Tag: Xi Jinping

  • Daftar Harga Emas Pegadaian Hari Ini 25 Oktober 2025: UBS dan Galeri24 Melonjak – Page 3

    Daftar Harga Emas Pegadaian Hari Ini 25 Oktober 2025: UBS dan Galeri24 Melonjak – Page 3

    Pelaku pasar hampir sepenuhnya mengantisipasi penurunan suku bunga pada pertemuan bank sentral AS minggu depan, dengan penurunan lainnya diperkirakan terjadi pada Desember.

    Suku bunga yang lebih rendah mengurangi biaya peluang memegang aset non-imbal hasil seperti emas.

    Sementara itu, Gedung Putih mengonfirmasi pada Kamis kalau Presiden AS Donald Trump akan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping minggu depan, menjelang batas waktu 1 November untuk tarif tambahan AS atas impor China.

    “Jika (harga emas) turun di bawah USD 4.000, kita akan terus melihat penurunan pasar yang lebih dramatis, mungkin hingga USD 3.850, level support utama berikutnya,” UJAR Chief Market Strategiest Blue Line Futures, Phillip Streible.

    Harga emas batangan telah naik 55% tahun ini, didorong oleh ketegangan geopolitik dan perdagangan, pembelian yang kuat oleh bank sentral, dan ekspektasi penurunan suku bunga AS, di antara faktor-faktor lainnya.

    Sementara itu, platinum tergelincir 1,33% menjadi USD 1.603,94 dan paladium turun 1,43% menjadi USD 1.436,19.

  • Media China Ungkap Rencana Besar Xi Jinping Melawan Trump

    Media China Ungkap Rencana Besar Xi Jinping Melawan Trump

    Jakarta, CNBC Indonesia – Konflik geopolitik antara China dan Amerika Serikat (AS) kian memanas. Aksi saling blokir yang dilancarkan kedua negara turut memengaruhi perekonomian global.

    Sejak pemerintahan Joe Biden, AS mulai gencar melakukan pembatasan ekspor teknologi chip ke China. Kemudian, Trump memperburuk suasana dengan pemberlakuan tarif tinggi ke barang-barang impor dari China.

    Tak tinggal diam, China membalas perlakuan AS dengan membatasi akses logam tanah jarang (LTJ) yang krusial untuk pengembangan senjata dan peralatan militer lainnya. AS juga balik mengancam pemblokiran lebih luas untuk barang-barang yang menggunakan software buatan AS ke China.

    Menghadapi ancaman bertubi-tubi dari AS, China makin gencar mengembangkan kemandirian teknologi, agar tak lagi bergantung ke negara kekuasaan Trump.

    Terbaru, media China CCTV melaporkan rencana pemerintahan Xi Jinping dalam 5 tahun ke depan untuk ‘melawan’ ancaman dari Trump, yakni memperkuat pasar domestik agar tak lagi tertekan oleh kebijakan AS.

    Lebih spesifik, China akan meningkatkan kapasitas kekuatan domestik di sektor sains dan teknologi, menurut laporan yang disiarkan CCTV pada Kamis (23/10) waktu setempat.

    Laporan itu dirilis pasca pertemuan tertutup Komite Pusat Partai Komunis China selama 4 hari. CCTV sendiri merupakan media nasional yang dibekingi pemerintah China.

    Perincian awal dari proposal yang disetujui menempatkan penekanan besar pada pengembangan ‘kekuatan produktif berkualitas baru’ yang mengacu pada bidang-bidang maju seperti chip dan kecerdasan buatan (AI).

    Rencana tersebut juga menekankan pentingnya membangun sistem industri modern dan memperkuat inovasi di teknologi-teknologi inti, dikutip dari BusinessTimes, Jumat (24/10/2025).

    Hal ini menunjukkan keseriusan Beijing untuk menggenjot produktivitas dan mencapai kemandirian hakiki dalam menghadapi krisis populasi usia produktif dan ancaman pelarangan ekspor dari negara-negara Barat.

