Tag: Xi Jinping

  • China Sepakati Divestasi TikTok di AS, Siapa yang Bakal Beli?

    China Sepakati Divestasi TikTok di AS, Siapa yang Bakal Beli?

    Bisnis.com, JAKARTA— Amerika Serikat (AS) dan China dikabarkan telah mencapai kesepakatan untuk mengalihkan kepemilikan TikTok di AS kepada investor lokal. 

    Namun, kesepakatan tersebut rencananya baru akan diumumkan secara resmi setelah Presiden Donald Trump berbicara langsung dengan Presiden China Xi Jinping. Trump juga memberikan tenggat waktu penjualan diperpanjang hingga 16 Desember 2025. Dengan sekitar 170 juta pengguna di AS, sejauh ini TikTok berhasil menghindari ancaman penutupan permanen.

    Meski demikian, pertanyaan masih menggantung, siapa yang akhirnya akan membeli bisnis TikTok di AS?

    Valuasi bisnis TikTok di Negeri Paman Sam diperkirakan bisa melambung hingga lebih dari US$60 miliar atau sekitar Rp985 triliun. Karena itu, tidak sedikit pihak yang disebut berusaha masuk dalam perebutan kepemilikan.

    Melansir laman TechCrunch pada Rabu (17/9/2025), salah satu upaya serius datang dari konsorsium bernama The People’s Bid yang digagas Frank McCourt, mantan pemilik klub baseball Los Angeles Dodgers sekaligus pendiri Project Liberty. 

    Konsorsium ini menekankan pentingnya privasi dan kontrol data pengguna dengan pendekatan berbasis open source. Dukungan datang dari tokoh-tokoh besar seperti Alexis Ohanian, co-founder Reddit, investor Kevin O’Leary, hingga Tim Berners-Lee, penemu World Wide Web.

    Selain itu, ada pula konsorsium investor AS yang dipimpin Jesse Tinsley, pendiri dan CEO Employer.com. 

    Mereka bahkan menyiapkan tawaran tunai senilai US$30 miliar atau sekitar Rp492 triliun untuk mengakuisisi operasional TikTok di AS. 

    Nama-nama yang terlibat dalam kelompok ini, antara lain David Baszucki, co-founder dan CEO Roblox; Nathan McCauley dari perusahaan kripto Anchorage Digital; hingga kreator YouTube populer Jimmy Donaldson atau yang lebih dikenal sebagai MrBeast.

    Di luar kedua konsorsium tersebut, sederet perusahaan besar juga disebut ikut masuk dalam perebutan TikTok. Amazon, Microsoft, dan Walmart kembali meramaikan bursa setelah sebelumnya sempat tertarik pada 2020. 

    Oracle bahkan disebut sebagai kandidat terkuat untuk menjadi mitra teknologi cloud TikTok di AS, sementara perusahaan teknologi seluler AppLovin disebut mengajukan penawaran dengan dukungan pengusaha kasino Steve Wynn. 

    Ada pula nama Bobby Kotick, mantan CEO Activision, startup mesin pencari Perplexity AI, hingga platform video Rumble yang terang-terangan menyatakan minatnya lewat media sosial. 

    Mantan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin pun dikabarkan kembali ikut dalam pembicaraan, sementara startup media sosial Zoop yang didirikan Tim Stokely, pendiri OnlyFans, mencoba masuk lewat proposal di tahap akhir.

    Di tengah beragam manuver tersebut, Trump disebut tengah menyiapkan rencana pembentukan “TikTok America,” sebuah entitas baru yang akan dimiliki separuhnya oleh investor Amerika, sementara ByteDance hanya akan memegang sekitar 19,9% saham. Meski begitu, hingga kini, belum ada kesepakatan final.

  • Perjalanan TikTok, dari Sempat Diblokir di Indonesia hingga Batal Tutup di AS

    Perjalanan TikTok, dari Sempat Diblokir di Indonesia hingga Batal Tutup di AS

    Bisnis.com, JAKARTA— TikTok melewati perjalanan panjang sejak diluncurkan, mulai dari sempat diblokir di Indonesia pada 2018 hingga terancam ditutup di Amerika Serikat (AS)

    Kini aplikasi tersebut batal dilarang di AS setelah pemerintah setempat mencapai kesepakatan dengan investor lokal yang akan mengambil alih kepemilikan.

    Melansir laman Reuters pada Rabu (17/9/2025) TikTok dikembangkan oleh ByteDance, perusahaan asal China yang didirikan Zhang Yiming pada 2012. Versi awalnya bernama Douyin, yang diluncurkan di pasar domestik pada 2016, sebelum hadir secara global setahun kemudian. 

    Pada 2018, ByteDance mengakuisisi aplikasi asal AS, Flipgram, serta aplikasi lip-sync populer Musical.ly. Integrasi dengan Musical.ly mendorong TikTok meluas ke pasar internasional, termasuk Indonesia. 

    Namun pada tahun yang sama, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sempat memblokir TikTok karena dianggap memuat konten pornografi, penistaan agama, serta konten negatif lainnya. 

    Larangan itu hanya bertahan sepekan, setelah TikTok berkomitmen menghapus konten bermasalah dan membuka kantor perwakilan di Jakarta.

    Popularitas TikTok kemudian terus meningkat. Pada 2019, unduhan globalnya sudah menembus 1 miliar kali dan setahun kemudian melonjak menjadi 2 miliar. Namun, seiring pertumbuhan tersebut, aplikasi ini mulai mendapat pengawasan ketat di sejumlah negara.

    India misalnya, melarang TikTok pada 2020 dengan alasan keamanan nasional setelah bentrokan di perbatasan dengan China.  Kemudian Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Donald Trump juga menaruh perhatian besar, dengan kekhawatiran data pengguna bisa diakses oleh pemerintah Beijing. 

    Pada Agustus 2020, Trump bahkan menandatangani perintah eksekutif yang melarang transaksi dengan ByteDance, sembari mendesak agar operasi TikTok di AS dialihkan ke pemilik lokal.

