Tag: Yayat Supriatna

  • 5
                    
                        Menara Saidah, Bayangan Kemegahan yang Terbengkalai di Tengah Megaproyek Jakarta
                        Megapolitan

    5 Menara Saidah, Bayangan Kemegahan yang Terbengkalai di Tengah Megaproyek Jakarta Megapolitan

    Menara Saidah, Bayangan Kemegahan yang Terbengkalai di Tengah Megaproyek Jakarta
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Di antara hiruk-pikuk kendaraan di Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, berdiri sebuah menara yang seolah berhenti dalam waktu.
    Menara Saidah
    , dengan tiang-tiang korintus dan fasad bergaya Romawi klasik, kini hanya menjadi bayangan kemegahan masa lalu yang perlahan memudar di tengah pesatnya pembangunan Ibu Kota.
    Bangunan setinggi 28 lantai itu pernah menjadi simbol kemajuan kawasan bisnis Cawang pada awal 2000-an.
    Namun, hampir dua dekade berlalu, ia menjelma menjadi monumen bisu menggambarkan rumitnya tata kelola ruang Kota Jakarta dan lemahnya penegakan hukum terhadap aset-aset terabaikan.
    Penelusuran
    Kompas.com
    , Jumat (7/11/2025), menunjukkan bahwa Menara Saidah kini seperti artefak kota yang terlupakan.
    Di depan gedung, pagar seng berwarna abu-abu kusam setinggi dua meter membentang sepanjang sisi jalan, dengan tulisan besar berwarna merah:
    DILARANG MASUK
    .
    Setiap hari, orang-orang melintas hanya beberapa meter dari bangunan ini tanpa pernah benar-benar tahu apa yang tersisa di balik pagar itu.
    Begitu pagar seng dibuka oleh petugas keamanan, suasana berubah drastis. Sunyi. Hanya terdengar dengung mesin kendaraan dari kejauhan dan lolongan anjing penjaga di bawah naungan pohon besar yang tumbuh liar di depan lobi.
    Dua pos jaga kecil berdiri di sisi kanan dan kiri gerbang, terbuat dari kayu lapuk yang sebagian atapnya sudah bocor.
    “Kami jaga empat orang, siang malam bergantian,” ujar Juliadi (40), salah satu penjaga yang sudah bekerja di sana sejak 2014.
    “Tugasnya cuma jaga biar enggak ada yang masuk tanpa izin. Banyak anak muda penasaran, kadang nekat manjat pagar,” lanjutnya.
    Di halaman depan, lantai marmer yang dulu berkilau kini tertutup debu, pecahan genteng, dan dedaunan kering.
    Rumput liar tumbuh menembus sela ubin, membentuk lanskap alami yang menelan keanggunan desain arsitektur klasik Eropa yang dulu diagungkan.
    Fasad bangunan menampilkan enam pilar besar berwarna hijau tua dengan ukiran emas yang kini memudar. Ornamen berbentuk bunga teratai di atas atap lobi menghitam akibat jamur dan cuaca.
    Di bagian dalam lobi utama, dua patung klasik berwarna putih, satu berbentuk bust laki-laki dan satu lagi patung singa, duduk berdiri di tengah debu.
    Kedua patung itu kotor, tertutup jelaga dan sarang laba-laba, tetapi masih menjaga aura kemewahan masa lalu.
    Di langit-langit lobi, lukisan langit berwarna biru muda dengan awan putih masih tampak samar, diapit sisa ornamen emas di tepiannya.
    Lift yang dulu menjadi penghubung antar lantai kini hanya menyisakan poros besi vertikal tanpa kabin. Kabel-kabel menjuntai dari langit-langit, berkarat, dan sebagian putus.
    Dinding-dinding di sekitar tangga darurat mengelupas, menampakkan lapisan bata merah dan kerangka besi bangunan.
    Tangga sempit menuju lantai dua dan seterusnya tak diterangi cahaya. Udara terasa lembap dan berbau besi tua.
    Lantai atas tampak seperti ruang terbuka yang membisu. Beberapa ruangan kosong masih memiliki sisa meja, sebagian besar berdebu dan berkarat.
    Di salah satu ruangan yang menghadap Jalan MT Haryono, kaca jendelanya sudah pecah, memberikan pemandangan Kota Jakarta yang terus bergerak di luar sana, di antaranya LRT melintas, mobil melaju, dan gedung-gedung baru tumbuh di sekitarnya.
    Kontras itu terasa menyesakkan seolah Menara Saidah tidak hanya ditinggalkan secara fisik, tetapi juga secara makna. Ia berdiri tegak, tetapi tak lagi menjadi bagian dari kehidupan kota.
    “Dulu pernah ada yang mau syuting, tapi itu udah lama banget,” kata Juliadi lagi.
    “Pemerintah belum pernah datang lagi. Katanya mau direvitalisasi, tapi cuma rencana,” imbuhnya.
    Sementara di sisi belakang gedung, pemandangan tak kalah miris. Dinding pembatas yang roboh memperlihatkan kontras antara kemegahan dan kesederhanaan permukiman padat warga Cikoko Timur yang hanya berjarak beberapa meter dari fondasi bangunan berlantai 28 itu.
    Area parkir bawah juga bisa dilalui dengan tangga besi melingkar di sisi kanan gedung. Area parkir ini kosong dan gelap, hanya diiringi ilalang serta bunyi dedaunan yang bergesekan di sekitar bangunan.
    Menara Saidah bukan sekadar bangunan kosong. Ia menyimpan riwayat panjang kepemilikan yang berlapis.
    Bangunan ini awalnya dibangun oleh PT Hutama Karya pada 1998 atas pesanan Mooryati Soedibyo, pendiri Mustika Ratu, dengan nama Menara Gracindo.
    Beberapa tahun kemudian, gedung itu dilelang dan berpindah tangan ke keluarga Saidah Abu Bakar Ibrahim, pemilik Merial Group.
    Sang putra, Fajri Setiawan, melakukan renovasi besar-besaran, menambah jumlah lantai dari 18 menjadi 28 dan mengganti namanya menjadi Menara Saidah, mengabadikan nama sang ibu.
    Pada awal 2000-an, gedung ini sempat digunakan oleh beberapa lembaga negara, termasuk Sekretariat Panitia Pemilu 1999 (kini KPU) dan Kementerian Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
    Namun pada 2007, seluruh aktivitas perkantoran di dalam Menara Saidah berhenti. Beredar kabar bahwa gedung miring beberapa derajat.