    Lebih lanjut, proposal juga menegaskan kembali janji untuk memperkuat konsumsi domestik dan memperluas investasi. Secara tegas, China berkomitmen untuk menghilangkan hambatan yang menghalangi pembangunan pasar nasional.

    Para ekonom telah lama memandang peningkatan permintaan domestik sebagai hal yang krusial untuk menyeimbangkan kembali perekonomian China.

    Fokus yang makin intensif pada teknologi ini dibangun di atas strategi yang sebelumnya telah ditetapkan pada 2020 silam. Sebagai informasi, rencana 5 tahunan dari pemerintahan Xi Jinping terakhir diumumkan setelah masa jabatan pertama Trump.

    Dorongan tersebut makin mendesak, karena Washington kini mengupayakan pelarangan besar-besaran ke China, menargetkan sektor yang lebih luas, mulai dari chip hingga farmasi. Selain itu, Washington juga memberikan sanksi kepada makin banyak perusahaan China.

    Tekanan Bertubi-tubi ke China

    China berada di bawah tekanan untuk mengubah model pertumbuhannya. Pasalnya, negara dengan kekuatan manufaktur terbesar ini menghadapi kenaikan tarif dari AS dan penolakan dari mitra dagang lainnya atas banjir ekspor China.

    Ekspor neto menyumbang porsi yang makin besar dari ekspansi ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, sementara konsumsi tercatat menurun.

    Seiring meningkatnya hambatan perdagangan, China perlu mengeluarkan lebih banyak uang untuk membantu menyerap kelebihan kapasitas manufakturnya dan memecahkan rekor deflasi.

    Para analis dan investor akan menganalisa rencana 5 tahunan Xi Jinping secara menyeluruh, yang diperkirakan akan dibahas pada pertemuan legislatif tahunan pada Maret 2026. Hal ini penting untuk mencari komitmen fiskal spesifik yang dapat mendukung rencana tersebut.

    “Yang terpenting adalah seberapa tegas para pembuat kebijakan akan melaksanakan tujuan-tujuan ini,” kata Michelle Lam, ekonom China di Societe Generale, dengan mencontohkan peningkatan pembayaran pensiun.

    Meskipun rencana ini berfokus pada jangka panjang, pemberitahuan tersebut juga mengirimkan sinyal kuat untuk jangka pendek, dengan janji bahwa kebijakan makro akan diperkuat pada waktu yang tepat untuk mendukung perekonomian.

    Para ekonom secara umum memperkirakan pertumbuhan akan melambat dalam beberapa tahun mendatang seiring Beijing mencari model ekspansi baru yang lebih stabil.

    Guncangan Ekonomi China

    Para pembuat kebijakan kemungkinan menargetkan pertumbuhan tahunan rata-rata di kisaran 4,5%-4,8% untuk periode 2026-2030, menurut analisis dari berbagai perusahaan, termasuk Macquarie Group dan Standard Chartered.

    Perekonomian China berada di jalur yang tepat untuk tumbuh rata-rata 5,5% per tahun selama periode 5 tahun yang berakhir pada 2025, menurut perkiraan pemerintah sebelumnya.

    Tantangan utama dalam mencapai tujuan tersebut adalah pengeluaran rumah tangga China yang masih lemah, hanya mencapai sekitar 40% dari PDB tahun lalu. Angka tersebut hampir tidak berubah dari level 2019, sebelum pandemi menghentikan tren peningkatan yang sebelumnya terjadi.

    Robin Xing dari Morgan Stanley telah menganjurkan reformasi kesejahteraan sosial skala penuh selama beberapa tahun, dengan alasan dapat mengurangi kelebihan tabungan rumah tangga yang diperkirakan mencapai 30 triliun yuan (Rp69.000 triliun).

    Xing memperkirakan langkah tersebut dapat meningkatkan porsi konsumsi swasta terhadap PDB sebesar 1,6 poin persentase pada 2030 mendatang.