    Sejumlah perusahaan besar, termasuk Microsoft dan Oracle, sempat masuk dalam pembicaraan untuk membeli bisnis TikTok di AS. Meski negosiasi berlarut-larut, ByteDance berhasil mempertahankan operasional aplikasi tersebut, sambil menghadapi berbagai tuntutan hukum dan investigasi terkait perlindungan data anak-anak.

    Pada periode berikutnya, tekanan terhadap TikTok kian kuat. Pemerintahan Joe Biden pada 2024 menandatangani undang-undang yang mewajibkan ByteDance menjual aset TikTok di AS paling lambat Januari 2025, atau aplikasi itu akan dilarang dari toko aplikasi maupun layanan internet di Negeri Paman Sam. 

    TikTok sempat hilang dari App Store dan Google Play di AS pada Januari 2025, namun sehari kemudian kembali aktif setelah Trump yang terpilih kembali sebagai Presiden menyatakan akan memberi jalan keluar bagi aplikasi tersebut.

    Sejak itu, tenggat penjualan berulang kali diperpanjang hingga akhirnya pada pertengahan September 2025, pemerintah AS dan China mencapai kesepakatan awal dalam perundingan di Madrid. 

    Kedua negara sepakat untuk mengalihkan kepemilikan TikTok di AS ke investor lokal, yang akan diumumkan resmi setelah Trump dan Presiden China Xi Jinping berbicara langsung. 

    Trump kemudian menegaskan TikTok tidak akan ditutup di Amerika Serikat, dan tenggat penjualan diperpanjang hingga 16 Desember 2025. Memiliki sekitar 170 juta pengguna di AS, TikTok sejauh ini berhasil terhindar dari ancaman penutupan.

  • China Kumpulkan Sekutunya, Bentuk Tatanan Global Saingi AS

    China Kumpulkan Sekutunya, Bentuk Tatanan Global Saingi AS

    Beijing

    Forum Xiangshan adalah pertemuan keamanan internasional tahunan pertama di Beijing, yang digelar sejak dimulainya masa jabatan kedua Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Acara ini menjadi bagian dari rencana China untuk memperkuat proyeksi kekuatan barunya dalam “menegakkan tatanan internasional.”

    Forum yang digelar pada 17–19 September 2025 tersebut, secara luas dianggap sebagai respons China atas Dialog Shangri-La, sebuah forum keamanan tahunan bergengsi di Asia yang digelar di Singapura. Dialog Shangri-La biasanya dihadiri pejabat setingkat menteri dari negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan sekutunya.

    “AS lebih suka Dialog Shangri-La. China lebih suka Forum Xiangshan,” kata Raymond Kuo, seorang pakar politik senior yang fokus dalam topik Asia Timur di lembaga penelitian RAND, AS. “Preferensi itu terlihat dari siapa yang mereka kirim.”

    Pada Forum Xiangshan tahun 2025 ini, Amerika Serikat hanya mengirim atase pertahanan dari kedutaannya di Beijing. Perwakilan ini merupakan tingkat delegasi yang lebih rendah dibanding tahun 2024, ketika pemerintahan Trump mengirim wakil asisten menteri pertahanan.

    Pada Juni 2025, Menteri Pertahanan China Dong Jun absen dari Dialog Shangri-La. Ini merupakan kali pertama sejak tahun 2019, pejabat pertahanan tertinggi Beijing tidak hadir di forum tersebut.

    Kepada DW, Raymond Kuo mengatakan bahwa China melakukan semacam “forum shopping”, berupaya menciptakan sistem terpisah dan mengajak negara lain untuk bergabung.

    Level pejabat yang dikirim AS dan China ke forum-forum tersebut, kata Raymond Kuo, menunjukkan seberapa penting negara-negara lain menilai forum itu, di tengah meningkatnya rivalitas dua ekonomi terbesar dunia ini.

    Niat China bentuk tatanan global alternatif

    Menurut kantor berita Xinhua, sekitar 1.800 perwakilan dari 100 negara, termasuk pejabat, militer, dan akademisi hadir dalam Forum Xiangshan 2025.

    Topik utama dalam agenda resmi mencakup soal “tata kelola keamanan global, kerja sama keamanan Asia-Pasifik, menjaga tatanan internasional pascaperang, dan pembangunan perdamaian regional.”

    Narasi tersebut sejalan dengan upaya Beijing untuk memperluas pengaruhnya lewat sejumlah ajang internasional belakangan ini, yang digelar di wilayah China, termasuk Konferensi Tingkat Tinggi Shanghai Cooperation Organization (KTT SCO) dan parade militer besar pada awal September 2025 ini.

    Di KTT SCO awal September 2025, Presiden Xi Jinping bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri India Narendra Modi, sebelum kemudian menjamu Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dalam parade militer. Tampilnya kerja sama keamanan antara China dan sekutu utamanya diperkirakan juga akan terlihat di Forum Xiangshan.

    “Xi Jinping akan menekankan persatuan dengan Rusia, Korea Utara, dan mungkin Iran untuk menyampaikan pesan bahwa ada kelompok yang mampu melawan pengaruh global AS,” kata Elizabeth Freund Larus, seorang peneliti senior di Pacific Council.

    Cari dukungan “Global South” dan contohkan India

    Narasi Beijing soal tatanan dunia baru utamanya ditujukan ke negara-negara Selatan, seperti Vietnam, Malaysia, Brasil, dan Nigeria. Negara-negara tersebut mengirim perwakilan pertahanan dengan jabatan lebih tinggi ke Forum Xiangshan.

    Raymond Kuo mengatakan Xi Jinping berusaha menampilkan citra China sebagai “mediator yang dapat dipercaya” untuk negara-negara Selatan dan menjadikan hubungannya dengan India sebagai contoh.

    Terlepas dari hubungan China dan India yang memburuk sejak bentrokan perbatasan mematikan pada 2020, pertemuan Modi dengan Xi Jinping di KTT SCO awal September 2025 ini bisa menguntungkan Beijing.