    Pihak pengelola, PT Gamlindo Nusa, membantah isu tersebut dan menegaskan bahwa pengosongan dilakukan hanya karena masa sewa habis. Namun, sejak saat itu pintu gedung ditutup rapat.
    “Kalau bangunan sudah tidak dimanfaatkan, otomatis Sertifikat Laik Fungsi (SLF)-nya sudah tidak berlaku,” jelas Kartika Andam Dewi, Ketua Subkelompok Penggunaan Bangunan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (Citata) DKI Jakarta, saat dihubungi
    Kompas.com
    .
    “Pengawasan kami bergilir, dan Menara Saidah belum termasuk daftar 2025. Mungkin baru masuk di jadwal 2026. Karena belum ada laporan aduan atau aktivitas di sana, kami belum melakukan pengawasan lanjutan,” sambungnya.
    Andam menegaskan, Menara Saidah merupakan milik swasta, bukan aset Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Karena itu, pemerintah daerah tidak bisa serta-merta melakukan penindakan atau revitalisasi tanpa koordinasi dan izin pemilik.
    “Kalau nanti ada laporan visual bahwa bangunan itu membahayakan, baru kami bisa melakukan survei insidental,” katanya.
    Fakta ini menunjukkan kerumitan persoalan hukum dan administrasi yang membelit Menara Saidah.
    Pemprov DKI tak punya kewenangan langsung, sedangkan pemilik tidak lagi menampakkan inisiatif untuk memanfaatkan aset yang nilainya bisa mencapai ratusan miliar rupiah itu.
    Upaya menyelamatkan Menara Saidah sebenarnya pernah dibahas. Pada 2016, Pemprov DKI Jakarta sempat berencana mengambil alih pemanfaatan bangunan tersebut. Namun rencana itu urung terlaksana.
    Tawaran dari Universitas Satyagama pada 2011 juga kandas karena pemilik tak bersedia menunjukkan gambar struktur gedung.
    Warga sekitar mengaku sudah terbiasa melihat bangunan itu diam tanpa perubahan.
    “Dulu waktu masih ramai, memang sempat katanya mau direnovasi gitu,” kata Siti (45), pedagang di Cikoko Timur belakang gedung Menara Saidah.
    “Sayang banget ya, bangunan segede itu nganggur. Kalau bisa dimanfaatin buat kantor pemerintah atau pusat UMKM kan enak,” ujarnya.
    Pandangan serupa disampaikan Puji (29), pengemudi ojek
    online
    yang sering melintas di sana.
    “Kalau siang enggak apa-apa, tapi kalau malam sepi banget. Lihat aja catnya udah pudar, kaca banyak yang retak. Padahal di seberang udah banyak gedung baru, tapi yang ini kayak ditinggalin gitu aja,” tuturnya.
    Menurut Puji, warga sering bertanya-tanya mengapa pemerintah membiarkan bangunan strategis di tengah kota itu terbengkalai begitu saja.
    “Katanya punya swasta, tapi masa iya enggak bisa dibenerin bareng-bareng? Jadinya kayak simbol Jakarta yang setengah maju, setengah berantakan,” tambahnya.
    Bagi sebagian warga, Menara Saidah telah kehilangan maknanya sebagai simbol kemajuan.
    “Sekarang malah kalah dan kayak monumen gagalnya tata kota. Kan di kelilingi wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur juga, tapi jadi satu-satunya gedung yang tidak dihuni bertahun-tahun,” ujar Tio (41), pegawai kantoran di seberang Menara Saidah.
    Pengamat infrastruktur dan tata kota, Yayat Supriatna, mengatakan, persoalan Menara Saidah bukan semata bangunan mangkrak, melainkan mencerminkan ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola ruang kota.
    “Kelayakan bangunan itu yang paling penting adalah aspek keselamatan dan keamanan penggunaan. Kalau aman dan
    clear
    dari sengketa hukum, sebenarnya Menara Saidah sangat strategis,” ujarnya kepada
    Kompas.com
    .
    Ia menilai, posisi gedung yang dekat dengan LRT, KRL, dan TransJakarta semestinya menjadi keunggulan.
    “Sangat cocok kalau dikembangkan jadi
    mixed-use building
    atau hunian
    transit oriented development
    (TOD),” katanya.
    Namun, Yayat mengingatkan bahwa revitalisasi baru bisa dilakukan jika aspek hukum dan keselamatan sudah tuntas.
    “Optimalisasi aset telantarnya harus
    clear and clean
    dulu. Kalau ada sengketa atau masalah struktur, itu harus diselesaikan dulu sebelum dibangkitkan kembali,” tegasnya.
    Yayat bahkan menilai, jika dibongkar dan dibangun ulang sebagai rumah susun terjangkau, lokasinya akan sangat diminati generasi muda yang membutuhkan hunian dekat transportasi publik.
    “Posisinya strategis banget. Dekat ke bandara, dekat ke Halim, dekat ke stasiun. Tapi ya, harus berani pemerintah turun tangan untuk memastikan kejelasan statusnya,” katanya.
    Menara Saidah kini hanya menjadi latar diam bagi perjalanan ribuan orang yang melintas setiap hari.
    Di bawahnya, bus TransJakarta melaju, LRT berderu di atas, dan KRL lewat di sampingnya, tanda Jakarta terus bergerak. Namun di tengah dinamika itu, satu bangunan dibiarkan membeku.
    “Kami enggak tahu siapa pemiliknya, siapa yang tanggung jawab. Pemerintah juga enggak pernah datang bahas. Jadinya kayak dibiarkan
    aja
    begitu,” ujar Wati (50), warga Cikoko Timur yang tinggal di belakang gedung sejak sebelum pembangunan.
    Bagi Wati, Menara Saidah bukan sekadar gedung kosong, melainkan simbol kota yang kehilangan arah dalam menata ruangnya.
    “Kalau enggak bisa difungsikan lagi, ya paling tidak dirapikan. Jangan dibiarkan kumuh begitu. Bikin kesan Jakarta ini kayak kota yang enggak dirawat,” katanya menutup percakapan.
    Menara Saidah, dengan segala kisah kemegahan dan kebisuannya, kini menjadi pengingat bahwa pembangunan fisik tanpa tata kelola dan kepastian hukum hanyalah ilusi kemajuan.
    Ia berdiri tegak, tapi tanpa jiwa sebuah bayangan kemegahan yang terbengkalai di tengah megaproyek Jakarta yang terus berlari.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Sejarah dan Rumitnya Status Kepemilikan Menara Saidah yang Tak Kunjung Direvitalisasi
                        Megapolitan

