Tag: Yon Arsal

  • Kemenkeu sebut penyesuaian pajak digital guna permudah pedagang daring

    Kemenkeu sebut penyesuaian pajak digital guna permudah pedagang daring

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Keuangan mengatakan penyesuaian kebijakan pajak digital dilakukan guna memberikan kemudahan administrasi bagi wajib pajak khususnya pedagang daring yang berjualan melalui platform niaga elektronik (e-commerce).

    Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal dalam webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) yang diikuti secara daring dari Jakarta, Selasa, mengatakan pertumbuhan ekonomi digital yang terus meningkat menjadi latar belakang penyesuaian aturan tersebut.

    “Tahun 2024 yang lalu, totalnya (nilai transaksi digital) itu sudah Rp1.45 triliun dengan pertumbuhan 6,6 persen. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB,” kata Yon Arsal.

    Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, pemerintah menunjuk platform perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) sebagai pemungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen dari peredaran bruto penjualan pedagang dalam negeri.

    Dengan skema tersebut, ia mengatakan pedagang tidak lagi harus menghitung dan menyetorkan sendiri pajaknya, karena pemotongan dilakukan langsung oleh platform dan dilaporkan dalam SPT.

    “Saat ini platform tersebut yang melakukan pemotongan dan kemudian menyetorkannya ke kantor pajak. Hal ini sebenarnya bukan suatu jenis pajak yang baru juga, sehingga ini hanya mengatur cara pelaporan pajaknya. Dan ini memberikan kemudahan bagi wajib pajak yang ingin memenuhi kewajiban perpajakannya,” katanya, menjelaskan.

    Bagi pedagang kecil, menurut dia, aturan tersebut dinilai meringankan karena pajak yang dipotong tetap dapat dijadikan kredit pajak.

    Mekanisme itu berlaku baik untuk pedagang dengan omzet di atas Rp4,8 miliar maupun yang dikenakan tarif final 0,5 persen.

    Yon Arsal menilai, langkah tersebut penting di tengah derasnya pertumbuhan transaksi digital yang kian mendominasi sektor jasa di Indonesia.

    Menurutnya, penyederhanaan administrasi pajak digital juga bertujuan memberikan keadilan bagi pelaku usaha konvensional dan digital sekaligus menjaga kesetaraan dalam perkembangan ekonomi digital.

    “Kita melihat bagaimana perpajakan transaksi digital ini juga menciptakan kondisi yang setara atau level ‘playing field’ bagi seluruh industri,” ujar dia.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DJP siapkan strategi kejar target pajak Rp2.357 triliun pada 2026

    DJP siapkan strategi kejar target pajak Rp2.357 triliun pada 2026

    terus memanfaatkan Coretax melalui sinergi pertukaran data, kemudian sistem pertukaran transaksi digital luar negeri dan dalam negeri

    Jakarta (ANTARA) – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan membeberkan sejumlah strategi guna mengejar target penerimaan pajak tahun 2026.

    Sebagaimana diketahui, pemerintah menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.357,71 triliun untuk 2026, atau naik 13,51 persen dibanding target APBN 2025 senilai Rp2.076,9 triliun.

    Dalam Webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jakarta yang digelar secara daring di Jakarta, Selasa, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan pemerintah akan mengandalkan implementasi Sistem Coretax guna memperluas basis perpajakan.

    “Kita lihat bahwa dari sisi administrasi kita masih akan terus memanfaatkan Coretax melalui sinergi pertukaran data, kemudian sistem pertukaran transaksi digital luar negeri dan dalam negeri,” ujarnya

    Selain itu, Yon menyebut DJP juga akan berfokus pada program bersama (joint program) dalam analisis data, pengawasan, pemeriksaan, intelijen dan kepatuhan perpajakan.

    Pemerintah pun menyiapkan insentif untuk menjaga daya beli, mendorong investasi, serta hilirisasi industri.

    Dari sisi kepabeanan dan cukai, ia menjelaskan pemerintah akan memaksimalkan kebijakan Cukai Hasil Tembakau, ekstensifikasi Barang Kena Cukai (BKC), dan intensifikasi Bea Masuk (BM) Perdagangan Internasional.

    Begitu juga dengan kebijakan Bea Keluar (BK) yang akan diarahkan untuk mendukung hilirisasi produk, sekaligus diiringi dengan penegakan hukum guna memberantas peredaran barang ilegal.