    Para ekonom di UBS, termasuk Ning Zhang, menyarankan agar pemerintah dapat mengambil langkah awal yang lebih sederhana, yakni menetapkan target resmi yang eksplisit untuk porsi konsumsi terhadap PDB, menurut laporan Bloomberg.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Video: XI Jinping Hadiri KTT APEC di Korea Selatan

    Video: XI Jinping Hadiri KTT APEC di Korea Selatan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Tiongkok Xi Jinping akan mengunjungi Korea Selatan Dari 30 Oktober-1 November untuk menghadiri KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Namun, Kementerian Luar Negeri Tiongkok pada Jumat (24/10) tidak mengonfirmasi pertemuan dengan presiden Amerika Serikat Donald Trump.

    Selengkapnya dalam program Nation Hub CNBC Indonesia, Jumat (24/10/2025).

  • Video: Kunjungi Asia, Trump Dijadwalkan ‘Kopi Darat’ Dengan Xi Jinping

    Video: Kunjungi Asia, Trump Dijadwalkan ‘Kopi Darat’ Dengan Xi Jinping

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dijadwalkan akan bertemu dengan Presiden China, Xi Jinping pada pekan depan dalam rangkaian kunjungannya ke benua Asia.

    Simak informasi selengkapnya dalam program Profit CNBC Indonesia (Jumat 24/10/2025) berikut ini.

  • Maaf Bukan RI, Malaysia Jadi Penentu Perang Dagang Trump-Xi Jinping

    Maaf Bukan RI, Malaysia Jadi Penentu Perang Dagang Trump-Xi Jinping

    Jakarta, CNBC Indonesia – Malaysia akan berperan penting dalam menurunkan atau semakin menaikkan intensitas perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Hal ini terkait putaran kelima perundingan perang dagang keduanya, yang akan berlangsung di Kuala Lumpur, akhir pekan ini.

    Pertemuan terjadi di sela-sela KTT Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) 26-28 Oktober. Presiden AS Donald Trump akan hadir, sekaligus memulai perjalanan besar pertamanya ke sekutu Asia seperti Jepang, termasuk menghadiri KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Korea Selatan (Korsel) 30 Oktober yang diharapkan mempertemukannya dengan Presiden China Xi Jinping.

    Menurut peneliti senior tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute Jayant Menon sebenarnya kedua negara memegang masing-masing kartu. AS mengancam akan memanfaatkan kekuatan perangkat lunaknya (software) menjelang perundingan dagang baru dengan China. Sementara China mungkin akan memainkan isu kedelai atau narkotika jenis fentanil di mana sebelumnya AS ingin makin masif ke pasar kedelai China dan Trump meneriakkan upaya lebih keras pemerintah Xi Jinping atas klaimnya soal keterkaitan Beijing atas peredaran fentanil di Paman Sam.

    “Pada satu sisi, hal ini dapat dipandang sebagai bagian dari strategi negosiasi agresif, yang dirancang untuk mengintimidasi demi mengamankan kesepakatan terbaik,” kata Menon sebagaimana dibuat South China Morning Post (SCMP), Jumat (24/10/2025).

    “Hal ini juga secara tidak langsung mencerminkan betapa khawatirnya AS terhadap kontrol ekspor logam tanah jarang baru-baru ini,” tambahnya.

    “Namun, jika Washington memainkan kartu teknologi… kemungkinan besar dampaknya kecil, karena Beijing telah menunjukkan bahwa mereka tidak bisa dipaksa,”.

    Hal sama juga dikatakan kepala ekonom untuk Asia di Economist Intelligence Unit, Nick Marro. Ia juga mengatakan bahwa ia tidak memperkirakan Beijing akan membuat konsesi besar dalam hal pengendalian ekspor tanah jarang, meskipun ada potensi cengkeraman pada industri manufaktur berteknologi tinggi jika pembatasan terkait perangkat lunak benar-benar terwujud.

    Sebagaimana diketahui AS pekan kemarin mengancam menaikkan tarif important hingga 100% ke China. Hal tersebut akibat kebijakan pembatasan ekspor mineral kritis logam tanah jarang (rare earth) China, yang penting bagi industri AS.