    7 Sejarah dan Rumitnya Status Kepemilikan Menara Saidah yang Tak Kunjung Direvitalisasi Megapolitan

    Sejarah dan Rumitnya Status Kepemilikan Menara Saidah yang Tak Kunjung Direvitalisasi
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Di antara padatnya arus kendaraan di Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, berdiri sebuah bangunan megah yang seolah terjebak di masa lalu.
    Pilar-pilar tinggi bergaya Korintus, patung marmer khas Italia, serta ukiran Eropa klasik kini kusam tertutup debu dan lumut.
    Gedung itu adalah
    Menara Saidah
    , ikon arsitektur era 1990-an yang kini menjelma menjadi simbol stagnasi tata kota Jakarta.
    Menara Saidah bukan sekadar gedung, melainkan monumen ambisi modernisasi Jakarta di penghujung dekade 1990-an.
    Dibangun oleh PT Hutama Karya dan rampung pada 1998, menara ini menelan biaya sekitar Rp 50 miliar.
    Awalnya bernama “Gracindo Building” dan dimiliki oleh Mooryati Soedibyo, pendiri Mustika Ratu.
    Kepemilikan gedung kemudian berpindah ke keluarga Saidah Abu Bakar Ibrahim, pemilik Merial Group.
    Putranya, Fajri Setiawan, melakukan renovasi besar-besaran dengan menambah jumlah lantai dari 18 menjadi 28 dan mengganti nama menjadi “Menara Saidah”, mengabadikan nama sang ibu.
    Dikutip dari Arsip Harian
    Kompas
    (2 September 1999), gedung ini sempat menjadi kantor berbagai instansi penting, termasuk Sekretariat Panitia Pemilu 1999 (kini KPU) dan Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
    Kala itu, Menara Saidah menjadi pusat aktivitas bisnis dan pemerintahan. Bahkan, acara pernikahan artis Inneke Koesherawati dan Fahmi Darmawansyah digelar di sini pada 2004.
    Namun, di balik gemerlapnya, fondasi masalah mulai muncul.
    Tahun 2007 menjadi titik balik. Satu per satu penyewa hengkang setelah beredar kabar bahwa gedung miring beberapa derajat dan berisiko roboh.
    Hingga kini, tak pernah ada pernyataan resmi dari pihak pemilik maupun Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) mengenai kondisi struktur tersebut.
    Pihak pengelola PT Gamlindo Nusa membantah isu kemiringan. Mereka menegaskan bahwa pengosongan terjadi semata karena masa sewa
    tenant
    telah berakhir.
    Namun, sejak saat itu, akses ke Menara Saidah ditutup total untuk umum.
    Warga sekitar menyebut sempat ada renovasi kecil pada 2015, tetapi berhenti dua bulan kemudian. Rencana pemerintah untuk mengambil alih pada 2016 pun tak pernah terealisasi.
    Kini, Menara Saidah hanya dijaga empat satpam, dikelilingi pagar seng berkarat setinggi dua meter bertuliskan besar “
    Dilarang Masuk
    ”.
    Menurut Kartika Andam Dewi, Ketua Sub Kelompok Penggunaan Bangunan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (CKTRP) DKI Jakarta, hingga kini belum ada perkembangan berarti terkait status hukum, kondisi bangunan, maupun kepemilikannya.
    “Sejauh ini belum ada
    update
    . Kalau tidak salah, satu atau dua tahun lalu sempat dibahas, tapi bukan di bawah kami. Sampai sekarang belum ada kabar terbaru lagi,” ujar Kartika kepada
    Kompas.com
    , Jumat (7/11/2025).
    Ia menjelaskan, Menara Saidah masih terdaftar sebagai bangunan swasta, bukan aset Pemprov DKI.
    Sertifikat Laik Fungsi (SLF) pun kemungkinan sudah tidak berlaku karena bangunan tidak lagi digunakan.
    “Karena tidak ada permohonan penggunaan kembali, kami belum melakukan pengecekan lapangan lagi. Pengawasan rutin dilakukan bergilir, dan Menara Saidah kemungkinan baru masuk jadwal pengecekan pada 2026,” lanjutnya.
    Artinya, hingga kini tidak ada instansi pemerintah yang aktif memantau kondisi bangunan tersebut.
    Data perizinan lama bahkan disebut telah “terkubur” dalam arsip yang belum dibuka kembali.
    Pengamat tata kota Yayat Supriatna menilai, kasus Menara Saidah mencerminkan kegagalan tata kelola aset di Jakarta.
    “Masalah utamanya bukan sekadar bangunan miring atau tidak, tapi soal kepastian hukum dan tanggung jawab pengelolaan,” katanya.
    Menurutnya, lokasi Menara Saidah yang strategis, diapit jalur LRT, KRL, dan TransJakarta, seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai simpul transit atau kawasan hunian vertikal modern.