    “Pada titik tertentu, China sudah mengatakan: ‘Ya, kita mungkin punya perbedaan, bahkan konflik wilayah, tetapi kita tetap bisa menangani dan menyelesaikan isu keamanan regional lebih baik daripada Amerika Serikat’,” papar Raymon Kuo.

    Namun, meski menekankan multilateralisme, para pengamat menilai China masih lebih menyukai perjanjian bilateral dengan negara-negara Selatan. China, kata Raymond Kuo, mungkin akan meluncurkan inisiatif atau memberi rincian proposal dari KTT SCO, tetapi kesepakatan nyata tampaknya terbilang kecil.

    Rivalitas AS-China di Asia

    Forum Xiangshan juga memberi gambaran tentang cara AS dan China dalam menjalankan diplomasi militer di masa depan.

    Menurut Freund Larus, pilihan delegasi AS “menunjukkan bahwa diskusi sebenarnya terjadi lewat jalur belakang, bukan di depan kamera.”

    Menjelang Forum Xiangshan, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth berbicara lewat telepon dengan Menteri Pertahanan China Dong Jun. Mereka menekankan pentingnya menjaga saluran komunikasi militer terbuka dan menegaskan kepentingan nasional masing-masing.

    Dalam percakapan itu, Dong Jun memperingatkan bahwa “upaya penahanan atau pencegahan terhadap China tidak akan berhasil”, serta menentang campur tangan AS di Laut China Selatan dan Taiwan, sebuah negara demokrasi yang punya pemerintahan sendiri tapi diklaim Beijing sebagai wilayahnya.

    Pete Hegseth menegaskan kalau AS “tidak mencari konflik dengan China”, tetapi menekankan bahwa negaranya memiliki “kepentingan strategis di Asia-Pasifik.”

    “Jika ada dialog bilateral dengan Beijing, Washington tidak merasa perlu masuk ke China untuk melakukannya,” kata Ying-Yu Lin, seorang profesor di Universitas Tamkang, Taiwan.

    Pada September 2025, kapal induk terbaru China, Fujian, terlihat melintas di Selat Taiwan menuju Laut China Selatan. Mobilisasi ini kemudian disebut Beijing sebagai “bagian dari latihan penelitian dan pelatihan.”

    Sementara itu, AS dan Jepang menggelar latihan militer bersama, termasuk pengerahan sistem rudal jarak menengah, Typhon, di Jepang. Kemudian, latihan militer ini dikritik China dan Rusia karena dianggap meningkatkan ketegangan militer di kawasan tersebut.

    Para pengamat memperkirakan Beijing akan terus menggunakan forum seperti ini untuk mempromosikan narasi perdamaian, mulai dari perang Ukraina hingga Laut China Selatan dan Taiwan.

    “Ini garis narasi yang sama yang terus digunakan pejabat China,” kata Larus. “Jangan berharap ada terobosan di sini.”

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi

    Editor: Tezar Aditya

    (nvc/nvc)

  • Donald Trump dan Xi Jinping Tentukan Nasib China Minggu Ini

    Donald Trump dan Xi Jinping Tentukan Nasib China Minggu Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping dijadwalkan berbicara pada Jumat (19/9) untuk membahas kesepakatan terkait masa depan platform media sosial TikTok. Pertemuan ini menjadi penentu nasib aplikasi populer tersebut di pasar AS.

    Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan kedua pihak sudah mencapai kesepakatan kerangka (framework deal).

    “Ini antara dua pihak swasta, tetapi syarat komersial sudah disepakati,” ujarnya dari pertemuan AS-China di Madrid, dikutip dari CNBC Internasional, Selasa (16/9/2025).

    Bessent mengungkap, kesepakatan tersebut berpotensi mengalihkan kepemilikan TikTok ke entitas yang dikendalikan AS.

    Kepala negosiator perdagangan China, Li Chenggang, juga mengonfirmasi adanya kesepakatan dan menegaskan AS sebaiknya tidak terus menekan perusahaan China.

    TikTok, yang dimiliki ByteDance, menghadapi tenggat waktu 17 September untuk melepas bisnisnya di AS atau berisiko ditutup. Meski demikian, Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer menyebut tenggat waktu itu kemungkinan diperpanjang singkat untuk memfinalisasi kesepakatan, namun tidak akan ada perpanjangan berulang.

    Sebelumnya, Kongres AS melarang operator toko aplikasi seperti Apple dan Google mendistribusikan TikTok karena dianggap sebagai “aplikasi yang dikendalikan musuh asing.”

    Namun, Trump menunda penutupan aplikasi itu pada Januari dengan menandatangani perintah eksekutif yang memberi ByteDance tambahan waktu 75 hari untuk mencapai kesepakatan. Perpanjangan berikutnya datang melalui perintah eksekutif pada April dan Juni.

    Beberapa nama besar dikaitkan dengan rencana akuisisi TikTok di AS, seperti Chairman Oracle Larry Ellison, CEO Tesla Elon Musk, hingga startup AI Perplexity. Trump sendiri menyebut ada “orang-orang sangat kaya” yang siap membeli aplikasi tersebut.

    Trump sebelumnya menyatakan TikTok merupakan ancaman bagi keamanan nasional. Namun, Gedung Putih malah membuka akun TikTok resmi pada Agustus lalu.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Trump Bicara dengan Xi Jinping Pekan Ini Usai Kesepakatan Dagang Tercapai termasuk Urusan TikTok

    Trump Bicara dengan Xi Jinping Pekan Ini Usai Kesepakatan Dagang Tercapai termasuk Urusan TikTok

    JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan perundingan perdagangan dengan China berjalan sangat baik. Trump juga mengisyaratkan kesepakatan telah dicapai untuk menyelesaikan masalah AS terkait kepemilikan TikTok.

    Presiden dari Partai Republik tersebut mengatakan dirinya akan berbicara dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada Jumat pekan ini.