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ketegangan Dagang AS-China Memuncak Jelang Pertemuan Trump-Xi Jinping

    Ketegangan Dagang AS-China Memuncak Jelang Pertemuan Trump-Xi Jinping

    Bisnis.com, JAKARTA – Hubungan dagang AS-China kembali tegang sepekan jelang pertemuan kedua pemimpinnya, Donald Trump dan Xi Jinping, yang dipicu oleh langkah Beijing memperluas pembatasan ekspor logam tanah jarang.

    Ketegangan yang telah lama membara memuncak pada awal Oktober, setelah Beijing memperluas pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth) sebagai respons terhadap keputusan AS menambah daftar perusahaan yang dilarang membeli teknologi asal Negeri Paman Sam.

    Langkah China memperketat kendali atas mineral penting, termasuk di luar wilayahnya, dinilai sebagai ekspansi besar terhadap instrumen kebijakan perdagangannya dan menunjukkan niat Beijing untuk memanfaatkan dominasinya dalam rantai pasok global.

    China, yang memproduksi lebih dari 90% pasokan logam tanah jarang dunia, merancang pembatasan tersebut dengan meniru aturan AS yang sebelumnya membatasi ekspor produk semikonduktor ke negara Asia tersebut.

    “Ini merupakan perluasan besar dari yurisdiksi ekstrateritorial. Bahasanya sangat eksplisit, secara khusus menargetkan sejumlah chip,” ujar Cory Combs, analis di lembaga konsultasi Trivium China dikutip dari Reuters, Kamis (23/10/2025).

    Menurut dua sumber yang mengetahui pembahasan internal, pemerintahan Trump terkejut oleh langkah balasan China. Sumber lain menyebut pejabat AS kini tengah menanyakan dampak kebijakan itu terhadap perusahaan-perusahaan Amerika.

    Para analis menilai, meski Beijing berupaya menggambarkan kebijakan ekspornya bersifat terbatas, kerangka aturan tersebut telah disiapkan lama dan kemungkinan besar akan tetap diterapkan.

    Washington menuduh Beijing melancarkan perang ekonomi, sementara Trump memperingatkan pertemuan puncak dengan Xi bisa saja batal. Kedua pihak pun saling menuding sebagai penyebab eskalasi mendadak hubungan bilateral.

    Padahal, hanya beberapa pekan sebelumnya Trump sempat memuji adanya kemajuan dalam pembahasan sejumlah isu — mulai dari perdagangan dan aplikasi TikTok hingga penyelundupan fentanyl dan perang di Ukraina — setelah pembicaraan di Madrid dan panggilan telepon dengan Xi pada September lalu.

    Para analis menilai, sekalipun pertemuan antara Trump dan Presiden Xi Jinping tetap berlangsung, keyakinan masing-masing pihak bahwa mereka berada di posisi lebih kuat — ditambah sikap Beijing yang semakin tegas — membuat kemungkinan tercapainya kesepakatan hanya terbatas pada sejumlah isu kecil.

    “China menilai negosiasi saja tidak cukup dan langkah tandingan yang efektif terhadap AS diperlukan untuk mencegah tekanan lebih lanjut,” kata Wu Xinbo, Direktur Pusat Kajian Amerika di Universitas Fudan, Shanghai.

    Wu menambahkan, langkah terbaru China mencerminkan perubahan pendekatan dalam negosiasi ekonomi dan perdagangan dengan AS selama masa jabatan kedua Trump.

    Trump Ancam Tarif 100%

    Trump menegaskan masih berencana bertemu Xi di Korea Selatan pada akhir Oktober, di sela-sela pertemuan APEC, dan berharap dapat mencapai kesepakatan. Namun, dia kembali mengancam akan memberlakukan tarif hingga 100% jika pembicaraan gagal.

    Sebagai upaya terakhir meredam ketegangan, Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Wakil Perdana Menteri China He Lifeng dijadwalkan bertemu di Malaysia dalam beberapa hari ke depan.

    Pertemuan tersebut mengikuti serangkaian negosiasi keras di berbagai ibu kota Eropa — mulai dari Jenewa hingga Stockholm — yang mencakup isu perdagangan, fentanyl, akses pasar, dan komitmen ekonomi. Kedua pihak saling menuding gagal menepati janji setelah pembicaraan itu.

