Tag: Xi Jinping

  • Kenapa Trump Musuhi Eropa dan Sekutu Lama?

    Kenapa Trump Musuhi Eropa dan Sekutu Lama?

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat secara terang-terangan melecehkan sekutu lama di Eropa dan Ukraina, ketika pada saat yang sama melunak kepada Rusia. Skenario yang terasa mustahil di masa lalu itu kini menjadi tontonan siaran langsung di bawah pemerintahan Donald Trump di Gedung Putih.

    Lantas, mau dibawa ke mana arah kebijakan luar negeri AS di masa depan?

    Amerika Serikat sejatinya telah berjanji melindungi Ukraina, sejak Kyiv mengembalikan senjata nuklir kepada Rusia pada Desember tiga puluh tahun silam, dengan janji mendapat jaminan keamanan dari Moskow dan Washington.

    Pun sejak invasi Rusia tahun 2021, AS menjadi pemasok terbesar perlengkapan perang bagi Ukraina. Namun usai percekcokan terbuka antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenksyy di Gedung Putih, Jumat (28/2) silam, AS menghentikan semua pengiriman senjata ke sekutu dekatnya itu.

    Sikap Trump mengingkari perjanjian lama dan solidaritas transatlantik sebabnya diyakini dapat menggeser keseimbangan geopolitik global. Bagi Eropa dan Ukraina, ketidakpastian ini menuntut kesiapan untuk menghadapi kemungkinan bahwa Washington tak lagi bisa diandalkan sebagai sekutu utama.

    ADVERTISEMENT

    `;
    var mgScript = document.createElement(“script”);
    mgScript.innerHTML = `(function(w,q){w[q]=w[q]||[];w[q].push([“_mgc.load”])})(window,”_mgq”);`;
    adSlot.appendChild(mgScript);
    },
    function loadCreativeA() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    adSlot.innerHTML = “;

    console.log(“🔍 Checking googletag:”, typeof googletag !== “undefined” ? “✅ Defined” : “❌ Undefined”);

    if (typeof googletag !== “undefined” && googletag.apiReady) {
    console.log(“✅ Googletag ready. Displaying ad…”);
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    } else {
    console.log(“⚠️ Googletag not loaded. Loading GPT script…”);
    var gptScript = document.createElement(“script”);
    gptScript.src = “https://securepubads.g.doubleclick.net/tag/js/gpt.js”;
    gptScript.async = true;
    gptScript.onload = function () {
    console.log(“✅ GPT script loaded!”);
    window.googletag = window.googletag || { cmd: [] };
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.defineSlot(‘/4905536/detik_desktop/news/static_detail’, [[400, 250], [1, 1], [300, 250]], ‘div-gpt-ad-1708418866690-0’).addService(googletag.pubads());
    googletag.enableServices();
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    };
    document.body.appendChild(gptScript);
    }
    }
    ];

    var currentAdIndex = 0;
    var refreshInterval = null;
    var visibilityStartTime = null;
    var viewTimeThreshold = 30000;

    function refreshAd() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;

    currentAdIndex = (currentAdIndex + 1) % ads.length;
    adSlot.innerHTML = “”; // Clear previous ad content
    ads[currentAdIndex](); // Load the appropriate ad

    console.log(“🔄 Ad refreshed:”, currentAdIndex === 0 ? “Creative B” : “Creative A”);
    }

    var observer = new IntersectionObserver(function(entries) {
    entries.forEach(function(entry) {
    if (entry.isIntersecting) {
    if (!visibilityStartTime) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    console.log(“👀 Iklan mulai terlihat, menunggu 30 detik…”);

    setTimeout(function () {
    if (visibilityStartTime && (new Date().getTime() – visibilityStartTime >= viewTimeThreshold)) {
    console.log(“✅ Iklan terlihat 30 detik! Memulai refresh…”);
    refreshAd();
    if (!refreshInterval) {
    refreshInterval = setInterval(refreshAd, 30000);
    }
    }
    }, viewTimeThreshold);
    }
    } else {
    console.log(“❌ Iklan keluar dari layar, reset timer.”);
    visibilityStartTime = null;
    if (refreshInterval) {
    clearInterval(refreshInterval);
    refreshInterval = null;
    }
    }
    });
    }, { threshold: 0.5 });

    document.addEventListener(“DOMContentLoaded”, function() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (adSlot) {
    ads[currentAdIndex](); // Load the first ad
    observer.observe(adSlot);
    }
    });

    Enam pekan masa jabatan Trump kian jelas mengindikaskan arah kebijakan diplomasi untuk empat tahun ke depan. Di bawah pemerintahannya, AS bersedia mengorbankan Ukraina demi mendekat kepada Rusia. Alih-alih melibatkan sekutu lama, Trump justru mengambil sikap permusuhan terhadap Eropa.

    “Uni Eropa diciptakan untuk mengacaukan AS,” kata Trump pada Rabu (26/2) lalu. Pada hari Jumat, dia dan wakilnya JD Vance mendamprat Volodymyr Zelensky dalam siaran langsung di televisi. Padahal, presiden Ukraina sebenarnya datang untuk menyegel perjanjian bahan mentah seperti yang diminta AS. Ketika Zelensky menuntut jaminan keamanan yang lebih solid, dia dianggap “tidak berterimakasih” dan “menghina rakyat AS” oleh Trump dan Vance.

    Trump akhiri aliansi Barat?

    Sejarawan Jerman Norbert Frei, yang mengepalai Pusat Jena untuk Sejarah Abad ke-20 di Universitas Jena, melihat ini sebagai akhir dari tatanan dunia setelah Perang Dunia Kedua dan titik balik sejarah dalam skala runtuhnya Uni Soviet.

    “Tujuannya jelas, yakni dominasi tiga serangkai global dengan Donald Trump, Xi Jinping, dan Vladimir Putin,” kata Frei di stasiun radio publik Deutschlandfunk. “Yang tidak mau diakui Trump sekarang adalah bahwa AS sebagai adidaya sedang merosot. Dan Trump sedang menyingkirkan satu-satunya sekutu sejati, yaitu Eropa. Dan Eropa ini sekarang benar-benar berdiri sendiri.”

    Sebab itu pula, Eropa melangsungkan konsultasi diplomatik untuk menemukan jawaban bersama, yang pertama di London, kemudian pada pertemuan puncak khusus Uni Eropa di Brussels. “Saya berharap mereka menyadari bahwa kita tengah menyaksikan perubahan arah yang jelas dalam politik dunia,” kata Mikhail Alexseev, ilmuwan politik di Universitas Negeri San Diego di California, menjelang diskusi tersebut.

    “Insiden di Ruang Oval bukan sekadar pertikaian antara dua pemimpin. Ini menandakan perubahan besar orientasi AS dari Eropa. Kita tidak bisa lagi menganggap remeh jaminan keamanan AS, tidak hanya untuk Ukraina tetapi mungkin juga untuk NATO,” kata Alexseev kepada DW.

    “Keretakan besar tidak dapat dikenali”

    Setahun yang lalu, Trump meminta Eropa untuk menginvestasikan hingga lima persen anggaran belanja nasional untuk pertahanan di masa depan.

    Laura von Daniels, kepala kelompok penelitian Amerika di Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan, SWP, di Berlin, juga menunjukkan ketidakpastian besar di bidang keamanan. Namun begitu, dia juga menepis dugaan keretakan besar dalam hubungan transatlantik.

    “Saya yakin ini akan menjadi situasi yang sulit, dan Trump siap merugikan kepentingan Uni Eropa. Baik dalam hal kebijakan keamanan maupun kebijakan ekonomi, misalnya dengan tarif hukuman. Namun, dia juga tidak berkepentingan untuk menceraikan Eropa dalam semalam.”

    Von Daniels menunjuk pada rencana kebijakan ekonomi Trump, dia mengincar Eropa sebagai pasar untuk menjual gas alam cair, LNG. Oleh karena itu, tekanan ekonomi kemungkinan akan terus meningkat. “Tarif baja dan aluminium akan diberlakukan pada 12 Maret,” kata von Daniels. Pada musim semi dan panas, Eropa harus menghadapi tarif lebih besar – misalnya pada mobil.

    Dengan langkah ini, Trump ingin menyeimbangkan neraca perdagangan antara UE dan AS. Menurut data AS, pada tahun 2024 AS telah membeli barang dan jasa dari Eropa senilai hampir satu triliun euro lebih banyak daripada sebaliknya.