    “Kalau direvitalisasi, bisa jadi pusat
    co-housing
    atau apartemen terjangkau bagi generasi muda yang membutuhkan akses transportasi publik,” ujarnya.
    Namun, ia menegaskan, langkah revitalisasi baru bisa dilakukan jika status kepemilikan dan kelayakan struktur bangunan telah jelas.
    “Sebelum bicara pemanfaatan, harus
    clear and clean
    dulu. Apakah ada sengketa utang, piutang, atau korporasi yang belum selesai? Karena selama itu belum dituntaskan, pemerintah juga tidak bisa masuk,” tambah Yayat.
    Penelusuran
    Kompas.com
    memperlihatkan kontras mencolok. Dari luar, Menara Saidah tampak gagah; tetapi di balik pagar seng pembatas, yang terlihat hanyalah puing, rumput liar, dan debu.
    Lobi megah dengan enam pilar besar kini lusuh, catnya pudar, dan atapnya berlumut.
    Patung-patung marmer Eropa klasik masih ada, dua bust laki-laki dan satu patung singa putih, kini tertutup debu tebal.
    Lift tak berfungsi, kabel menggantung, dan tangga menuju lantai atas lembap serta gelap.
    Menurut Juliadi (40), satpam yang menjaga sejak 2014, bangunan dijaga empat orang secara bergantian.
    “Kami jaga biar enggak ada yang masuk sembarangan. Kadang ada anak muda atau mahasiswa penasaran mau lihat ke dalam. Tapi enggak boleh, bahaya,” katanya.
    Selama 10  tahun bertugas, ia belum pernah melihat tinjauan resmi dari pemerintah.
    “Pernah dengar mau direvitalisasi, tapi enggak jadi-jadi. Pemerintah juga belum pernah datang langsung ke sini,” ujarnya.
    Di permukiman belakang menara, kehidupan berjalan biasa. Warga sudah terbiasa melihat gedung besar itu sebagai pemandangan sehari-hari, meski menyimpan rasa kecewa dan harapan.
    Siti (45), pedagang nasi uduk, bercerita bagaimana ekonomi lesu setelah gedung itu kosong.
    “Dulu waktu masih ramai, saya bisa jual dua panci nasi uduk, sekarang paling separuh,” ujarnya.
    “Sayang banget ya, bangunan segede itu nganggur. Kalau bisa dimanfaatin lagi kan enak, buat kantor pemerintah kek, atau pusat UMKM,” tambahnya.
    Puji (29), pengemudi ojek
    online
    , menilai bangunan itu membuat kawasan tampak “setengah jadi.”
    “Catnya udah pudar, kaca banyak yang retak. Padahal di seberangnya banyak gedung baru. Ini kayak simbol Jakarta yang setengah maju, setengah berantakan,” katanya.
    Tio (41), karyawan swasta, menyebut Menara Saidah sebagai “monumen kegagalan tata kota.”
    “Waktu awal 2000-an, gedung ini kebanggaan. Sekarang dibiarkan kayak bangkai. Pemerintah kayak enggak tahu harus ngapain,” ujarnya.
    Bagi Wati (60), warga lama di sekitar gedung, ketidakjelasan sudah berlangsung terlalu lama.
    “Kami enggak tahu siapa pemiliknya, siapa yang harus tanggung jawab. Pemerintah juga enggak pernah datang bahas. Jadinya kayak dibiarkan aja begitu,” katanya.
    “Kalau enggak bisa difungsikan lagi, ya paling tidak dirapikan. Jangan dibiarkan kumuh begitu, bikin kesan Jakarta ini kayak kota yang enggak dirawat,” imbuhnya.
    Menara Saidah hanyalah satu dari puluhan gedung tidur di Jakarta yang belum tersentuh kebijakan revitalisasi.
    Data Pemprov DKI pada 2024 mencatat sedikitnya 19 bangunan bertingkat tak lagi difungsikan, sebagian besar berada di koridor bisnis lama.
    Namun, Menara Saidah menonjol karena letaknya strategis dan nilai historisnya tinggi.
    Sayangnya, ketidakjelasan kepemilikan, sengketa bisnis, dan status hukum membuatnya mandek.
    “Pemerintah tidak bisa begitu saja mengambil alih karena ini milik swasta. Tapi di sisi lain, tidak ada pihak yang aktif menjaga agar tidak membahayakan,” kata Yayat Supriatna.
    Fenomena ini menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan aset swasta yang mangkrak.
    Banyak bangunan kosong luput dari prioritas, padahal berdampak besar terhadap estetika kota dan kehidupan sosial warga.
    Kini, Menara Saidah bukan lagi menara bisnis, melainkan menara kenangan, saksi bisu laju pembangunan kota yang terus berjalan tanpa arah yang jelas. Di balik pagar sengnya, waktu seolah berhenti.
    “Kalau bisa, jangan dibiarkan terus. Sayang, gedungnya bagus. Tapi sekarang cuma jadi cerita,” ujar Siti.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 5
                    
