Tag: Yeka Hendra Fatika

  • Gaduh Beras Oplosan: Penggilingan Padi Tutup hingga Ritel Pangkas Harga

    Gaduh Beras Oplosan: Penggilingan Padi Tutup hingga Ritel Pangkas Harga

    Bisnis.com, JAKARTA — Puluhan penggilingan padi kecil menutup bisnisnya imbas adanya kekhawatiran dalam menjalankan usaha perberasan di Tanah Air. Hal ini terjadi usai adanya temuan beras yang tidak sesuai mutu dan dijual menjadi beras premium alias beras oplosan.

    Ombudsman mengungkap sebanyak 10 dari 23 penggilingan padi kecil menutup usahanya usai ramai temuan beras oplosan.

    Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan, temuan itu ia dapatkan saat Ombudsman melakukan uji petik di Kecamatan Tempuran, Karawang dan sekitarnya.

    “Ada 23 penggilingan padi di wilayah itu dan 10 [penggilingan padi] sudah tutup sekarang. Apa penyebab tutupnya? Selain persaingan juga karena kondisi yang sekarang terjadi, ada ketakutan,” kata Yeka dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    Yeka juga menemukan stok beras di penggilingan padi semakin menipis imbas kasus beras oplosan. Kini, stok beras di tingkat penggilingan padi hanya berkisar 5–10%. Padahal, sebelumnya, rata-rata stok beras di penggilingan padi biasanya mencapai 100 ton. Namun, saat ini, stoknya hanya mencapai 5%.

    Yeka mengungkap, stok beras yang semakin menipis di tingkat penggilingan padi lantaran mereka takut dalam menjalankan usaha perberasan.

    “Kami tanya mengapa seperti ini? Mereka [penggilingan padi] menjawab sama, takut,” ujarnya.

    Bahkan kini, Yeka menyebut, para penggilingan padi menjual beras dengan karung polos tanpa mencantumkan label.

    Untuk itu, Ombudsman meminta agar pemerintah segera mengembalikan kondisi perberasan Indonesia menjadi kondusif, mulai dari penggilingan kecil, penggilingan besar, hingga pedagang kecil juga besar. Dengan begitu, beras di tingkat konsumen tersedia dengan harga terjangkau.

    “Karena semuanya sama begitu, mengatakan ‘kami takut’. Nah, ini kita negara apa kalau pelaku usaha perberasan seperti ini seperti mereka ini jualan barang haram atau jualan barang yang tidak legal sampai takut. Jadi, pemerintah harus segera membuat rasa aman dan nyaman,” ujarnya.

    Dalam catatan Bisnis, Presiden Prabowo Subianto pernah mengancam akan menyita penggilingan padi nakal yang mempermainkan harga beras lantaran telah mengganggu hajat hidup orang banyak.

    Prabowo mengungkap dirinya mendapatkan laporan bahwa pada 2,5 bulan lalu, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat penggilingan telah sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP) di level Rp6.500 per kilogram.

    Prabowo juga mengeklaim telah menertibkan pengusaha penggilingan padi dengan merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, terutama pada Pasal 33.

    Terlebih, dia menyatakan penggilingan padi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

    “Kalau penggilingan padi tidak mau tertib, tidak mau patuh kepada kepentingan negara. Ya, saya gunakan sumber hukum ini, saya katakan saya akan sita penggiling-penggiling padi itu,” ujar Prabowo dalam pidato saat meluncurkan kelembagaan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, Senin (21/7/2025).

    Kepala Negara RI kembali menekankan bahwa dirinya tak segan-segan akan menyita penggilingan padi dan menyerahkannya ke koperasi, termasuk Koperasi Desa/Kelurahan (KopDes/Kel) Merah Putih.

    “Saya akan sita dan akan saya serahkan [penggilingan padi] kepada koperasi untuk dijalankan,” ucap Prabowo.

    Dalam kesempatan itu, Prabowo juga mengungkap pengusaha penggilingan padi yang nakal juga diisi oleh para pemain besar. Namun, dia tidak merinci daftar pemain besar pengusaha penggilingan padi yang nakal itu.

    “Waktu saya dapat laporan, ada penggiling-penggiling padi yang nakal-nakal. Yang aneh, penggilingan padi yang besar yang paling nakal,” tutupnya.

    Ancaman Kelangkaan

    Ombudsman mengkhawatirkan risiko terjadinya kelangkaan beras imbas kasus beras oplosan akan melebar ke hal lain, termasuk ke ranah politik.

    Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengungkap kelangkaan maupun ketiadaan stok beras itu terkonfirmasi dari pertemuan yang telah dilakukan Ombudsman dengan pelaku usaha beras.

    Berdasarkan informasi yang ia terima, kelangkaan maupun ketiadaan stok beras terkonfirmasi. Di mana, penggilingan besar yang biasanya memiliki stok 30.000 ton setiap hari, kini hanya memiliki 2.000 ton.

    Padahal, Yeka menilai, ketersediaan pangan merupakan hal yang penting dibandingkan yang lain. Menurut Yeka, pemerintah harus segera mengatasi kelangkaan beras agar tak merembet ke persoalan lain.

