Tag: Yeka Hendra Fatika

  • Kepala BGN Bolehkan Ultra-processed Food Sehat Masuk MBG: Contoh Susu UHT

    Kepala BGN Bolehkan Ultra-processed Food Sehat Masuk MBG: Contoh Susu UHT

    Kepala BGN Bolehkan Ultra-processed Food Sehat Masuk MBG: Contoh Susu UHT
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyatakan tidak semua produk 
    ultra-processed food 
    dilarang masuk ke dalam menu Makan Bergizi Gratis (MBG).
    “Untuk beberapa produk yang baik dan sehat dimungkinkan, contoh susu UHT
    plain
    ,” kata Kepala BGN Dadan Hindayana kepada
    Kompas.com
    , Rabu (1/10/2025).
    Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyatakan seharusnya sosis,
    nugget
    , hingga burger dan makanan lain yang tergolong dalam ultra-processed foods (UPF) atau makanan ultra-olahan tidak boleh ada dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG).
    “Kalau diharapkan, BGN tidak lagi memaksakan membeli sosis, nugget di dalam menunya, burger gitu. Harusnya nggak boleh lah. Namanya aja
    junk food
    , benar kan?” kata Yeka di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (30/9/2025).
    Sebelumnya, Wakil Kepala BGN Nanik S Deyang melarang penggunaan makanan UPF sebagai menu makanan Program MBG.
    Selain itu, dia juga memastikan kebijakan ini akan tetap membuka peluang besar bagi UMKM lokal untuk berkembang.
    “Begitu larangan ini dilaksanakan, ratusan ribu UMKM pangan akan hidup. Ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk tidak hanya memberi gizi bagi anak bangsa, tetapi juga menggerakkan ekonomi rakyat,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (27/9/2025).
    Ultra-processed food
     atau UPF, dialihbahasakan sebagai “makanan ultra-olahan” adalah makanan yang mengalami proses pengolahan sangat tinggi.
    Ciri khasnya adalah penggunaan berbagai zat tambahan, mulai dari pengawet, pewarna, pemanis buatan, hingga penguat rasa, dilansir dari Asosiasi Dietsien Indonesia (AsDI).
    Ultra-processed food memiliki nilai gizi rendah, tetapi tinggi kalori, gula, garam, dan lemak.
    Jika dikonsumsi berlebihan, makanan ini bisa meningkatkan risiko obesitas, diabetes, dan penyakit jantung.
    Makanan ini biasanya hadir dalam bentuk siap makan atau siap saji, dengan daya tahan lama dan rasa yang kuat berkat tambahan gula, garam, dan lemak.
    Contoh
    ultra-processed food
    , antara lain mi instan,
    nugget
    , sosis, es krim, roti, biskuit kemasan, beberapa jenis sereal, minuman kemasan manis, dan camilan kekinian yang sedang populer.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ombudsman minta masyarakat melapor apabila ada insiden terkait MBG

    Ombudsman minta masyarakat melapor apabila ada insiden terkait MBG

    Jakarta (ANTARA) – Ombudsman RI (ORI) meminta masyarakat segera melapor apabila terdapat insiden yang tidak diinginkan usai mengonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Tanggapan tersebut merespons ramainya pemberitaan terkait adanya surat perjanjian dari sekolah kepada orang tua murid untuk menanggung risiko secara pribadi apabila terdapat insiden terhadap sang anak usai mengonsumsi MBG.

    “Tidak boleh begitu, tidak boleh ada aturan seperti itu,” ucap Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika saat ditemui di Jakarta, Selasa.

    Ia menegaskan sekolah memiliki tanggung jawab apabila terdapat insiden yang tidak diinginkan terhadap muridnya, termasuk saat mengonsumsi MBG.

    Menurut dia, apabila terdapat perjanjian untuk menanggung risiko sendiri dengan orang tua murid, maka sekolah sama saja melakukan pembungkaman.

    Sebelumnya, beredar di media sosial terkait surat pernyataan untuk menerima atau menolak Program MBG di MTsN 2 Brebes.

    Dalam surat tersebut, orang tua siswa diminta menandatangani kesepakatan untuk menanggung risiko secara pribadi dan tidak menuntut secara hukum pihak sekolah maupun panitia penyelenggara apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat MBG, seperti keracunan, reaksi alergi, hingga ketidakcocokan makanan dengan kondisi kesehatan pribadi anak.