    “Di sisi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), kita berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga yang terkait untuk melakukan perbaikan tata kelola, inovasi, pengawasan dan pengawasan dari sistem administrasi dari sisi SIMBARA (Sistem Informasi Minerba),” imbuhnya.

    Adapun sebelumnya, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai target tinggi penerimaan pajak pada RAPBN 2026 bisa tercapai dengan syarat adanya intervensi yang mampu menambah pendapatan negara.

    Menurutnya, hal serupa pernah terjadi pada 2022 ketika tambahan penerimaan pajak mencapai Rp438,16 triliun.

    Capaian itu dipengaruhi pertumbuhan ekonomi 5,31 persen, kenaikan harga komoditas, serta implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Namun, Fajry menyoroti tidak adanya intervensi serupa pada 2023 dan 2024 sehingga tambahan pajak hanya tercatat Rp152,47 triliun dan Rp63,17 triliun.

    “Melihat secara historis, target penerimaan pajak dalam RAPBN 2026 memang terlalu optimis,” kata Fajry kepada ANTARA di Jakarta, Selasa (19/8).

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kemenkeu Pede Bisa Tingkatkan Tax Ratio Indonesia ke 15% – Page 3

    Kemenkeu Pede Bisa Tingkatkan Tax Ratio Indonesia ke 15% – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menegaskan bahwa Indonesia masih memiliki ruang cukup besar untuk meningkatkan tax ratio atau rasio perpajakan hingga mencapai level berkelanjutan yang direkomendasikan lembaga internasional.

    Menurut kajian Dana Moneter Internasional (IMF), tipping point untuk tax ratio berada di kisaran 15% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan perhitungan resmi, tax ratio Indonesia tahun lalu berada di angka 10,2%.

    “Kalau kajiannya IMF bilang, ada tipping point, sekitar 15 persen itu sebagai sebuah sustainable level of text ratio. Jadi kita masih punya gap. Tapi jangan bandingin 10 persen dengan 15 persen,” kata Yon dalam diskusi Celios, di kantor Celios, Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2025).

    Namun, Yon menyebut angka ini belum mencerminkan kapasitas penerimaan negara yang sebenarnya. Jika memasukkan komponen seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA, pajak daerah, dan iuran jaminan sosial, maka tax ratio Indonesia sesungguhnya berada di kisaran 12–13,5%.

    “Sebenarnya, tax ratio kita itu kalau mau komparasi, itu ya masih relatifly sekitar 13-13,5 persen. Rata-rata setiap tahun, antaranya 12-13 persen,” ujarnya.

    Dengan demikian, gap menuju target 15% hanya sekitar 2–3 poin persentase, jauh lebih kecil dari yang sering diasumsikan publik. Menurutnya, jangan bandingkan angka 10% dengan target 15%, karena itu membuat Indonesia seakan terlihat tertinggal jauh, yang benar adalah membandingkan angka 12–13% dengan 15%.

    Ia menegaskan, gap yang relatif kecil ini menunjukkan bahwa target peningkatan tax ratio bukanlah hal yang mustahil, asal ada langkah konkret dan konsisten.

     

  • Rasio Pajak Indonesia Tak Kalah Dibanding Negara Lain, Ini Buktinya – Page 3

    Rasio Pajak Indonesia Tak Kalah Dibanding Negara Lain, Ini Buktinya – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menjelaskan bahwa posisi tax ratio Indonesia sebenarnya tidak terlalu tertinggal dibanding negara tetangga jika dihitung secara komprehensif.

    Menurutnya, perhitungan yang hanya mengandalkan penerimaan pajak pusat membuat angka Indonesia terlihat kecil, yakni sekitar 10,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

    “Jadi, tax ratio katanya kita itu kadang-kadang menjadi mengecil, bukan karena dia kecil, tapi karena ada beberapa jenis pajak yang kemudian dialokasikan ke daerah, menjadi bagiannya daerah,” kata Yon dalam diskusi bersama Celios, di Kantor Celios, Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2025).

    Namun, bila memasukkan komponen lain seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA, pajak daerah, dan iuran jaminan sosial, tax ratio Indonesia bisa mencapai 12–13,5%.

    “Sebenarnya, tax ratio kita itu kalau mau komparasi, itu ya masih relatifly sekitar 13-13,5 persen. Rata-rata setiap tahun, antaranya 12-13 persen,” ujarnya.