    Secara keseluruhan, hubungan transatlantik cukup berguna bagi Trump, kata pakar SWP: “Pertanyaannya tentu saja dibenarkan apakah dia akan terus mengidentifikasikan diri sebagai aliansi Barat.”

    Gabriel: Trump Ingin Melemahkan Eropa

    Mantan Menteri Luar Negeri Jerman, Sigmar Gabriel, menilai pemerintahan AS di bawah Donald Trump tidak lagi menganggap Eropa sebagai mitra strategis. Dalam wawancara dengan harian Augsburger Allgemeine, Gabriel menuduh Trump tidak memahami atau menghargai Eropa.

    “Pandangan dunianya bertolak belakang dengan visi kerja sama internasional yang dianut Eropa. Saya yakin dia ingin melemahkan atau bahkan menghancurkan Eropa, karena kita sebenarnya cukup kuat jika bersatu dan itu mengganggunya,” ujar Gabriel.

    “Yalta 2.0”: Trump dan Putin Atur Ulang Dunia?

    Gabriel juga menyoroti rencana pembicaraan antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin mengenai kemungkinan mengakhiri perang di Ukraina. Dia membandingkan situasi ini dengan Konferensi Yalta 1945, ketika AS, Uni Soviet, dan Inggris membagi wilayah pengaruh di Eropa usai Perang Dunia II.

    “Trump membayangkan semacam ‘Yalta 2.0’, di mana para ‘pemimpin kuat’ dunia membagi wilayah kekuasaan mereka, sementara negara-negara kecil harus mencari cara untuk bertahan hidup,” katanya.

    Pengamat politik dari Yayasan Sains dan Politik, SWP, Laura von Daniels, juga menilai bahwa Trump melihat Ukraina sebagai penghalang utama dalam upayanya menjalin kesepakatan langsung dengan Putin. Insiden di Gedung Oval pada Jumat lalu, kata von Daniels, memiliki karakteristik yang mirip dengan kepemimpinan otoriter.

    Tanpa AS, Rusia Bisa Menang?

    Sementara itu, Institute for the Study of War di Washington memperingatkan bahwa penghentian bantuan AS untuk Ukraina dapat meningkatkan kemungkinan kemenangan Rusia. Jika ini terjadi, Putin bisa merasa semakin percaya diri untuk memperluas pengaruhnya ke negara-negara bekas Uni Soviet lainnya, termasuk anggota Uni Eropa dan NATO seperti Estonia, Latvia, dan Lituania.

    Di sisi lain, jika AS mundur dari konflik ini, dampaknya bisa lebih luas: Washington akan kehilangan pengaruh global, sementara Rusia semakin mengukuhkan dominasinya di kawasan.

    Artikel diadaptasi dari DW Bahasa Jerman

    Tonton juga Video Geramnya Trump Gegara Zelensky Bilang Perang Ukraina Bakal Panjang

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Analis Militer Israel: Trump Pimpin Koalisi Preman, Netanyahu Potensial Dikadali – Halaman all

    Analis Militer Israel: Trump Pimpin Koalisi Preman, Netanyahu Potensial Dikadali – Halaman all

    Analis Militer Israel: Trump Pimpin Koalisi Preman, Netanyahu Potensial Dikadali
     
    TRIBUNNEWS.COM – Israel saat ini bisa jadi tengah dihinggapi euforia dan kepercayaan diri tinggi menghadapi berbagai front peperangan seiring dukungan penuh dari Amerika Serikat (AS).

    Namun, analis militer Israel, Nahum Barnea, mengingatkan, Israel, khususnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, potensial terperangkap oleh sosok yang sejauh ini dia sanjung-sanjung, Presiden AS, Donald Trump.

    Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di media Israel, Yedioth Ahronoth, Barnea menggambarkan Donald Trump sebagai pemimpin “koalisi preman” atau “aliansi penjahat”.

    Menurutnya, koalisi para preman ini terdiri dari Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping.

    Barnea beralasan, ketiga sosok pemimpin negara kaya ini berupaya untuk, “Menggambar ulang lingkup pengaruh global menurut visi yang didasarkan pada kekuasaan dan ekspansi, jauh dari nilai-nilai demokrasi tradisional.”

    Sayangnya, kata Barnea, pemerintah Israel kini mendapati dirinya menjadi bagian dari aliansi ini.

    “Israel menjadi bagian dari koalisi preman ini karena diuntungkan oleh pendekatan yang dilakukan Trump dalam mengelola politik internasional, tetapi Barnea juga memperingatkan bahwa Israel mungkin dikhianati oleh perilaku Trump yang tidak menentu,” tulis Khaberni, mengulas analisis Barnea di Yedioth Ahronoth, dikutip Rabu (5/3/2025).

    ZELENSKY DIUSIR – Tangkapan layar YouTube The White House menunjukkan momen di mana Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden AS Donald Trump terlibat adu mulut di Ruang Oval Gedung Putih, Jumat (28/2/2025). Setelah terjadi adu mulut itu, Zelensky ‘diusir’ oleh Trump untuk segera meninggalkan Gedung Putih. (Tangkapan Layar YouTube The White House)

    Trump dan Aliansi Kekuasaan, Insiden Penghinaan Zelensky

    Barnea mengatakan kalau apa yang terjadi di Amerika Serikat sejak pemilu terakhir adalah “revolusi” yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam politik Amerika.

    Hal itu, kata dia, karena Trump sedang mengatur ulang prioritas, nilai-nilai, dan kebijakan, melewati aturan tradisional dalam hubungan dalam dan luar negeri.

    Trump yang mengusung tagline ‘Make America Great Again’, digambarkan menabrak semua aturan dan etika dalam pemerintahan baik di lingkup nasional maupun internasional.

    “Barnea menunjukkan, lembaga politik Amerika dan juga masyarakat internasional berada dalam keadaan terguncang karena pendekatan (pola dan cara) Trump yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata ulasan tersebut.

    Sang analis militer mengemukakan dua teori untuk menjelaskan perilaku presiden AS tersebut saat ini.

    “Sebagian percaya bahwa gerakannya (Trump) yang keras hanyalah taktik negosiasi untuk mendapatkan kesepakatan yang lebih baik, sementara yang lain percaya bahwa ia (Trump) sedang membawa Amerika dan dunia menuju bencana, dan mungkin menuju perang dunia ketiga,” kata Barnea dari ulasan tersebut.

    Barnea mencontohkan pertemuan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dengan Trump di Gedung Putih, yang dianggapnya sebagai penghinaan yang disengaja.

    Menurut CNN, ketika Trump menyambut Zelensky keluar dari mobilnya dengan mengenakan seragam militernya yang biasa presiden Ukraina itu kenakan, Trump dengan sinis berkomentar kepada wartawan, “Lihat dia, dia datang dengan menyamar.”

    “Tidak berhenti di situ, Zelensky pun ditanyai pertanyaan-pertanyaan yang mengejek tentang pakaiannya, kemudian ia dihina oleh Trump dan wakilnya, JD Vance, sebelum ia diusir dari Gedung Putih, dan tiba-tiba dikeluarkan dari jamuan makan siang yang dijadwalkan,” ulas Barnea.

    Berdasarkan dua teori yang diajukannya, analis militer itu mencoba menjelaskan konsekuensi dari posisi Trump terhadap Zelensky, dengan mengatakan, “Bagi sebagian orang, reaksi presiden Ukraina – yang dengan cepat mengeluarkan pernyataan menyanjung Trump dan menyusun rencana gencatan senjata baru – merupakan bukti bahwa semua itu hanyalah taktik negosiasi.”

    “Namun bagi yang lain, episode itu merupakan tanda jelas bahwa Trump mengkhianati sekutu tradisionalnya, yang menimbulkan kekhawatiran di Eropa dan kegembiraan di Moskow,” kata Barnea.

    Selama ini, AS dan Eropa, khususnya NATO, dianggap sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan, hal yang kini penuh keraguan atas metode yang dilakukan Trump dalam memimpin AS.

    Guna memperjelas betapa hipokritnya AS di bawah kepemimpinan Trump saat ini, Barnea menunjukkan kalau miliarder Elon Musk -sosok pendukung utama Trump- mengunggah sebuah tweet yang menyerukan pembubaran NATO, dengan bertanya, “Ketika Amerika dan Rusia sepakat, siapa yang butuh NATO?”