    Menanggapi hal tersebut, Badan Gizi Nasional (BGN) mengklarifikasi polemik yang ada dan menegaskan angket tersebut untuk mengidentifikasi alergi siswa.

    Koordinator Wilayah (Korwil) BGN Kabupaten Brebes Arya Dewa Nugroho dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu, menegaskan BGN tidak pernah melepaskan tanggung jawab apabila terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) atau insiden keamanan pangan dalam pelaksanaan program tersebut.

    “Informasi yang beredar seolah-olah BGN lepas tangan adalah tidak benar. Hasil dari mediasi, pihak MTs menarik angket tersebut dan menjelaskan ke wali murid bahwa angket tersebut ditarik dan murni membagikan angket terkait alergi siswa saja,” kata Arya.

    Dari kejadian tersebut, pihak SPPG MTsN 2 Brebes menegaskan angket yang tersebar tidak pernah bermaksud untuk membebaskan tanggung jawab pihak manapun.

    Arya melanjutkan pihak sekolah juga sepakat menjadi penerima manfaat Program MBG dengan menandatangani perjanjian kerja sama sesuai petunjuk teknis (juknis) BGN.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Eka Arifa Rusqiyati
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ombudsman harap “junk food” tak dijadikan menu dalam program MBG

    Ombudsman harap “junk food” tak dijadikan menu dalam program MBG

    Jakarta (ANTARA) – Ombudsman RI (ORI) berharap junk food atau makanan tak bergizi yang memiliki kalori, lemak, dan gula yang tinggi tidak dijadikan menu dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Menurut Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika, penyediaan junk food sebagai menu MBG tidak sejalan dengan esensi Makan Bergizi Gratis.

    “Ini kan makan bergizi kan gitu ya, berarti kan unsur gizinya itu harus benar-benar dipenuhi,” ungkap Yeka saat ditemui di Jakarta, Selasa.

    Dengan demikian, dirinya meminta Badan Gizi Nasional (BGN) agar tak lagi memperbolehkan sekolah untuk menyediakan junk food, seperti sosis, burger, maupun chicken nugget, sebagai menu MBG.

    Apabila memang diperlukan penyediaan berbagai menu seperti sosis, burger, dan chicken nugget untuk variasi dalam program MBG, Yeka menilai hal tersebut bisa diatasi dengan pengolahan mandiri menggunakan bahan-bahan yang tinggi gizi.

    “Kecuali kalau nugget-nya itu bikin sendiri, bukan merupakan ultra-processed food,” katanya.

    Sebelumnya, BGN menyatakan spageti dan hamburger merupakan menu permintaan dari para siswa yang menjadi salah satu cara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam mengatasi siswa yang bosan dengan nasi sebagai sumber karbohidrat.

    Hal itu disampaikan Wakil Kepala BGN Nanik S. Deyang dalam menanggapi kritik dari salah satu ahli gizi yang menilai bahwa menu MBG bukan berasal dari makanan lokal, contohnya pada penyajian spageti dan burger.

    “Mohon maaf ada yang mengkritik, ‘Masa ada spageti? Masa ada burger diberikan, apa gizinya? Jadi itu, mohon maaf, itu tidak selalu. Jadi anak-anak SPPG ini punya kreativitas, kreativitas gini ayo, biar enggak bosan makan nasi,” kata Nanik dalam jumpa pers yang diselenggarakan di Kantor BGN, Jakarta, Jumat (26/9).

    Nanik menjelaskan bahwa para siswa diperbolehkan untuk mengajukan permintaan menu MBG yang akan mereka konsumsi. Namun, menu permintaan itu hanya boleh sekali dalam seminggu.

    Menurut Nanik, menu spageti dan burger menjadi bentuk kreativitas salah satu SPPG di daerah agar siswa tidak bosan makan nasi.