    Jangan Bandingkan Tax Ratio RI dengan Negara Lain

    Yon menekankan bahwa publik sering salah persepsi ketika membandingkan tax ratio Indonesia dengan negara lain. Ia menegaskan, jangan membandingkan angka 10% dengan negara lain yang perhitungannya memasukkan semua jenis pungutan.

    Ia menambahkan, definisi dan metode perhitungan yang berbeda di tiap negara membuat angka tax ratio tidak bisa dilihat secara mentah tanpa memahami komponennya.

    “Kalau kita lihat dengan negara-negara tetangga, yang kita nggak terlalu ketinggalan juga sih, dibandingkan dengan negara beberapa yang di sebelah-sebelah kita. Malaysia juga sekitar angka 12-13 persen,” jelasnya.

     

     

  • Kemenkeu Bongkar Rasio Pajak Indonesia, Sebenarnya Capai Segini – Page 3

    Kemenkeu Bongkar Rasio Pajak Indonesia, Sebenarnya Capai Segini – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, mengungkapkan bahwa tax ratio Indonesia yang selama ini dilaporkan sekitar 10,2% sebenarnya belum mencerminkan keseluruhan kapasitas penerimaan negara.

    Ia menilai, definisi yang digunakan pemerintah cenderung sempit, hanya menghitung penerimaan pajak dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ditambah penerimaan yang bukan cukai dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), dibagi dengan Produk Domestik Bruto (PDB).

    Menurut Yon, perhitungan ini berbeda dengan standar OECD yang memasukkan seluruh beban pajak masyarakat ke dalam tax ratio, termasuk pungutan yang tidak memiliki pengembalian langsung.

    “Kalau dalam OECD report, seperti PNBP SDA itu juga termasuk dalam kategori perpajakan sebenarnya. Kalau kita namainya misalnya PNBP padahal dia ada pajak karakteristiknya,” kata Yonn dalam diskusi bersama Celios, di kantor Celios, Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2025).

    Dengan kata lain, banyak komponen penerimaan negara di Indonesia yang sebenarnya memiliki sifat pajak, namun belum dihitung dalam tax ratio resmi.

    Contohnya adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam (SDA) dan pajak daerah, yang secara karakteristik di luar negeri dianggap sebagai bagian dari pajak. Di Indonesia, PNBP justru ditempatkan di luar kategori pajak sehingga tidak ikut meningkatkan rasio pajak.

    “Sebenarnya, tax ratio kita itu kalau mau komparasi, itu ya masih relatifly sekitar 13-13,5 persen. Rata-rata setiap tahun, antaranya 12-13 persen,” ujarnya.

     

     

  • DJP: Potensi penerimaan pajak kripto mencapai Rp600 miliar per tahun

    DJP: Potensi penerimaan pajak kripto mencapai Rp600 miliar per tahun

    Jakarta (ANTARA) – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyebut potensi penerimaan pajak kripto mencapai Rp600 miliar per tahun.

    “Sepanjang 2-3 tahun semenjak peluncurannya, perkembangan dari penerimaan kripto ini terus meningkat. Kalau tidak salah, penerimaannya ada di antara kisaran Rp500 miliar hingga Rp600 miliar per tahun,” kata Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto dalam taklimat media di Jakarta, Kamis malam.

    Berdasarkan laporan terakhir DJP, penerimaan pajak kripto secara akumulasi telah terkumpul sebesar Rp1,2 triliun sampai dengan Maret 2025.

    Penerimaan tersebut berasal dari Rp246,45 miliar penerimaan tahun 2022, Rp220,83 miliar penerimaan tahun 2023, Rp620,4 miliar penerimaan 2024, dan Rp115,1 miliar penerimaan 2025.

    Sebanyak Rp560,61 miliar bersumber dari pungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 dan Rp642,17 miliar dari pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri.

    Teranyar, Kemenkeu menetapkan tarif baru pajak kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 yang berlaku pada 1 Agustus 2025, seiring dengan perubahan sifatnya menjadi aset keuangan digital.

    Lewat aturan itu, kripto dibebaskan dari pengenaan PPN lantaran dianggap setara dengan surat berharga.

    Sedangkan, untuk PPh 22, tarif ditetapkan sebesar 0,21 persen untuk pungutan yang dilakukan oleh penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) dalam negeri dan 1 persen untuk pungutan oleh PPMSE luar negeri atau penyetoran mandiri.

