Tag: Yoav Gallant

  • Turki Keluarkan Surat Penagkapan PM Israel Benjamin Netanyahu

    Turki Keluarkan Surat Penagkapan PM Israel Benjamin Netanyahu

    GELORA.CO – Pemerintah Turki resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas tuduhan melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Jalur Gaza.

    Dalam pernyataannya pada Jumat 7 November 2025, Kejaksaan Istanbul menyebut selain Netanyahu, ada 37 pejabat Israel yang masuk daftar tersangka, termasuk Menteri Pertahanan Israel Katz, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, dan Kepala Staf Militer Letjen Eyal Zamir.

    Menurut Turki, tindakan Israel di Gaza sejak Oktober 2023 merupakan kejahatan sistematis terhadap warga sipil Palestina. Pernyataan itu menyoroti beberapa serangan besar, termasuk pengeboman Rumah Sakit Baptis Al-Ahli pada Oktober 2023 yang menewaskan 500 orang, serta penghancuran Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina pada Maret 2024.

    Israel menolak keras langkah tersebut. “Israel menolak dengan penuh penghinaan aksi humas terbaru dari tiran Erdogan,” tulis Menteri Luar Negeri Gideon Saar di platform X, dikutip dari Al-Jazeera.

    Sebaliknya, Hamas menyambut baik keputusan Turki. “Ini tindakan terpuji yang menegaskan komitmen rakyat dan pemimpin Turki terhadap keadilan dan kemanusiaan,” kata kelompok tersebut dalam pernyataannya.

    Langkah Turki ini muncul hampir setahun setelah Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) juga mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang. Turki sebelumnya juga mendukung gugatan Afrika Selatan di Mahkamah Internasional (ICJ) yang menuduh Israel melakukan genosida.

    Menurut data otoritas Gaza, lebih dari 68.000 warga Palestina tewas dan lebih dari 170.000 lainnya terluka sejak perang dimulai pada Oktober 2023. (*)

  • Akankah Gencatan Senjata Pengaruhi Kasus Kejahatan Perang Israel di Gaza?

    Akankah Gencatan Senjata Pengaruhi Kasus Kejahatan Perang Israel di Gaza?

    Jakarta

    Dalam rencana berisi 20 poin yang diusulkan Presiden Amerika Serikat (AS)Donald Trump, Jalur Gaza nantinya dikelola oleh pemerintahan teknokrat. Itu salah satu isi kesepakatan gencatan senjata yang didukung AS, yang berhasil menghentikan konflik bersenjata selama dua tahun di wilayah pesisir itu.

    Rencana itu juga menyebutkan bahwa Otoritas Palestina, yang saat ini menguasai Tepi Barat, tidak akan dilibatkan dalam pemerintahan baru di Gaza hingga mereka melakukan reformasi.

    Dalam rencana tahun 2020 tersebut, AS menyatakan hanya akan mengakui negara Palestina jika pihaknya menghentikan “perang hukum terhadap negara Israel.”

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga menyinggung hal ini saat berkunjung ke Washington bulan lalu.

    Reformasi “sejati” terhadap Otoritas Palestina, kata Netanyahu, berarti “mengakhiri perang hukum terhadap Israel di ICC (Mahkamah Pidana Internasional) dan ICJ (Mahkamah Internasional),” dua lembaga hukum internasional tempat berbagai kasus terhadap Israel sedang berjalan.

    Kasus apa saja yang ada di pengadilan Internasional?

    Kedua pengadilan itu berbasis di Belanda. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) menuntut individu yang diduga melakukan kejahatan perang, sedangkan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) menangani perkara antarnegara, biasanya terkait pelanggaran perjanjian atau konvensi.

    Pada akhir 2023, Afrika Selatan menggugat Israel di ICJ dengan tuduhan melanggar Konvensi Genosida 1948 yang disahkan PBB setelah Perang Dunia II. Keputusan kasus itu kemungkinan baru keluar paling cepat akhir 2027.

    Sementara itu, pada 2024 ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, meski tidak atas tuduhan genosida. ICC juga sempat mengeluarkan surat perintah untuk tiga pimpinan senior Hamas, tetapi dibatalkan setelah mereka tewas.

    Kemungkinan ICC juga telah menyiapkan surat perintah penangkapan untuk politisi Israel lain yang belum diumumkan secara publik. Bahkan sebelum perang terakhir, Otoritas Palestina telah meminta ICC menyelidiki situasi di wilayah Palestina yang diduduki. Permintaan seperti ini dikenal sebagai pengajuan perkara.

    Apa gencatan senjata bisa mengubah situasi?

    Jika Otoritas Palestina menarik diri dari kasus ICC, seperti yang diinginkan Netanyahu, apakah itu berarti proses hukum berakhir?

    Tidak. Otoritas Palestina menyerahkan pengajuan perkara ke ICC sejak 2018. Kasus ini telah diselidiki sejak 2021 dan mencakup dugaan pelanggaran sejak 2014, sebelum serangan Hamas pada Oktober 2023. Fokus awalnya adalah pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat.

    Pada November 2023, sejumlah negara lain seperti Afrika Selatan, Bangladesh, Bolivia, Chili, dan Meksiko ikut bergabung dalam kasus ICC tersebut, menilai situasi yang dilaporkan Otoritas Palestina memang perlu diselidiki.

    Selain itu, sejumlah organisasi HAM juga terlibat. Misalnya, hingga akhir September 2025, Reporters Without Borders telah mengajukan lima pengaduan terhadap Israel ke ICC, menuduh militer Israel sengaja menargetkan jurnalis Palestina.

    Awal bulan ini, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni mengungkapkan bahwa ia dan beberapa menteri lainnya juga dilaporkan ke ICC oleh kelompok advokasi Palestina atas tuduhan “terlibat dalam genosida,” karena Italia memasok senjata ke Israel.

    Artinya, terlepas dari sikap Otoritas Palestina, berbagai proses hukum internasional tetap akan berjalan karena banyak pihak lain juga menjadi penggugat.

    Apa gencatan senjata menyulitkan pembuktian genosida?

    Menurut para ahli hukum, gencatan senjata tidak akan mengubah jalannya kasus di ICC maupun ICJ. Fakta bahwa Israel kini menghentikan serangan udara di Gaza tidak membatalkan dugaan pelanggaran sebelumnya.

    “Semua proses hukum, baik di tingkat nasional maupun internasional, tidak akan terpengaruh oleh perkembangan terkini,” kata Kai Ambos, profesor hukum pidana internasional di Universitas Gttingen, Jerman.