    Ia menekankan bahwa makanan yang khusus diminta siswa itu bukan menu harian.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ombudsman Temukan Penyimpangan MBG: Beli Beras Premium, Ternyata Kualitasnya Medium

    Ombudsman Temukan Penyimpangan MBG: Beli Beras Premium, Ternyata Kualitasnya Medium

    Ombudsman Temukan Penyimpangan MBG: Beli Beras Premium, Ternyata Kualitasnya Medium
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com —
    Ombudsman Republik Indonesia menemukan adanya penyimpangan dalam pengadaan bahan baku beras untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di salah satu dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) wilayah Cimahpar, Bogor.
    Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi KU III Ombudsman RI, Kusharyanto, mengatakan bahwa beras yang tertulis berkualitas premium saat dibeli, ternyata berjenis medium saat diperiksa di lapangan.
    “Yang kami temukan itu adalah bahwa ada penyimpangan ketika pengadaan dilakukan,” ujar Kusharyanto di kantor Ombudsman, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
    “Di
    supplier
    disebut bahwa itu premium, tapi ternyata ketika dicek adalah beras medium, dan itu lolos dari pengecekan SPPG,” kata dia melanjutkan.
    Menurut dia, temuan tersebut menunjukkan adanya penyimpangan prosedur dalam proses pengadaan bahan baku MBG.
    Padahal, kontrak yang berlaku sudah dengan jelas mewajibkan penggunaan beras premium.
    “Kalau memang anggaran yang dibelanjakan itu adalah untuk premium, semestinya memperoleh bahan baku yang sesuai sepenuhnya. Seperti itu salah satu bentuk penyimpangan,” ujar Kusharyanto.
    Kusharyanto menjelaskan bahwa kasus ini baru ditemukan di satu titik atau spot penyimpanan beras di SPPG Cimahpar, Bogor, dan belum menyeluruh di semua wilayah.
    Namun, temuan tersebut menjadi catatan penting agar BGN memperkuat sistem pengawasan.
    “Ini sebetulnya lebih ke penyimpangan prosedur karena sudah ada kontrak. Kami mendorong pada SPPG untuk lebih teliti, karena sampel yang diberikan belum tentu sama dengan barang yang dikirim,” ujar dia.
    Berdasarkan hasil pemeriksaan, Ombudsman menemukan bahwa beras yang diterima memiliki derajat patah di atas 15 persen, yang mengindikasikan bahwa beras tersebut masuk kategori medium, bukan premium seperti yang tertera dalam kontrak.
    Sementara itu, anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menegaskan bahwa temuan tersebut tidak mencerminkan keseluruhan pelaksanaan MBG, karena sebagian besar SPPG masih berjalan dengan baik.
    “Spot itu artinya bukan berarti semua wilayah. Kalau kita lihat, dari total SPPG yang ada, jumlah yang mengalami insiden seperti ini jauh lebih kecil dibandingkan yang berhasil,” kata Yeka.
    Menurut data Ombudsman, dari lebih dari 8.450 SPPG yang beroperasi, hanya 34 yang tercatat mengalami insiden atau temuan bermasalah.
    “Artinya, program MBG ini memang masih berproses. Risiko insiden seperti sekarang bisa diminimalkan dengan memperbaiki regulasi dan tata kelola,” ujar dia menegaskan.
    Ia menambahkan bahwa Ombudsman telah mengusulkan sejumlah perbaikan regulasi, termasuk penyempurnaan petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) agar tata kelola MBG berjalan lebih transparan dan akuntabel.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Honor Staf SPPG Telat-Temuan Sayur Busuk

    Honor Staf SPPG Telat-Temuan Sayur Busuk

    Jakarta

    Ombudsman RI mengungkap terdapat empat potensi maladministrasi pada program Makan Bergizi Gratis (MBG). Temuan ini berbentuk berbagai penyimpangan, baik itu dari masalah kepentingan politik, gaji dari ahli gizi, hingga temuan ketidaksesuaian bahan makanan.

    Pertama, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyebut terdapat potensi maladministrasi pada proses verifikasi mitra yang berjalan tanpa kepastian waktu serta keterlambatan pencairan honorarium bagi staf lapangan.

    “Di Bogor misalnya, staf inti SPPG seperti ahli gizi dan akuntan dijanjikan honorarium sebesar Rp 5 juta per bulan. Namun realisasinya baru cair setelah 3 bulan sehingga berpengaruh pada motivasi kerja,” kata dia dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Selasa (30/9/2025).

    Kasus lainnya, ia mencontohkan yang terjadi di Garut dan Bandung Barat, relawan yang rata-rata berjumlah 50 orang per SPPG menyampaikan keluhan mengenai beban kerja yang cukup berat mulai dari dapur hingga distribusi yang belum sebanding dengan kompensasi yang diterima.

