amerika Latin.

    (fdl/fdl)

  • LPEI Catat Laba Bersih Rp 232,5 Miliar di 2024 – Page 3

    LPEI Catat Laba Bersih Rp 232,5 Miliar di 2024 – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) mencatat laba bersih setelah pajak Rp 232,5 miliar di 2024. Pencapaian ini merupakan hasil dari upaya penyehatan yang dilakukan secara konsisten sejak 2020.

    Pelaksana Tugas Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif LPEI Yon Arsal mengatakan, LPEI terus berupaya meningkatkan pertumbuhan bisnis yang prudent dan berkelanjutan, tercermin dalam pencapaian positif sepanjang 2024.

    “LPEI berhasil mencetak pertumbuhan laba, perbaikan kualitas aset serta rasio modal yang kuat.” kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu (12/2/2025).

    Sepanjang 2024, LPEI fokus memperbaiki kinerja keuangan yang ditunjukkan melalui rasio keuangan, seperti meningkatnya rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) sebesar 34,25%, dari 17,82% di tahun sebelumnya.

    Selain itu, recovery asset collection mencapai Rp 2,8 triliun pada 2024 dengan Non Performing Financing (NPF) net sebesar 4,52%, masih dalam batas yang dapat diterima industri keuangan, dan Return on Equity (ROE) sebesar 2,51%, meningkat dari -71,71% pada tahun sebelumnya.

    Dari sisi kualitas aset produktif, pertumbuhan pembiayaan difokuskan pada selected portofolio yang tumbuh 2% menjadi Rp 30,2 triliun.

    Manajemen LPEI telah melaksanakan berbagai langkah strategis dalam lima tahun terakhir untuk menyehatkan lembaga, antara lain penerapan strategi bisnis yang selektif, penguatan aspek manajemen risiko melalui perbaikan proses, sistem, dan penyempurnaan kebijakan.

    Lalu manajemen LPEI juga fokus untuk melakukan pemulihan dan pengelolaan aset bermasalah, penguatan sumber daya manusia, teknologi informasi, dan operasional dan pengelolaan biaya operasional yang hati-hati dan disiplin.

     

  • Bahas Masalah Coretax di DPR, Dirjen Pajak Minta Rapat Dilakukan Tertutup

    Bahas Masalah Coretax di DPR, Dirjen Pajak Minta Rapat Dilakukan Tertutup

    Jakarta

    Komisi XI DPR RI membahas pengaturan dan pengawasan Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax bersama Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo. Rapat dilakukan secara tertutup.

    Rapat dipimpin Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun dan dimulai pukul 10.28 WIB. Awalnya pimpinan menanyakan kepada Suryo apakah rapat mau dilakukan secara terbuka atau tertutup.

    “Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, izinkanlah kami membuka rapat dengar pendapat Komisi XI DPR RI dengan Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu. Saya tawarkan ini ke Dirjen Pajak, apakah rapat ini dibuka atau tertutup? Nanti baru saya tawarkan kepada anggota,” kata Misbakhun di Ruang Komisi XI DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).

    “Kalau diizinkan pimpinan, rapat dilakukan secara tertutup. Terima kasih,” jawab Suryo.

    Suryo didampingi oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan Yon Arsal, dan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi.

    Setelah Suryo meminta izin untuk rapat dilakukan secara tertutup, pimpinan pun mengiyakan permintaan tersebut setelah disetujui juga oleh para anggota.

    “Bagaimana, anggota? Setuju, ya? Oke. Maka rapat ini saya nyatakan tertutup untuk umum,” ujar Misbakhun yang diikuti ketuk palu.

    “Minta tolong silakan untuk ditutup, yang tidak berhak untuk mendengarkan silakan keluar,” tambah Misbakhun.

    Sebagai informasi, Coretax yang baru diberlakukan DJP mulai 1 Januari 2025 banjir keluhan dari masyarakat karena sulit diakses. Keluhan yang disampaikan pun beragam mulai dari periode pelaporan maupun transaksi pajak.

    Saksikan juga Blak-blakan: Menguak Rahasia Untung Kilang Minyak Paling ‘Rumit’ Se-Indonesia

    (aid/ara)

  • DJP Bakal Kembalikan Pajak Masyarakat yang Telanjur Bayar PPN 12 Persen – Halaman all

    DJP Bakal Kembalikan Pajak Masyarakat yang Telanjur Bayar PPN 12 Persen – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan mengembalikan kelebihan pajak yang telah dibayar masyarakat sebesar 12 persen.