    Tarif itu lebih tinggi dari ketentuan sebelumnya. Saat kripto ditetapkan sebagai komoditas, PPh 22 ditetapkan sebesar 0,1 persen dari transaksi yang dilakukan di exchange atau PPMSE terdaftar Bappebti dan 0,2 persen dari transaksi di PPMSE tidak terdaftar Bappebti.

    Menurut Bimo, kenaikan tarif PPh 22 final bertujuan untuk mengkompensasi hilangnya penerimaan PPN.

    Terkait potensi penerimaan seiring dengan aturan baru, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan pergerakan harga serta tren permintaan akan memengaruhi peluang setoran.

    “Kalau kripto itu kan sangat fluktuatif, jadi akan sangat bergantung di situ. Bisa melonjak, bisa turun. Bergantung dari permintaannya seperti apa,” ujar Yoga.

    Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak DJP Yon Arsal menambahkan pengenaan tarif pajak kripto yang lebih tinggi bertujuan untuk mendorong industri kripto dalam negeri tumbuh dan berkembang.

    “Orang-orang kami harapkan ikut terlibat di dalam perdagangan dalam negeri,” lanjut Yon.

    Namun, ia membuka peluang evaluasi tarif pajak kripto ke depannya. Kemenkeu akan melibatkan dan mendengar saran dari pelaku pasar dalam proses evaluasi tarif pajak kripto.

    “Tarif akan selalu kami cermati dan evaluasi dari waktu ke waktu. Tentu kami akan mendengarkan suara dari pasar dan pemangku kepentingan terkait,” tuturnya.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Skema Baru Pajak Kripto Segera Terbit, Cek Kisi-Kisinya

    Skema Baru Pajak Kripto Segera Terbit, Cek Kisi-Kisinya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan menerbitkan aturan baru pengenaan pajak atas aset kripto. Pajak kripto ke depan akan ditentukan oleh model pengaturan transaksi yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK.

    Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal menjelaskan aturan baru pajak kripto akan segera diundangkan. Nantinya, skema baru penerapan pajak kripto akan mengikuti perkembangan berpindahnya pengawasan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK pada Januari lalu.

    “Insya Allah mungkin seminggu-minggu ini [terbit aturan barunya]. Ada perubahan sedikit karena kaitannya dengan perubahan komposisi dari Bappebti,” ujar Yon Arsal di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).

    Sementara itu, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa berpindah pengawasan aset kripto dari Bappebti ke OJK seiring perubahan klasifikasi aset kripto dari komoditas ke instrumen keuangan. Secara hukum, klasifikasi itu mengikuti arah Peraturan OJK No. 27/2024 (POJK 27/2024) tentang perdagangan aset keuangan digital.

    Dia menambahkan, meskipun aspek legalitas transaksi sudah masuk dalam lingkup OJK, pengaturan pajaknya saat ini masih mengacu pada ketentuan umum perpajakan, termasuk PMK 68/2022 yang bakal direvisi dalam waktu dekat. Secara garis besar, transaksi kripto memunculkan dua jenis pajak utama, yakni pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).

    “Aspek PPh timbul karena ada satu pihak yang mendapatkan penghasilan ketika melakukan transaksi terkait aset keuangan kripto. Transaksi penyerahan barang (aset) atau jasa akan memunculkan aspek PPN,” jelas Prianto kepada Bisnis, dikutip Minggu (27/7/2025).

    Sementara mengacu POJK 27/2024, terdapat lima pelaku utama dalam ekosistem aset keuangan digital yaitu penyelenggara bursa; pedagang aset keuangan digital; lembaga kliring penjaminan dan penyelesaian; anggota kliring; serta pengelola tempat penyimpanan aset keuangan digital.

    Prianto memaparkan bahwa kelima pelaku tersebut dikenai PPh atas penghasilan yang mereka terima dari penyediaan jasa, yang mana objeknya mengacu ke Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan bisa bersifat final apabila ditentukan lewat peraturan pemerintah (PP). Dari sisi PPN, kegiatan jasa mereka dikenakan tarif umum 12%, kecuali dinyatakan sebagai nonobjek dalam UU PPN.