    Rencana 20 poin itu juga menawarkan amnesti bagi militan Hamas yang menyerahkan senjata. Namun, menurut Ambos, amnesti seperti itu “tidak mengikat sistem peradilan nasional seperti di Jerman, maupun ICC.” Kesepakatan itu hanya mengikat pihak-pihak yang berkonflik.

    “Gencatan senjata tidak akan berpengaruh terhadap penuntutan atau akuntabilitas atas kejahatan masa lalu di kedua sisi,” ujar Susan Akram, Direktur Klinik HAM Internasional di Fakultas Hukum Universitas Boston.

    Dia menambahkan masalah justru mungkin muncul dari sisi pembuktian karena banyak bukti kemungkinan hilang di bawah reruntuhan di Gaza, sementara ribuan saksi, termasuk ratusan jurnalis, telah tewas.

    Namun, Akram menambahkan, banyak bukti sudah terkumpul. Komisi Penyelidikan PBB untuk Wilayah Pendudukan Palestina yang pada September lalu menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza, memiliki basis data sendiri yang kemungkinan akan digunakan di pengadilan.

    Dampak pada kasus di pengadilan Jerman

    Hal ini juga berlaku untuk kasus yang diajukan di Jerman. Dalam waktu dekat, gugatan yang diajukan oleh Pusat Eropa untuk Hak Konstitusional dan Hak Asasi Manusia (European Center for Constitutional and Human Rights/ECCHR) terhadap pemerintah Jerman akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi Federal. ECCHR berpendapat Jerman seharusnya tidak mengekspor senjata atau komponen senjata ke Israel.

    “Secara non-hukum, wajar bila ada yang bertanya apakah situasi terbaru bisa berdampak pada kasus ini,” kata Alexander Schwarz, salah satu direktur program kejahatan internasional di ECCHR. “Namun secara hukum, gencatan senjata, berapa pun lamanya, tidak mengubah dasar hukum klaim kami.”

    Menurutnya, kasus ECCHR hanya menilai situasi hingga Januari 2025. Selain itu, aturan perdagangan senjata internasional mewajibkan Jerman untuk menilai apakah senjata ekspor mereka berpotensi digunakan dalam kejahatan perang.

    Pada Agustus lalu, Jerman sempat menangguhkan sebagian izin ekspor senjata ke Israel. Namun setelah gencatan senjata diumumkan, sejumlah politisi Jerman menyerukan agar pembatasan itu dicabut.

    “Setelah dua tahun pelanggaran sistematis terhadap hukum kemanusiaan oleh Israel, risiko bahwa senjata Jerman akan digunakan dalam kejahatan perang masih sangat nyata. Butuh waktu sebelum Jerman bisa kembali mengekspor senjata ke Israel secara sah,” ujar Schwarz.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Prita Kusumaputri

    Editor: Yuniman Farid

    (haf/haf)

  • Dua Tahun Perang Gaza, Apa yang Telah Dicapai Israel?

    Dua Tahun Perang Gaza, Apa yang Telah Dicapai Israel?

    Jakarta

    Serangan 7 Oktober 2023 membuat Israel lengah. Pada hari itu, pejuang Hamas dan milisi bersenjata lainnya berhasil menembus perbatasan yang dijaga ketat di Gaza dan melancarkan serangan ke wilayah Israel, menewaskan hampir 1.200 orang serta menyandera 251 lainnya. Pengalaman ini meninggalkan trauma mendalam yang masih dirasakan hingga kini di Israel.

    Pada 8 Oktober 2023, pemerintah Israel melancarkan serangan ke Gaza. Dua tahun kemudian, penderitaan besar menimpa warga Palestina di wilayah itu. Operasi militer Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah menewaskan sedikitnya 66.000 orang, sekitar 80% di antaranya warga sipil, dan melukai sekitar 169.000 orang, menurut estimasi konservatif dari Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas. Lembaga internasional memperkirakan jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi.

    Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) melaporkan bahwa 90% rumah di Gaza telah hancur atau rusak, membuat 1,9 juta dari 2,1 juta penduduknya kehilangan tempat tinggal. Karena “blokade total” yang diberlakukan Israel, sebagian besar wilayah Gaza mengalami kelaparan parah yang telah menewaskan sedikitnya 450 orang, termasuk 150 anak-anak.

    Tujuan perang Israel belum tercapai

    Setelah serangan 7 Oktober, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menetapkan dua tujuan utama perang di Gaza: membebaskan semua sandera dan menghancurkan Hamas. Dua tahun berlalu, keduanya belum tercapai. Dari 251 sandera yang dibawa ke Gaza, 148 telah dikembalikan hidup-hidup, delapan diselamatkan oleh IDF dan 140 dibebaskan Hamas melalui pertukaran tahanan. Jenazah beberapa sandera yang tewas juga telah dikembalikan.

    Menurut pemerintah Israel, 48 sandera masih ditahan, dan hanya 20 yang diyakini masih hidup.

    Hamas, yang oleh Israel, Uni Eropa, dan AS dikategorikan sebagai organisasi teroris, masih bertahan di Gaza meski banyak anggotanya tewas. Beberapa pemimpinnya, termasuk Ismail Haniyeh dan Yahya Sinwar, telah terbunuh. Namun, organisasi itu tetap beroperasi.

    Pada akhir September 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana perdamaian 20 poin untuk Gaza yang menyerukan pembebasan seluruh sandera dan perlucutan senjata Hamas, dengan amnesti bagi para pejuang yang bersedia hidup damai dengan Israel, yang berarti akhir dari Hamas sebagai milisi bersenjata.

    Musuh-musuh Israel melemah

    Israel melancarkan serangan terhadap semua kelompok tersebut, termasuk membunuh pemimpin Hezbollah Hassan Nasrallah lewat ledakan di Beirut dan puluhan pejuang Hezbollah melalui serangan alat elektronik yang diledakkan pada September 2024. Serangan udara di Lebanon selatan semakin melemahkan Hezbollah.

    Angkatan udara Israel juga menyerang Iran selama beberapa hari, merusak fasilitas nuklir, dan membunuh Ismail Haniyeh di pusat kota Teheran, yang mempermalukan rezim Iran.

    Runtuhnya pemerintahan Bashar Assad di Suriah oleh pemberontak pada akhir 2024 juga membuat Iran kehilangan sekutu penting. Akibatnya, lawan-lawan Israel di Iran, Suriah, Lebanon, dan Gaza mengalami kemunduran besar, memperkuat dominasi militer Israel di kawasan.