    Hal tersebut merespons kasus beberapa transaksi dari wajib pajak di platform seperti di Google, Apple hingga layanan kredit iklan di Shopee dan Tokopedia, semuanya sudah menerapkan tarif PPN 12 persen. Padahal, PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah.

    Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo memastikan bahwa kelebihan pembayaran pajak itu akan dikembalikan. Namun, pihaknya masih mengatur skema yang pas untuk proses pengembaliannya.

    “Ini yang lagi kita atur transisinya nih, seperti apa. Tapi prinsipnya kalau sudah apa kelebihan dipungut ya dikembalikan,” kata Suryo dalam media briefing di kantor DJP, Kamis (2/1/2025).

    “Ya dengan caranya memang bisa macam-macam nih, dikembalikan kepada yang bersangkutan bisa, kalau enggak membetulkan faktur pajak nanti dilaporkan kan bisa juga. Ga masalah gitu lho,” sambungnya.

    Suryo juga menjelaskan bahwa pihaknya telah bertemu dengan para pelaku usaha di sektor riil khususnya retailer untuk memastikan pengenaan pajak yang tetap 11 persen.

    “Jadi yang tadi kita diskusikan. Jadi secara teknikalitas nanti kita atur. Yang jelas haknya wajib pajak ya pasti akan kita kembalikan. Kan gitu secara prinsipnya, haknya negara kita mesti pastikan masuk, tapi haknya wajib pajak bukan haknya negara kita kembalikan,” ucap dia.

    “Caranya seperti apa, nanti kita coba terus bahas. Saya mencoba untuk berjanji tidak akan memberatkan wajib pajak,” sambungnya.

    Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan Yon Arsal mengatakan, pemerintah tengah mengatur skema pengembalian pajak tersebut dan segera mengumumkan mekanismenya dengan catatan tidak mengurangi hak-hak daripada wajib pajak itu sendiri.

    “Akan segera kita umumkan mekanismenya seperti apa untuk yang sudah terlanjur memungut 12 persen,” kata Yon.

    “Haknya wajib pajak tidak ada yang dikurangi. Jadi kalau memang ternyata yang seharusnya 11 persen tapi keburu terlanjur dipungut 12 persen, kita akan kembalikan. mekanisme pengembaliannya sedang kita siapkan,” sambungnya.

  • Ada yang Belanja Sudah Kena PPN 12%, Begini Respons Dirjen Pajak

    Ada yang Belanja Sudah Kena PPN 12%, Begini Respons Dirjen Pajak

    Jakarta

    Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo merespons beberapa keluhan dari masyarakat yang merasa sudah dikenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% untuk barang yang tidak mewah. Hal ini akibat kebijakan pemerintah di waktu-waktu terakhir yang memutuskan tarif PPN 12% hanya untuk barang mewah yang selama ini masuk dalam daftar barang terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

    Suryo mengatakan sudah bertemu dan melakukan diskusi dengan pengusaha ritel. Dari penjelasan peritel disebut kenaikan PPN 12% sudah diatur dalam sistem toko.

    Untuk itu, Suryo menyebut pihaknya telah sepakat memberikan masa transisi selama tiga bulan untuk pelaku usaha ritel yang sudah terlanjur menyesuaikan sistem dengan tarif PPN 12%.

    “Tadi pagi saya sampaikan, saya mencoba untuk mengajak bicara pelaku ritel, kira-kira dengan begini apa yang harus dilakukan. Ya memang harus dilakukan mengubah sistem. Jadi kami lagi diskusi, kira-kira tiga bulan cukup nggak sistem mereka diubah,” kata Suryo dalam media briefing di kantornya, Jakarta, Kamis (2/1/2024).

    Pada kesempatan yang sama, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan barang-barang mewah yang dikenakan tarif PPN 12% sangat jarang dijual di retailer. Jadi seharusnya barang-barang yang dibeli di ritel dikenakan tarif PPN 11%.

    “Mohon maaf retailer di tempat-tempat saudara nggak akan jual jet, dan jual pesawat kan, peluru dan senjata api kan?” ungkapnya.