    “Ketersediaan pangan ini akhirnya menjadi hal penting, hal utama dibandingkan dengan hal-hal yang lainnya. Karena kalau sampai beras ini tidak ada, isunya bisa lari ke mana-mana, bisa ke persoalan politik dan lain sebagainya,” kata Yeka konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

  • Ombudsman Soroti Risiko Politik di Balik Kelangkaan Beras

    Ombudsman Soroti Risiko Politik di Balik Kelangkaan Beras

    Bisnis.com, JAKARTA — Ombudsman mengkhawatirkan kelangkaan beras imbas kasus beras oplosan akan melebar ke hal lain, termasuk ke ranah politik.

    Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengungkap kelangkaan maupun ketiadaan stok beras itu terkonfirmasi dari pertemuan yang telah dilakukan Ombudsman dengan pelaku usaha beras.

    Berdasarkan informasi yang ia terima, kelangkaan maupun ketiadaan stok beras terkonfirmasi. Di mana, penggilingan besar yang biasanya memiliki stok 30.000 ton setiap hari, kini hanya memiliki 2.000 ton.

    Padahal, Yeka menilai, ketersediaan pangan merupakan hal yang penting dibandingkan yang lain. Menurut Yeka, pemerintah harus segera mengatasi kelangkaan beras  agar tak merembet ke persoalan lain.

    “Ketersediaan pangan ini akhirnya menjadi hal penting, hal utama dibandingkan dengan hal-hal yang lainnya. Karena kalau sampai beras ini tidak ada, isunya bisa lari ke mana-mana, bisa ke persoalan politik dan lain sebagainya,” kata Yeka konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    Untuk itu, Ombudsman mendorong agar pemerintah segera melepas cadangan beras pemerintah (CBP) di Perum Bulog ke pasar. “Yang paling yang harus segera dirumuskan oleh pemerintah sekarang, masyarakat perlu ketersediaan beras,” ujarnya.

    Namun, Yeka menyebut pemerintah perlu menahan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023 (Perbadan 2/2023) tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras, sebelum melepas CBP milik Bulog ke masyarakat.

    Sebab, ungkap Yeka, para penggilingan padi enggan menyerap gabah setara beras milik Bulog lantaran sebagian beras sudah lama tertimbun alias tak memenuhi persyaratan mutu dari Perbadan 2/2023.

    “Sebagian beras yang ada di Bulog itu, itu kan beras impor tahun lalu Ada yang berumur 1 tahun, Februari 2024, jadi sudah 1 tahun lebih. Otomatis pasti, mohon maaf, bau apek,” ujarnya.

    Di sisi lain, dalam Perbadan 2/2023 pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor beras untuk diedarkan wajib memenuhi persyaratan, minimal bebas hama, bebas bau apek, asam, dan bau asing lainnya, dan persyaratan keamanan.

    “Di dalam persyaratan mutu label, pelaku usaha dilarang mengolah ataupun juga menggunakan beras apek sebagai bahan baku untuk trading beras,” jelas Yeka.

    Oleh karena itu, sambung dia, Ombudsman meminta agar Bapanas menunda pemberlakuan Perbadan 2/2023 agar beras bisa tersedia di pasar.

    “Jadi orang bolehlah tidak sesuai, tidak memenuhi semua, tidak harus memenuhi semua persyaratan. Beberapa persyaratan seperti butir patah bisa, tetapi seperti bau apek, di Bulog berasnya sudah sebagian bau apek. Kalau itu dilarang, bagaimana?“ tuturnya.

    Meski begitu, Yeka menjelaskan bahwa beras apek tersebut masih bisa diproses lagi sebab ini hanya persoalan penyimpanan.

    Stok Beras Bulog Melimpah

    Dalam catatan Bisnis, Perum Bulog mengungkap total stok yang dikuasai telah mencapai 4,2 juta ton beras per 14 Juli 2025.

    Direktur Utama Perum Bulog Ahmad Rizal Ramdhani menyatakan stok beras jumbo yang dikuasai Bulog itu terdiri dari CBP dan stok komersial.

    “Per 14 Juli 2025, itu cadangan beras pemerintah adalah totalnya 4.237.120 ton. Kemudian untuk stok komersialnya adalah 14.139 ton. Jadi total beras kita adalah sekitar 4.251.259 ton,” ujar Rizal dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Senin (14/7/2025).

    Sementara itu, realisasi pengadaan gabah kering panen (GKP) telah mencapai 3,7 juta ton dan realisasi pengadaan beras sebesar 726.000 ton. Dengan demikian, total pengadaan beras dalam negeri pada 2025 mencapai 2.765.051 ton.

    “Untuk pengadaan gabah menyumbang sekitar 75% dari total realisasi pengadaan beras yang mencerminkan fokus strategis Bulog dalam mendukung petani secara langsung,” jelasnya.

    Adapun seiring dengan stok beras di gudang Perum Bulog yang menumpuk, Rizal memastikan pihaknya secara rutin melakukan perawatan setiap bulan, mulai dari fumigasi, pengemasan ulang (repackaging), hingga penyemprotan.