    Israel dituduh lakukan genosida

    Cara Israel menjalankan perangnya di Gaza memicu kecaman internasional. Selama dua tahun, Israel mengebom rumah sakit, kamp pengungsi, dan sekolah, menewaskan ribuan perempuan dan anak-anak, serta banyak jurnalis, petugas penyelamat, dan pekerja kemanusiaan. Israel juga berulang kali menghalangi bantuan kemanusiaan dengan alasan untuk mencegahnya jatuh ke tangan Hamas.

    Tindakan ini memunculkan tuduhan bahwa Israel melakukan genosida terhadap rakyat Palestina. Komisi HAM PBB, Asosiasi Internasional Cendekia Genosida, dan organisasi HAM Israel seperti B’Tselem serta Physicians for Human Rights menuduh hal serupa. Pemerintah Netanyahu membantahnya, menyatakan bahwa tidak ada bukti dan Israel berhak membela diri.

    Pada Desember 2023, Afrika Selatan menggugat Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ) atas pelanggaran Konvensi Genosida PBB. Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant, atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Israel menolak tuduhan itu, dan Hungaria bahkan menarik diri dari ICC.

    Pengakuan negara Palestina

    Kondisi kemanusiaan di Gaza mendorong dukungan bagi pengakuan negara Palestina. Sebelum 7 Oktober 2023, sekitar 140 negara telah melakukannya. Dua tahun kemudian, 20 negara tambahan, termasuk Prancis, Inggris, Spanyol, Australia, dan Kanada, juga resmi mengakui Palestina.

    Langkah ini menegaskan dukungan terhadap solusi dua negara, yakni kemerdekaan Palestina berdampingan dengan Israel. Netanyahu menilai pengakuan itu akan “menghadiahi Hamas,” namun negara-negara tersebut menegaskan bahwa Hamas tidak akan memiliki peran dalam negara Palestina yang merdeka.

    Sejumlah negara juga menangguhkan ekspor senjata ke Israel dan memberlakukan sanksi, seperti yang dilakukan Kolombia, Afrika Selatan, dan Malaysia. Uni Eropa sedang membahas sanksi ekonomi, termasuk pembekuan perjanjian asosiasi UE-Israel, pembatasan perjalanan bebas visa bagi warga Israel, dan pelarangan impor dari pemukiman di Tepi Barat. Namun, Jerman dan beberapa negara anggota UE lainnya menolak langkah tersebut.

    Perpecahan di dalam Israel

    Di dalam negeri, masyarakat Israel terbelah soal apakah perang di Gaza harus diteruskan. Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dari kelompok sayap kanan mendukung operasi militer berlanjut, bahkan menyarankan aneksasi penuh Tepi Barat, yang berarti mengakhiri peluang solusi dua negara.

    Namun, kelompok keluarga sandera, veteran militer, dan warga Arab Israel telah berbulan-bulan menggelar demonstrasi, menuntut gencatan senjata dan solusi negosiasi. Mereka merasa diabaikan oleh pemerintah.

    Menurut survei yang dirilis Juli 2025, lebih dari 60% warga Israel mendukung gencatan senjata.

    Jika rencana perdamaian Trump untuk Gaza diterapkan, senjata mungkin akan terdiam untuk sementara, namun luka yang ditinggalkan perang ini mungkin memerlukan waktu puluhan tahun untuk sembuh.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Rahka Susanto

    Editor: Yuniman Farid

    (ita/ita)

  • Terungkap Rute Panjang Netanyahu ke New York Agar Tak Ditangkap

    Terungkap Rute Panjang Netanyahu ke New York Agar Tak Ditangkap

    Jakarta

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengambil rute yang tidak biasa dan lebih panjang dalam penerbangan ke New York, Amerika Serikat (AS). Rute ini diambil agar ia tak ditangkap Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

    Sebagaimana diketahui, tahun lalu ICC telah menerbitkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Israel Yoav Gallant pekan lalu atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam perang Israel melawan Hamas di Jalur Gaza yang berkecamuk sejak Oktober tahun 2023.

    Dalam pengumumannya pada 21 November 2024, ICC menyatakan pihaknya menemukan “alasan yang masuk akal” untuk meyakini Netanyahu dan Gallant memikul “tanggung jawab secara pidana” atas kejahatan perang berupa kelaparan sebagai metode perang di Jalur Gaza dan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, penganiayaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya terhadap warga Palestina.

    Netanyahu mengecam perintah penangkapan untuk dirinya dan menuduh ICC melakukan langkah anti-Semitisme.

    Dengan perintah penangkapan itu, Netanyahu terancam ditangkap jika menginjakkan kaki di sebanyak 124 negara anggota ICC yang menandatangani Statuta Roma. Beberapa negara yang menolak untuk menangkap Netanyahu, seperti Prancis, merupakan anggota ICC yang seharusnya wajib mematuhi perintah penangkapan itu.

    Dukungan untuk ICC

    Pekan lalu, Spanyol mengumumkan akan mendukung penyelidikan ICC dan memberikan bantuan dengan membentuk tim khusus untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Jalur Gaza. Madrid menyebutnya sebagai bagian upaya lebih luas untuk menekan Israel agar mengakhiri perang Gaza.

    Netanyahu dijadwalkan berpidato di Sidang Umum PBB pada Jumat (26/9) waktu AS. Dia juga akan melakukan pertemuan dengan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih pekan depan.

    Terbang Ambil Jalur Lain

    Netanyahu dalam penerbangan ke New York, Amerika Serikat (AS), pada Kamis (25/9) waktu setempat, dalam rangka menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Pesawat yang membawa Netanyahu, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Jumat (26/9/2025), tampak menghindari beberapa negara Eropa dalam penerbangannya demi menghindari risiko penangkapan berdasarkan surat perintah penangkapan yang dirilis oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

    Meskipun seorang sumber diplomatik Prancis yang berbicara kepada AFP mengatakan bahwa otoritas Paris mengizinkan Israel menggunakan wilayah udaranya, data pelacakan penerbangan menunjukkan pesawat yang membawa Netanyahu justru mengambil rute selatan.

    Pesawat Netanyahu itu, menurut data pelacakan penerbangan pada Kamis (25/9), terbang melintasi Yunani dan Italia, kemudian berbelok ke jalur selatan melintasi Selat Gibraltar sebelum melanjutkan penerbangan ke Atlantik.