    “Secara teknis, dasar pengenaan PPN bisa dihitung dari 11/12 x nilai transaksi atau 11/12 x 10% x nilai transaksi, tergantung bentuk jasanya,” ujar Prianto.

    Khusus untuk pedagang aset digital, penghasilan dari jual beli kripto juga dikenai PPh. Sementara dari sisi PPN, aset kripto tidak termasuk dalam daftar nonobjek PPN sebagaimana Pasal 4A ayat (2) UU PPN, sehingga tetap terutang PPN 12%.

    Menurut Prianto, revisi PMK 68/2022 menjadi krusial karena akan menjadi dasar teknis pemajakan yang lebih kompatibel dengan struktur pasar kripto versi OJK. Hanya saja, dia menilai fokus revisi pengaturan bukan pada potensi penerimaan negara, melainkan pada kemudahan administrasi dan kepastian hukum.

    “Ketika pengaturannya sudah masuk ke ranah teknis administratif di Peraturan Menteri Keuangan, maka fokusnya bukan semata untuk menggenjot penerimaan, tapi untuk memastikan implementasi kebijakan perpajakan berjalan lebih sederhana dan pasti,” kata Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia itu.

    Adapun PMK 68/2022 saat ini masih menjadi acuan pengenaan pajak atas transaksi kripto, meskipun rezim pengawasan dan klasifikasi asetnya telah bergeser dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK. Oleh sebab itu, pemerintah sedang melakukan revisi beleid tersebut.

  • Kemenkeu: Pajak e-Commerce Kerek Kepatuhan Pajak, Tak Banyak Tambah Penerimaan

    Kemenkeu: Pajak e-Commerce Kerek Kepatuhan Pajak, Tak Banyak Tambah Penerimaan

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan alias Kemenkeu mengakui bahwa tujuan utama penerapan skema baru pemungutan pajak penghasilan Pasal 22 oleh pihak ketiga dalam transaksi e-commerce bukan untuk menambah penerimaan negara secara signifikan.

    Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kemenkeu Yon Arsal menjelaskan bahwa penerapan pajak e-commerce atau transaksi digital di lokapasar digital seperti Shopee hingga Tokopedia lebih untuk meningkatkan kepatuhan pajak.

    “Kita melihat dampaknya ini sebagai sebuah kerangka kepatuhan wajib pajak dan kemudahan administrasi. Jadi, dampaknya ini jauh lebih besar daripada dampak rupiahnya, yang mungkin menjadi sasaran,” ujar Yon dalam media briefing di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Selatan, Senin (14/7/2025).

    Dia menjelaskan pedagang Shopee Cs hanya akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5%. Artinya, penerimaan negara tidak akan bertambah banyak dengan seketika. Tak hanya itu, PPh Pasal 22 untuk pedagang Shopee Cs itu juga bukan jenis pajak baru. Sebelumnya, aturan itu sudah adanya.

    Bedanya, kini Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37/2025 hanya mengatur mekanisme baru pungutan PPh Pasal 22. Sebelumnya, PPh Pasal 22 dilaporkan secara mandiri oleh wajib pajak namun kini platform lokapasar (pihak ketiga) yang akan langsung memungut kepada pedagangnya yang memenuhi syarat.

    “Apabila selama ini wajib pajak merasa saya harus setor, lapor sendiri, sekarang saya sudah dibantu, dipungutkan oleh para platform. Harapannya tentu wajib pajak, merchant [pedagang] menjadi lebih mudah,” ujar Yon.

    Oleh sebab itu, dia menyimpulkan dampak penerapan skema baru pungutan PPh Pasal 22 itu akan terasa di kemudian hari, bukan serta merta dalam waktu dekat.

    Adapun skema baru pungutan PPh Pasal 22 yang diatur dalam PMK 37/2025 itu ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 11 Juni 2025 dan diundangkan pada 14 Juli 2025.

    Dalam Pasal 8 ayat (1), dijelaskan bahwa pedagang akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5% dari omzet bruto yang diterima dalam setahun. Pajak tersebut di luar pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

    Nantinya, pemungutan PPh Pasal 22 dari pedagang itu akan dilakukan oleh lokapasar daring yang termasuk Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Contoh PMSE seperti Shopee, Tokopedia, dan sejenisnya yang telah ditunjukkan oleh Kementerian Keuangan.