    Selain itu, dia juga memastikan Bulog melaksanakan standar operasional prosedur (SOP) dalam hal perawatan beras di gudang Bulog. “Supaya ini bisa long time, long term itu berasnya,” imbuhnya.

    Rizal menyebut dana yang digelontorkan Perum Bulog untuk mengelola beras di dalam gudang tergantung dari kapasitas gudang dan jumlah beras. Namun, dia enggan memberikan informasi secara detail berapa dana yang digelontorkan Bulog dalam melakukan perawatan di gudang. 

    “Gudang filial hampir di seluruh provinsi ada, karena kan jumlah yang sekarang 4,2 juta ton itu kan cukup besar. Mungkin di tempat kami juga sudah full, jadi ada beberapa pihak-pihak gudang yang rekanan dan sebagainya yang harus kita pinjam atau kita sewa,” pungkasnya.

  • Terungkap! Ini Biang Kerok Harga Beras di Pasar Lebih Mahal dari Ritel Modern

    Terungkap! Ini Biang Kerok Harga Beras di Pasar Lebih Mahal dari Ritel Modern

    Bisnis.com, JAKARTA — Ombudsman mengungkap harga beras di pasar tradisional jauh lebih mahal dibandingkan ritel modern. Kondisi ini jauh berbeda dengan harga beras di ritel modern yang justru sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET).

    Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan beras yang kini dijual di pasar tradisional paling murah dibanderol Rp12.000 per kilogram, sedangkan paling mahal mencapai Rp16.500 per kilogram.

    Ini artinya, harga beras yang dijual di pasar tradisional telah melambung di atas HET beras premium. Sebagai informasi, HET beras premium nasional dibanderol Rp14.900 per kilogram.

    “Kemarin saya melihat di pasar Ini ironisnya begini. Kan tadi saya katakan paling murah Rp12.000 [per kilogram], paling mahal itu Rp16.500 [per kilogram]. Jadi, barang beras yang sekarang ada di pasar itu Sudah melebihi HET-nya. Kan HET premium itu Rp14.900 [per kilogram], kemarin Rp16.500 [per kilogram],” kata Yeka konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    Menurut Yeka, telah terjadi fenomena kesenjangan implementasi kebijakan harga (HET) antara pasar tradisional dan pasar modern.

    Hal ini dibuktikan dengan masyarakat yang membeli beras di pasar tradisional justru harus membayar lebih mahal dibanding pasar modern (kelas menengah ke atas), yang menikmati harga sesuai HET.

    “Coba bisa dibayangkan di pasar tradisional, masyarakat ketemu dengan harga beras di atas HET. Di pasar modern, masyarakat ketemu harga HET. Jadi, sebetulnya kebijakan HET ini menguntungkan siapa?” ujarnya.

    Alhasil, masyarakat di pedesaan harus merogoh kocek lebih mahal untuk bisa menikmati beras berkualitas yang dibeli di pasar tradisional maupun toko kelontong seperti warung Madura.

    “Kalau di perdesaan, masyarakat akhirnya kalau ingin menikmati beras yang enak harus membeli di atas HET. Silakan dicek warung-warung Madura dan segala macam, [beras] di atas HET semua,” tuturnya.

    Yeka menyebut fenomena ini merupakan hal yang tidak adil bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah yang berbelanja ke pasar tradisional atau warung kecil.

    “Kalau kita beli beras ke supermarket Kita harus beli beras lebih murah, jadinya sesuai HET. Padahal, orang yang masuk ke pasar supermarket itu adalah menengah atas. Jadi, nggak fair,” ungkapnya.

    Ombudsman menyimpulkan, biang kerok mahalnya harga beras di pasar tradisional lantaran telah terjadi subsidi terbalik yang menguntungkan konsumen kelas menengah ke atas. Sebab, masyarakat kecil yang membeli beras di pasar tradisional justru membayar lebih mahal.

    Yeka mengungkap, penggilingan menjual beras ke ritel modern dengan harga sesuai HET, sehingga keuntungan mereka berkurang. Sayangnya, untuk menutup kerugian, penggilingan justru menaikkan harga beras yang dijual ke pasar tradisional.

    “Karena ternyata ini kompensasi bagi penggilingan atau bagi perusahaan si supermarket, katakanlah dia rugi kalau di pasar tradisional, dia bisa dapat untung. Jadi pasar tradisional yang mensubsidi barang di pasar supermarket,” terangnya.

    Yeka menegaskan fenomena ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, di mana masyarakat memerlukan ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau.

    Dia menekankan bahwa tugas negara adalah menyediakan pangan dengan harga yang terjangkau. Sayangnya, hal itu berbanding terbalik dengan keadaan yang terjadi di lapangan.

    “Tapi ini kebalik. Di pasar modern, masyarakat mendapatkan harga yang relatif murah. Tapi di pasar tradisional, masyarakat mendapatkan harga yang relatif mahal,” pungkasnya.