    Prancis, bersama Inggris dan Portugal, termasuk di antara sejumlah negara yang pekan ini memberikan pengakuan resmi untuk negara Palestina. Langkah semacam itu ditentang keras oleh Netanyahu.

    Irlandia dan Spanyol telah terlebih dahulu mengumumkan pengakuan mereka untuk negara Palestina pada Mei lalu.

    Sementara itu, laporan media lokal Israel menyebut pengalihan rute pesawat Netanyahu dimaksudkan untuk menghindari negara-negara yang menandatangani Statuta Roma, yang dapat mengeksekusi surat perintah penangkapan yang dikeluarkan ICC jika terjadi pendaratan darurat.

    Lihat juga Video Pesan UNRWA untuk Netanyahu Tentang Gaza: Akhiri Neraka Ini

    Halaman 2 dari 3

    (rdp/rdp)

  • Hamas Rilis ‘Foto Perpisahan’ Tampilkan Wajah 47 Tawanan Israel

    Hamas Rilis ‘Foto Perpisahan’ Tampilkan Wajah 47 Tawanan Israel

    GELORA.CO –  Kelompok perlawanan Palestina Hamas pada Sabtu (20/9) merilis sebuah foto yang memperlihatkan 47 tawanan Israel, yang disebutkan diambil pada awal serangan militer Israel baru-baru ini di Kota Gaza. Foto itu disertai keterangan dalam bahasa Arab dan Ibrani yang menerangkan bahwa mereka ditawan akibat “sikap keras kepala” Benjamin Netanyahu dan kepatuhan Kepala Staf Umum Eyal Zamir kepada pemimpin Israel itu.

    “Ini adalah foto perpisahan di awal operasi di Gaza,” sebut keterangan foto itu.

    Hamas menyiarkan foto tersebut di situs resmi mereka, seraya menegaskan bahwa nasib para tawanan bergantung pada keputusan politik pimpinan Israel. Kelompok perlawanan itu berulang kali mengusulkan kesepakatan dengan Israel untuk membebaskan seluruh tawanan dengan imbalan pembebasan tahanan Palestina, penghentian perang di Gaza, dan penarikan penuh pasukan Israel.

    Namun, Netanyahu menolak usulan itu dan hanya membuka ruang untuk kesepakatan parsial yang dinilai memberi celah baginya untuk memperpanjang perang. Banyak pihak, termasuk di Israel, menuding Netanyahu sengaja memperlama konflik demi kepentingan politiknya sendiri dan mengabaikan keselamatan para sandera.

    Pada 9 September, Israel menyerang kawasan permukiman di Doha, Qatar, yang menewaskan lima pemimpin Hamas yang sedang berada di sana untuk membahas usulan AS demi berakhirnya perang di Gaza. Sejak Oktober 2023, hampir 65.000 warga Palestina dilaporkan telah tewas akibat agresi militer Israel.

    Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan menteri pertahanannya, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Jalur Gaza. Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perang yang dilancarkannya terhadap wilayah kantong Palestina itu.

    Pejabat senior Hamas Bassem Naim mengatakan negosiasi dengan Israel tidak akan membuahkan kesepakatan selama Tel Aviv terus melancarkan agresi ke Jalur Gaza. Naim pun mengisyaratkan bahwa perlawanan terhadap Israel tidak akan berhenti jika perundingan tak mencapai titik temu.

    “Kami menegaskan posisi Qatar bahwa agresi yang berkelanjutan membuat negosiasi menjadi sia-sia,” kata Naim seperti diberitakan laman Middle East Monitor pada Jumat (19/9/2025).

    Qatar diketahui mengambil peran sebagai mediator dalam perundingan antara Hamas dan Israel. “Apa yang gagal dicapai oleh pendudukan Israel melalui negosiasi, tidak akan tercapai melalui ancaman dan operasi militer di lapangan,” tambah Naim.

    Dia kemudian menyoroti operasi darat militer Israel di Kota Gaza. Naim memperingatkan bahwa ambisi Israel merebut kendali dan menguasai Kota Gaza akan menghadapi perlawanan sengit.

    “Apa yang terjadi pada rakyat kami selama serangan di Kota Gaza juga akan berdampak pada para tahanan Israel,” ujar Naim.

  • Setelah PBB Bilang Israel Genosida di Gaza, Lantas Apa?

    Setelah PBB Bilang Israel Genosida di Gaza, Lantas Apa?

    Jakarta

    Komisi Penyelidik PBB telah menyatakan Israel melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza. PBB menilai Israel telah memenuhi empat dari lima kriteria tindakan yang dikatergorikan hukum internasional sebagai genosida.

    Seperti dikutip BBC, Rabu (17/9), keempat kriteria tersebut mencakup membunuh sejumlah anggota sebuah kelompok, menyebabkan penderitaan fisik serta mental secara serius, sengaja menciptakan kondisi yang bisa menghancurkan kelompok tersebut, dan mencegah kelahiran. Komisi Penyelidik PBB juga mengutip pernyataan sejumlah pemimpin Israel dan menjabarkan pola militer yang mereka lakukan di Gaza untuk membuktikan genosida di Gaza.

    Kementerian Luar Negeri Israel tak terima dan menyangkal laporan tersebut dengan menyebutnya ‘menyimpang dan palsu’. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel juga menuding tiga pakar dalam komisi itu sebagai ‘proksi Hamas’ dan hanya mengandalkan ‘kebohongan Hamas yang telah berulang kali dipatahkan’.

    “Berbanding terbalik dengan kebohongan dalam laporan itu, Hamas lah yang justru mencoba melakukan genosida di Israel membunuh 1.200 orang, memerkosa perempuan, membakar keluarga hidup-hidup, dan secara terbuka menyatakan tujuannya membunuh setiap orang Yahudi,” lanjut Kementerian Luar Negeri Israel.

    Militer Israel melancarkan serangan ke Gaza sejak 7 Oktober 2023 yang diklaim sebagai respons atas serangan Hamas ke Israel Selatan. Ribuan orang tewas dan ratusan orang disandera.

    Menurut Kementerian Kesehatan Hamas, serangan Israel membuat mayoritas penduduk Gaza mengungsi, lebih dari 90% rumah rusak atau hancur dan sistem kebersihan, kesehatan, dan air kolaps.

    Komisi Penyelidik Internasional Independen (COI) untuk Wilayah Palestina dibentuk Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB pada 2021 untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hukum humaniter internasional dan HAM. Komisi ini dipimpin Navi Pillay, mantan Ketua HAM PBB asal Afrika Selatan yang juga sempat memimpin pengadilan internasional soal genosida di Rwanda.