    Seorang sumber yang memahami kebijakan Gedung Putih menyebut para pejabat senior Trump memandang langkah China terhadap ekspor logam tanah jarang sebagai perang ekonomi terbuka.

    “Potensi eskalasinya sangat serius. “Tidak ada solusi cepat seperti jeda 90 hari yang pernah dilakukan sebelumnya,” ujar sumber tersebut.

    Sama-sama Percaya Diri

    Michael Hart, Presiden Kamar Dagang AS di China, mengatakan salah satu tantangan utama adalah keyakinan masing-masing pihak bahwa kedua negara memiliki posisi tawar yang lebih kuat.

    “Pejabat China merasa percaya diri terhadap perekonomian mereka dan melihat AS sedang dilanda kekacauan ekonomi dan politik. Karena itu, mereka merasa berada di posisi yang kuat,” ujarnya.

    Namun, di sisi lain, pejabat AS justru merasa yakin kondisi ekonomi mereka lebih solid dan menilai ekonomi China sedang melemah.

    Ketidakselarasan kebijakan AS terhadap China disebut semakin memperumit upaya meredakan ketegangan, di tengah kombinasi langkah hukuman dan pelonggaran terbatas terhadap ekspor chip serta kesepakatan aplikasi media sosial TikTok.

    “Orang-orang yang saya temui di Washington mengatakan kebijakan pemerintahan Trump terhadap China cukup keras. Namun mereka juga mengakui, Presiden Trump sendiri terkadang lebih fleksibel dan pragmatis,” kata Hart.

    Meski kedua pihak bersiap melanjutkan pembicaraan, Washington dan Beijing juga mulai memperluas strategi diversifikasi ekonomi serta menyiapkan langkah baru untuk mengurangi ketergantungan satu sama lain.

    Pada awal pekan ini, Trump menandatangani pakta mineral strategis dengan Australia guna mengimbangi peran dominan China di sektor tersebut. Di sisi lain, AS juga tengah mempertimbangkan kebijakan baru untuk membatasi ekspor produk berbasis perangkat lunak.

    Pejabat AS juga menyatakan pemerintah sedang menyiapkan tarif sektoral tambahan yang mencakup industri semikonduktor, farmasi, dan sektor strategis lainnya.

    Sebaliknya, China diperkirakan dapat mengambil langkah balasan dengan memperketat penerapan aturan ekspor logam tanah jarang, meluncurkan penyelidikan antimonopoli terhadap perusahaan AS, atau meningkatkan tarif seperti yang dilakukan pada April lalu.

    Di tengah ketidakpercayaan yang kian dalam, sebagian pejabat AS menilai skenario paling optimistis adalah kesepakatan lanjutan dari Phase One Deal tahun 2020. Kesepakatan yang mencakup pembelian kedelai atau produk pertanian lain dinilai lebih mudah dicapai.

    “Skenario terbaik adalah langkah-langkah membangun kepercayaan dan arahan untuk melanjutkan negosiasi kesepakatan baru yang bisa diluncurkan pada paruh pertama tahun depan,” ujar Peter Harrell, mantan pejabat ekonomi internasional di pemerintahan Biden.

  • Ekspor China Tetap Tangguh di Tengah Perang Dagang Lawan Trump

    Ekspor China Tetap Tangguh di Tengah Perang Dagang Lawan Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekspor China menunjukkan ketahanannya selama enam bulan terakhir meskipun diterpa perang dagang Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Catatan tersebut menunjukkan tingginya ketergantungan AS terhadap produk-produk Negeri Tirai Bambu di tengah bea impor tinggi yang mencapai 55%.

    Melansir Bloomberg pada Rabu (22/10/2025), sekitar US$1 miliar barang dikirim dari China ke AS setiap harinya, dengan volume pengiriman pada September 2025 meningkat dibandingkan Agustus 2025.

    Meskipun nilai total perdagangan kedua negara turun dua digit selama setengah tahun terakhir, sejumlah produk justru mencatat kenaikan dibandingkan 2024, menantang tensi dagang Beijing–Washington.