  • Ombudsman Ungkap Beras Sisa Impor Menumpuk Setahun di Gudang Bulog

    Ombudsman Ungkap Beras Sisa Impor Menumpuk Setahun di Gudang Bulog

    Jakarta

    Ombudsman mengungkap beras sisa impor tahun lalu yang masih berada di Gudang Bulog. Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan umur stok beras tersebut pun sudah setahun lamanya dan tidak disalurkan ke pasar.

    “Sebagian beras yang ada di Bulog itu kan beras impor tahun lalu. Ada yang berumurnya sudah 1 tahun, dari Februari 2024. Jadi sudah 1 tahun lebih, otomatis pasti mohon maaf, bau apek. Nah, sementara di dalam persyaratan mutu label, pelaku usaha dilarang mengolah ataupun juga menggunakan beras apek sebagai bahan baku untuk trading (perdagangan) beras,” kata dia dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    Menurutnya beras di gudang Perum Bulog yang sudah mengalami bau tidak sedap karena kondisi lamanya penyimpanan, tetap bisa dikonsumsi masyarakat. Namun hal itu bisa dilakukan jika beras tersebut dilakukan proses perbaikan lagi oleh Perum Bulog.

    “Lantas kalau bau apek itu, masyarakat masih bisa konsumsi. Karena bisa diolah lagi, bisa diproses lagi. Jadi jangan dipikir bahwa nanti beras apek, lantas konsumen tidak akan bisa konsumsi, tidak. Itu persoalan penyimpanan saja. Jadi itu bisa diproses lagi. Namun proses ini (terkendala) peraturan tadi, dilarang memproses yang baru apek. Akhirnya, ya, ketersediaan beras sebagai pasokan nanti berkurang,” ungkapnya.

    Dia pun mendorong Badan Pangan Nasional agar memberikan kebijakan kepada Perum Bulog untuk segera melakukan pelepasan stok tersebut ke pasaran demi menstabilkan harga.

    “Ke depan diharapkan Badan pangan Nasional lentur untuk merespons pemberlakuan Perbadan nomor 2 tahun 2023 terkait mutu beras. Terkait mutu dan label beras, kalau tidak salah agar beras bisa tersedia di pasar, beras harus segera dilepas,” terang Yeka.

    Penggilingan padi tutup, pasokan beras mulai seret

    Menurut Yeka kelangkaan beras mulai terjadi di penggilingan padi dan ritel modern. Ia mengatakan temuan ini setelah dirinya dan tim melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah penggilingan di Kecamatan Tempuran, Karawang, Jawa Barat.

    Dari sidak itu didapat informasi di kawasan tersebut terdapat 23 penggilingan padi. Namun sudah ada 10 penggilingan yang gulung tikar. Temuan berikutnya, stok beras di penggilingan telah menipis.

    Kondisi ini terjadi karena dua hal. Pertama karena produksi padi yang menurun dan kedua ketakutan penggilingan tersebut menjalankan usahanya. Ketakutan ini terjadi imbas pemeriksaan dari penegak hukum terkait mutu, kualitas, hingga kasus oplosan beras.

    “Stok mereka berkisar antar 5% sampai 10%. Jadi misalnya biasanya mereka punya 100 ton rata-rata stok, sekarang itu baru punya 5 ton. Jadi stok penggilingan bukan kosong lah, stoknya menipis,” ujarnya.

    Kemudian, Yeka juga telah mengundang sejumlah pelaku usaha untuk mengkonfirmasi temuan tersebut. Menurutnya, terdapat penggilingan besar yang stoknya juga menipis. Sayangnya, dia enggan menyebutkan nama penggilingan besar tersebut.

    “Ada penggilingan besar yang biasanya punya stok 30 ribu ton, stok 30 ribu ton setiap hari, sekarang tinggal 2 ribu ton. Ada yang punya 5 ribu ton, sekarang tinggal 200 ton,” ungkapnya.

    Selain kelangkaan beras di penggilingan, Yeka juga menyebut saat ini kondisi serupa terjadi di ritel modern. Menurutnya beras di rak-rak khusus beras di ritel modern mulai hilang.

    “Hari ini, tadi pagi saya terjunkan untuk melihat beras di pasar modern retail kosong, bahkan raknya sudah berganti yang tadinya rak beras, sekarang sudah berganti jadi rak aqua,” tutur Yeka.

    (ada/hns)

  • Ombudsman Desak Pemerintah Cabut HET Beras Premium

    Ombudsman Desak Pemerintah Cabut HET Beras Premium

    Bisnis.com, JAKARTA — Ombudsman meminta agar pemerintah untuk segera mencabut harga eceran tertinggi (HET) beras premium imbas temuan beras yang tidak sesuai mutu dan dijual menjadi beras premium alias beras oplosan.

    Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika meminta pemerintah agar segera mempertimbangkan untuk mencabut HET beras premium. Menurutnya, pemerintah hanya perlu mengatur HET beras medium.

    “HET beras premium cabut, biarkan swasta menyediakan beras sesuai dengan mekanisme pasar,” kata Yeka dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    Menurut Yeka, pemerintah bisa mengevaluasi harga beras jika ke depan komoditas ini mengalami fluktuasi harga. Salah satunya adalah dengan melakukan operasi pasar melalui penyaluran beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) yang setara dengan HET beras medium.