    Barnea yakin bahwa cara Trump memperlakukan Zelensky menyampaikan pesan yang jelas kepada sekutu Washington, bahwa: “Dukungan Amerika tidak terjamin, dan bisa menguap kapan saja.”

    Barnea menjelaskan bahwa perilaku ini tidak dapat dipisahkan dari pendekatan Trump dalam mengelola kebijakan luar negeri AS.

    “Karena ia (Trump) berupaya memaksakan dirinya sebagai poros utama dalam menentukan masa depan aliansi internasional,” kata Barnea.

    PASUKAN ISRAEL – Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English pada Selasa (18/2/2025) menunjukkan pasukan israel berada di pos di Lebanon Selatan pada 15 Februari 2025. Juru bicara militer Israel, Letnan Kolonel Nadav Shoshani pada hari Senin (17/2/2025) mengatakan bahwa pihaknya tidak akan menarik pasukan dari 5 pos di Lebanon Selatan. (Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English)

    Israel Bagian dari “Koalisi Preman”

    Barnea mengadopsi teori kalau Trump berusaha membentuk “koalisi preman’ yang mencakup Amerika Serikat, Rusia, dan Cina, di mana negara-negara adidaya tersebut membagi wilayah pengaruh di dunia menurut persamaan kekuatan dan bukan hukum internasional.

    Menurut visi ini, menurut Barnea, “Putin akan mendapatkan Ukraina dan mungkin negara-negara Baltik, presiden Tiongkok akan menginvasi Taiwan, sementara Trump mungkin berusaha menguasai Greenland.”

    Ia juga meramalkan kalau Uni Eropa “akan menyusut atau runtuh, dan partai-partai sayap kanan akan mengambil alih Eropa, sehingga memudahkan Trump dan Putin untuk berbagi kendali atasnya, sebuah skenario yang menakutkan bagi negara-negara seperti Jerman dan Prancis yang masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip tradisional Uni Eropa.”

    Barnea yakin kalau Israel dapat dengan mudah berintegrasi ke dalam “dunia baru” ini, dengan mengatakan, “Trump menghormati kekuasaan (kekuatan), yang saat ini berada di tangan Israel, dan menghormati kendali atas wilayah, yang juga dikuasainya. Ia juga membenci nilai-nilai demokrasi tradisional, hak asasi manusia, dan keadilan, yang juga telah menjadi bagian dari pendekatan pemerintah Israel.”

    Analis militer ini menegaskan bahwa pemerintah Israel bertindak saat ini dengan keberanian yang belum pernah terjadi sebelumnya, melewati batas merah yang berlaku pada masa jabatan presiden Amerika sebelumnya, baik dari Partai Republik maupun Demokrat.

    Analisis Barnea tersebut mengindikasikan kalau pemerintah Benjamin Netanyahu saat ini sedang mengeksploitasi dukungan tanpa syarat dari pemerintahan Trump pada tahap ini untuk memaksakan fakta di lapangan, yaitu sebagai berikut:

    Pelanggaran perjanjian yang disepakati Israel dalam kerangka kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas.
    Memelihara lokasi militer dan keberadaan pasukan IDF di dalam wilayah Suriah dan secara terbuka menyatakan kalau pasukan Israel akan tetap berada di sana selamanya.
    Israel mengancam akan campur tangan dalam konflik antara rezim Suriah dan komunitas Druze di Jaramana, meskipun kedua pihak menolak intervensi Israel.
    Mempertahankan posisi militer di Lebanon meskipun ada perjanjian gencatan senjata.
    Ribuan warga Palestina diusir dari kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, termasuk wilayah dalam “Area A” Otoritas Palestina.
    Mencegah masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.
    Meninggalkan tahap kedua negosiasi kesepakatan pertukaran tahanan, yang menghasilkan pembebasan 59 tahanan, baik yang hidup maupun yang telah meninggal.

    Harus digarisbawahi, rentetan hal-hal di atas berisiko besar terhadap situasi perang menyeluruh di kawasan.

    Israel yang saat ini terlena dalam buaian AS dengan dukungan penuhnya, bisa jadi terjebak dalam pusaran konflik yang kesemuanya menjadikannya sebagai ‘target bersama’ alias common enemy.

    NETANYAHU DAN TRUMP – Foto ini diambil pada Senin (10/2/2025) dari publikasi resmi YouTube The White House pada Jumat (7/2/2025), memperlihatkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kiri) dan sekutunya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kanan), berbicara kepada wartawan di Gedung Putih. (YouTube The White House)

    Dukungan yang Tidak Pasti

    Meskipun pendekatan Trump ini tampaknya bermanfaat bagi Israel dalam jangka pendek, Barnea memperingatkan kalau “dukungan yang diberikan Trump sama sekali tidak terjamin,” dengan mencatat bahwa “Zelensky mengira ia mendapat dukungan Trump, tetapi ia menemukan bahwa dukungan ini dapat berubah menjadi penghinaan yang tiba-tiba.”

    Ia menambahkan, “Netanyahu mengikuti apa yang terjadi pada presiden Ukraina, dan mungkin ia merasa khawatir bahwa situasi tersebut dapat terjadi lagi kepadanya kapan saja, dan oleh karena itu ia bergegas untuk memaksakan lebih banyak fakta di lapangan di Gaza, Tepi Barat, Suriah, dan Lebanon untuk mengantisipasi perubahan mendadak posisi Trump.”

    Barnea bertanya-tanya tentang risiko yang dihadapi Israel dengan menggambarkan, “Apakah Israel telah menaruh semua telurnya dalam satu keranjang dengan bertaruh sepenuhnya pada Trump?”

    Dalam situasi perjudian itu, Barnea memperingatkan Israel bahwa setiap perubahan mendadak dalam suasana politik AS dan Trump dapat membuat Tel Aviv menghadapi dilema yang tak terduga.

    Barnea menegaskan kalau “tidak adanya kesamaan nilai di antara para ‘teman’ membuat pengkhianatan menjadi masalah waktu,” seraya menekankan kalau “Netanyahu sangat menyadari kalau suasana hati sahabat karibnya (Trump) dapat berubah setiap saat, yang mendorongnya untuk mempercepat langkah-langkah pencegahannya sebelum terlambat.”

    Barnea juga menekankan kalau sejarah telah membuktikan kalau aliansi yang didasarkan pada kepentingan jangka pendek sering kali runtuh pada ujian serius pertama.

    Dia memperingatkan, “Israel tidak tahu seperti apa suasana hati sahabat terbesarnya (AS) besok.”

     

    (oln/YA/khbrn/*)

     

  • Perang Dagang Dimulai, China Dongkrak Tarif Impor Produk Pangan AS untuk Balas Kebijakan Trump  – Halaman all

    Perang Dagang Dimulai, China Dongkrak Tarif Impor Produk Pangan AS untuk Balas Kebijakan Trump  – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, BEIJING – Pemerintah China di bawah kepemimpinan Xi Jinping berencana mengerek tarif impor dengan menargetkan pertanian dan produk pangan asal Amerika Serikat (AS).

    Kebijakan itu direncanakan China sebagai bentuk pembalasan atas tindakan Presiden AS Donald Trump yang memberlakukan tarif 10 persen terhadap barang asal Tiongkok per tanggal 4 Februari kemarin.

    Trump berdalih kebijakan tersebut diberlakukan sebagai alat tawar-menawar dan metode untuk melakukan perubahan kebijakan luar negeri, khususnya masalah imigrasi dan perdagangan narkoba.

    Namun Beijing menganggap tindakan tersebut tersebut diskriminatif dan proteksionisme perdagangan, karena kebijakan tarif impor hanya berlaku untuk barang-barang asal Negeri Tirai Bambu, melanggar aturan de minimis sebelumnya, yang membebaskan barang senilai kurang dari 800 dolar AS untuk masuk ke AS.

    Alasan tersebut yang mendorong China untuk bersikap agresif, dengan melakukan pembalasan, membidik komoditas ekspor Washington di negaranya

    “China sedang mempelajari dan merumuskan tindakan balasan yang relevan sebagai tanggapan terhadap ancaman AS untuk mengenakan tarif tambahan sebesar 10 persen pada produk-produk China dengan dalih fentanyl,” lapor Global Times pada Senin (3/3/2025), mengutip sumber anonim.