    “Pertemuan Dagang besar di Eropa antara Amerika Serikat dan China telah berjalan SANGAT BAIK! Pertemuan ini akan segera berakhir,” tulis Trump di Truth Social dilansir Reuters, Senin, 15 September.

    “Kesepakatan juga telah dicapai terkait perusahaan ‘tertentu’ yang sangat ingin diselamatkan oleh anak muda di negara kita. Mereka akan sangat senang! Saya akan berbicara dengan Presiden Xi pada hari Jumat. Hubungan kita tetap sangat erat!!!”

  • Nyawa Taruhannya Jika Berani Nonton Film Asing di Korea Utara

    Nyawa Taruhannya Jika Berani Nonton Film Asing di Korea Utara

    Jakarta

    Menonton film asing atau luar negeri manapun mungkin merupakan hal yang lumrah dan dapat dilakukan dengan bebas di berbagai negara. Namun, menonton film asing bisa membuat kehilangan nyawa jika dilakukan di Korea Utara (Korut).

    Dilansir BBC, Senin (15/9/2025), Pemerintah Korea Utara makin gencar menerapkan hukuman mati, termasuk kepada orang-orang yang ketahuan menonton dan membagikan film dan drama TV asing. Hal itu menjadi salah satu temuan laporan penting PBB.

    Rezim kediktatoran Korut juga disebut makin sering menghukum rakyatnya mengikuti kerja paksa seraya membatasi kebebasan mereka. Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyebut Korut telah memperketat kendali atas ‘semua aspek kehidupan warga negara’ selama satu dekade terakhir.

    “Tidak ada populasi lain yang berada di bawah pembatasan seperti itu di dunia saat ini,” sebut laporan PBB.

    Lebih lanjut, menurut laporan itu, pengawasan ‘lebih meluas’ sebagian karena dibantu oleh kemajuan teknologi. Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Trk, khawatir warga Korut akan mengalami lebih banyak penderitaan, penindasan brutal, dan ketakutan yang telah mereka alami begitu lama.

    Laporan tersebut, yang didasarkan pada lebih dari 300 wawancara dengan orang-orang yang melarikan diri dari Korut dalam 10 tahun terakhir, menemukan hukuman mati makin sering digunakan. Setidaknya, ada enam undang-undang baru yang diberlakukan sejak 2015 dan memungkinkan hukuman mati dijatuhkan di Korut.

    Salah satu kejahatan yang kini dapat dihukum mati adalah menonton dan membagikan konten media asing seperti film dan drama TV. Hukuman itu diterapkan karena pemimpin Korut Kim Jong Un berupaya membatasi akses masyarakat terhadap informasi.

    Warga Korut yang melarikan diri atau sering disebut penyintas mengatakan kepada para peneliti PBB bahwa sejak 2020 dan seterusnya, makin banyak orang yang dieksekusi mati karena mendistribusikan konten asing. Warga yang ketahuan menonton atau membagikan film asing, menurut para penyintas, ditembak mati oleh regu tembak di depan umum untuk menanamkan rasa takut pada masyarakat.

    Kang Gyuri, yang melarikan diri pada 2023, mengatakan bahwa tiga temannya dieksekusi setelah tertangkap membawa film Korea Selatan. Dia mengaku menghadiri persidangan salah seorang temannya yang dijatuhi hukuman mati. Dia menyebut temannya saat itu berusia 23 tahun.

    “Dia diadili bersama para penjahat narkoba. Dia diperlakukan sama dengan orang yang melakukan kejahatan narkoba,” ujarnya.

    Sebagai informasi, Kim Jong Un melarang penggunaan bahasa gaul, film asing, mengecat rambut dan memakai legging ketat. Melakukan salah satu di antaranya bisa dianggap pengkhianat dan terancam hukuman mati.

    Kembali kepada Kang Gyuri, dia menambahkan sejak 2020 orang-orang menjadi lebih takut. Pengalaman Kang Gyuri dan para penyintas Korut bertolak belakang dengan apa yang diharapkan rakyat Korea Utara lebih dari 10 tahun lalu.

    Ketika Kim Jong Un pertama kali berkuasa pada 2011, warga Korut yang diwawancarai mengaku berharap kehidupan mereka akan membaik. Warga saat itu berharap kepada Kim yang berjanji mereka tidak perlu lagi ‘mengencangkan ikat pinggang’. Mereka menganggap ucapan itu berarti warga Korut akan memiliki cukup makanan.

    Saat itu, Kim berjanji menumbuhkan ekonomi sekaligus melindungi negara dengan mengembangkan senjata nuklir. Namun, laporan PBB menemukan bahwa sejak Kim berfokus pada program persenjataan serta menghindari diplomasi dengan Barat dan AS pada 2019, situasi kehidupan dan hak asasi manusia rakyat Korut telah “menurun”.

    Hampir semua orang yang diwawancarai mengatakan mereka tidak memiliki cukup makanan. Bahkan, makan tiga kali sehari adalah sebuah ‘kemewahan’ di Korut.

    Selama pandemi COVID-19, banyak pelarian mengatakan terjadi kekurangan makanan yang parah sehingga banyak orang meninggal karena kelaparan. Pada saat yang sama, pemerintah Korut menindak pasar-pasar informal tempat penduduk berdagang, sehingga mempersulit mereka untuk mencari nafkah.

    Rezim Korut juga membuat hampir mustahil bagi warganya untuk melarikan diri dengan memperketat kontrol di sepanjang perbatasan dengan China. Para prajurit diperintahkan untuk menembak warga yang mencoba menyeberang.

    “Pada masa-masa awal Kim Jong Un, kami punya sedikit harapan, tetapi harapan itu tidak bertahan lama,” kata seorang perempuan muda yang melarikan diri dari Korut pada 2018 di usia 17 tahun.

    Laporan tersebut juga menemukan bahwa pemerintah menggunakan lebih banyak kerja paksa dibandingkan satu dekade lalu. Orang-orang dari keluarga miskin direkrut ke dalam ‘brigade kejut’ untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menuntut kerja fisik, seperti proyek konstruksi atau pertambangan.