    Komisi kemudian menganalisis pernyataan para pemimpin Israel. Komisi mendapati bahwa para pemimpin Israel seperti Presiden Isaac Herzog, PM Benjamin Netanyahu, dan mantan Menhan Yoav Gallant telah “menghasut terjadinya genosida”.

    Dalam kesimpulannya, komisi itu juga menyebut “niat genosida adalah satu-satunya kesimpulan yang masuk akal” dari pola dan tindakan otoritas serta militer Israel di Gaza.

    “Sejak 7 Oktober 2023, Perdana Menteri [Benjamin] Netanyahu berjanji bakal melakukan ‘balas dendam besar’ ke ‘semua tempat di mana Hamas bersembunyi, kota terkutuk itu, akan kami jadikan puing’,” kata Pillay ke BBC.

    “Frasa ‘kota terkutuk’ dalam pernyataan yang sama juga menyiratkan bahwa seluruh Gaza dianggap [Netanyahu] bersalah dan dijadikan target balas dendam. Ia juga menyebut warga Palestina harus ‘segera pergi karena kami akan beroperasi dengan keras di mana-mana’.”

    Pillay menambahkan, “Perlu dua tahun buat kami [Komisi Penyelidik] mengumpulkan semua bukti dan memastikan faktanya Dan Konvensi Genosida baru bisa dipakai kalau tindakan-tindakan itu memang dilakukan dengan niat tersebut.”

    Ia menyebut, tindakan para pemimpin politik dan militer Israel dapat “dihubungkan langsung ke negara Israel”,

    Dengan demikian, terang Komisi Penyelidik PBB, Israel “bertanggung jawab atas kegagalan mencegah genosida, melakukan genosida, dan gagal menghukum pelakunya.”

    Selain itu, Komisi juga memperingatkan negara lain untuk ‘mencegah dan menghukum kejahatan genosida’ dengan segala cara yang ada. Kalau tidak, terang Komisi, negara-negara itu bisa dianggap ikut terlibat.

    “Kami belum sejauh itu untuk menyebut pihak mana yang ikut bersekongkol atau terlibat genosida. Namun, itu bagian dari kerja kami yang masih berjalan. Nanti akan sampai ke sana,” kata Pillay.

    Tudingan genosida terhadap Israel seperti disampaikan Komisi Penyelidik PBB bukan yang pertama. Sebelumnya, sejumlah organisasi HAM internasional, pakar independen PBB, serta akademisi juga menuding Israel telah melakukan genosida di Gaza.

    Harap Pimpinan Israel Segera Diadili

    Pillay mengatakan dirinya melihat kesamaan apa yang terjadi di Gaza dengan pembantaian yang terjadi di Rwanda. Pillay mengharapkan para pemimpin Israel akan diadili dan dijebloskan ke penjara.

    Pillay pernah memimpin pengadilan internasional untuk genosida Rwanda tahun 1994 silam dan juga menjabat sebagai kepala hak asasi manusia PBB. Dalam wawancara dengan AFP, Pillay mengakui keadilan merupakan “proses yang lambat”. Namun dia mengutip pernyataan mendiang ikon anti-apartheid Afrika Selatan, Nelson Mandela, yang mengatakan bahwa “selalu terasa mustahil sampai hal itu terjadi”.

    “Saya menganggap bukannya tidak mungkin akan ada penangkapan dan pengadilan (di masa mendatang),” katanya.

    Namun bagi Pillay, kesamaan apa yang terjadi di Jalur Gaza dengan Rwanda — tempat sekitar 800.000 orang, sebagian besar etnis Tutsi dan Hutu, dibantai — sudah jelas. Sebagai ketua Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda, Pillay mengatakan dirinya menyaksikan rekaman warga sipil dibunuh dan disiksa yang membekas “seumur hidup” baginya.

    Dikatakan oleh Pillay bahwa “saya melihat kemiripan” dengan apa yang terjadi di Jalur Gaza dan Rwanda. Dia juga menyebut soal “metode yang sama”.

    “Semua bukti (menunjukkan) bahwa Palestina sebagai kelompok yang menjadi sasaran (di Jalur Gaza),” sebutnya.

    Dalam kedua kasus itu, menurut Pillay, populasi yang menjadi target telah mengalami “dehumanisasi” atau dihilangkan harkat kemanusiaannya, yang menandakan bahwa “tidak apa-apa untuk membunuh mereka”.

    Akan Susun Daftar Tersangka untuk Pelanggaran di Gaza

    Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah merilis surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant atas dugaan kejahatan perang. Pillay mengakui mengamankan akuntabilitas tidak akan mudah, dan menekankan bahwa ICC “tidak memiliki sheriff atau kepolisian sendiri untuk melakukan penangkapan”

    Namun dia juga menekankan bahwa tuntutan rakyat dapat membawa perubahan mendadak, seperti yang terjadi di negara asalnya, Afrika Selatan. “Saya tidak pernah menyangka apartheid akan berakhir semasa hidup saya,” ucapnya.

    Pillay menambahkan bahwa ke depannya, COI akan menyusun daftar tersangka pelaku pelanggaran-pelanggaran di Jalur Gaza, dan juga menyelidiki dugaan “keterlibatan” negara-negara pendukung Israel.

    Namun pekerjaan itu sementara akan diserahkan kepada penggantinya, karena Pillay yang berusia 83 tahun ini akan meninggalkan COI pada November, dengan alasan usia dan masalah kesehatannya.

    Israel, seperti pernyataan yang sudah-sudah menyebut kasus itu “sama sekali tidak berdasar” dan dibangun di atas “klaim palsu dan bias”.

    Mereka pun berkeras bahwa operasi militer yang dilakukan hanya ditujukan untuk melumpuhkan Hamas bukan warga Gaza. Mereka juga mengklaim para tentara telah mengikuti hukum internasional dan berusaha meminimalisasi jatuhnya korban sipil.

    Halaman 2 dari 3

    (idn/rfs)

  • Bantu ICC, Spanyol Akan Selidiki Pelanggaran HAM di Gaza

    Bantu ICC, Spanyol Akan Selidiki Pelanggaran HAM di Gaza

    Madrid

    Spanyol mengumumkan akan menyelidiki “pelanggaran hak asasi manusia di Gaza” untuk membantu Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang telah merilis surat perintah penangkapan bagi Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dan pejabat-pejabat Israel lainnya atas dugaan kejahatan perang.