    Jika wajib pajak sudah terlanjur membayar tagihan tertentu dengan hitungan PPN 12% meski tidak tergolong jasa mewah, dipastikan dapat mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

    “Haknya wajib pajak tidak akan ada yang dikurangi. Jadi kalau memang ternyata seharusnya 11%, tetapi terlanjur dipungut 12%, kita akan kembalikan. Mekanisme pengembaliannya sedang kita siapkan,” kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan Yon Arsal.

    Yon berharap hanya sedikit wajib pajak yang membayar tagihan dengan tarif tidak sesuai sebagaimana mestinya, mengingat keputusan PPN 12% hanya untuk barang mewah dan jasa mewah sudah diumumkan pada 31 Desember 2024.

    “Mudah-mudahan karena ini sudah diumumkan di depan, hanya beberapa tertentu saja yang sudah terlanjur memungut dengan tarif PPN 12%,” katanya.

    (kil/kil)

  • Wajib Pajak Telanjur Bayar PPN 12%, Ditjen Pajak Janji Kembalikan Kelebihan Bayar

    Wajib Pajak Telanjur Bayar PPN 12%, Ditjen Pajak Janji Kembalikan Kelebihan Bayar

    Bisnis.com, JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan wajib pajak dapat mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak jika ada yang telah melakukan pembayaran dengan nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%.

    Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu, Suryo Utomo menjelaskan pihaknya saat ini tengah merancang skema pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut. Dia memastikan hak para wajib pajak akan dikembalikan jika ada kelebihan pembayaran.

    “Prinsipnya kalau pembayarannya (PPN) kelebihan ya bisa dikembalikan. Pengembaliannya bisa bermacam-macam. Dikembalikan ke yang bersangkutan bisa, atau menggunakan faktur pajak nanti dilaporkan ke kami (Ditjen Pajak) juga tidak masalah,” kata Suryo dalam Konferensi Pers di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta pada Kamis (2/1/2025).

    Pernyataan tersebut merupakan respons dari keluhan masyarakat bahwa mereka tetap dikenakan PPN 12% dalam transaksi platform digital meskipun tidak termasuk golongan barang mewah.

    Salah satu platform yang telah menerapkan PPN 12% adalah aplikasi video berbasis permintaan, Vidio, yang menerapkan pajak untuk paket Platinum. 

    Berdasarkan salah satu tangkapan layar, pelanggan harus membayar paket Vidio Platinium senilai Rp32.480/bulan, dengan perincian Rp3.480 untuk pajak dan Rp29.000 untuk paket bulanan. Adapun jika dihitung kembali, nilai pajak mencapai 12% dari harga pokok langganan.

    Suryo melanjutkan, pihaknya juga telah bertemu dengan para pelaku usaha, terutama peritel, pada Kamis pagi tadi. 

    Pertemuan tersebut membahas situasi para pelaku terkait penerapan PPN terbaru tersebut. Dari pertemuan itu, dia mengatakan sudah ada pelaku usaha yang menggunakan skema perhitungan PPN sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 131/2024.

    “Tetapi ternyata masih mix. Kami akan bikin aturan soal itu (pengembalian kelebihan pembayaran pajak) terutama juga nanti pada waktu penerbitan faktur pajaknya,” kata Suryo.

    Sementara itu, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan Yon Arsal menambahkan bahwa hak wajib pajak tetap dijamin sepenuhnya. Dia berharap mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut akan diumumkan dalam beberapa hari ke depan.

    “Mekanismenya sedang kita siapkan. Pokoknya hak wajib pajak tidak ada yang kita ambil melebihi yang seharusnya mereka bayar,” katanya.

    Adapun, dalam PMK No. 131/2024, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) akan tetap sebesar 12% untuk semua barang/jasa. Hanya saja, tarif dasar pengenaan pajak (DPP) ada dua. 

    Dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), dijelaskan pengenaan PPN untuk barang mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual atau nilai impor sebesar 12/12 dari harga jual/nilai impor.

    Sementara itu, Pasal 3 ayat (2) dan (3) menegaskan pengenaan PPN untuk barang/jasa lain yang bukan tergolong mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual atau nilai impor atau penggantian.

    Dengan nilai DPP yang dibedakan menjadi dua itu, skema penghitungan PPN-nya menjadi seperti berikut: 

    a. 12% x DPP = 12% x (12%/12% x nilai transaksi); 

    b. 12% x DPP = 12% x (11%/12% x nilai transaksi).