                        Akar Macet Jalan TB Simatupang: Awalnya Dibangun untuk Mobilitas Cepat, Bukan untuk Kantor-Komersial
                        Megapolitan

    5 Akar Macet Jalan TB Simatupang: Awalnya Dibangun untuk Mobilitas Cepat, Bukan untuk Kantor-Komersial Megapolitan

    Akar Macet Jalan TB Simatupang: Awalnya Dibangun untuk Mobilitas Cepat, Bukan untuk Kantor-Komersial
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Jalan TB Simatupang yang membentang dari Kampung Rambutan hingga Lebak Bulus, kini dikenal sebagai salah satu koridor jalan tersibuk di selatan Jakarta.
    Gedung perkantoran multinasional, hotel, dan pusat bisnis berdiri di kanan–kirinya.
    Namun, sejarah jalan ini mencatat tujuan awal pembangunannya jauh berbeda, yakni bukan sebagai kawasan bisnis, melainkan jalur arteri untuk mengurai lalu lintas selatan Jakarta.
    Rencana pembangunan Jalan TB Simatupang pertama kali muncul dalam Rencana Induk Jakarta 1965–1985 di era Gubernur Ali Sadikin.
    Jalan ini ditujukan sebagai jalur arteri selatan yang menghubungkan Pasar Rebo/Kampung Rambutan dengan Lebak Bulus–Ciputat.
    Secara umum, fungsi jalan arteri ini adalah menghubungkan antarbagian kota atau antarwilayah, dengan prioritas utama kelancaran pergerakan lalu lintas jarak menengah hingga jauh.
    Pada prinsipnya jalan arteri bukan ditujukan untuk menampung aktivitas ekonomi padat, seperti pasar tradisional, mal, atau pusat perkantoran besar, yang dapat memperlambat arus distribusi.
    Berdasarkan Rencana Induk Jakarta tersebut, ada tiga tujuan utama dibangunnya Jalan TB Simatupang, yakni:
    Seiring waktu, fungsi jalan mulai bergeser. Dalam RTRW DKI Jakarta 1985–2005, sebagian kawasan di sepanjang Simatupang ditetapkan sebagai zona komersial dan perkantoran.
    Faktor pendorong pergeseran fungsi tersebut, antara lain:
    Masuk dekade 2000–an, pertumbuhan perkantoran di Jalan TB Simatupang semakin pesat.
    Pemerintah bahkan sempat memproyeksikannya sebagai CBD selatan, “Sudirman kedua.” Namun, konsekuensinya adalah beban lalu lintas yang tak terkendali.
    Data Dinas Perhubungan DKI (2024) menunjukkan, pada jam sibuk, arus kendaraan karyawan kantor bercampur dengan lalu lintas antarwilayah, terutama dari Depok, Bekasi, Bogor, dan Tangerang.
    Kondisi ini diperparah dengan pintu keluar–masuk gedung yang mengganggu kapasitas lajur.
    Makalah American Society of Civil Engineers (ASCE) menunjukkan bahwa tingginya kepadatan akses langsung (
    access density
    ), seperti banyaknya pintu masuk dan keluar menuju gedung, pusat bisnis, atau area komersial, berpengaruh langsung pada turunnya kapasitas arteri.
    Setiap akses baru menciptakan
    friction
    (gesekan lalu lintas), karena kendaraan harus melambat, berhenti, berbelok, parkir, atau
    drop-off.
    Semakin banyak titik akses, semakin menurun kemampuan arteri untuk mengalirkan kendaraan dengan lancar.
    Hal ini relevan dengan kondisi TB Simatupang di beberapa tahun terakhir, yang mana banyaknya pintu masuk-keluar gedung perkantoran maupun gedung komersial.
    Maka, dampak dari pergeseran fungsi ini adalah kemacetan. Sebab, Jalan TB Simatupang memang sejak awal tidak didesain untuk kawasan perkantoran atau komersial, melainkan jalan arteri.
    Pengamat tata kota Nirwono Joga menilai, masalah di Simatupang bukan hanya soal sedang adanya proyek atau pekerjaan jalan, tetapi struktural.
    Menurutnya, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemacetan akut di TB Simatupang, yakni:
    Sementara itu, pengamat tata kota lainnya, Yayat Supriatna mengatakan bahwa lebar Jalan TB Simatupang sudah tidak bisa ditambah.
    Kapasitas Jalan TB Simatupang sudah maksimal. Harus ada evaluasi terkait tata ruang dan izin bangun baru yang memperhatikan andalalin.
    Nirwono Joga dan Yayat Supriatna menyarankan beberapa langkah untuk mengurai kemacetan di Simatupang, di antaranya:
    Jalan T.B. Simatupang menjadi cerminan nyata bahwa pergeseran fungsi jalur arteri menjadi koridor bisnis modern harus diiringi dengan persiapan infrastruktur transportasi umum yang lengkap dan regulasi pembangunan dengan andalalin yang matang.
    Jika pemerintah tidak segera melakukan pengelolaan transportasi terpadu dan evaluasi tata ruang, kawasan ini berisiko terus terjebak dalam kemacetan akut yang tak kunjung selesai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • “Ground breaking” Taman Bendera Pusaka ditunda

    “Ground breaking” Taman Bendera Pusaka ditunda

    Sejumlah warga mengunjungi Taman Ayodya, Jakarta, Senin (27/1/2025). Ruang terbuka hijau yang dibuka 24 jam tersebut ramai dikunjungi warga sebagai wisata alternatif yang terjangkau untuk mengisi libur panjang Isra Miraj dan Hari Raya Imlek. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/rwa.

    “Ground breaking” Taman Bendera Pusaka ditunda
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 08 Agustus 2025 – 14:35 WIB

    Elshinta.com – Staf Khusus Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta Bidang Komunikasi Publik Cyril Raoul Hakim alias Chico Hakim mengatakan acara peletakan batu pertama atau ground breaking pembangunan Taman Bendera Pusaka ditunda.

    Dia menjelaskan acara tersebut ditunda karena jadwal Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo yang padat.

    “Masih menunggu arahan Pak Gubernur karena agenda beliau yang padat,” kata Chico saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.

    Kendati demikian, dia mengatakan acara ground breaking belum dijadwalkan ulang, sehingga pembangunan Taman Bendera Pusaka masih ditunda hingga batas waktu yang belum ditentukan.

    Acara ground breaking Taman Bendera Pusaka dijadwalkan pada Jumat, 8 Agustus 2025.

    Sebelumnya pada Kamis (7/8), Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo mengatakan pembangunan Taman Bendera Pusaka di kawasan Barito, Jakarta Selatan, harus tetap berjalan meski pedagang Pasar Hewan Barito enggan pindah.

    Dia menegaskan pembangunan taman tersebut bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan menambah ruang terbuka hijau yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk berolahraga.

    Selain itu, pembangunan taman tersebut juga bertujuan mengatasi banjir di ibu kota karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana mengintegrasikan sistem drainase dan infrastruktur hijau dalam desain taman untuk memaksimalkan daya resap air dan sirkulasi udara.

    Di sisi lain, pengamat perkotaan Yayat Supriatna menilai Taman Bendera Pusaka yang direncanakan rampung pembangunannya pada Desember 2025 itu dapat menjadi oase di zona bisnis karena lokasinya yang strategis.

    Taman yang mengintegrasikan tiga taman besar di Jakarta Selatan, yakni Taman Langsat, Taman Ayodya, dan Taman Barito itu terletak di kawasan primer sekaligus pusat ekonomi kota Jakarta.

    Sumber : Antara

  • Taman Bendera Pusaka di Jaksel diprediksi jadi oase di zona bisnis 

    Taman Bendera Pusaka di Jaksel diprediksi jadi oase di zona bisnis 

    Jakarta (ANTARA) – Pengamat perkotaan, Yayat Supriatna memprediksi Taman Bendera Pusaka yang dibangun di kawasan Barito, Jakarta Selatan dapat menjadi oase di zona bisnis karena lokasinya yang strategis.

    Taman yang mengintegrasikan tiga taman besar di Jakarta Selatan yakni Taman Langsat, Taman Ayodya, dan Taman Barito itu memiliki posisi terletak di kawasan primer dan pusat ekonomi kota Jakarta.

    “Taman ini diprediksikan menjadi magnet baru. Bisa menjadi unsur rekreatif, berdagang, beraktivitas. Ini menjadi oase di tengah zona bisnis,” kata dia di Jakarta, Rabu.

    Yayat mengatakan kepadatan penduduk di kawasan Barito cukup tinggi, sehingga dibutuhkan ruang terbuka hijau di tengah masyarakat.

    Lalu, kehadiran taman di area tersebut menjadi unsur paripurna mengingat lokasinya di pusat perekonomian, pemerintahan, dan pelayanan lainnya.