    Kantor Jaksa Agung Spanyol dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Kamis (18/9/2025), mengatakan bahwa Jaksa Agung Spanyol Alvaro Garcia Ortiz telah “mengeluarkan dekrit untuk membentuk tim kerja yang bertugas menyelidiki pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional di Gaza”.

    Misi tim investigasi ini, menurut Kantor Jaksa Agung Spanyol, akan “mengumpulkan bukti dan menyediakannya bagi badan yang berwenang, sehingga memenuhi kewajiban Spanyol terkait kerja sama internasional dan hak asasi manusia”.

    “Menghadapi situasi terkini di wilayah Palestina, semua bukti, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat dikumpulkan di negara kami mengenai kejahatan yang dilakukan di Gaza harus disertakan (untuk potensi penggunaan dalam kasus ICC),” demikian pernyataan Kantor Jaksa Agung Spanyol.

    ICC telah menerbitkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam operasi militer Israel di Jalur Gaza.

    Spanyol juga telah bergabung dalam kasus di hadapan pengadilan dunia lainnya, Mahkamah Internasional (ICJ), yang menuduh Israel melakukan genosida di Gaza.

    Kedua pengadilan internasional yang berkantor di Den Haag itu menuai kritikan keras dari Israel dan sekutu-sekutunya. Pada Februari lalu, Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi kepada ICC, dengan menyebut pengadilan itu telah “menyalahgunakan wewenangnya” dengan merilis surat perintah penangkapan Netanyahu.

    Israel menggugat yurisdiksi ICC yang beranggotakan 125 negara dalam kasus tersebut.

    Langkah Spanyol ini diambil saat hubungan negara itu dengan Israel semakin memburuk beberapa waktu terakhir. Israel telah menarik pulang Duta Besarnya dari Madrid tahun lalu setelah Spanyol mengakui negara Palestina.

    Pekan lalu, Spanyol memanggil pulang Duta Besarnya dari Tel Aviv setelah Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar menuduh Madrid melakukan antisemitisme. Perselisihan semakin memanas menyusul langkah-langkah yang diumumkan PM Pedro Sanchez untuk menghentikan apa yang disebutnya sebagai “genosida di Gaza”.

    Lihat juga Video: AS Selidiki Dugaan Pelanggaran HAM Israel di Gaza

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Krisis Gaza Makin Parah, Uni Eropa Siapkan Sanksi Baru untuk Israel

    Krisis Gaza Makin Parah, Uni Eropa Siapkan Sanksi Baru untuk Israel

    Brussels

    Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Kaja Kallas mengajukan proposal untuk membatasi perdagangan dengan Israel, serta memberlakukan pembatasan terhadap para menteri Israel dari sayap kanan, seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir hingga Menteri Keuangan Bezalel Smotrich.

    “Saya jelaskan, tujuannya bukan untuk menghukum Israel. Tujuannya untuk memperbaiki situasi kemanusiaan di Gaza,” kata Kaja Kallas. “Perang perlu diakhiri. Penderitaan harus dihentikan dan semua sandera harus dibebaskan.”

    Hanya saja dari 27 negara anggota blok tersebut, masih belum dapat dipastikan akan ada suara mayoritas yang mendukung usulan Kaja Kallas. UE sendiri telah dikritik karena gagal menekan Israel untuk mengakhiri perang.

    Sebelumnya, juru bicara pemerintah Jerman mengatakan bahwa Berlin sudah mengetahui dukungan itu, hanya saja “belum menentukan keputusan akhir” terkait langkah-langkah yang diusulkan.

    Kemudian, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen juga sempat mengumumkan bahwa UE akan menghentikan bantuan dana kepada Israel. Serta, pihak eksekutif organisasi itu sedang mempertimbangkan langkah-langkah lebih lanjut.

    Pada Selasa (16/09), Menteri Luar Negeri (Menlu) Israel Gideon Saar mengatakan bahwa penangguhan manfaat perdagangan tertentu yang diberlakukan UE “tidak proporsional” dan “tidak pernah terjadi sebelumnya.”

    Di tengah diskusi soal hal tersebut, Israel terus mengirim pasukannya semakin jauh ke Kota Gaza.

    Militer Israel makin bergerak ke dalam Kota Gaza

    Militer Israel mengatakan bahwa unit angkatan udara dan artileri telah menyerang Gaza lebih dari 150 kali, di saat pasukan darat bersiap untuk bergerak masuk.

    Pada Rabu (17/09), pasukan dan tank Israel bergerak lebih dalam ke Kota Gaza. Sejauh ini, Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas melaporkan bahwa jumlah kematian warga Palestina lebih dari 65.000 jiwa.

    Serangan-serangan tersebut telah memutus layanan telepon dan internet, yang mengakibatkan warga Palestina kesulitan untuk memanggil ambulans selama serangan militer terbaru tersebut.

    Belakangan, Israel membuka wilayah lain di selatan Kota Gaza selama dua hari sejak Rabu (17/09) agar penduduk dapat mengungsi.

    UNICEF: Pengungsi Gaza mengalami trauma

    Ketika Israel melanjutkan aktivitasnya di Kota Gaza, diperkirakan sedikitnya 400.000 orang atau 40% dari penduduk Kota Gaza telah melarikan diri sejak pengumuman serangan militer Tel Aviv pada 10 Agustus 2025.

    Kantor media di Gaza mengatakan bahwa 190.000 orang telah menuju ke selatan dan 350.000 lainnya pindah ke area tengah dan barat kota. Sementara, Israel masih memperkirakan sekitar 100.000 warga sipil tetap berada di Gaza.

    Kepada DW, jubir UNICEF di Gaza Tess Ingram mengatakan bahwa warga Palestina mengaku takut tidak aman, entah ketika menetap di Gaza atau menyelamatkan diri.

    Zona kemanusiaan Al Mawasi, kata Tess Ingram, bukanlah tempat yang aman karena tidak ada layanan dan pasokan penting untuk bertahan hidup. Selain itu, dalam dua minggu terakhir, kawasan ini dilaporkan menerima serangan yang menewaskan delapan orang anak saat korban berupaya mengakses air minum.

    “Para keluarga kelelahan, mereka trauma. Ada anak-anak yang berjalan enam jam di atas puing-puing dan aspal yang hancur tanpa alas kaki dan kaki mereka berdarah. Mereka berjalan menuju ketidakpastian,” papar Ingram.