    Dengan demikian, Yeka menuturkan bahwa tidak perlu lagi diberlakukan HET beras premium untuk pelaku usaha swasta.

    “Untuk pelaku usaha swasta premiumnya itu dihilangkan. Jadi sudah tidak ada lagi HET premium yang diberlakukan untuk swasta. Jadi HET medium itu hanya berlaku bagi pemerintah saja,” ujarnya.

    Di sisi lain, Yeka juga menyoroti wacana pemerintah yang ingin merumuskan HET beras menjadi satu harga dan satu jenis beras reguler. Hal ini menyusul rencana pemerintah untuk menghapus klasifikasi beras premium dan beras medium.

    Menurut Yeka, jika pemerintah menerapkan satu beras satu harga, maka masyarakat akan kehilangan beras dengan kualitas bermutu baik. Bahkan, menurutnya, Indonesia bisa tertinggal jauh dalam hal perberasan dengan negara lain.

    “Dan mohon maaf kalau kita menerbitkan beras 30%:70%, 30% butir patahnya misalnya ya dengan harga sekian, ya kita ketinggalan jauh sama negara lain. Negara lain itu beras itu bahkan paling rendah itu butir patahnya 5%. Kita menjual dengan 30%,” ungkapnya.

    Selain itu, Yeka menilai konsumen kelas menengah atas pada akhirnya membeli beras di harga Rp13.900 per kilogram atau lebih rendah dari kemampuan daya belinya.

    “Padahal sebetulnya mereka [menengah atas] potensi dan daya belinya tinggi. Oleh karena itu, ombudsman meminta agar HET premium itu justru dihapuskan,” tuturnya.

    Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan, proses perhitungan HET beras menjadi satu harga dan satu jenis beras reguler masih bergulir.

    “Oh, harganya [HET beras satu jenis] lagi dirumuskan,” kata Zulhas saat ditemui di Kantor Kemenko Pangan, Jakarta, Selasa (5/8/2025).

    Namun, Zulhas tak memberikan informasi secara detail kapan pemerintah akan mengumumkan harga beras satu harga itu. Dia hanya memastikan perhitungan HET beras reguler tengah diperhitungkan. “Lagi dihitung,” ujarnya.

    Dalam catatan Bisnis, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyatakan implementasi kebijakan perberasan nasional melalui perubahan standar mutu, jenis, dan harga batas atas dipastikan akan ada periode transisi dan zonasi harga. Nantinya, kebijakan ini akan menyesuaikan kondisi geografis Indonesia.

    Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan, transisi dan zonasi harga beras ini diharapkan dapat diterima dengan baik oleh pelaku usaha hingga konsumen.

    Setelah ada keputusan, pemerintah bakal memberikan waktu transisi untuk penyesuaian sehingga tidak serta-merta langsung diterapkan. Namun, implementasi secara cepat juga diperlukan untuk meredam fluktuasi pasar beras.

    “Memang tidak bisa terhadap perubahan suatu kebijakan, kemudian langsung dieksekusi tanpa ada periode transisi. Tapi ini juga harus disegerakan. Jadi kurang lebih, nanti itu akan in between premium dan medium [standar mutu beras],” terangnya.

    Arief menyatakan bahwa beras yang akan diatur pemerintah nantinya adalah beras reguler yang sering dikonsumsi masyarakat. Sementara itu, beras khusus dikembalikan ke mekanisme pasar dan standar mutunya ditentukan melalui suatu proses sertifikasi.

    “Untuk beras yang reguler, itu beras yang seperti kita makan biasanya, baik beras panjang maupun bulat. Itu harganya tetap akan pemerintah batasi,” ujarnya.

    Selain itu, sambung dia, syarat mutu beras juga disiapkan dengan berbagai kriteria. Meski begitu, derajat sosoh mutlak 95% dan kadar air 14%. “Butir pecah berapanya, itu nanti disampaikan,” tandasnya.

  • Ombudsman Ungkap Biang Kerok Harga Beras di Pasar Naik

    Ombudsman Ungkap Biang Kerok Harga Beras di Pasar Naik

    Jakarta

    Harga beras di pasar tradisional mengalami kenaikan. Berdasarkan pantauan Ombudsman RI, kenaikan terutama jenis premium yang tembus Rp 16.500/kilogram (kg).

    Padahal, Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium ditetapkan pemerintah Rp 14.900/kg. Menurut hasil pemeriksaan Ombudsman RI, kenaikan harga beras di pasar ini terjadi karena ada permainan dari penggilingan.

    “Mengapa beras di pasar tradisional itu harganya di atas HET premium? Karena ternyata ini kompensasi bagi penggilingan atau bagi perusahaan. Di supermarket katakanlah dia rugi, kalau di pasar tradisional, dia bisa dapat untung. Jadi pasar tradisional yang mensubsidi,” kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika, dalam konferensi pers di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    Yeka menyebut juga terjadi ketidakadilan, di mana harga beras di pasar tradisional mengalami kenaikan. Tetapi ketika membeli beras di supermarket lebih murah atau sesuai HET.