    “Tindakan balasan tersebut kemungkinan akan mencakup tarif dan serangkaian tindakan non tarif, dan produk pertanian dan makanan AS kemungkinan besar akan dicantumkan,” imbuh laporan itu.

    Dampak Tarif Balasan China

    Apabila China benar-benar merealisasikan tarif balasan berpotensi menghancurkan produksi minyak goreng dan pakan ternak, terutama ternak babi dunia hal ini terjadi lantaran China  merupakan importir terbesar kedelai di dunia.

    Akibatnya, permintaan untuk produk pangan AS dari China bisa menurun secara signifikan. Meskipun AS mungkin mencoba untuk mencari pasar alternatif, proses ini tidak mudah. 

    Negara-negara lain mungkin tidak mampu membeli sebanyak yang dilakukan China, atau pasar alternatif mungkin menawarkan harga yang lebih rendah.

    Selain petani, industri pengolahan pangan dan pengepakan di AS juga bisa terpengaruh, karena mereka bergantung pada bahan baku yang dipasok dari sektor pertanian. Penurunan ekspor akan mempengaruhi pasokan bahan baku, yang kemudian berdampak pada produksi dan pengolahan makanan.

    Lebih lanjut, ketegangan antara China dan AS dapat mempengaruhi harga pangan global, mengingat kedua negara tersebut adalah pemain utama dalam perdagangan global. 

    Kenaikan tarif impor akan mempengaruhi harga kedelai, jagung, gandum, daging sapi, dan produk pangan lainnya di seluruh dunia.

    Perubahan besar dalam perdagangan antara kedua negara ini dapat menyebabkan gangguan signifikan dalam rantai pasokan global. Negara-negara yang terlibat dalam perdagangan pangan juga bisa merasakan dampaknya.

    Terutama perusahaan yang bergerak dalam perdagangan internasional, logistik, dan ekspor-impor juga akan menghadapi tantangan lebih besar karena meningkatnya biaya dan ketidakpastian dalam rantai pasokan.

  • Panja Keamanan Laut rapat dengan Bakamla bahas RUU Keamanan Laut

    Panja Keamanan Laut rapat dengan Bakamla bahas RUU Keamanan Laut

    Saat ini dibutuhkan penguatan regulasi untuk penguatan Bakamla sebagai penjaga keamanan laut Indonesia yang andal, adaptif, dan responsif.

    Jakarta (ANTARA) – Panitia Kerja (Panja) Keamanan Laut Komisi I DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksamana Madya TNI Irvansyah untuk membahas ihwal Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keamanan Laut.

    “Pada hari ini Bakamla akan memberikan pemaparan kepada kami dalam rangka maksud dan tujuan menghadirkan regulasi yang lebih kuat, yaitu Undang-Undang Keamanan Laut,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR RI Ahmad Heryawan yang memimpin jalannya rapat di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

    Ahmad Heryawan menjelaskan bahwa rapat pembahasan untuk menghadirkan RUU Keamanan Laut itu karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah perairan yang mendominasi luas wilayahnya.

    “Negeri sebesar ini dengan lautan yang menjadi kebanyakan atau mayoritas teritorinya harus segera memiliki undang-undang yang mengatur keamanan laut,” ucapnya.

    Oleh karena itu, dia menekankan peran Bakamla sebagai penjaga keamanan laut (coast guard) Indonesia perlu mendapatkan penguatan dalam menghadapi ancaman keamanan nonmiliter dan berasal dari aktor nonnegara, serta dalam rangka menanggulangi berbagai bentuk pelanggaran keamanan laut tersebut.

    “Keamanan laut tersebut hadir dalam bentuk kelembagaan namanya coast guard Indonesia yang sampai saat ini kalau lihat paparan tadi belum ada satu perundang-undangan yang menyatakan sesungguhnya siapa coast guard Indonesia atau lembaga yang mana coast guard Indonesia tersebut,” ujarnya.

    Ia menekankan peran Bakamla sebagai coast guard Indonesia itu perlu dilegitimasikan dalam regulasi resmi melalui RUU Keamanan Laut sebab Bakamla selama ini dalam praktiknya telah menjalankan fungsinya sebagai coast guard.

    Termasuk, lanjut dia, ketika Presiden RI Prabowo Subianto melakukan joint statement (pernyataan bersama) dengan Presiden China Xi Jinping di akhir tahun lalu.

    Dengan demikian, kata dia, selain penting menghadirkan coast guard Indonesia di bawah naungan undang-undang, pada saat yang sama Bakamla yang sudah menjadi embrionya segera di dalam undang-undang tersebut dinyatakan sebagai coast guard Indonesia.

    Sementara itu, Laksdya TNI Irvansyah mengatakan bahwa sejak awal mula pendiriannya Bakamla memang telah diarahkan untuk mengemban fungsi sebagai coast guard Indonesia.

    “Saat ini dibutuhkan penguatan regulasi untuk penguatan Bakamla sebagai Indonesia coast guard yang andal, adaptif, dan responsif,” ucapnya.

    Laksdya TNI Irvansyah lantas melanjutkan, “Bakamla diarahkan menjadi Indonesia coast guard yang dapat melaksanakan tugas dan fungsi coast guard universal secara utuh dan komprehensif.”

    Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mehendra merekomendasikan penetapan satu institusi sebagai penjaga keamanan laut Indonesia yang mempunyai kewenangan dalam penegakan hukum di laut.

    “Menetapkan satu institusi sebagai coast guard kita yang mempunyai kegunaan penyidikan dalam kasus tindak pidana di laut,” kata Yusril saat rapat kerja bersama Komisi I DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2).

    Untuk dapat mewujudkan keberadaan coast guard Indonesia, kata Yusril, perlu dirumuskan melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keamanan Laut.

    Yusril berharap pembahasan RUU tersebut nantinya bergulir secara cepat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2024—2029, mengingat kehadiran coast guard sangat penting bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright Š ANTARA 2025