    “Orang akan mendapatkan ruang untuk menurunkan tekanan akibat pekerjaan dan lainnya. Apalagi, kalau taman itu hidup sampai malam hari,” kata Yayat.

    Dia juga mengingatkan bahwa taman harus bisa diakses dari berbagai tempat, serta dilengkapi dengan trotoar yang nyaman bagi pejalan kaki dan akses transportasi yang terintegrasi.

    “Tentu, dalam penataannya juga perlu disiapkan untuk unsur UMKM, karena hal itu juga yang dapat menghidupkan taman. Sehingga, dalam satu taman, bisa mencakup banyak hal,” katanya.

    Adapun saat ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan penataan kawasan Barito sebagai bagian dari pembangunan Taman Bendera Pusaka. Ruang terbuka hijau ini dirancang menjadi ikon kebangsaan sekaligus ruang publik ramah keluarga.

    Merefleksi sejarah Barito sebagai salah satu ikon Jakarta, Pemprov DKI Jakarta berkomitmen, penataan kawasan dilaksanakan dengan mengedepankan kemanusiaan.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Perumnas hadirkan solusi hunian terjangkau di tengah kota

    Perumnas hadirkan solusi hunian terjangkau di tengah kota

    Ilustrasi – Salah satu hunian vertikal yang dikembangkan Perum Perumnas. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin

    Perumnas hadirkan solusi hunian terjangkau di tengah kota
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Sabtu, 26 Juli 2025 – 13:19 WIB

    Elshinta.com – Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) berkomitmen mendukung percepatan program revitalisasi kawasan hunian serta pengembangan hunian subsidi vertikal di kawasan perkotaan. Plt Direktur Utama Perumnas Tambok Setyawati mengatakan proyek seperti Rusun Klender dan Alonia Kemayoran merupakan bukti nyata bahwa hunian subsidi yang layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tetap bisa diwujudkan di tengah kota.

    “Revitalisasi kawasan dan pengembangan hunian vertikal subsidi seperti Klender dan Alonia Kemayoran bukan hanya soal membangun fisik hunian highrise, tetapi juga menciptakan ekosistem hunian yang lebih manusiawi, produktif, dan relevan dengan kebutuhan generasi muda kota,” ujar Tambok dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.

    Ia menyebut Perumnas siap berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, daerah, dan lembaga keuangan untuk memperluas jangkauan program subsidi ini. Menurutnya, kunci dalam mewujudkan kota yang layak huni adalah sinergi lintas sektor, seperti yang telah dilakukan di Alonia Kemayoran, yang bekerja sama dengan Pusat Pengelolaan Kompleks Kemayoran untuk mengembangkan hunian vertikal subsidi bagi MBR.

    Perumnas terus menegaskan komitmennya untuk menghadirkan solusi hunian layak bagi masyarakat perkotaan, khususnya bagi MBR, melalui pengembangan hunian vertikal subsidi yang aksesibel, strategis, dan terintegrasi di tengah kota. Model hunian seperti ini diyakini menjadi kunci dalam menciptakan kota yang inklusif, efisien, dan berkelanjutan.

    “Kami percaya bahwa akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau di pusat kota adalah hak semua warga,” kata Tambok.

    Sementara itu, pengamat infrastruktur dan tata kota Yayat Supriatna mengatakan revitalisasi rusun menjadi solusi paling realistis untuk kota-kota besar seperti Jakarta agar lebih tertata dan layak huni. Konsep ini selaras dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang mencontoh keberhasilan Singapura dalam pembangunan hunian vertikal.

    Selain menata kawasan, Yayat menilai program revitalisasi dan pengembangan hunian subsidi vertikal efektif menekan backlog perumahan dan mendukung target pemerintah menyediakan satu juta rumah perkotaan. Ia menekankan pembangunan rumah susun menjadi langkah paling masuk akal untuk memenuhi kebutuhan hunian di kota besar yang lahannya terbatas.

    “Solusi mengatasi backlog untuk kawasan perkotaan yang paling realistis adalah membangun rumah susun,” kata Yayat.

    Yayat menyampaikan program revitalisasi rusun ini harus menyasar generasi produktif berusia 25 sampai 40 tahun seperti gen Z dan milenial. Generasi yang lebih tua dinilai lebih sulit diarahkan untuk tinggal di rumah susun karena faktor budaya dan kebiasaan.

    Menurutnya, transformasi ini bukan hanya merevitalisasi fisik rumah susun semata, tetapi juga menata ulang budaya masyarakat perkotaan. Yayat menilai perubahan pola pikir dan gaya hidup warga menjadi kunci agar Jakarta mampu bertransformasi menjadi kota kelas dunia.

    Sumber : Antara

  • Rentetan Kebakaran Jakarta, Alarm untuk Pencegahan dan Penanggulangan – Page 3

    Rentetan Kebakaran Jakarta, Alarm untuk Pencegahan dan Penanggulangan – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Dalam sepekan terakhir, Jakarta dibuat menyala. Bukan karena slogan Pramono-Rano saat berkampanye, namun menyala dalam arti insiden kebakaran di beberapa titik dalam waktu yang berdekatan.

    Ratusan bangunan semi permanen di Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara yang digunakan sebagai tempat tinggal hangus, dengan menyisakan ribuan penghuninya ke tenda pengungsian. Musibah tersebut terjadi pada 6 Juni 2025 saat siang hari. Hingga saat ini, polisi masih melakukan penyelidikan terkait penyebabnya.

    Berikutnya pada 9 Juni, sebuah wihara di Cilincing, Jakarta Utara juga mengalami nasib yang sama. Kejadiannya pada dini hari. Seorang saksi bernama Dimas, seorang penjaga wihara menceritakan musibah itu saat ia sedang tidur.

    Awalnya, Dimas mengira ada bunyi hujan di atas plafon kamarnya. Namun nahas saat diperiksa, ternyata altar dari wihara milik Yayasan Budhi Prasadha tersebutlah yang terbakar. Tidak ada korban jiwa, namun kerugian ditaksir mencapai lebih dari Rp1 miliar.

    Masih di hari yang sama, si Jago Merah kembali berkobar. Kali ini di Rawa Buaya, Jakarta Barat pada pukul 12.34 WIB. Sebuah lapak bangunan menjadi korban amukan api, tidak ada korban namun tim pemadam setempat menerjunkan 80 orang personelnya untuk menangani.