    “Dengan undang-undang kita bahwa sebetulnya masyarakat memerlukan ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau. Dan tugas negara adalah menyediakan pangan dengan harga yang terjangkau. Tapi ini kebalik, di pasar modern masyarakat mendapatkan harga yang relatif murah. Tapi di pasar tradisional, masyarakat mendapatkan harga yang relatif mahal,” ucapnya.

    Untuk itu, Yeka menyarankan agar pemerintah menghapus HET beras premium. Hal ini dilakukan agar beras premium mengikuti harga beras saja.

    “Karena tadi persoalan HET, maka Ombudsman meminta agar pemerintah segera mempertimbangkan untuk mencabut HET beras premium, biarkan swasta menyediakan beras sesuai dengan mekanisme pasar. Pemerintah bisa mengevaluasi kalau beras harganya sudah mahal, maka pemerintah bisa melakukan operasi pasar melalui penyaluran beras SPHP,” ucapnya.

    Berdasarkan data Panel Harga Pangan, Jumat (8/8/2025) harga rata-rata beras premium secara nasional berada di level Rp 16.278/kg. Angka itu di atas HET premium Rp 14.900/kg. Kemudian, harga beras medium Rp 14.539/kg. Angka itu juga di atas HET beras medium sebesar Rp 12.500/kg.

    (acd/acd)

  • Penggilingan Padi Ramai-ramai Tutup Imbas Isu Beras Oplosan

    Penggilingan Padi Ramai-ramai Tutup Imbas Isu Beras Oplosan

    Bisnis.com, JAKARTA — Ombudsman mengungkap sebanyak 10 dari 23 penggilingan padi kecil menutup usahanya imbas adanya kekhawatiran dalam menjalankan usaha perberasan di Tanah Air. Hal ini menyusul adanya temuan beras yang tidak sesuai mutu dan dijual menjadi beras premium alias beras oplosan.

    Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan, temuan itu ia dapatkan saat Ombudsman melakukan uji petik di Kecamatan Tempuran, Karawang dan sekitarnya.

    “Ada 23 penggilingan padi di wilayah itu dan 10 [penggilingan padi] sudah tutup sekarang. Apa penyebab tutupnya? Selain persaingan juga karena kondisi yang sekarang terjadi, ada ketakutan,” ungkap Yeka dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    Yeka juga menemukan stok beras di penggilingan padi semakin menipis imbas kasus beras oplosan. Kini, stok beras di tingkat penggilingan padi hanya berkisar 5–10%. Padahal, sebelumnya, rata-rata stok beras di penggilingan padi biasanya mencapai 100 ton. Namun, saat ini, stoknya hanya mencapai 5%.

    Yeka mengungkap, stok beras yang semakin menipis di tingkat penggilingan padi lantaran mereka takut dalam menjalankan usaha perberasan.

    “Kami tanya mengapa seperti ini? Mereka [penggilingan padi] menjawab sama, takut,” bebernya.

    Bahkan kini, Yeka menyebut, para penggilingan padi menjual beras dengan karung polos tanpa mencantumkan label.

    Untuk itu, Ombudsman meminta agar pemerintah segera mengembalikan kondisi perberasan Indonesia menjadi kondusif, mulai dari penggilingan kecil, penggilingan besar, hingga pedagang kecil juga besar. Dengan begitu, beras di tingkat konsumen tersedia dengan harga terjangkau.

    “Karena semuanya sama begitu, mengatakan ‘kami takut’. Nah, ini kita negara apa kalau pelaku usaha perberasan seperti ini seperti mereka ini jualan barang haram atau jualan barang yang tidak legal sampai takut. Jadi, pemerintah harus segera membuat rasa aman dan nyaman,” ujarnya.

    Dalam catatan Bisnis, Presiden Prabowo Subianto pernah mengancam akan menyita penggilingan padi nakal yang mempermainkan harga beras lantaran telah mengganggu hajat hidup orang banyak.

    Prabowo mengungkap dirinya mendapatkan laporan bahwa pada 2,5 bulan lalu, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat penggilingan telah sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP) di level Rp6.500 per kilogram.

    Prabowo juga mengeklaim telah menertibkan pengusaha penggilingan padi dengan merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, terutama pada Pasal 33.

    Terlebih, dia menyatakan penggilingan padi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

    “Kalau penggilingan padi tidak mau tertib, tidak mau patuh kepada kepentingan negara. Ya, saya gunakan sumber hukum ini, saya katakan saya akan sita penggiling-penggiling padi itu,” ujar Prabowo dalam pidato saat meluncurkan kelembagaan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, Senin (21/7/2025).

    Kepala Negara RI kembali menekankan bahwa dirinya tak segan-segan akan menyita penggilingan padi dan menyerahkannya ke koperasi, termasuk Koperasi Desa/Kelurahan (KopDes/Kel) Merah Putih. “Saya akan sita dan akan saya serahkan [penggilingan padi] kepada koperasi untuk dijalankan,” imbuhnya.

    Dalam kesempatan itu, Prabowo juga mengungkap pengusaha penggilingan padi yang nakal juga diisi oleh para pemain besar. Namun, dia tidak merinci daftar pemain besar pengusaha penggilingan padi yang nakal itu.