    Para pekerja berharap ini akan meningkatkan status sosial mereka, tetapi pekerjaan tersebut berbahaya, dan kematian merupakan hal yang umum. Alih-alih meningkatkan keselamatan pekerja, pemerintah justru mengagungkan kematian, melabeli mereka sebagai pengorbanan bagi Kim Jong Un.

    Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Korut dilaporkan telah merekrut ribuan anak yatim dan anak jalanan. Beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang paling parah ditemukan terjadi di kamp-kamp penjara politik yang terkenal kejam di negara itu, tempat orang-orang dapat dikurung seumur hidup dan ‘dihilangkan’.

    Laporan 2025 ini menemukan setidaknya empat dari kamp-kamp ini masih beroperasi, sementara para tahanan di penjara biasa masih disiksa dan dianiaya. Banyak tahanan yang melarikan diri mengatakan mereka telah menyaksikan kematian para tahanan akibat perlakuan buruk, kerja berlebihan, dan malnutrisi, meskipun PBB mendengar adanya ‘beberapa perbaikan terbatas’ di fasilitas-fasilitas tersebut, termasuk ‘sedikit penurunan kekerasan oleh para penjaga’.

    PBB telah menyerukan agar situasi ini diserahkan kepada Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Namun, agar hal ini bisa terwujud, Dewan Keamanan PBB perlu mendukungnya.

    Sejak 2019, dua anggota tetap DK PBB, China dan Rusia, telah berulang kali memblokir upaya untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Korea Utara. Pekan lalu, Kim Jong Un bergabung dengan pemimpin China, Xi Jinping, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam sebuah parade militer di Beijing.

    Peristiwa ini menandakan penerimaan kedua negara tersebut terhadap program senjata nuklir Korea Utara dan perlakuan terhadap warga Korut. PBB sendiri telah meminta pemerintah Korea Utara untuk menghapuskan kamp-kamp penjara politiknya, mengakhiri penggunaan hukuman mati, dan mendidik warganya tentang hak asasi manusia.

    “Laporan kami menunjukkan keinginan yang jelas dan kuat untuk perubahan, terutama di kalangan anak muda (Korea Utara),” kata kepala hak asasi manusia PBB, Trk.

    Halaman 2 dari 5

    (haf/haf)

  • Korut Makin Sering Eksekusi Mati Warga yang Nonton Film Asing

    Korut Makin Sering Eksekusi Mati Warga yang Nonton Film Asing

    Jakarta

    Pemerintah Korea Utara makin gencar menerapkan hukuman mati, termasuk kepada orang-orang yang ketahuan menonton dan membagikan film dan drama TV asing, demikian temuan laporan penting PBB.

    Rezim kediktatoran Korut juga makin sering menghukum rakyatnya mengikuti kerja paksa seraya membatasi kebebasan mereka, tambah laporan tersebut.

    Kantor Hak Asasi Manusia PBB menemukan bahwa selama satu dekade terakhir, Korea Utara memperketat kendali atas “semua aspek kehidupan warga negara”.

    “Tidak ada populasi lain yang berada di bawah pembatasan seperti itu di dunia saat ini,” sebut laporan PBB.

    Lebih lanjut, menurut laporan itu, pengawasan “lebih meluas”, sebagian karena dibantu oleh kemajuan teknologi.

    Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Trk, mengatakan bahwa apabila situasi ini berlanjut, warga Korea Utara “akan mengalami lebih banyak penderitaan, penindasan brutal, dan ketakutan yang telah mereka alami begitu lama”.

    Laporan tersebut, yang didasarkan pada lebih dari 300 wawancara dengan orang-orang yang melarikan diri dari Korea Utara dalam 10 tahun terakhir, menemukan bahwa hukuman mati makin sering digunakan.

    Menonton film asing, ditembak di depan umum

    Setidaknya enam undang-undang baru telah diberlakukan sejak 2015 yang memungkinkan hukuman mati dijatuhkan.

    Salah satu kejahatan yang kini dapat dihukum mati adalah menonton dan membagikan konten media asing seperti film dan drama TV. Hukuman itu diterapkan karena Kim Jong Un berupaya membatasi akses masyarakat terhadap informasi.

    KCNA via EPALaporan PBB menemukan bahwa pemerintah Korut menggunakan lebih banyak kerja paksa dibandingkan satu dekade lalu.

    Para penyintas mengatakan kepada para peneliti PBB bahwa sejak 2020 dan seterusnya, makin banyak orang yang dieksekusi mati karena mendistribusikan konten asing.

    Warga yang ketahuan menonton atau membagikan film asing, menurut para penyintas, ditembak mati oleh regu tembak di depan umum untuk menanamkan rasa takut pada masyarakat.

    Baca juga:

    Kang Gyuri, yang melarikan diri pada 2023, mengatakan kepada BBC bahwa tiga temannya dieksekusi setelah tertangkap membawa film Korea Selatan.

    Ia menghadiri persidangan salah seorang temannya yang dijatuhi hukuman mati. Temannya berusia 23 tahun.

    “Dia diadili bersama para penjahat narkoba. Dia diperlakukan sama dengan orang yang melakukan kejahatan narkoba,” ujarnya.

    Dia menambahkan bahwa sejak 2020 orang-orang menjadi lebih takut.

    Berharap pada pemimpin baru, tapi rakyat makin lapar

    Pengalaman Kang Gyuri dan para penyintas Korut bertolak belakang dengan apa yang diharapkan rakyat Korea Utara lebih dari 10 tahun lalu.

    Ketika Kim Jong Un pertama kali berkuasa pada 2011, warga Korut yang diwawancarai mengaku berharap kehidupan mereka akan membaik, karena Kim telah berjanji bahwa mereka tidak perlu lagi “mengencangkan ikat pinggang”. Artinya mereka akan memiliki cukup makanan.

    Saat itu, Kim berjanji menumbuhkan ekonomi sekaligus melindungi negara dengan mengembangkan senjata nuklir.