    Dalam Pasal 6, disampaikan bahwa pedagang yang memiliki omzet sampai dengan Rp500 juta per tahun wajib melaporkan buktinya ke lokapasar tempatnya berjualan yang termasuk PMSE. Selain itu, pedagang yang memiliki omzet di atas Rp500 juga per tahun juga melaporkan buktinya.

    Hanya saja pada Pasal 10 ayat (1) huruf a, disampaikan bahwa pedagang dengan omzet setara atau di bawah Rp500 juta per tahun tidak akan dipungut PPh Pasal 22. Artinya, hanya pedagang dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun sampai dengan Rp4,8 miliar yang dikenai pajak 0,5%.

    Selain itu, ada beberapa pedagang yang dikecualikan yaitu terkait penjualan jasa pengiriman atau ekspedisi yang merupakan mitra perusahaan aplikasi berbasis teknologi yang memberikan jasa angkutan.

    Kemudian penjualan barang dan/atau jasa yang menyampaikan informasi surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan; penjualan pulsa dan kartu perdana; penjualan emas perhiasan, emas batangan, perhiasan yang bahan seluruhnya bukan dari emas, batu permata, dan/atau batu lainnya yang sejenis, yang dilakukan oleh pabrikan emas perhiasan, pedagang emas perhiasan, dan/atau pengusaha emas batangan.

    Terakhir, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan juga dikecualikan. “Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan [14 Juli 2025],” tulis Pasal 18.

  • LPEI Tegaskan Dugaan Fraud Kredit Ekspor Kasus Lama, Bergulir pada 2012

    LPEI Tegaskan Dugaan Fraud Kredit Ekspor Kasus Lama, Bergulir pada 2012

    Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) menyatakan telah melakukan sederet upaya “bersih-bersih” secara internal usai penegak hukum mengungkap sejumlah kasus dugaan fraud (kecurangan) dalam penyaluran kredit ekspor. 

    Sebagaimana diketahui, penegak hukum seperti Polri maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut dugaan fraud di LPEI di tahap penyidikan. Terdapat sejumlah debitur LPEI yang diduga menerima kredit ekspor dengan cara menyalahi aturan. 

    Pihak LPEI menyatakan bahwa kasus hukum yang tengah bergulir itu terjadi pada periode 2012 dan bukan kasus baru. 

    LPEI, atau Eximbank, pun menyampaikan bahwa terus melanjutkan transformasi yang dimulai sejak 2020. Fokus transformasi itu berada pada tiga pilar utama yakni manajemen risiko dan kualitas aset, model bisnis serta infrastruktur tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dan sumber daya manusia (SDM). 

    Salah satu upaya pembenahan yang dilakukan LPEI, kata Plt. Ketua Dewan Direktur LPEI Yon Arsal, adalah penerapan sistem pengambilan keputusan pembiayaan melalui komite. Beberapa upaya lainnya juga meliputi penguatan struktur manajemen, identifikasi potensi risiko secara dini melalui sistm peringatan dini serta penguatan SDM dan infrastruktur IT. 

    “Transformasi selama lima tahun terakhir telah membawa LPEI ke titik perubahan signifikan dengan pencapaian positif. Ini mencerminkan kemajuan dan kesiapan LPEI dalam mendukung pertumbuhan ekspor Indonesia,” kata Yon, yang juga merangkap Direktur Eksekutif LPEI, melalui siaran pers, Senin (17/3/2025). 

    Sementara itu dari sisi bisnis, LPEI menyatakan telah mengedepankan kolaborasi dalam ekosistem ekspor untuk mendukung peningkatan ekspor nasional, desa devisa serta eksportir baru.

    Sejalan dengan hal tersebut, Yon menyebut lembaga yang dipimpin olehnya menerapkan kebijakan anti gratifikasi dan penyuapan dalam bentuk apapun kepada seluruh jajaran manajemen dan pegawai. Mereka diwajibkan menandatangani Pakta Integritas sebagai tanda komitmen dalam penegakan proses bisnis yang bersih dan transparan, termasuk dilarang melakukan transaksi yang menimbulkan benturan kepentingan.  

    Adapun secara berkala, lembaga di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu turut melakukan pelatihan dan penyuluhan terkait manajemen risiko, kode etik, anti-fraud, gratifikasi dan sebagainya serta menerapkan whistleblowing system (WBS) yang dapat diakses oleh publik melalui website LPEI, KPK, dan Kemenkeu.