    Terlepas dari kehadiran UNICEF di Kota Gaza dan di selatan wilayah tersebut, tegas Ingram, bantuan kemanusiaan saat ini tidak memenuhi kebutuhan warga, “belum lagi jika ratusan ribu orang mendatangi area ini.”

    “Kami sangat membutuhkan, sekarang lebih dari sebelumnya, supaya semua penyeberangan ke Jalur Gaza dibuka, agar Jalur Gaza diberikan bantuan yang telah kami serukan selama berbulan-bulan,” desaknya.

    Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Laporan PBB soal genosida Israel

    Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB mengatakan bahwa Israel telah melakukan genosida di Jalur Gaza sejak 2023.

    Penyidik mengatakan bahwa empat dari lima tindakan genosida yang tercantum dalam Konvensi Genosida PBB 1948 telah dilakukan di Gaza.

    Mereka menyebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden Isaac Herzog dan Mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant sebagai terduga perencana genosida.

    Laporan tersebut sejalan dengan kesimpulan yang disampaikan oleh berbagai asosiasi terkemuka dunia para sarjana genosida, hingga sejumlah kelompok hak asasi internasional.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi dan Adelia Dinda Sani

    Editor: Tezar Aditya dan Hani Anggraini

    (nvc/nvc)

  • Penyelidik PBB Berharap Pemimpin Israel Diadili terkait Genosida di Gaza

    Penyelidik PBB Berharap Pemimpin Israel Diadili terkait Genosida di Gaza

    Jenewa

    Seorang penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Navi Pillay, yang pekan ini menuduh Israel melakukan genosida di Jalur Gaza, mengatakan dirinya melihat kesamaan dengan pembantaian yang terjadi di Rwanda. Pillay mengharapkan para pemimpin Israel akan diadili dan dijebloskan ke penjara.

    Pillay, yang seorang mantan hakim Afrika Selatan ini, seperti dilansir AFP, Kamis (18/9/2025), pernah memimpin pengadilan internasional untuk genosida Rwanda tahun 1994 silam dan juga menjabat sebagai kepala hak asasi manusia PBB.

    Dalam wawancara dengan AFP, Pillay mengakui bahwa keadilan merupakan “proses yang lambat”. Namun dia mengutip pernyataan mendiang ikon anti-apartheid Afrika Selatan, Nelson Mandela, yang mengatakan bahwa “selalu terasa mustahil sampai hal itu terjadi”.

    “Saya menganggap bukannya tidak mungkin akan ada penangkapan dan pengadilan (di masa mendatang),” katanya.

    Komisi Penyelidikan Internasional Independen (COI) yang dipimpin Pillay, yang tidak mewakili PBB secara resmi, baru saja merilis laporan mengejutkan pada Selasa (16/9) yang menyimpulkan bahwa “genosida sedang terjadi di Gaza” — tuduhan yang dibantah keras oleh Israel.

    Para penyelidik COI juga menyimpulkan bahwa Presiden Israel Isaac Herzog, Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Yoav Gallant telah “menghasut dilakukannya genosida”.

    Israel dengan tegas menolak temuan penyelidikan tersebut, dan mengecam laporan itu sebagai “distorsi dan keliru”.

    Namun bagi Pillay, kesamaan apa yang terjadi di Jalur Gaza dengan Rwanda — tempat sekitar 800.000 orang, sebagian besar etnis Tutsi dan Hutu, dibantai — sudah jelas. Sebagai ketua Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda, Pillay mengatakan dirinya menyaksikan rekaman warga sipil dibunuh dan disiksa yang membekas “seumur hidup” baginya.

    Pemimpin Komisi Penyelidikan Internasional Independen (COI), Navi Pillay, yang menuduh Israel melakukan genosida di Gaza Foto: AFP

    Dikatakan oleh Pillay bahwa “saya melihat kemiripan” dengan apa yang terjadi di Jalur Gaza dan Rwanda. Dia juga menyebut soal “metode yang sama”.

    “Semua bukti (menunjukkan) bahwa Palestina sebagai kelompok yang menjadi sasaran (di Jalur Gaza),” sebutnya.

    Para pemimpin Israel, kata Pillay, telah melontarkan pernyataan yang mengingatkan pada retorika jahat yang juga digunakan selama genosida Rwanda. Dia membandingkan komentar pemimpin Israel yang menyebut warga Palestina sebagai “binatang”, dengan komentar ketika Tutsi disebut “kecoak”.

    Dalam kedua kasus, menurut Pillay, populasi yang menjadi target telah mengalami “dehumanisasi” atau dihilangkan harkat kemanusiaannya, yang menandakan bahwa “tidak apa-apa untuk membunuh mereka”.

    Akan Susun Daftar Tersangka untuk Pelanggaran di Gaza

    Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah merilis surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant atas dugaan kejahatan perang. Pillay mengakui bahwa mengamankan akuntabilitas tidak akan mudah, dan menekankan bahwa ICC “tidak memiliki sheriff atau kepolisian sendiri untuk melakukan penangkapan”

    Namun dia juga menekankan bahwa tuntutan rakyat dapat membawa perubahan mendadak, seperti yang terjadi di negara asalnya, Afrika Selatan. “Saya tidak pernah menyangka apartheid akan berakhir semasa hidup saya,” ucapnya.

    Pillay menambahkan bahwa ke depannya, COI akan menyusun daftar tersangka pelaku pelanggaran-pelanggaran di Jalur Gaza, dan juga menyelidiki dugaan “keterlibatan” negara-negara pendukung Israel.

    Namun pekerjaan itu sementara akan diserahkan kepada penggantinya, karena Pillay yang berusia 83 tahun ini akan meninggalkan COI pada November, dengan alasan usia dan masalah kesehatannya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Komisi Penyelidik PBB Nyatakan Israel Lakukan Genosida di Gaza

    Komisi Penyelidik PBB Nyatakan Israel Lakukan Genosida di Gaza

    Jenewa

    Komisi Penyelidik PBB menyatakan Israel telah melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza. Komisi itu menyebut Tel Aviv telah memenuhi empat dari lima kriteria tindakan yang dikategorikan hukum internasional sebagai genosida.

    Keempat kriteria tersebut mencakup membunuh sejumlah anggota sebuah kelompok, menyebabkan penderitaan fisik serta mental secara serius, sengaja menciptakan kondisi yang bisa menghancurkan kelompok tersebut, dan mencegah kelahiran.

    Dalam pertimbangan untuk membuktikan adanya genosida, Komisi Penyelidik PBB turut menyitir pernyataan sejumlah pemimpin Israel dan menjabarkan pola militer yang mereka lakukan di Gaza.