    AFP via Getty ImagesWarga Korut membungkuk di hadapan mosaik yang menggambarkan ayah dan kakek Kim Jong Un di Pyongyang. Foto ini diabadikan pada 9 September.

    Namun, laporan PBB menemukan bahwa sejak Kim berfokus pada program persenjataan serta menghindari diplomasi dengan Barat dan AS pada 2019, situasi kehidupan dan hak asasi manusia rakyat Korut telah “menurun”.

    Hampir semua orang yang diwawancarai mengatakan mereka tidak memiliki cukup makanan. Bahkan, makan tiga kali sehari adalah sebuah “kemewahan”.

    Selama pandemi Covid, banyak pelarian mengatakan bahwa terjadi kekurangan makanan yang parah sehingga banyak orang meninggal karena kelaparan.

    Baca juga:

    Pada saat yang sama, pemerintah Korut menindak pasar-pasar informal tempat penduduk berdagang, sehingga mempersulit mereka untuk mencari nafkah.

    Rezim Korut juga membuat hampir mustahil bagi warganya untuk melarikan diri dengan memperketat kontrol di sepanjang perbatasan dengan China. Para prajurit diperintahkan untuk menembak warga yang mencoba menyeberang.

    “Pada masa-masa awal Kim Jong Un, kami punya sedikit harapan, tetapi harapan itu tidak bertahan lama,” kata seorang perempuan muda yang melarikan diri dari Korut pada 2018 di usia 17 tahun.

    “Pemerintah secara bertahap menghalangi orang-orang untuk mencari nafkah secara mandiri, dan menjalani hidup menjadi siksaan setiap hari,” ia bersaksi kepada para peneliti.

    ‘Rezim Korut menutup mata dan telinga rakyat’

    Laporan PBB menyatakan bahwa “selama 10 tahun terakhir, pemerintah menjalankan kendali hampir total atas rakyat, membuat mereka tidak mampu membuat keputusan sendiri”baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik.

    Laporan tersebut menambahkan bahwa kemajuan teknologi pengawasan telah membantu mewujudkan hal ini.

    Seorang warga Korut yang melarikan dari negara tersebut mengatakan kepada para peneliti bahwa tindakan keras rezim Pyongyang dimaksudkan “untuk menutup mata dan telinga rakyat”.

    “Ini adalah bentuk kendali yang bertujuan menghilangkan tanda-tanda ketidakpuasan atau keluhan sekecil apa pun,” kata mereka yang berbicara secara anonim.

    Baca juga:

    Laporan tersebut juga menemukan bahwa pemerintah menggunakan lebih banyak kerja paksa dibandingkan satu dekade lalu.

    Orang-orang dari keluarga miskin direkrut ke dalam “brigade kejut” untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menuntut kerja fisik, seperti proyek konstruksi atau pertambangan.

    Para pekerja berharap ini akan meningkatkan status sosial mereka, tetapi pekerjaan tersebut berbahaya, dan kematian merupakan hal yang umum.

    Alih-alih meningkatkan keselamatan pekerja, pemerintah justru mengagungkan kematian, melabeli mereka sebagai pengorbanan bagi Kim Jong Un.

    Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah bahkan telah merekrut ribuan anak yatim dan anak jalanan, klaim laporan tersebut.

    Kejahatan terhadap kemanusiaan

    Penelitian terbaru ini menindaklanjuti laporan komisi penyelidikan PBB pada 2014, yang untuk pertama kalinya menemukan bahwa pemerintah Korea Utara melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.

    Baca juga:

    Beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang paling parah ditemukan terjadi di kamp-kamp penjara politik yang terkenal kejam di negara itu, tempat orang-orang dapat dikurung seumur hidup dan “dihilangkan”.

    Laporan 2025 ini menemukan bahwa setidaknya empat dari kamp-kamp ini masih beroperasi, sementara para tahanan di penjara biasa masih disiksa dan dianiaya.

    Banyak tahanan yang melarikan diri mengatakan mereka telah menyaksikan kematian para tahanan akibat perlakuan buruk, kerja berlebihan, dan malnutrisi, meskipun PBB mendengar adanya “beberapa perbaikan terbatas” di fasilitas-fasilitas tersebut, termasuk “sedikit penurunan kekerasan oleh para penjaga”.

    Dilindungi China dan Rusia

    PBB menyerukan agar situasi ini diserahkan kepada Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag.

    Namun, agar hal ini bisa terwujud, Dewan Keamanan PBB perlu mendukungnya.

    Sejak 2019, dua anggota tetap DK PBB, China dan Rusia, telah berulang kali memblokir upaya untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Korea Utara.

    KCNA via ReutersDari kiri ke kanan: Vladimir Putin, Xi Jinping, dan Kim Jong Un di Beijing.

    Pekan lalu, Kim Jong Un bergabung dengan pemimpin China, Xi Jinping, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam sebuah parade militer di Beijing. Peristiwa ini menandakan penerimaan kedua negara tersebut terhadap program senjata nuklir Korea Utara dan perlakuan terhadap warga Korut.

    Selain mendesak masyarakat internasional untuk bertindak, PBB meminta pemerintah Korea Utara untuk menghapuskan kamp-kamp penjara politiknya, mengakhiri penggunaan hukuman mati, dan mendidik warganya tentang hak asasi manusia.

    “Laporan kami menunjukkan keinginan yang jelas dan kuat untuk perubahan, terutama di kalangan anak muda (Korea Utara),” kata kepala hak asasi manusia PBB, Trk.

    (ita/ita)

  • Sikap Prabowo Tidak Membebek ke Barat Bikin Bangga

    Sikap Prabowo Tidak Membebek ke Barat Bikin Bangga

    GELORA.CO -Tokoh marhaen Izedrik Emir Moeis mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto merupakan sosok pemimpin yang tegas dan tidak manut ke dunia barat.