    Kondisi serupa juga ditemukan di Belitung, Bangka Belitung, di mana guru harus mengatur distribusi makanan tanpa insentif maupun fasilitas yang memadai.

    Maladministrasi yang kedua, temuan afiliasi sejumlah yayasan dengan jejaring politik yang menimbulkan risiko konflik kepentingan dalam penetapan mitra. Sayangnya, Yeka enggan menyebutkan jumlah dan asal SPPG dan yayasan yang terafiliasi dengan jejaring politik.

    Ketiga, ketidakmampuan atau lemahnya kompetensi dalam penerapan SOP, ditunjukkan oleh dapur yang tidak menyimpan catatan suhu maupun retained sample sehingga investigasi insiden keracunan menjadi terkendala.

    Keempat, terjadi penyimpangan prosedur dalam pengadaan bahan makanan. Yeka menyebutkan, terdapat temuan di salah satu SPPG Bogor yang menyediakan beras tidak sesuai kontrak hingga distribusi sayur busuk.

    “Seperti kasus di Bogor ketika beras medium dengan kadar patah lebih dari 15% diterima meskipun kontrak menyebut beras premium, serta temuan distribusi sayuran busuk dan lauk yang tidak lengkap di sejumlah daerah,” ungkapnya.

    Ombudsman RI memberikan saran untuk penyelanggaraan MBG, terutama terkait dengan aspek pengawasan:

    1. Sistem Koordinasi

    Badan Gizi Nasional (BGN) perlu membangun sistem koordinasi yang efektif antara instansi pemerintah pusat, daerah, dan komunikasi masyarakat agar pelayanan MBG dapat lebih responsif terhadap kondisi di lapangan.
    • BPOM dan Dinas Kesehatan perlu dilibatkan dalam proses pengawasan keamanan pangan secara rutin.
    • Pemerintah daerah (PTSP) perlu memastikan ketersediaan dukungan distribusi khusus di sekolah dengan honorarium yang memadai, sehingga beban guru dapat dikurangi.

    2. Evaluasi Pelaksanaan SPPG

    BGN perlu melakukan pembinaan dan pengawasan secara berkelanjutan terhadap penyelenggaraan MBG oleh SPPG, dengan memastikan tidak terjadi diskriminasi, maladministrasi, maupun penurunan kualitas layanan.
    Pengawasan harus berbasis data melalui:
    • Daftar periksa bahan masuk atau formulir pemeriksaan bahan untuk menjaga mutu bahan baku.
    • Penindakan tegas terhadap pemasok yang berulang kali melanggar spesifikasi.

    Dalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, BGN perlu memastikan:
    a. SPPG yang mengalami insiden hingga menimbulkan gangguan kesehatan bagi penerima manfaat harus dihentikan sementara untuk dilakukan evaluasi.
    b. SPPG yang telah beroperasi dan tidak mengalami insiden tetap dijalankan dengan pengawasan yang konsisten.
    c. SPPG yang sudah terdaftar tetapi belum beroperasi perlu mendapatkan pembinaan, memastikan pemahaman terhadap petunjuk teknis, dan hanya dapat beroperasi setelah evaluasi atas insiden sebelumnya selesai dilakukan serta perbaikan dilaksanakan.

    3. Partisipasi Publik

    BGN perlu melaksanakan pengawasan secara berkala dengan membuka ruang partisipasi publik, melibatkan lembaga pengawas independen, serta menyediakan dashboard digital yang menampilkan secara real-time informasi kepatuhan terhadap SOP distribusi, hasil uji organoleptik, serta data pendukung lain untuk meningkatkan transparansi.
    • Untuk menjamin keberlanjutan monitoring, BGN juga perlu menyelesaikan Buku Saku Operasional Dapur SPPG agar segera diterapkan secara nasional dan menjadi pedoman standar pengolahan serta distribusi makanan.

    (ada/rrd)

  • Honor Staf SPPG Telat-Temuan Sayur Busuk

    Ombudsman Temukan 8 Masalah MBG Usai Geger Kasus Keracunan

    Jakarta

    Ombudsman R mengungkap terdapat delapan masalah utama dalam penyelenggaraan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Temuan permasalahan ini sebagai hasil kajian cepat yang dilakukan usai heboh kasus keracunan pada program tersebut.

    Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengungkap masalah pertama yang ditemukan terdapat kesenjangan yang lebar antara target dan realisasi capaian. Dalam data yang dihimpun oleh Ombudsman RI, realisasi penerima MBG baru mencapai 22,7 juta orang dari target 82,9 juta penerima hingga 2025.