  • Resep Menjadi Negara Adikuasa Regional dan Macan Asia yang Disegani

    Resep Menjadi Negara Adikuasa Regional dan Macan Asia yang Disegani

    Resep Menjadi Negara Adikuasa Regional dan Macan Asia yang Disegani
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    KEINGINAN
    Presiden
    Prabowo Subianto
    untuk menjadikan
    Indonesia
    sebagai negara kuat di banyak bidang agar disegani negara-negara lain cukup bisa dipahami.
    Toh nyatanya Indonesia secara umum dan simbolik memang besar, setidaknya untuk ukuran regional.
    Dari sisi demografis, sisi ekonomi, dan sisi karakteristik negara kepulauan yang melekat (archipelago), mengindikasikan bahwa Indonesia sebenarnya dan semestinya telah lama menjadi “regional great power”, setidaknya untuk level Asia Tenggara.
    Sehingga cukup bisa dimaklumi mengapa Prabowo sangat berambisi untuk menyesuaikan potensi besar tersebut dengan kenyataan di lapangan di dalam waktu yang diasumsikan relatif singkat, maksimum dua periode pemerintahan beliau.
    Memang selama ini, secara simbolik Indonesia ditahbiskan oleh publik global sebagai “negara senior” di kawasan Asia tenggara, khususnya di dalam Organisasi seperti
    ASEAN
    . 
    Namun secara faktual, nyatanya “gelar simbolik” tersebut belum didukung oleh fakta yang ada, karena itulah ditahbiskan hanya secara simbolik.
    Dari sisi militer, boleh jadi jumlah dan kekuatan pertahanan Indonesia terbilang besar. Namun dari sisi kecanggihan teknologi pertahanan, misalnya, dibanding Singapura, tentu Indonesia harus rela berada di bawahnya.
    Dari sisi demografis pun demikian, jumlah penduduk Indonesia terbesar di Asia Tenggara. Namun lagi-lagi dari sisi kualitas SDM, Indonesia masih jauh di bawah Malaysia atau Vietnam, bahkan Filipina, alih-alih Singapura.
    Pun secara geopolitis, di level Asia Tenggara saja, Indonesia bukanlah negara dan kekuatan yang benar-benar bisa dikategorikan “leader”.
    Tidak ada negara anggota ASEAN yang benar-benar bergantung kepada Indonesia secara geopolitis di satu sisi dan tak ada negara di ASEAN yang benar-benar berada di bawah “sphere of influence” Indonesia di sisi lain.
    Sebut saja, misalnya, ketika kudeta terjadi di Myanmar beberapa tahun lalu. Terbukti Indonesia sebagai “pemimpin simbolik” ASEAN tidak bisa berbuat apa-apa untuk memengaruhinya.
    Bahkan, China yang dianggap berada di belakang kudeta tersebut tak berkomunikasi sedikitpun dengan Indonesia.
    Mengapa bisa demikian? Karena memang Myanmar, sekalipun secara kategoris dari berbagai sisi terbilang berada di bawah Indonesia, tidak berada di dalam “ruang lingkup pengaruh” Indonesia di satu sisi dan karena Indonesia secara faktual memang dianggap bukan “Regional Great Power” di sisi lain.
    Apalagi dari sisi
    soft power
    , secara ekonomi, budaya, pendidikan,
    governance
    , dan SDM, misalnya, Indonesia boleh jadi masih setara atau bahkan berada di bawah Filipina.
    Di level ASEAN, secara agregate memang ekonomi Indonesia paling besar, sama dengan aspek demografi. Namun, secara ekonomi, finansial Singapura sangat jelas memiliki “soft power” ketimbang Indonesia.
    Singapura memiliki layanan finansial berkelas dunia, sistem perdagangan yang juga tak kalah mendunianya, pun sistem pendidikan berkualitas global, tata kelola pemerintahan yang diakui semua pihak, budaya disiplin plus budaya antikorupsi kelas wahid, dan SDM-SDM yang memiliki
    skill
    yang setara dengan di negara-negara maju.
    Semua itu membuat negeri Singa itu menjadi “role model” di banyak bidang, bukan saja untuk negara-negara Asia Tenggara, tapi juga dunia.
    Ambil contoh lain, misalnya, tentang pengaruh
    soft power
    negara lain terhadap generasi muda Indonesia.
    Secara faktual budaya K-Pop terbukti lebih berhasil menjadi kiblat gaya hidup anak muda di Indonesia hari ini, setelah generasi sebelumnya juga sangat dipengaruhi oleh budaya “Hollywood” dari Paman Sam dan “Bollywood” dari India, plus budaya “anime” dari Jepang.
    Hanya sinteron yang sangat dramatis-artifisial yang mampu memengaruhi “emak-emak” Indonesia, itupun dalam konotasi negatif.
    Bahkan dalam perkembangan mutakhirnya, dengan viralnya tagar “Kabur Saja Dulu”, semakin memperjelas fakta orientasi psikologis dan kultural generasi muda kita yang sudah jauh berada di luar sana, tidak lagi ada di sini di negerinya sendiri, Indonesia.
    Jadi kembali kepada ambisi Prabowo Subianto untuk menempatkan Indonesia di tengah-tengah radar internasional sebagai “regional great power”, ambisi tersebut tentu sangat bisa dipahami dan semestinya juga didukung semua pihak di Indonesia.
    Selama dilakukan dengan cara dan jalan yang bisa diterima oleh semua pihak, bukan dengan jalan melemahkan demokrasi atau dengan jalan menciptakan oligarki-oligarki baru yang berada di bawah lindungan pemimpin baru, sekaligus menikmati berbagai fasilitas serta kemudahan dari pemerintah, misalnya.
    Karena dengan cara dan strategi yang tidak tepat, Indonesia berpotensi stagnan alias tak bergerak ke atas dalam konteks dan hierarki status geopolitik internasional.
    Misalnya, semakin bersemi korupsi dan nepotisme di Indonesia, maka serta merta akan mendegradasi Indonesia secara geopolitik di tingkat global dan stempel sebagai kepala negara koruptor akan melekat di jidat para pimpinannya sekaligus.
    Oleh karena itu, ambisi regional Prabowo tersebut cukup sejalan dengan semangat antikorupsi yang memang sudah sejak dulu beliau suarakan.
    Namun, apakah sudah didukung oleh fakta yang ada setelah selama beberapa bulan beliau menjadi presiden?
    Nampaknya masih jauh “panggang dari api”. Semoga beberapa kasus korupsi yang mulai diproses belakangan bukanlah bagian dari perang politik, tapi murni proses penegakan “law enforcement”. Sehingga masih tersisa harapan baik untuk waktu mendatang.
    Selain masalah korupsi, masalah demokrasi juga semestinya bisa menjadi “nilai unggul” Indonesia di tataran regional.
    Indonesia adalah negara yang paling demokratis di Asia Tenggara, dengan tatanan dinasti politik (
    dynastic politics
    ) yang lebih rendah dibanding Filipina, yakni negara demokratis lainnya di Asia Tenggara.
    Untuk menjadi kiblat budaya politik demokratis di kawasan Asia Tenggara, sangat jelas sekali Indonesia berpotensi besar.
    Selama Prabowo mewujudkan ambisi antikorupsinya di satu sisi dan melestarikan demokrasi yang substansial di sisi lain, maka Indonesia akan menjadi negara yang memiliki
    soft power
    politik di tingkat Asia Tenggara.
    Penduduk dari negara-negara yang setengah hati menjalankan demokrasi di Asia Tenggara tentu akan menjadikan Indonesia sebagai patokan demokrasi yang ingin mereka dapatkan.
    Namun, jika Indonesia justru mengesampingkan “political comparative advantage” tersebut, risikonya Indonesia justru akan menjadi “follower” di Asia dan Asia Tenggara, karena menganggap bahwa
    political comparative advantage
    dari status negara paling demokratis di Asia Tenggara bukanlah sebagai “soft power” dan justru dikesampingkan.
    Yang terjadi kemudian adalah bahwa Indonesia akan ditertawakan di pentas internasional karena mencatumkan demokrasi di dalam konstitusinya, tapi yang dijalankan justru bentuk politik yang sama sekali tidak demokratis.
    Lalu secara geopolitik, langkah yang dituju oleh Prabowo untuk mencoba bersanding dengan para pemimpin dari negara “Regional Great Power” lainnya, seperti Vladimir Putin, Xi Jinping, Recep Tayyip Erdo?an, Narendra Modi, dan memasukkan Indonesia ke dalam BRICS, pun segera akan memasuki OECD, sejatinya baru setengah jalan.
    Karena setengah jalan lagi ada di kawasan di mana Indonesia berada, yakni Asia Tenggara.
    Rusia berusaha terus mempertahankan pengaruhnya di negara-negara bekas bagian Uni Soviet dulu, sebagai infrastruktur geopolitik Rusia menjadi
    Great Power
    .
    China pun sama, hampir semua negara saat ini sangat bergantung kepada China dalam satu dan lain hal, terutama Asia dan Afrika.
    India pun tak berbeda, negara-negara yang dianggap satu rumpun budaya dan religius dengan India masih sangat bergantung kepada India secara geopolitis, seperti Bangladesh dan Sri Langka, misalnya.
    Pun apa yang dilakukan Erdogan di Suriah baru-baru ini serta peran Turkiye di Libya juga adalah bagian dari upaya geopolitik Turkiye untuk menunjukkan ototnya (
    sphere of influence
    ) sebagai negara regional
    great power
    di kawasan Asia Minor, persis seperti apa yang dilakukan Iran di Suriah dan Lebanon, misalnya, karena Iran juga mencandra dirinya sebagai regional
    Great Power.
    Tak terkecuali dengan Arab Saudi yang terus menunjukkan pengaruhnya di Afghanistan dan Yaman, misalnya, sebagai simbol dari upaya Arab Saudi dalam mempertahankan statusnya sebagai salah satu
    the great power
    di wilayah Timur Tengah dalam rangka menyaingi Iran.
    Dengan kata lain, berusaha menyejajarkan diri dengan pemimpin-pemimpin negara regional
    great power
    lain adalah salah satu strategi penting, tapi menentukan kawasan yang menjadi domain di mana pengaruh sebuah “regional great power” direalisasikan adalah hal penting lainnya.
    Karena itu, sangat penting bagi pemerintahan yang baru di sini untuk merangkul negara-negara Asia Tenggara lainnya secara halus (secara geopolitik), menebar dan memperlihatkan otot yang ada (
    sphere of influence
    ), dan mendapatkan pengakuan dari mereka atas status Indonesia sebagai
    great power
    di Asia Tenggara, adalah langkah strategis lanjutan yang harus diambil oleh Presiden Prabowo Subianto.
    Namun, masalahnya tentu tak semudah membalik telapak tangan. Secara ekonomi, misalnya, perekonomian Indonesia harus benar-benar bisa tumbuh tinggi sekaligus progresif alias membesar secara signifikan, di mana perekonomian negara-negara Asia Tenggara lainnya menjadi sangat terpengaruh dengan apapun perkembangan yang terjadi di Indonesia.
    Celakanya, faktanya hari ini ekonomi Indonesia bergerak cukup positif, tapi negara-negara lain di Asia Tenggara tidak terlalu bergantung kepada Indonesia.
    Mitra dagang utama Indonesia secara regional bukanlah ASEAN, tapi negara lain, seperti China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
    Bandingkan dengan Amerika Serikat, misalnya, meskipun defisitnya sangat besar dengan China, tapi mitra dagang utamanya tetap Kanada dan Meksiko, sebagai dua negara besar yang dianggap berada di bawah “sphere of influence” negeri Paman Sam.
    Ketegasan Presiden Donald Trump kepada dua negara ini sejak terpilih kembali menjadi presiden adalah bagian dari pertunjukan taring Amerika Serikat sebagai negara
    Great Power.
    Lebih dari itu, secara geopolitik, Indonesia harus bisa bertindak bahwa Indonesia adalah protektor Asia Tenggara dalam segala urusan.
    Sehingga apapun yang ingin dilakukan oleh negara besar dan
    great power/super power
    lain di Asia Tenggara, seharusnya menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang akan diajak untuk berbicara.
    Sayangnya hal itu pun masih jauh dari harapan. Bung Karno mengampanyekan “ganyang Malaysia” pada awalnya adalah karena ketersinggungan beliau terhadap rencana Inggris yang ingin memerdekakan Malaysia (termasuk Singapura kala itu), tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan Indonesia yang di mata Bung Karno kala itu adalah “Regional Great Power” di Asia Tenggara.
    Hari ini, Presiden Prabowo Subianto yang kerap mereferensikan dirinya kepada kepemimpinan nasionalistik Sukarno tentu harus belajar banyak dari kegagalan-kegagalan di masa lalu bahwa untuk menjadi negara besar dan “great power regional” tidak bisa sekadar didukung oleh narasi-narasi perlawanan terhadap negara adikuasa, tapi juga harus membangun Indonesia dari dalam di satu sisi dan membangun “ruang pengaruh/sphere of influence” tersendiri di kawasan Asia tenggara di sisi lain, agar Indonesia benar-benar secara defacto dianggap sebagai
    great power
    di tingkat regional.
    Faktanya, karena Indonesia belum mampu bertindak sebagai “great power” di Asia Tenggara, maka hampir semua anggota ASEAN justru berada dalam pengaruh dua kekuatan besar dunia, yakni Amerika Serikat dan China.
    Apalagi, ketika Prabowo bertemu dengan Xi Jinping tempo hari dan memberikan pernyataan bahwa penyelesaian masalah Laut China Selatan di Laut Natuna antara Indonesia dengan China bisa diselesaikan dengan jalur bilateral, serta merta membuat negara-negara anggota ASEAN justru mencurigai Indonesia dan semakin pesimistis bahwa Indonesia layak dianggap sebagai
    Great Power
    kawasan Asia Tenggara.
    Pasalnya, apa yang disampaikan oleh Presiden Prabowo melenceng dari “soliditas keserumpunan ASEAN” yang selama ini telah dibangun di satu sisi dan melenceng dari komitmen awal ASEAN untuk penyelesaian masalah Laut China Selatan dengan China harus melalui jalur multilateral dan jalur ASEAN.
    Dengan kata lain, yang disampaikan Prabowo justru membuat Indonesia berpotensi dikucilkan di Asia Tenggara, alih-alih dianggap sebagai “senior” di Asia Tenggara.
    Jadi secara geopolitik di Asia Tenggara, Indonesia harus mulai bersuara lantang dan menggandeng negara-negara yang bisa mengambil keuntungan ekonomi dan politik dari Indonesia, dalam makna positif tentunya, di mana Indonesia melebarkan sayap-sayap ekonominya ke negara-negara seperti Timor Leste, Brunei Darussalam, Myanmar, Filipina, dan bahkan Malaysia, sebelum Indonesia bisa menggandeng Singapura dan Vietnam, misalnya, yang dalam banyak hal tercandra lebih progresif dari Indonesia.
    Bahkan catatan khusus harus diberikan untuk Timor Leste, misalnya. Sekalipun pernah lepas dari Indonesia, tapi karena langsung bersebelahan dengan Indonesia, Indonesia semestinya harus bisa merebut kembali Timor Leste dalam makna geopolitis.
    Jangan biarkan pihak lain “cawe-cawe” di negara kecil yang berbatasan langsung dengan Indonesia itu.
    Bahkan Indonesia harus mendorong BUMN dan para oligar-oligar dalam negeri untuk mencari peluang investasi dan berekspansi ke negara tetangga, termasuk Timor Leste, agar tidak hanya menjadi raja kandang yang terus-menerus disusui oleh ibu pertiwi.
    Hal ini sangat strategis dan urgen dilakukan, mengingat dari berbagai sisi, Indonesia bisa menjadi mitra strategis bagi negara-negara tersebut di satu sisi dan bisa memberikan “sesuatu”, baik secara ekonomi maupun geopolitik dan pertahanan, di sisi lain.
    Gunanya tentu untuk menapaki jalan dalam mendapatkan pengakuan dari negara-negara tetangga terdekat sebagai negara regional
    great power.
    Pun langkah tersebut bisa dijadikan bagian dari bidak catur geopolitik Indonesia untuk mengunci pengakuan dari negara-negara terdekat atas kedaulatan teritorial Indonesia, terutama di daerah-daerah yang sedang berkonflik dengan pemerintahan pusat, seperti Papua.
    Tujuan teknisnya tentu seperti yang dilakukan China di lembaga-lembaga internasional di mana mayoritas negara di dunia tak lagi mempersoalkan kebijakan-kebijakan China di Xinjiang dan Tibet, misalnya, karena mayoritas negara di dunia kini sudah semakin bergantung kepada China, terutama dari sisi ekonomi, teknologi, dan militer.
    Dan tentu saja langkah-langkah strategis yang “outward looking” ini harus dijalankan bersamaan dengan pembenahan dan penguatan kapasitas internal Indonesia dari segala sisi secara “superserius” dan “superfokus”, terutama dari sisi ekonomi, pertahanan, SDM, dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Semoga!
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 84 WNI Korban Penipuan di Myanmar Berhasil Dipulangkan