    “Presiden kita sekarang kan mulai lebih tegas. Tidak mau membebek lagi ke barat. Saya lihat ada fotonya berempat bersama dengan Kim Jong-un, Xi Jinping, Putin, dan beliau. Wah, saya bangga lihat itu,” kata Emir Moeis kepada RMOL di Jakarta, Minggu, 14 September 2025.

    Emir juga berharap apa yang dialami Indonesia beberapa hari belakangan ini, tidak terulang kembali. 

    “Apalagi saya lihat di Nepal, itu menakutkan. Di Perancis juga rame. Di sini secara lebih lanjut, kita lihat bahwa dunia selama ini kan dikuasai oleh para globalis. Coba lihat aja itu. Kita bisa katakan dunia juga sudah tidak beres,” tegasnya.

    Menurut politikus senior PDIP ini, pandangan dunia terhadap Presiden Prabowo cukup besar. Namun di sisi lain, ia menilai bahwa Presiden Prabowo merupakan penganut sosialis dan bisa berbahaya buat keselamatan bangsa. 

    “Ini pilar sosialisme dunia. Dan Pak Prabowo itu beberapa kali saya baca, sudah mengeluarkan kata-kata sosialisme. Dan pergerakan-pergerakan ini tidak jauh, saya mulai khawatir juga ya. Ini bisa jadi seperti gerakan sosialis, jangan menjadi revolusi sosialis,” pungkasnya.

  • Pejabat AS dan China Gelar Pertemuan di Madrid Spanyol, Bahas Apa Saja? – Page 3

    Pejabat AS dan China Gelar Pertemuan di Madrid Spanyol, Bahas Apa Saja? – Page 3

    Mantan negosiator perdagangan USTR dan kepala Asia Society Policy Institute di Washington, Wendy Cutler memperkirakan “hasil” yang lebih substansial akan tersimpan untuk pertemuan potensial antara Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping akhir tahun ini, mungkin pada KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik di Seoul pada akhir Oktober.

    Ini mungkin termasuk kesepakatan akhir untuk menyelesaikan kekhawatiran keamanan nasional AS atas TikTok, dan pencabutan pembatasan pembelian kedelai Amerika oleh Tiongkok serta pengurangan tarif terkait fentanil untuk barang-barang Tiongkok. “Diskusi Madrid dapat membantu meletakkan dasar bagi pertemuan semacam itu, kata Cutler.

    Namun, ia mengatakan menyelesaikan keluhan ekonomi inti AS terhadap China , termasuk tuntutannya agar China mengubah model ekonominya ke arah konsumsi domestik yang lebih besar dan mengurangi ketergantungan pada ekspor yang disubsidi negara, bisa memakan waktu bertahun-tahun.

    “Sejujurnya, saya rasa Tiongkok tidak terburu-buru untuk mencapai kesepakatan di mana mereka tidak mendapatkan konsesi substansial terkait kontrol ekspor dan tarif yang lebih rendah, yang merupakan prioritas utama mereka,” kata Cutler.

    “Dan saya tidak melihat Amerika Serikat dalam posisi untuk memberikan konsesi besar pada keduanya, kecuali ada terobosan dalam tuntutannya kepada Tiongkok.”

  • Ditekan Pemerintah, Kaum Feminis China Teruskan Perlawanan

    Ditekan Pemerintah, Kaum Feminis China Teruskan Perlawanan

    Jakarta

    Menjelang Hari Perempuan Internasional di tahun 2015, lima aktivis muda yang memperjuangkan hak-hak perempuan Cina – Wang Man, Zheng Churan, Li Maizi, Wei Tingting, dan Wu Rongrong – ditahan polisi di Beijing dan Guangzhou.

    Kampanye yang mereka rencanakan sebenarnya sederhana yakni meningkatkan kesadaran tentang pelecehan seksual di transportasi umum.

    Mereka pun didakwa dengan tuduhan “pertengkaran dan provokasi,” ‘pasal karet’ yang kerap dituduhkan kepada para aktivis. Kasus “Feminist Five” dengan cepat menjadi peristiwa penting, baik di dalam negeri maupun di skala internasional, menandai titik balik gerakan feminis di negara tersebut.

    Salah satu dari Feminist Five, Li Maizi (alias Li Tingting), mengaku kepada DW bahwa penahanan itu meninggalkan trauma mendalam: “Untuk waktu yang lama, setiap kali saya mendengar ketukan di pintu, saya merasakan ketakutan yang luar biasa,” ujarnya. Namun, ia percaya penangkapannya memberi efek paradoks yang justru memperkuat kesadaran feminis di Cina.

    Kasus ini menarik perhatian global dan membantu membangkitkan kesadaran publik tentang pelecehan seksual. Sepuluh tahun kemudian, kesadaran terhadap kesetaraan gender meningkat, dengan lebih banyak perempuan dan komunitas LGBTQ+ menyuarakan kekerasan dan diskriminasi.

    Namun, ruang bagi gerakan feminis untuk bersuara kian menyempit. Konten feminis kerap disensor dan pihak berwenang kian memperluas pembungkaman.

    Pembungkaman “Feminist Voices”

    Pada 2018, Feminist Voices, media feminis terkemuka, dilarang dari WeChat dan Weibo. Tencent, pemilik WeChat menuduh mereka “mengganggu ketertiban sosial, keamanan publik, dan keamanan nasional,” setelah kampanye antipelecehan seksual di Hari Perempuan Internasional berjudul “Panduan Perjuangan di Hari Perempuan”, diunggah pada platform tersebut. Setelah akun Feminist Voice dihapus, akun pengguna yang menyuarakan dukungan akan postingan tersebut turut dihentikan, bahkan nama serta logo Feminist Voices diblokir dari pencarian.

    Insiden ‘Xiao Meili’ dan gelombang pemblokiran yang kian meluas

    Pada Maret 2021, aktivis feminis Xiao Meili dilecehkan di sebuah restoran di Chengdu setelah meminta pria di meja sebelahnya untuk tidak merokok. Ia menjadi sasaran hinaan seksis, bahkan disiram air panas. Video kejadian ini viral, banyak perempuan membagikan pengalaman serupa tentang agresivitas laki-laki di ruang publik.