    Kemudian, dari target sekitar 30.000 SPPG, baru terealisasi sekitar 8.450 unit yang telah beroperasi atau sekitar 27%. Sementara serapan anggaran telah mencapai sekitar Rp 13 triliun atau 18,3%.

    “Angka-angka ini tidak sekedar menunjukkan keterbatasan, tetapi juga memberikan gambaran awal tentang tantangan skalabilitas dan logistik yang harus diperbaiki, sekaligus peluang untuk memperkuat tata kelola agar program ini benar-benar mampu menjangkau seluruh anak bangsa secara lebih merata dan berkeadilan,” kata dia dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selasa (30/9/2025).

    Masalah kedua, maraknya kasus keracunan masal yang terjadi di berbagai daerah. Ombudsman mencatat sejak Januari hingga September 2025, telah terjadi sekitar 34 kejadian luar biasa keracunan dengan ribuan korban mayoritas anak sekolah.

    “Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan peringatan bahwa pengawasan mutu, pengolahan, dan distribusi makanan masih memiliki celah yang serius,” terangnya.

    Ketiga, terdapat permasalahan dalam penetapan mitra yayasan dan SPPG yang belum transparan dan rawan konflik kepentingan. Dalam hal ini, Yeka menyebutkan terdapat yayasan atau SPPG yang terafiliasi dengan elit politik.

    Keempat, keterbatasan dan pemetaan sumber daya manusia termasuk keterlambatan honorarium serta beban kerja guru dan relawan. Kelima, ketidaksesuaian mutu bahan baku akibat belum adanya standar acceptance quality limit yang tegas.

    “Keenam, penerapan standar pengelolaan makanan yang belum konsisten. Ketujuh, distribusi makanan yang belum tertib dan masih membebani guru di sekolah. Dan kedelapan, sistem pengawasan yang belum terintegrasi masih bersifat reaktif dan belum sepenuhnya berbasiskan data,” jelasnya.

    Atas temuan kedelapan masalah tersebut, Ombudsman mengungkap terdapat empat potensi maladministrasi utama dalam penyelenggaraan program MBG.

    1. Penundaan Berlarut
    Terlihat pada proses verifikasi mitra yang berjalan tanpa kepastian waktu serta keterlambatan pencairan honorarium bagi staf lapangan.

    2. Diskriminasi
    Tercermin dari potensi afiliasi sejumlah yayasan dengan jejaring politik yang menimbulkan risiko konflik kepentingan dalam penetapan mitra.

    3. Tidak Kompeten
    Ketidakmampuan atau lemahnya kompetensi dalam penerapan SOP, ditunjukkan oleh dapur yang tidak menyimpan catatan suhu maupun retained sample sehingga investigasi insiden keracunan menjadi terkendala.

    4. Penyimpangan Prosedur dalam Pengadaan Bahan
    Seperti kasus di Bogor ketika beras medium dengan kadar patah lebih dari 15% diterima meskipun kontrak menyebut beras premium, serta temuan distribusi sayuran busuk dan lauk yang tidak lengkap di sejumlah daerah.

    “Empat bentuk maladministrasi ini bukan hanya menggambarkan kelemahan tata kelola, tetapi sekaligus menjadi pengingat penting bahwa prinsip pelayanan publik kepastian, akuntabilitas, dan keterbukaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 harus ditegakkan secara konsisten,” pungkas Yeka.

    (ada/rrd)

  • Ombudsman: Pengawasan penyaluran subsidi pupuk tekan keluhan petani

    Ombudsman: Pengawasan penyaluran subsidi pupuk tekan keluhan petani

    Dari pengawasan itu, banyak hasil yang sudah kami lakukan, tetapi walau pun banyak hasilnya, ternyata tidak menyurutkan keluhan para petani kita terhadap subsidi pupuk

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mendaku/klaim pengawasan penyaluran subsidi pupuk yang telah dilakukannya mampu menekan laporan keluhan petani terkait kebijakan subsidi pupuk.

    “Pada periode tahun 2023-2024, hiruk-pikuk terhadap keluhan pupuk itu makin mengecil,” ujar Yeka saat membuka diskusi publik bertajuk Evaluasi Tata Kelola Subsidi Pupuk Saat Ini di Jakarta, Kamis.