    “Waktu saya dapat laporan, ada penggiling-penggiling padi yang nakal-nakal. Yang aneh, penggilingan padi yang besar yang paling nakal,” tutupnya.

  • Ombudsman Ungkap Beras di Penggilingan dan Ritel Modern Langka

    Ombudsman Ungkap Beras di Penggilingan dan Ritel Modern Langka

    Jakarta

    Ombudsman menyatakan telah terjadi kelangkaan beras di penggilingan padi dan ritel modern. Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan temuan ini setelah dirinya dan tim melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah penggilingan di Kecamatan Tempuran, Karawang, Jawa Barat.

    Pihaknya menemukan informasi bahwa di kawasan tersebut terdapat 23 penggilingan padi. Namun sudah ada 10 penggilingan yang gulung tikar. Temuan berikutnya, stok beras di penggilingan telah menipis.

    Yeka menyebut, kondisi ini terjadi karena dua hal. Pertama karena produksi padi yang menurun dan kedua ketakutan penggilingan tersebut menjalankan usahanya. Ketakutan ini terjadi imbas pemeriksaan dari penegak hukum terkait mutu, kualitas, hingga kasus oplosan beras.

    “Stok mereka berkisar antar 5% sampai 10%. Jadi misalnya biasanya mereka punya 100 ton rata-rata stok, sekarang itu baru punya 5 ton. Jadi stok penggilingan bukan kosong lah, stoknya menipis,” kata dia dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    “Saya kemarin tanya, mau menggiling, menjual takut salah kemasan, takut salah ngomong atau mencantumkan dalam labelnya,” tambahnya.

    Kemudian, Yeka juga telah mengundang sejumlah pelaku usaha untuk mengkonfirmasi temuan tersebut. Menurutnya, terdapat penggilingan besar yang stoknya juga menipis. Sayangnya, dia enggan menyebutkan nama penggilingan besar tersebut.

    “Ada penggilingan besar yang biasanya punya stok 30 ribu ton, stok 30 ribu ton setiap hari, sekarang tinggal 2 ribu ton. Ada yang punya 5 ribu ton, sekarang tinggal 200 ton,” ucapnya.

    Selain kelangkaan beras di penggilingan, Yeka juga menyebut saat ini kondisi serupa terjadi di ritel modern. Menurutnya beras di rak-rak khusus beras di ritel modern mulai hilang.

    “Hari ini, tadi pagi saya terjunkan untuk melihat beras di pasar modern retail kosong, bahkan raknya sudah berganti yang tadinya rak beras, sekarang sudah berganti jadi rak aqua,” ucapnya.

    Sementara kondisi di pasar, sebenarnya kondisi stok beras banyak. Namun, Ombudsman RI menyoroti harga yang cukup tinggi di pasar tradisional.

    Melihat masalah tersebut, Ombudsman memberikan sejumlah saran kepada pemerintah agar memberikan rasa aman bagi pelaku usaha, baik penggilingan maupun pedagang beras.

    “Pemerintah perlu segera memberikan rasa aman dan nyaman kepada seluruh pelaku perberasan, dari mulai penggilingan kecil hingga penggilingan besar, mulai pedagang beras kecil hingga pedagang beras besar. Karena semuanya sama mengatakan kami takut. Nah, ini kita negara apa kalau pelaku usaha perberasan seperti ini mereka ini jualan barang haram atau jualan barang yang tidak legal sampai takut,” ucapnya.

    Kondisi saat ini perlu dibenahi karena menurutnya, jangan sampai dengan kasus yang tengah terjadi saat ini menyebabkan kelangkaan beras sebagai bahan pangan utama masyarakat Indonesia.

    “Catatan Ombudsman keterisian beras ini menuju kepada kelangkaan. Dan ini kondisinya mengarah kepada hal-hal yang mengkhawatirkan, beras mulai kosong di mana-mana, di supermarket sudah kosong, penggilingan beras juga stoknya mulai kosong,” pungkasnya.

    (acd/acd)

  • Ombudsman RI apresiasi Pertamina terapkan subsidi LPG tepat sasaran

    Ombudsman RI apresiasi Pertamina terapkan subsidi LPG tepat sasaran

    Jakarta (ANTARA) – Ombudsman Republik Indonesia memberikan apresiasi kepada PT Pertamina Patra Niaga atas pelaksanaan distribusi LPG 3 kg bersubsidi yang tepat sasaran dan sesuai dengan ketentuan.

    “Kami senang melihat pangkalan ini karena SOP dilaksanakan dengan baik. Hasil pengecekan tabung menunjukkan konsistensi berat di angka 8 kilogram, artinya sesuai dengan standar, berat tabung kosong 5 kg dan isi LPG 3 kg,” ujar Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika saat kunjungan uji petik ke pangkalan LPG di Kelurahan Mentaos, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dikutip dari keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Yeka menambahkan selain itu, layanan kepada masyarakat juga dilakukan secara konsisten.

    Menurut dia, distribusi LPG di pangkalan terbagi antara rumah tangga dan pelaku usaha mikro, dengan mayoritas pengguna berasal dari rumah tangga.