    Namun, solidaritas berubah menjadi ancaman ketika influencer nasionalis mengumbar riwayat Xiao Meili, menudingnya sebagai musuh negara dengan mengangkat foto lama yang menampilkan dukungannya terhadap Hong Kong, melabelinya sebagai “separatis Hong Kong.”

    Akun Weibo milik Meili diblokir permanen sehingga ia tak lagi bisa membela diri. Setelah itu, banyak akun feminis pendukungnya di Weibo dilarang atau dihentikan, termasuk yang memiliki ratusan ribu pengikut.

    Penyensoran meluas ke akun-akun feminis di WeChat yang dituduh “menghasut konfrontasi gender.” Produk yang mengandung kata “feminisme” di toko daring Taobao dihapus dengan alasan mengandung “informasi terlarang,” sementara Taobao mengklaim sebagai “platform netral.”

    Selanjutnya lebih dari selusin kelompok feminis di jejaring sosial Douban dibubarkan, nama kelompok-kelompok tersebut dilabeli sebagai konten sensitif, postingan mereka otomatis dihapus. Douban membenarkan penghapusan ini, menuduhnya sebagai “konten politik dan ideologis yang ekstrem, radikal.”

    Gerakan #MeToo di Cina: Inspirasi dan penindasan

    Gerakan #MeToo di Cina dimulai pada awal 2018 ketika Luo Qianqian, lulusan Universitas Beihang, secara terbuka menuduh mantan profesornya Chen Xiaowu melakukan pelecehan seksual. Keberaniannya menginspirasi banyak orang untuk berbagi pengalaman serupa, mendorong percakapan luas tentang ketidaksetaraan di tempat kerja, kekerasan dalam rumah tangga, dan hak-hak reproduksi.

    Kasus-kasus besar pun mencuat, termasuk tuduhan terhadap pembawa acara TV Zhu Jun oleh Zhou Xiaoxuan (atau “Xuanzi”), serta tuduhan penyerangan seksual oleh petenis Peng Shuai terhadap mantan Wakil Perdana Menteri Zhang Gaoli. Setiap kasus memicu perhatian publik yang besar, namun juga diikuti oleh ‘sensor kilat’. Kata kunci seperti “#MeToo” dan homofon “mi tu” ( “kelinci beras”) yang digunakan aktivis menghindari filter turut diblokir di Weibo, unggahan yang mendukungnya dihapus, dan banyak akun yang dihentikan.

    Unggahan Peng Shuai bahkan lenyap dalam hitungan menit, sementara pencarian dengan kata-kata seperti “tenis”, “wakil perdana menteri”, atau “perdana menteri dan saya” turut diblokir. Represi ini juga merambah ke dunia nyata – pada 2021, jurnalis Huang Xueqin yang menjadi tokoh penting #MeToo ditahan, dan pada 2024 dijatuhi hukuman lima tahun penjara karena “menghasut subversi terhadap kekuasaan negara.”

    Ketika korban dituding sebagai pelaku

    Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi tren yang mengkhawatirkan di mana korban justru distigmatisasi sebagai pelaku. Li Maizi menyoroti bahwa perempuan yang membawa kasus pelecehan ke pengadilan sering menghadapi gugatan balik: “Biaya untuk menuntut keadilan sangat tinggi.”

    Contohnya terjadi pada Juli 2024, ketika Universitas Politeknik Dalian berencana mengeluarkan seorang mahasiswi karena memiliki “hubungan yang tidak pantas dengan orang asing,” dengan dalih merusak “reputasi negara dan universitas.” Kritikus menyebut keputusan ini diskriminatif dan mencerminkan norma patriarki yang menilai perempuan lewat kesucian dan kehormatan nasional.

    Feminisme yang mengancam politik

    Pemerintah Cina memandang feminisme sebagai ideologi asing yang mengancam stabilitas. Para feminis dicap sebagai agen “pengaruh asing.” Lü Pin, pendiri Feminist Voice, mengatakan: “tidak ada lagi platform media sosial di Cina yang ramah terhadap perempuan atau topik-topik feminis.”

    Li Maizi mencatat bahwa feminisme di Cina kini sangat politis, dengan Federasi Perempuan Cina membedakan antara feminisme barat dan “perspektif Marxis tentang perempuan.” Menurut Lü: “Ketika orang-orang ‘dipecah’ secara daring, hal itu melemahkan kekuatan kolektif gerakan.”

    Pembingkaian feminisme sebagai ideologi barat dimanfaatkan oleh blogger yang nasionalis untuk menyerang gerakan ini sambil melanggengkan kekerasan berbasis gender.

    Bagaimana masa depan gerakan feminis di Cina?

    Di tengah penurunan angka kelahiran, pemerintah mendorong perempuan kembali ke peran tradisional. Presiden Xi Jinping bahkan meminta agar kaum muda “dibimbing menuju pandangan yang benar tentang pernikahan dan keluarga.”

    Feminisme pun dianggap ‘meruntuhkan kekuasaan negar’a karena menekankan otonomi dan hak reproduksi. Meski menghadapi tekanan besar, Li Maizi tetap optimis: “Gerakan feminis Cina maju secara bergelombang, dengan berbagai kemunduran dan perlawanan di sepanjang jalan. Namun, di mana pun ada penindasan, pasti ada perlawanan. Feminisme di Cina tidak akan berhenti.”

    Saat ini, gerakan feminis lebih terdesentralisasi dan bertumpu pada individu yang berani bersuara. Sepuluh tahun setelah Feminist Five, feminisme di Cina semakin hidup dalam kesadaran masyarakat, meskipun terus dibungkam secara sistematis. Kelangsungannya kini bergantung pada ketahanan, kreativitas, dan keberanian individu – bahkan ketika suara mereka dibungkam.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Aksi Massa Perempuan di DPR, Tuntut Keadilan Bagi Korban Demo” di sini:

    (ita/ita)