    Terhadap kebijakan subsidi pupuk, Ombudsman telah melakukan pengawasan, yang dimulai dalam bentuk kajian tinjauan sistematis pada tahun 2021.

    Pada tahun 2022, lanjut dia, Ombudsman melaksanakan investigasi atas prakarsa sendiri atas kebijakan subsidi pupuk, yang dilanjutkan dengan pengawasan pada tahun 2023 sampai 2024.

    “Dari pengawasan itu, banyak hasil yang sudah kami lakukan, tetapi walau pun banyak hasilnya, ternyata tidak menyurutkan keluhan para petani kita terhadap subsidi pupuk,” ucap dia.

    Berdasarkan pengawasan Ombudsman, ditemukan bahwa keluhan petani terhadap subsidi pupuk disebabkan oleh seringnya pergantian kebijakan tanpa perencanaan yang matang.

    Yeka mencontohkan, salah satunya saat penyaluran subsidi sudah diatur, namun tiba-tiba kebijakan berubah serta saat subsidi pupuk berupa barang diubah menjadi subsidi langsung.

    “Mau jalan dibatalkan lagi, ganti lagi kebijakan lagi. Yang repot di lapangan, ini yang membuat keluhan-keluhan, sehingga dalam short term terjadi banyak keluhan,” ungkap Yeka.

    Kendati demikian, Ombudsman melihat berbagai keluhan tersebut hanya banyak dilaporkan para petani pada tahun 2021 dan 2022, sedangkan pada periode 2023-2024 laporan yang diadukan relatif berkurang.

    Maka dari itu, dirinya menegaskan Ombudsman akan terus melakukan fungsi pengawasan terhadap kebijakan subsidi pupuk, di mana terhadap permasalahan perubahan kebijakan pihaknya terus menekankan perencanaan yang matang sejak dari hulu.

    “Ombudsman hadir, ada masalah kami bantu untuk selesaikan. Ada masalah di petani, kami coba bantu,” tutur dia.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • ORI: 70 persen tugas berantas kemiskinan sukses bila petani sejahtera

    ORI: 70 persen tugas berantas kemiskinan sukses bila petani sejahtera

    Jadi, saya berkeyakinan dengan menyejahterakan petani kita, maka secara otomatis kita turut membantu untuk memastikan agar kemiskinan di Indonesia sudah terselesaikan

    Jakarta (ANTARA) – Ombudsman RI (ORI) menyebutkan lebih dari 70 persen tugas negara untuk memberantas kemiskinan itu sudah tercapai atau sukses bila pemerintah bisa membantu para petani untuk mencapai hidup yang layak dan sejahtera.

    Saat membuka diskusi publik bertajuk Evaluasi Tata Kelola Subsidi Pupuk Saat Ini di Jakarta, Kamis, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan salah satu kantong kemiskinan di Indonesia berada di sektor pertanian.

    “Jadi, saya berkeyakinan dengan menyejahterakan petani kita, maka secara otomatis kita turut membantu untuk memastikan agar kemiskinan di Indonesia sudah terselesaikan,” kata Yeka.

    Maka dari itu, kata dia, pupuk subsidi bukan hanya persoalan komoditas, melainkan bentuk kehadiran negara untuk membantu para petani di Tanah Air.

    Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), ia menuturkan saat ini masih terdapat beberapa indikator yang memperlihatkan petani belum sejahtera. Indikator pertama, yakni banyaknya rumah tangga petani yang meninggalkan sektor pertanian dalam 10 tahun terakhir.

    Yeka mengungkapkan terdapat sekitar 200 ribu rumah tangga yang meninggalkan sektor tersebut dalam periode 10 tahun atau sekitar total 600 ribu orang dengan perhitungan tiga orang dalam tiap rumah tangga.

    “Ada orang yang berpikir bagus itu berarti sudah sejahtera. Iya kalau memang begitu sudah sejahtera, tapi kalau tidak sejahtera, tidak makin membaik juga, itu menjadi persoalan lain,” tuturnya.

    Indikator kedua, sambung dia, semakin banyaknya petani yang sudah tidak berdaulat atas lahannya. Hal tersebut berdasarkan pengamatan Yeka saat kunjungan kerja.

    Setiap dirinya bertanya kepada petani saat kunjungan kerja, sekitar 90 persen petani zaman sekarang cenderung merupakan penggarap lahan orang lain, bukan pemilik.