    Kementerian Luar Negeri Israel menyangkal laporan tersebut, menyebutnya “menyimpang dan palsu.”

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel juga menuding tiga pakar dalam komisi itu sebagai “proksi Hamas” dan hanya mengandalkan “kebohongan Hamas yang telah berulang kali dipatahkan.”

    “Berbanding terbalik dengan kebohongan dalam laporan itu, Hamas lah yang justru mencoba melakukan genosida di Israel membunuh 1.200 orang, memerkosa perempuan, membakar keluarga hidup-hidup, dan secara terbuka menyatakan tujuannya membunuh setiap orang Yahudi,” lanjut Kementerian Luar Negeri Israel.

    Militer Israel melancarkan serangan ke Gaza pada 7 Oktober 2023 yang diklaim sebagai respons atas serangan Hamas ke Israel Selatan. Serangan itu menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 orang.

    Kementerian Kesehatan Hamas menyatakan korban akibat serangan Israel ke Gaza sejatinya jauh lebih besar, mencapai setidaknya 64.905 orang.

    Serangan berkepanjangan, menurut Kementerian Kesehatan Hamas, telah membuat mayoritas penduduk Gaza mengungsi; lebih dari 90% rumah rusak atau hancur; dan sistem kebersihan, kesehatan, dan air kolaps.

    Pakar ketahanan pangan PBB juga menyebut Gaza telah mengalami bencana kelaparan.

    Komisi Penyelidik Internasional Independen untuk Wilayah Palestina dibentuk Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB pada 2021 untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hukum humaniter internasional dan HAM.

    Komisi ini dipimpin Navi Pillay, mantan Ketua HAM PBB asal Afrika Selatan yang juga sempat memimpin pengadilan internasional soal genosida di Rwanda.

    Apa saja pelanggaran Israel?

    Apa saja tindakan Israel yang dikategorikan Komisi Penyelidik PBB sebagai genosida, seperti termaktub di Konvensi Genosida 1948?

    Membunuh sejumlah anggota sebuah kelompok melalui serangan ke objek-objek yang dilindungi, menargetkan warga sipil, dan tindakan lain yang dilakukan secara sengaja hingga menyebabkan kematian.

    Menyebabkan penderitaan fisik atau mental secara serius melalui serangan langsung ke warga sipil, menyiksa tahanan, memaksa warga mengungsi, dan merusak lingkungan.

    – Menciptakan kondisi hidup yang bisa menghancurkan sebuah kelompok melalui penghancuran infrastruktur vital, penghalangan ke akses kesehatan; memblokade bantuan, air, listrik, dan bahan bakar; melakukan kekerasan reproduksi; serta memukul anak-anak.

    – Mencegah kelahiran, misalnya, dalam serangan Desember 2023 ke klinik fertilitas terbesar di Gaza yang menghancurkan sekitar 4.000 embrio dan 1.000 sampel sperma dan sel telur yang disimpan di fasilitas kesehatan itu.

    Militer Israel memerintahkan evakuasi terhadap ratusan ribu orang Palestina dari Kota Gaza (Reuters)

    Sebuah tindakan dikategorikan genosida jika pelaku memiliki niat khusus untuk menghancurkan sebagian atau keseluruhan kelompok masyarakat.

    Guna memperkuat hal itu, Komisi kemudian menganalisis pernyataan para pemimpin Israel. Komisi itu mendapati bahwa para pemimpin Israel seperti Presiden Isaac Herzog, PM Benjamin Netanyahu, dan mantan Menhan Yoav Gallant telah “menghasut terjadinya genosida”.

    Dalam kesimpulannya, komisi itu juga menyebut “niat genosida adalah satu-satunya kesimpulan yang masuk akal” dari pola dan tindakan otoritas serta militer Israel di Gaza.

    “Sejak 7 Oktober 2023, Perdana Menteri [Benjamin] Netanyahu berjanji bakal melakukan ‘balas dendam besar’ ke ‘semua tempat di mana Hamas bersembunyi, kota terkutuk itu, akan kami jadikan puing’,” kata Pillay ke BBC.

    “Frasa ‘kota terkutuk’ dalam pernyataan yang sama juga menyiratkan bahwa seluruh Gaza dianggap [Netanyahu] bersalah dan dijadikan target balas dendam. Ia juga menyebut warga Palestina harus ‘segera pergi karena kami akan beroperasi dengan keras di mana-mana’.”

    Pillay menambahkan, “Perlu dua tahun buat kami [Komisi Penyelidik] mengumpulkan semua bukti dan memastikan faktanya Dan Konvensi Genosida baru bisa dipakai kalau tindakan-tindakan itu memang dilakukan dengan niat tersebut.”

    Ia menyebut, tindakan para pemimpin politik dan militer Israel dapat “dihubungkan langsung ke negara Israel”,

    Dengan demikian, terang Komisi Penyelidik PBB, Israel “bertanggung jawab atas kegagalan mencegah genosida, melakukan genosida, dan gagal menghukum pelakunya.”

    Lebih lanjut, komisi itu juga memperingatkan negara lain untuk “mencegah dan menghukum kejahatan genosida” dengan segala cara yang ada. Kalau tidak, terang Komisi, negara-negara itu bisa dianggap ikut terlibat.

    “Kami belum sejauh itu untuk menyebut pihak mana yang ikut bersekongkol atau terlibat genosida. Namun, itu bagian dari kerja kami yang masih berjalan. Nanti akan sampai ke sana,” kata Pillay.

    Tudingan genosida terhadap Israel seperti disampaikan Komisi Penyelidik PBB bukan yang pertama. Sebelumnya, sejumlah organisasi HAM internasional, pakar independen PBB, serta akademisi juga menuding Israel telah melakukan genosida di Gaza.

    Mahkamah Internasional (ICJ) juga sedang menggelar sidang kasus yang diajukan Afrika Selatan, menuduh militer Israel melakukan genosida.

    Adapun Israel, seperti pernyataan yang sudah-sudah menyebut kasus itu “sama sekali tidak berdasar” dan dibangun di atas “klaim palsu dan bias”.

    Mereka pun berkeras bahwa operasi militer yang dilakukan hanya ditujukan untuk melumpuhkan Hamas bukan warga Gaza. Mereka juga mengklaim para tentara telah mengikuti hukum internasional dan berusaha meminimalisasi jatuhnya korban sipil.

    (nvc/nvc)