    Peristiwa nahas in memunculkan pertanyaan, ada apa dengan Jakarta? Mengapa insiden kebakaran terasa sangat sering terjadi di kota ini?

    Menjawab hal itu, Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna melihat ada sejumlah faktor penyebabnya. Salah satunya, dipengaruhi faktor cuaca yang saat ini memasuki musim kemarau.

    Segala bahan yang mudah terbakar, bisa lebih cepat terpantik. Khususnya di permukiman padat penduduk.

    Menurut Yayat, permukiman padat mempunyai potensi kebakaran lebih tinggi, sebab rumah-rumah yang dibangun tidak memenuhi standar keselamatan bangunan. Material digunakan mudah terbakar, dengan penghuni yang tinggal di satu tempat cukup banyak.

    “Saat mereka menambah bangunan, itu terbuat dari bahan-bahan yang ringan dan menjadi bahan yang mudah terbakar misalnya papan, tripleks dan kayu karena mereka tidak bisa membuat rumah-rumah standar permanen di tengah kota. Akhirnya semakin hilang gang-gang yang menjadi jalur pemadam kebakaran. Jadi kalau terjadi kebakaran ya kita tahu, sulit sekali bagi tim pemadaman,” kata Yayat saat dihubungi melalui telepon oleh Tim Liputan6.com, Selasa (10/6/2025).

  • Lonjakan Pendatang Capai 129 Persen, Jakarta Masih Jadi Magnet Bagi Perantau? – Page 3

    Lonjakan Pendatang Capai 129 Persen, Jakarta Masih Jadi Magnet Bagi Perantau? – Page 3

    Adapun terkait daya tarik Jakarta sebagai tujuan utama urbanisasi, Trubus menilai hal itu tidak terlepas dari statusnya yang masih menjadi ibu kota, sehingga peluang investasi sangat besar, dan mau tidak mau Jakarta tetap akan menjadi magnet bagi para pendatang.

    “Karena asumsinya Jakarta itu masih ibu kota sampai hari ini. Dan karena masih ibu kota, berarti infrastrukturnya masih cukup memadai di sini. Sehingga potensi akan terjadinya investasi besar-besaran dari luar kan sangat besar, Apalagi kemudian, yang kedua, kondisi keamanan di Jakarta kan relatif terjamin belakangan ini, ketertiban umumnya. Jadi di situ harapannya kemudian banyak investor yang masuk. Jadi ini berarti, Jakarta masih punya daya tarik,” jelas Trubus.

    Ia menilai, Jakarta selama ini sudah memberi pelatihan dan keterampilan bagi warga para pendatang. Namun masalahnya, pembiayaan pelatihan tersebut belum melibatkan pemerintah daerah asal.

    “Ini kan membebani Jakarta kalau terus-terusan. Jakarta sendiri yang menyelenggarakan tanpa ada bantuan dari daerah asal. Ini kan yang paling enak jadi daerah asal, Karena banyak orang ini dari Bogor ikut pelatihan di Jakarta. Orang dari Bekasi ikut di Jakarta. Harusnya pelatihan diselenggarakan oleh pemerintah daerah masing-masing atau bekerjasama dengan daerah asal,” pungkasnya.

    Sementara itu, Pakar Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna menilai, perlu ada klarifikasi apakah angka lonjakan pendatang benar-benar mencerminkan pendatang baru atau sekadar mereka yang ikut arus balik mudik.

    “Data itu harus kita cek lagi, data pendatang baru atau data dari arus balik? Nah, karena kan kita tidak melakukan pengecekan terkait asal tujuan. Jangan lupa mereka itu adalah orang yang balik dari mudik kemarin, itu kan pencatatan berdasarkan jumlah kedatangan jadi kan tidak mencerminkan pendatang baru atau tidak,” kata Yayat saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (17/4/2025).

    Yayat menekankan bahwa definisi pendatang secara administratif hanya bisa dibuktikan melalui laporan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Artinya, mereka yang benar-benar pindah domisili wajib melakukan pelaporan identitas secara resmi.

    “Kalau jumlah pendatang itu berdasarkan sistem pelaporan di Dukcapil. Nah, kenapa itu dicatat? Karena mereka yang pindah dan semua punya identitas. Mengapa butuh surat keterangan pindah? Karena jadi alamat untuk kerja, Dia perlu KTP, dia perlu identitas yang jelas. Jadi pencatatan pendatang yang melakukannya adalah oleh Dukcapil,” jelas Yayat.

    Lebih lanjut, Yayat mengingatkan bahwa pendatang yang tidak melaporkan diri akan mengalami kesulitan administratif, terutama saat melamar pekerjaan atau mengakses layanan publik.

    “Pertanyaannya kan sederhana. KTP-nya mana? Nah, maka artinya di sini pencatatan penduduk itu menjadi penting. Jadi, kalau mereka yang tidak terdata, itu artinya mereka tidak diregister sebagai penduduk warga Jakarta,” ujarnya.

  • Saksikan Malam Ini di INTERUPSI Siapa Suruh Datang Jakarta? Bersama Ariyo Ardi, Anisha Dasuki, Chico Hakim, dan Narasumber Lainnya, Live di iNews

    Saksikan Malam Ini di INTERUPSI Siapa Suruh Datang Jakarta? Bersama Ariyo Ardi, Anisha Dasuki, Chico Hakim, dan Narasumber Lainnya, Live di iNews

    loading…

    Saksikan Malam Ini di INTERUPSI Siapa Suruh Datang Jakarta? Bersama Ariyo Ardi, Anisha Dasuki, Chico Hakim, dan Narasumber Lainnya, Live di iNews

    JAKARTA – Setiap tahun, arus urbanisasi ke Jakarta semakin deras, terutama setelah momen Lebaran. Banyak perantau dari berbagai daerah berbondong-bondong menuju Ibu Kota dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, fenomena ini menimbulkan banyak tantangan, baik bagi para pendatang maupun pemerintah daerah. Pertanyaannya, Apakah Jakarta benar-benar masih menjadi ‘kota impian’ bagi para perantau?

    Dalam episode terbaru INTERUPSI akan mengupas tuntas realitas di balik lonjakan pendatang baru ke Jakarta. Dengan mengangkat tema “SIAPA SURUH DATANG JAKARTA” bersama Ariyo Ardi, Anisha Dasuki, dan para narasumber kredibel di bidangnya, menghadirkan berbagai perspektif dari para pakar pemerintah daerah yang akan mengulas dampak sosial, ekonomi, dan kebijakan yang berkaitan dengan urbanisasi.