    Sementara sisanya pun, lanjut dia, mayoritas hanya menguasai lahan sekitar 0,1 hektare sampai 0,2 hektare atau 1.000 meter persegi sampai 2.000 meter persegi.

    Menurut Yeka, kondisi tersebut sangat disayangkan lantaran apabila dihitung jumlah pendapatan satu petani dari luas lahan tersebut, paling besar hanya Rp300 ribu per bulan.

    “Bisa jadi bahkan zonk kalau gagal panen. Nah, itu adalah bentuk ketidakberdayaan para petani kita,” ungkap Yeka.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Beras Bulog Rentan Turun Mutu, Program Serap Gabah Jadi Sorotan

    Beras Bulog Rentan Turun Mutu, Program Serap Gabah Jadi Sorotan

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat pertanian Syaiful Bahari menilai bahwa kualitas beras Bulog yang terancam mengalami penurunan mutu tak lepas dari program serap gabah dengan harga Rp6.500 per kilogram (kg).

    Hal ini disampaikannya merespons pernyataan Ombudsman RI terkait 300.000 ton beras di gudang Perum Bulog terancam mengalami penurunan mutu hingga tidak layak konsumsi (disposal).

    Di satu sisi, dia menilai program serap gabah ini bagus karena mendorong penggilingan padi kecil menengah bisa hidup kembali setelah kalah saing mendapatkan gabah dengan penggilingan padi besar. 

    Menurutnya, skema serap gabah yang melibatkan penggilingan padi kecil menengah ikut menyuplai ke Bulog lebih diminati, meskipun posisi mereka hanya sebagai maklon produksi beras. Namun, dia menilai program ini tidak disertai dengan kontrol kualitas gabah dan beras yang dihasilkan.

    “Karena memang sebagian besar penggilingan padi kecil menengah tidak memiliki teknologi pengeringan gabah dan rice mill yang modern,” kata Syaiful kepada Bisnis, Rabu (3/9/2025).

    Dia melanjutkan, masalah ini berakibat kepada hasil produksi beras dari penggilingan kecil yang dinilai berada di bawah kualitas dan tidak dapat disimpan dalam waktu lama. 

    Syaiful berpendapat bahwa hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah, khususnya Bulog. Dia menyebut, program serap gabah petani harus diintegrasikan dengan modernisasi penggilingan padi kecil, agar mereka bisa meningkatkan kualitas beras tersebut.

    Pasalnya, penggilingan padi besar dinilai menjadi pihak yang paling menikmati program serap gabah berharga murah tersebut, mengingat kemampuan mereka dalam memenuhi standar beras Bulog.

    Dia menerangkan bahwa penggilingan padi besar bisa dengan leluasa menyimpan beras Bulog dengan pembayaran yang bagus, dan membeli lagi jika harga beras di pasar sedang tinggi. 

    “Jadi, semua ini harus dikaji secara mendalam dan melihat dari semua faktor, agar negara tidak dirugikan dan petani maupun industri penggilingan rakyat tetap terselamatkan,” tuturnya.

    Di samping itu, dia menilai hal ini juga berpengaruh terhadap distribusi beras, khususnya beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang belum optimal. Kualitas beras yang turun menjadi faktor keraguan pemangku kepentingan untuk melakukan penyaluran karena dikhawatirkan menimbulkan protes masyarakat.

    Sebelumnya, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyampaikan bahwa kondisi 300.000 ton beras di gudang Perum Bulog tersebut berpotensi menimbulkan kerugian hingga mencapai Rp4 triliun apabila menjadi tak layak konsumsi.

    Pihaknya mencermati bahwa jumlah 300.000 ton tersebut diduga tidak hanya bersumber dari stok beras impor yang terakhir kali dilakukan pada tahun lalu, melainkan juga dari gabah at any quality yang diserap Bulog.

    “Taksiran kerugiannya kita lihat, ini hitungan kasar saja lah ya, bisa mencapai Rp4 triliun,” katanya kepada Bisnis melalui sambungan telepon, Selasa (2/9/2025).

    Menanggapi hal ini, Direktur Utama Bulog Ahmad Rizal Ramdhani menyampaikan bahwa kondisi beras yang disimpan di gudang Bulog saat ini dalam keadaan yang bagus, seraya menekankan bahwa pemeliharaan stok terus dilakukan secara berkala.