    84 WNI Korban Penipuan di Myanmar Berhasil Dipulangkan

    Jakarta

    Sebanyak 84 warga negara Indonesia (WNI) yang terjebak dalam jaringan penipuan di Myanmar akhirnya dibebaskan dan dijadwalkan pulang ke Indonesia pada hari Jumat (28/02). Mereka adalah bagian dari lebih dari 7.000 orang yang ditahan di Myawaddy, kota perbatasan Myanmar, setelah operasi gabungan oleh Thailand, Myanmar, dan Cina membongkar sindikat jaringan penipuan di Myanmar.

    Ratusan ribu orang diperkirakan telah diperdaya untuk bekerja di Myanmar, Kamboja, dan Laos dengan iming-iming pekerjaan menarik. Namun, kenyataannya mereka justru dipaksa melakukan berbagai modus penipuan, seperti penipuan asmara, investasi bodong, hingga perjudian ilegal. Banyak dari mereka yang akhirnya terjebak dalam kondisi kerja yang tidak manusiawi.

    Menurut Kementerian Luar Negeri Indonesia, 84 WNI tersebut terdiri dari 69 pria dan 15 perempuan, dalam kondisi sehat. Mereka diterbangkan ke Jakarta menggunakan tiga penerbangan komersial pada hari Jumat (28/02). Sebelumnya, Kemlu RI menyebut ada sekitar 270 WNI yang terjebak di Myanmar, tetapi belum jelas mengapa hanya 84 orang yang bisa dipulangkan dalam gelombang pertama ini.

    Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 6.800 warga Indonesia telah menjadi korban penipuan kerja ilegal. Mereka dipaksa bekerja di operasi perjudian online dan skema investasi bodong di Myanmar dan negara lain.

    Operasi pemberantasan penipuan masih minim hasil

    Upaya yang sedang berlangsung untuk memberantas pusat-pusat penipuan di sepanjang perbatasan Thailand dengan Myanmar sejauh ini baru berhasil menyelamatkan sebagian kecil pekerja. Seorang anggota parlemen oposisi terkemuka di Thailand menyerukan tindakan yang lebih komprehensif untuk memberantas industri ilegal yang terus berkembang pesat ini.