    Jakarta adalah simbol kesuksesan. Peluang kerja yang lebih luas, fasilitas yang lebih maju, serta kehidupan yang lebih modern menjadi daya tarik utama. Namun, di balik gemerlap ibu kota, realita kehidupan justru tak semudah yang dibayangkan. Persaingan ketat, biaya hidup tinggi, serta keterbatasan lapangan pekerjaan sering kali membuat banyak pendatang akhirnya terjebak dalam kehidupan yang tidak sesuai ekspektasi. Lantas, apa yang menyebabkan gelombang urbanisasi ini terus berulang? Dan bagaimana para pakar menanggapi persoalan ini?

    Saksikan selengkapnya di INTERUPSI “SIAPA SURUH DATANG JAKARTA?” bersama para narasumber Chico Hakim-Stafsus Gubernur Jakarta, Achmad Yani-Anggota DPRD DKI Jakarta, Yayat Supriatna-Pengamat Tata Kota, Imam Prasodjo-Sosiolog UI, malam ini pukul 20.00 WIB, Live hanya di iNews.

    (zik)

  • Sengkarut Bisnis Kurir Melawan E-Commerce, Payung Hukum Kapan Terbit?

    Sengkarut Bisnis Kurir Melawan E-Commerce, Payung Hukum Kapan Terbit?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bergerak menanggapi permasalahan yang terjadi di industri jasa kurir yang tengah dihadapkan persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh sebagian kecil platform e-commerce.

    Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengatakan pihaknya terus memantau perkembangan dan telah menerima aspirasi dari para pelaku usaha di sektor ini.  

    “Kami sudah dengarkan aspirasinya, kami memantau terus melalui media. Kemarin juga kami terima teman-teman dari asosiasi terkait. Mudah-mudahan sebelum Lebaran kita bisa keluarkan aturan yang lebih berpihak terhadap kurir lokal asli Indonesia. Mohon doanya,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (21/3/2025) malam.  

    Menteri Ekonomi Kreatif (Menekraf) Teuku Riefky Harsya menekankan pentingnya komunikasi langsung antara platform jasa kurir dengan pemerintah.

    Hingga saat ini belum ada pembicaraan substantif dengan Kementerian Ekonomi Kreatif terkait permasalahan yang dihadapi.  

    “Kami berharap bisa mendengar aspirasi secara langsung agar dapat mendukung kendala-kendala yang dihadapi. Sejauh ini memang komunikasi dilakukan secara parsial, per perusahaan, tapi akan lebih baik jika pendekatannya lebih komprehensif,” katanya.

    Kemenekraf siap mendukung penyelesaian masalah ini, mengingat jasa kurir memiliki peran penting dalam distribusi produk ekonomi kreatif di Indonesia.  

    “Ini kaitannya kan juga ada dengan pegiat-pegiat yang terdistribusi dengan baik selama ini melalui platform tersebut. Jadi kami siap mendukung mencari solusinya,” ucap Teuku.

    Terpisah, Pengamat Transportasi dan Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna menilai pemerintahan harus memikirkan dan memberikan jalan keluar nyata bagi nasib para kurir yang berada di titik nadir akibat perilaku persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh sebagian kecil platform e-commerce.

    “Pemerintahan di bawah Presiden Prabowo Subianto yang memiliki visi besar dalam membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera harusnya bersikap Merah Putih memperjuangkan nasib para kurir, Komdigi harusnya mengatur platform e-commerce karena membuat bisnis kurir tak sehat,” tuturnya.

    Menurutnya, sudah menjadi rahasia umum terjadi oligopsoni di industri pos, kurir dan logistik nasional akibat dominasi oleh platform ecommerce asing bermodal besar antara lain Shopee (SEA Group), TikTok-Tokopedia (Bytedance) dan Lazada (Alibaba).

    Di sisi lain, platform e-commerce dalam negeri seperti BliBli (Grup Djarum) sudah hampir tidak terdengar, kondisi ini diperparah ketika Bukalapak (EMTEK) baru saja menutup layanan marketplace barang fisiknya.

    Untuk diketahui, ketiga platform e-commerce asing tersebut tidak hanya berbisnis dalam bidang e-commerce, tetapi beberapa tahun terakhir juga sudah melakukan ekspansi vertikal dalam kegiatan pos, kurir dan logistik melalui anak usaha dan affiliasinya.

    Menurut Yayat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menemukan dan menginvestigasi beberapa platform ecommerce besar tersebut dimana telah dinyatakan melakukan monopoli pada pasar jasa pos, kurir dan logistik melalui intervensi algoritmanya baik kepada penjual ataupun pembeli

    Dia menilai persaingan tidak sehat dan tekanan harga dari platform e-commerce ini juga diperkeruh oleh adanya perusahaan pos, kurir dan logistik asing yang melakukan predatory pricing di pasar industri pos, kurir dan logistik nasional.

    Salah satunya, J&T Ekspres yang terafiliasi dengan J&T Global Ekspress, perusahaan China yang berdomisili di Cayman Island dan pada 2023 melakukan penawaran saham perdana kepada publik (IPO) di Hong Kong.

    “Dominasi asing tidak bisa dibantah dan terjadi eksploitasi terhadap kurir. Mereka para kurir tidak punya pilihan. Akibatnya mereka dibayar fluktuatif karena besaran pendapatan mereka adalah volume yang bisa diantarkan,” tutur Yayat. 

    Hal ini terjadi karena perang harga di segment ecommerce yang cenderung berkembang disebabkan perubahan gaya hidup membuat pelaku pos, kurir dan logistik nasional melakukan efisiensi secara ekstrem.

    Menurut Yayat, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang bertanggungjawab terhadap platform digital seharusnya berkolaborasi dengan kementerian lain seperti Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perdagangan merumuskan aturan yang mengatur platform ecommerce yang bergerak di industri pos, kurir dan logistik nasional.

    “Kalau perlu gandeng Pemda, sehingga industri pos, kurir dan logistik bisa lebih mensejahterakan masyarakat. Potensi 15 juta pengiriman per hari dan lebih dari US$2.400 juta per tahun bukan hal kecil dan harusnya disadari Menteri Komdigi,” tuturnya.