    Hal tersebut menunjukkan subsidi telah menjangkau kelompok yang tepat.

    “Harga jual yang diterapkan juga sesuai HET, yakni Rp18.500 per tabung. Tidak ditemukan penjualan di atas harga tersebut. Ini mencerminkan bahwa konsumen mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah, khususnya melalui Pertamina,” sebut Yeka.

    Mendampingi kunjungan tersebut, Direktur Pemasaran Regional Pertamina Patra Niaga Eko Ricky Susanto menyampaikan apresiasi dan komitmen perusahaan dalam menjaga ketepatan sasaran distribusi LPG subsidi.

    “Kami mengucapkan terima kasih kepada Ombudsman RI atas dukungan dan pengawasan terhadap tata kelola distribusi LPG 3 kg. Ini menjadi penguat bagi kami untuk terus melakukan peningkatan pelayanan dan memastikan subsidi energi benar-benar sampai kepada masyarakat yang berhak,” ujarnya.

    Eko menambahkan melalui program subsidi tepat, Pertamina Patra Niaga telah menerapkan digitalisasi distribusi menggunakan Merchant Apps, yang terintegrasi untuk memastikan LPG digunakan oleh konsumen sesuai kriteria seperti rumah tangga, usaha mikro, nelayan sasaran, dan petani sasaran.

    Pertamina Patra Niaga, lanjutnya, terus berupaya menjaga transparansi dan akuntabilitas distribusi LPG 3 kg bersubsidi, salah satunya dengan membuka ruang kolaborasi bersama berbagai pemangku kepentingan, termasuk Ombudsman, dalam melakukan pengawasan dan peninjauan langsung ke lapangan.

    “Kami terbuka terhadap saran dan masukan Ombudsman RI demi penyempurnaan sistem distribusi LPG bersubsidi. Ke depan, kami siap bersinergi dalam kunjungan bersama di berbagai wilayah agar distribusi LPG tidak hanya tepat sasaran, tetapi juga terjamin stok dan pelayanannya,” ujar Eko.

    Pewarta: Kelik Dewanto
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ombudsman: Lapas Sukamiskin jadi model pembinaan WBP bagi lapas lain

    Ombudsman: Lapas Sukamiskin jadi model pembinaan WBP bagi lapas lain

    terdapat berbagai program pembinaan yang dijalankan Lapas Sukamiskin, khususnya di bidang budidaya pertanian dan pangan serta program inovatif berupa pembuatan perahu nelayan, dengan capaian hingga 12 unit perahu yang telah selesai dibuat

    Jakarta (ANTARA) – Ombudsman melihat bahwa keberhasilan Lapas Sukamiskin dalam membina warga binaan pemasyarakatan (WBP) melalui berbagai program produktif dapat menjadi model bagi lembaga pemasyarakatan lainnya di Indonesia.

    Dalam kunjungan ke Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat (14/7), Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan terdapat berbagai program pembinaan yang dijalankan Lapas Sukamiskin, khususnya di bidang budidaya pertanian dan pangan serta program inovatif berupa pembuatan perahu nelayan, dengan capaian hingga 12 unit perahu yang telah selesai dibuat.

    “Pembinaan yang dilakukan Lapas Sukamiskin ini tidak hanya berfokus pada rehabilitasi individu, tetapi juga memiliki potensi nyata dalam mendukung ketahanan pangan nasional,” ujar Yeka saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

    Dengan demikian, ia menuturkan bahwa hal tersebut merupakan praktik baik yang patut mendapat perhatian dan dukungan lintas sektor.

    Adapun dalam pembinaan di bidang budidaya pertanian dan pangan, Yeka menyampaikan bahwa berbagai komoditas yang dibudidayakan meliputi melon, cabai, ikan lele, bebek, ayam petelor, serta program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Saat meninjau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Program MBG yang berada di Lapas Sukamiskin, ia tidak menemukan kendala dalam pencairan anggaran dari pemerintah pusat.

    Sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang, dia menjelaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan publik yang layak kepada seluruh warga negara, termasuk WBP.

    Oleh karenanya dikatakan bahwa lapas, sebagai bagian dari sistem pemasyarakatan, memainkan peran strategis dalam memberikan pembinaan dan bimbingan yang berdampak positif bagi proses reintegrasi sosial para warga binaan.

    “Untuk itu, keberlanjutan program ini memerlukan dukungan yang lebih kuat dari pemerintah, baik melalui pendampingan, pembiayaan, hingga penyelarasan kebijakan lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah,” tuturnya.

    Yeka mengungkapkan bahwa hasil dari kunjungan tersebut akan menjadi masukan strategis Ombudsman dalam menyusun saran kebijakan kepada Kementerian Pertanian, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, serta Presiden RI terkait penguatan layanan publik di sektor pemasyarakatan yang mendukung ketahanan pangan nasional.

    Kunjungan Ombudsman ke Lapas Sukamiskin Bandung sebagai bagian dari penguatan fungsi pelayanan publik, khususnya terhadap program pembinaan bagi WBP.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.