    Thailand, dengan dukungan Cina, berusaha membongkar pusat-pusat penipuan di wilayah Myawaddy, Myanmar. Wilayah ini merupakan bagian dari jaringan operasi ilegal bernilai tinggi di Asia Tenggara yang dalam beberapa tahun terakhir telah memperdagangkan ratusan ribu orang ke dalam jeratan sindikat kriminal, menurut laporan PBB.

    Operasi pemberantasan jaringan penipuan di Myanmar ini dilakukan setelah pertemuan antara Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, dan Presiden Cina, Xi Jinping, di Beijing pada awal Februari lalu. Dalam pertemuan itu, Thailand berkomitmen untuk menindak jaringan penipuan internasional. Sebagai bagian dari upaya ini, Thailand telah memutus pasokan listrik, internet, dan gas ke beberapa wilayah di Myanmar yang diketahui menjadi pusat aktivitas penipuan di perbatasan.

    Rangsiman Rome, tokoh utama dalam upaya menindak pusat-pusat penipuan yang telah merugikan masyarakat Thailand hingga ratusan juta dolar, mengungkapkan kepada Reuters bahwa sekitar 300.000 orang bekerja di pusat-pusat penipuan di Myawaddy. Namun, kurang dari 10.000 orang telah berhasil diselamatkan.

    “Itu berarti kerajaan penipuan ini masih berdiri… kita hanya mengguncangnya sedikit,” ujar Rangsiman, ketua komite parlemen Thailand untuk keamanan nasional dan urusan perbatasan.

    Ia yang telah mengunjungi beberapa daerah perbatasan itu mengatakan ada sekitar 40 pusat penipuan di sana, meski tidak menyebutkan bukti spesifik. “Jika kita berhenti sekarang, mereka bisa terus menjalankan bisnisnya,” tambahnya.

    Keterkaitan oknum militer Myanmar dalam sindikat penipuan

    Militer Myanmar diduga terlibat dalam jaringan penipuan yang beroperasi di perbatasan, terutama di Myawaddy. Wilayah ini menjadi pusat aktivitas sindikat yang memperdagangkan ribuan orang untuk bekerja di pusat penipuan digital, termasuk skema investasi palsu dan perjudian ilegal.

    Salah satu tokoh yang disebut berperan besar adalah Kolonel Saw Chit Thu, pemimpin Pasukan Penjaga Perbatasan (Border Guard Force/BGF) Myanmar. Kelompok ini merupakan milisi pro-junta yang beroperasi di Myawaddy dan diduga memberikan perlindungan bagi operasi penipuan di wilayah tersebut. “Kami tahu dia memiliki hubungan kuat dengan pihak Thailand,” ujar anggota parlemen oposisi Thailand, Rangsiman Rome.

    Sementara, Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, menegaskan bahwa pemberantasan pusat penipuan ini adalah prioritas pemerintah. Perhatian terhadap masalah ini meningkat setelah penculikan aktor Cina Wang Xing di Thailand bulan lalu. Wang ditemukan di Myawaddy, diselamatkan, dan dipulangkan ke negaranya setelah insiden tersebut memicu kemarahan besar di media sosial Cina.

    Saat ini, lebih dari 7.000 warga asing, sebagian besar dari Cina, menunggu untuk dipulangkan dari Myanmar. Namun, Thailand masih menghadapi tantangan besar dalam memberantas jaringan penipuan ini karena adanya keterlibatan pejabat setempat.

    “Sudah saatnya menghentikan korupsi di Thailand,” tegas Rangsiman, seraya menyerukan tindakan lebih tegas terhadap pihak-pihak yang melindungi operasi ilegal ini.

    rs/ha (AP, Reuters)

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • 84 WNI Terduga Korban Penipuan Online di Myanmar Diserahkan ke Indonesia

    84 WNI Terduga Korban Penipuan Online di Myanmar Diserahkan ke Indonesia

    Jakarta

    Pemerintah Myanmar menyatakan mereka telah menyerahkan 84 warga negara Indonesia (WNI) kepada perwakilan pemerintah Indonesia, Kamis (27/02), untuk dipulangkan melalui Thailand. Rencananya mereka akan dipulangkan ke Indonesia pada Jumat (28/02), kata Kementerian Luar Negeri Indonesia.

    Mereka adalah terduga korban perdagangan orang (TPPO) di Myanmar.

    Direktur Perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, membenarkan informasi tersebut kepada BBC News Indonesia.

    Menurut rencana, 84 orang WNI itu akan dipulangkan ke Indonesia pada Jumat (28/02), kata Judha Nugraha.

    Seperti dilaporkan BBC Burma, perwakilan pemerintah Myanmar, Indonesia, dan Thailand telah bertemu pada Kamis (27/02) pagi untuk penyerahan secara resmi 84 orang WNI tersebut.

    Mereka saat ini sedang menunggu di Thailand untuk dipulangkan ke Indonesia pada Jumat (28/02).

    Sebelumnya, Pemerintah Indonesia sudah memulangkan 46 orang WNI terduga korban perdagangan manusia di Myanmar pada Kamis, 20 Februari 2025 lalu.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Menurut Kemlu Indonesia, sampai Februari 2025, ada 6.800 WNI yang diduga terlibat TPPO di luar negeri.

    “Angkanya masih terus bertambah,” kata Judha, seperti dikutip Detik.com.

    Judha Nugraha mengatakan mereka dipekerjakan sindikat judi online.

    Data Kemlu menyebutkan ada 10 negara sebagai tujuan untuk bekerja termasuk di Myanmar.

    Delapan WNI dan ratusan WNA dibebaskan dari pusat penipuan online Myanmar

    Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengonfirmasi sejumlah warga negara Indonesia (WNI) termasuk dalam 260 orang dari 20 negara yang dibebaskan oleh kelompok etnis bersenjata Myanmar dan dibawa ke Thailand.

    Mereka adalah orang-orang yang bekerja di pusat penipuan Myanmar.

    Para pekerja, yang lebih dari separuhnya berasal dari negara-negara Afrika atau Asia termasuk Indonesia dibawa dari Negara Bagian Karen di Myanmar dan diterima oleh tentara Thailand.

    Mereka diperiksa untuk memastikan apakah mereka korban perdagangan manusia.

    Direktur Perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, membenarkan informasi tersebut. Kendati begitu dia belum memerinci identitas WNI yang dibebaskan.

    Pekan lalu, Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra bertemu dengan pemimpin China Xi Jinping, dan berjanji akan menutup pusat penipuan yang tersebar di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar.

    ReutersWarga negara asing yang menjadi korban penipuan online berdiri di atas kapal yang mengapung menuju sisi perbatasan Thailand melalui Sungai Moei di Distrik Phop Phra, Provinsi Tak, Thailand, 12 Februari 2025.

    Otoritas Thailand telah menghentikan akses listrik dan bahan bakar dari sisi perbatasan Thailand.

    Mereka juga memperketat peraturan perbankan dan visa demi mencegah operator penipuan menjadikan Thailand sebagai negara transit untuk memindahkan pekerja dan uang tunai.

    Beberapa anggota parlemen oposisi di Thailand telah mendorong pemerintah Thailand untuk melakukan tindakan semacam ini selama dua tahun terakhir.

    BBC

    Pekerja asing biasanya dibujuk ke pusat penipuan ini dengan tawaran gaji yang besar, atau dalam beberapa kasus, dijanjikan pekerjaan di Thiland, bukan Myanmar.

    Para penipu mencari pekerja yang memiliki keterampilan dalam bahasa yang menjadi sasaran penipuan dunia maya, biasanya bahasa Inggris dan Mandarin.

    Mereka dipaksa melakukan aktivitas kriminal di dunia maya, mulai dari modus penipuan asmara yang dikenal sebagai “jagal babi” dan penipuan kripto, hingga pencucian uang dan perjudian ilegal.

    Beberapa bersedia melakukan pekerjaan itu, tetapi yang lain dipaksa untuk tinggal, dan pembebasan hanya mungkin dilakukan jika keluarga mereka membayar uang tebusan yang besar.

    Beberapa dari mereka yang berhasil melarikan diri menceritakan penyiksaan yang mereka alami.