    “Bagus [keadaannya], nanti teman-teman media akan kami bawa lihat ke gudang, supaya melihat kondisi beras kita dan pemeliharaannya seperti apa, baik pemeliharaan harian, mingguan, bulanan, triwulan, bahkan semester,” kata Rizal kepada wartawan di Kantor Pusat Bulog, Jakarta Selatan, Selasa (2/9/2025).

    Terkait masih adanya stok beras dari aktivitas impor yang terakhir dilakukan pada tahun lalu, Rizal mengatakan bahwa proses penyaluran terus dilakukan seiring dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

    Menurutnya, beras tersebut menjadi bagian dari penyaluran program bantuan pangan yang telah tersalurkan ke masyarakat hingga periode Juli 2025.

    Saat ini, Rizal mengungkapkan bahwa penyaluran beras bantuan pangan pemerintah telah mencapai 99%, sementara 1% sisanya merupakan penyaluran untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

    “Terutama di 3T tersebut, termasuk yang daerah-daerah rawan konflik seperti di Papua Pegunungan dan lain sebagainya. Ini yang juga sedang kami upayakan dengan satgas-satgas yang ada di depan,” tutur purnawirawan TNI berpangkat Mayor Jenderal ini.

  • 300.000 Beras Bulog di Gudang Terancam Rusak, Mentan Bilang Begini

    300.000 Beras Bulog di Gudang Terancam Rusak, Mentan Bilang Begini

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan bakal melakukan sejumlah cara untuk menjaga kualitas beras dan memperbaiki pola distribusi bahan pangan utama ini.

    Amran menyampaikan bahwa penjagaan mutu beras nasional terus dilakukan oleh Perum Bulog sejak proses penyerapan gabah dari petani.

    “Kita perbaiki mulai dari serapan. Bahan bakunya, penyimpanannya kita perbaiki. Kemudian distribusinya,” kata Amran kepada wartawan di Kantor Perum Bulog, Jakarta Selatan, Selasa (2/9/2025).

    Terkait proses distribusi beras, Amran mengatakan bahwa perbaikan berlangsung dari hulu ke hilir. Dia mengeklaim distribusi pupuk dan benih padi saat ini sudah cukup baik, sedangkan sistem irigasi sedang dibenahi dan ditargetkan rampung pada tahun depan. 

    Dia melanjutkan bahwa aspek lainnya mencakup alat dan sistem pertanian (alsintan) dan optimalisasi lahan (oplah) yang dinilai telah mumpuni.

    Dengan demikian, proses cetak sawah baru terus berjalan, sehingga pihaknya berharap ekosistem pangan nasional dapat terwujud.

    “Pekerjaan terakhir kita, kita membangun ekosistem pangan yang sehat. Tinggal di hilir. Kalau ini hilir selesai, ekosistem pangan sudah selesai, dari hulu ke hilir kita benahi,” tutur Amran.

    Adapun, kualitas beras tengah menjadi sorotan, salah satunya dari Ombudsman RI yang menyampaikan bahwa 300.000 ton beras di gudang Perum Bulog terancam mengalami penurunan mutu hingga tidak layak konsumsi (disposal).

    Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyampaikan bahwa kondisi tersebut berpotensi menimbulkan kerugian hingga mencapai Rp4 triliun.

    Pihaknya mencermati bahwa jumlah 300.000 ton tersebut diduga tidak hanya bersumber dari stok beras impor, melainkan juga dari gabah at any quality yang diserap Bulog.

    “Taksiran kerugiannya kita lihat, ini hitungan kasar saja lah ya, bisa mencapai Rp4 triliun,” katanya kepada Bisnis melalui sambungan telepon.

    Sementara itu, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyampaikan bahwa realisasi distribusi beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) baru mencapai 303.187 ton selama periode 1 Januari—1 September 2025.

    Direktur Kewaspadaan Pangan dan Gizi Bapanas, Nita Yulianis menyampaikan bahwa realisasi tersebut setara dengan 20,21% dari target penyaluran 1,5 juta ton pada tahun ini.

    “Penyaluran Beras SPHP tahun 2025 sampai dengan tanggal 1 September dengan total penyaluran sebesar 303.187 ton atau setara 20,21%,” kata Nita dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi Kementerian Dalam Negeri melalui sambungan telekonferensi hari ini.