    Atas upaya tersebut, LPEI mengeklaim telah menunjukkan hasil positif dari sisi bisnis. Contohnya, Non Performing Financing (NPF) baru di kisaran 0.02% dari debitur onboard sejak 2020. 

    Kemudian, pada 2024, LPEI telah menurunkan NPL gross menjadi 29,1% dari tahun sebelumnya yang mencapai 43,5%, serta mencatat penurunan NPL net dari 14% menjadi hanya 4,5%. Kinerja itu disebut menggambarkan perbaikan signifikan dalam kualitas portofolio secara keseluruhan. 

    “LPEI berkomitmen penuh dalam menjalankan tugas dan fungsi sesuai dengan mandatnya, dengan mengedepankan prinsip Tata Kelola Lembaga yang Baik dan menjunjung tinggi integritas. Secara konsisten LPEI selalu memperkuat tata kelola lembaga, termasuk penerapan kebijakan anti gratifikasi yang ketat, untuk memastikan transparansi dan lingkungan kerja yang bebas dari tindakan penyelewengan,” tegas Yon Arsal.

    Berdasarkan catatan Bisnis, kasus dugaan fraud di LPEI yang ditangani oleh Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipikor) Polri melibatkan dua debitur LPEI selama periode 2012-2016. Dua debitur dimaksud adalah PT Duta Sarana Technology (PT DST) dan PT Maxima Inti Finance (PT MIF).

    Pada kasus yang bergulir Polri, kasus dugaan fraud itu juga telah dikembangkan ke arah dugaan pencucian uang. 

    Sementara itu, di KPK, kasus LPEI meliputi 11 debitur dengan taksiran kerugian keuangan negara secara keseluruhan mencapai Rp11,7 triliun. Salah satu debitur yakni PT Petro Energy (PE) diduga merugikan keuangan Rp900 miliar. 

    Lembaga antirasuah itu telah menetapkan lima orang tersangka terkait dengan klaster debitur PT PE. Dua di antaranya adalah mantan Direktur Pelaksana LPEI, Dwi Wahyudi dan Arif Setiawan. KPK juga menangani salah satu kasus LPEI yang dilimpahkan dari Kejaksaan Agung (Kejagung). 

  • Dapat Suntikan Modal Rp 5 T, LPEI Jamin Bukan buat Bayar Utang

    Dapat Suntikan Modal Rp 5 T, LPEI Jamin Bukan buat Bayar Utang

    Jakarta

    Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) mendapatkan suntikan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 5 triliun di tahun anggaran 2024. Dana tersebut dipastikan bukan untuk bayar utang.

    Hal itu ditegaskan Plt Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif LPEI, Yon Arsal saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI. Dia bilang suntikan modal Rp 5 triliun akan digunakan untuk berbagai program kerja LPEI yang sudah ditetapkan.

    “Concern tentang PMN yang Rp 5 triliun, Rp 5 triliun ini mau apa? Bayar utang nggak? Enggak itu kita jamin tidak,” kata Yon Arsal, Kamis (27/2/2025).

    Penggunaan PMN Rp 5 triliun telah dibagi untuk dua komponen yakni Rp 3,5 triliun untuk Penugasan Khusus Ekspor (PKE) trade finance (Rp 1,5 triliun), PKE Kawasan (Rp 1 triliun) dan PKE UKM (Rp 1 triliun). Sisanya Rp 1,5 triliun akan dimanfaatkan untuk mandat di bidang penjaminan PKE dan asuransi.

    “Ini kami diawasi betul oleh Kementerian Keuangan dan OJK untuk penyaluran. Jadi nggak boleh ini digunakan di luar peruntukan yang sudah ada,” ucap Yon Arsal.

    Saat ini LPEI sedang menunggu aturan tentang pencairan PMN keluar. Harapannya, aturan bisa terbit dalam waktu dekat sehingga suntikan modal yang sudah disetujui dapat digunakan sesuai peruntukannya.

    “Terkait PMN Rp 5 triliun yang baru saja kami peroleh, ini sedang kami tunggu KMK-nya mudah-mudahan segera keluar sehingga kita bisa segera gunakan untuk financing. Alhamdulillah kalau line-nya sudah ada,” tutur Yon Arsal.

    Lihat juga video: Kejagung Belum Tetapkan Status Hukum 4 Debitur Terindikasi Fraud di LPEI

    (aid/fdl)