    Para pekerja asing yang dibebaskan diserahkan oleh DKBA, salah satu dari beberapa faksi bersenjata yang menguasai wilayah di Negara Bagian Karen.

    Getty ImagesLebih dari 250 orang yang diselamatkan dari pusat penipuan daring di Myanmar diserahkan ke Thailand pada 12 Februari, kata seorang pejabat senior militer Thailand, menyusul serangkaian tindakan keras terhadap operasi ilegal tersebut.

    Kelompok bersenjata ini dituduh membiarkan kompleks penipuan itu beroperasi di bawah perlindungan mereka, dan menoleransi penyiksaan yang meluas terhadap korban perdagangan manusia yang dipaksa bekerja di kompleks itu.

    Pemerintah Myanmar tidak mampu memperluas kendalinya atas sebagian besar wilayah Negara Bagian Karen sejak kemerdekaan pada tahun 1948.

    Pada Selasa (11/02), Departemen Investigasi Khusus Thailandserupa dengan FBI di ASmeminta surat perintah penangkapan untuk tiga komandan kelompok bersenjata lain yang dikenal sebagai Tentara Nasional Karen.

    Thai News PixPara penipu mencari pekerja yang memiliki keterampilan dalam bahasa Inggris dan Mandarin.

    Surat perintah penggeledahan itu mencakup Saw Chit Thu, panglima perang Karen yang membuat kesepakatan pada 2017 dengan sebuah perusahaan China untuk membangun Shwe Kokko, kota baru yang diyakini sebagian besar didanai oleh penipuan.

    BBC mengunjungi Shwe Kokko atas undangan Yatai, perusahaan yang membangun kota tersebut.

    Yatai mengatakan tidak ada lagi penipuan di Shwe Kokko.

    ReutersKorban

    Perusahaan telah memasang papan reklame besar di seluruh kota yang menyatakan, dalam bahasa Mandarin, Burma, dan Inggris, bahwa kerja paksa tidak diperbolehkan, dan bahwa “bisnis daring” harus tutup.

    Namun, kami diberitahu oleh penduduk setempat bahwa bisnis penipuan itu masih berjalan, dan kami mewawancarai seorang pekerja yang pernah bekerja di salah satu tempat itu.

    Seperti DKBA, Saw Chit Thu memisahkan diri dari kelompok pemberontak utama Karen, KNU, pada 1994, dan bersekutu dengan militer Myanmar.

    Thai News PixPekerja asing yang dibebaskan berbaris di luar truk militer untuk dibawa ke wilayah perbatasan Thailand dengan Myanmar

    Di bawah tekanan dari Thailand dan China, Saw Chit Thu dan DKBA mengatakan mereka akan mengusir bisnis penipuan dari wilayah mereka.

    Komandan DKBA menghubungi anggota parlemen Thailand pada Selasa (11/02) untuk mengatur penyerahan 260 pekerja.

    Mereka termasuk 221 pria dan 39 perempuan, dari Ethiopia, Kenya, Filipina, Malaysia, Pakistan, Cina, Indonesia, Taiwan, Nepal, Uganda, Laos, Burundi, Brasil, Bangladesh, Nigeria, Tanzania, Sir Lanka, India, Ghana, dan Kamboja.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Jack Ma Damai dengan Xi Jinping, Alibaba Gaspol

    Jack Ma Damai dengan Xi Jinping, Alibaba Gaspol

    Beijing

    Raksasa e-commerce China, Alibaba Group, mengungkapkan bahwa mereka akan menginvestasikan USD 53 miliar untuk komputasi awan dan kecerdasan buatan atau AI selama tiga tahun ke depan. Ini akan jadi salah satu investasi teknologi terbesar perusahaan, melampaui investasinya di sektor-sektor ini dalam 10 tahun terakhir.

    Langkah ini dilakukan karena Alibaba, bersama beberapa perusahaan teknologi China, pendapatannya menguat dan kembali mendapat kepercayaan investor. Terlebih ada pertemuan antara presiden Xi Jinping, dan pendiri Alibaba, Jack Ma, yang memperbarui harapan investor bahwa pemerintah China akan lebih mendukung sektor teknologi.

    Eddie Wu, CEO Alibaba menekankan bahwa Alibaba telah fokus pada AI akhir-akhir ini, yang telah mendorong pertumbuhan perusahaan. Dia menyoroti potensi AI dalam membentuk kembali industri di seluruh dunia.

    “AI adalah jenis peluang transformasi industri yang hanya muncul sekali tiap beberapa dekade. Kami bertujuan terus mengembangkan model yang memperluas batasan kecerdasan dan AI akhirnya dapat memiliki pengaruh signifikan terhadap atau bahkan menggantikan 50% PDB global,” katanya yang dikutip detikINET dari Asian Times, Kamis (27/2/2025).

    Hal itu didukung kembalinya Jack Ma yang saat bertemu Xi Jinping duduk di barisan depan dan Xi menjabat tangannya. Itu membuat para investor berbondong-bondong membeli saham di China dengan antusiasme yang belum pernah terlihat selama bertahun-tahun.

    “Pemandangan itu menunjukkan salah satu pengusaha terhebat di dunia yang masih hidup, kembali ke dalam kebaikan. Itu adalah sinyal yang menggembirakan bagi bisnis swasta,” kata analis Bill Bishop.

    Alibaba sendiri telah lama menjadi simbol global perusahaan teknologi China. Sedangkan Jack Ma adalah pengusaha teknologi China yang paling populer.

    (fyk/fay)

  • SBY ungkap Alasan China, Rusia, dan AS jadi Pemain Global Saat Ini

    SBY ungkap Alasan China, Rusia, dan AS jadi Pemain Global Saat Ini

    Bisnis.com, Jakarta – Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut bahwa 3 pemimpin kuat di dunia saat ini adalah Presiden China Xi Jin Ping, Presiden Rusia Putin dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    SBY menuturkan bahwa Xi, Trump dan Putin memiliki saling bersaing untuk memperjuangkan kejayaan negaranya masing-masing. Menurutnya hal itu wajar apalagi, AS, China dan Rusia memiliki reputasi dan pengaruh yang besar dalam sejarah geopolitik global.

    “Tiga elemen penting untuk bisa bermain secara mengesankan dalam percaturan dunia,” terangnya ketika memberikan paparan di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, Rabu (27/2/2025).

    Presiden ke 6 itu kemudian merinci kekuatan yang dimiliki ketiga negara antara lain kekuatan ekonomi, kekuatan militer, dan kemajuan teknologi. Dengan kekuatan yang cukup besar, menurutnya, ketiga negara akan terus berkompetisi pada masa depan.

    “Skenario yang mungkin terjadi, ke depan, tiga-tiganya saling berkompetisi. Saling menjadi rival. Skenario pertama. Skenario kedua, duduk bersama dan berkolaborasi. Mereka bertiga. Itu juga satu opsi. Seberapa persen, kemungkinannya, ya kita tidak tahu,” jelasnya.

    Skenario ketiga, menurut SBY, adalah kemungkinan perubahan kedekatan di antara mereka. Saat ini, Xi Jinping lebih dekat dengan Putin, tetapi tidak menutup kemungkinan Putin suatu saat bisa lebih dekat dengan Trump.

    “Ini juga satu hal yang bisa mengubah jalannya sejarah. Tanda-tandanya ada,” pungkasnya.

  • Video: China & Rusia Mesra – RI Kuasai Ekspor Wafer-Mie Instan Dunia

    Video: China & Rusia Mesra – RI Kuasai Ekspor Wafer-Mie Instan Dunia

    Jakarta, CNBC Indonesia- Presiden China Xi Jinping memuji upaya positif Moskow dalam meredakan perang dengan Ukraina. Pujian itu diutarakan langsung Xi Jinping saat berbicara melalui telepon dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

    Korea Selatan tengah dilanda masalah krisis populasi. Semakin banyaknya generasi muda yang enggan menikah dan punya anak, menyebabkan angka kelahiran yang sangat rendah hingga menyentuh rekor.

    Indonesia tercatat sebagai pemain eksportir untuk beberapa produk turunan terigu seperti wafer dan mi instan. Direktur Eksekutif Asosiasi Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Ratna Sari Loppies mengungkapkan hal itu terjadi karena Indonesia bisa memproduksi dengan harga murah.

    Selengkapnya dalam program Power Lunch CNBC Indonesia (Selasa, 25/02/2025) berikut ini.