    Kondisi tersebut menandakan efektivitas tarif AS masih terbatas dalam menekan impor dari China. Dominasi China pada sektor penting seperti logam tanah jarang dan elektronik membuat produk asal negara itu sulit tergantikan dalam jangka pendek. Namun, situasi dapat berubah bila Trump benar-benar menaikkan tarif lagi.

    “Posisi kuat China dalam rantai pasok global memberi daya tawar terhadap importir AS. Realokasi produksi akan memerlukan waktu,” tulis ekonom Bloomberg, Chang Shu dan David Qu.

    Kekuatan ekspor tersebut juga memberi Presiden Xi Jinping posisi negosiasi yang lebih baik menjelang pembicaraan perpanjangan gencatan tarif 90 hari yang akan berakhir November mendatang. 

    Pada kuartal III/2025, nilai ekspor China ke AS menembus US$100 miliar, mendorong surplus perdagangan bilateral naik menjadi US$67 miliar.

    Trump, pada Selasa (21/10/2025), menyatakan optimistis bahwa pertemuannya dengan Xi dalam KTT di Korea Selatan pekan depan akan menghasilkan kesepakatan yang baik, meskipun tidak menutup kemungkinan pertemuan itu gagal terlaksana.

    Dia menegaskan isu logam tanah jarang, fentanyl, dan kedelai akan menjadi prioritas utama dalam negosiasi dagang tersebut.

    Meski sebagian besar dari 10 komoditas ekspor utama China ke AS turun dalam setahun terakhir, pengiriman rokok elektrik (e-cigarette) dan sepeda listrik (e-bike) justru meningkat. Dalam tiga bulan hingga September, ekspor e-bike mencapai lebih dari US$500 juta, sedikit naik dari tahun sebelumnya.

    Ekspor katoda tembaga olahan melonjak dari nyaris nihil menjadi US$270 juta, sementara kabel listrik naik 87% menjadi US$405 juta.

    “Kedua pihak bisa saja mengurangi ketergantungan, tetapi tidak mungkin hingga nol,” ujar Zhaopeng Xing, Senior China Strategist di Australia & New Zealand Banking Group (ANZ).

    Menurut ANZ, celah dalam kebijakan tarif juga memungkinkan sebagian perdagangan tetap berjalan. Importir AS disebut dapat membayar bea lebih rendah dengan memanfaatkan nilai transaksi awal di negara ketiga seperti Meksiko atau Vietnam sebelum barang tiba di pelabuhan AS.

    “Masih banyak celah yang dimanfaatkan pelaku usaha. Bea Cukai AS tidak memiliki cukup sumber daya untuk menanganinya,” jelas Xing.

    Pada kuartal III/2025, ekspor produk teknologi seperti ponsel, laptop, dan komponen komputer dari China ke AS mencapai hampir US$8 miliar—meskipun turun lebih dari separuh dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Selain itu, meski kebijakan de minimis yang memungkinkan paket kecil bebas bea masuk telah dicabut, konsumen AS tetap membeli miliaran dolar produk dari platform e-commerce China seperti Shein Group Ltd. dan Temu milik PDD Holdings Inc. Sejak Mei, nilai pengiriman paket kecil ke AS tercatat mencapai sekitar US$5,4 miliar.

    Ekspor business-to-business (B2B) melalui e-commerce juga melonjak dari US$31 juta pada Agustus menjadi US$201 juta pada September. Lonjakan itu menunjukkan perusahaan China mulai beralih dari penjualan langsung ke konsumen AS menjadi pengiriman massal ke gudang di AS sebelum dipasarkan secara ritel.

    Meski ekspor China masih kuat, arah perdagangan AS–China tampak menuju “pemutusan sebagian” (partial decoupling). Trump terus mendorong kebijakan onshoring untuk menghidupkan kembali manufaktur domestik AS. 

    Tahun ini, total pengiriman barang dari China turun menjadi kurang dari US$320 miliar—setara dengan level 2017, sebelum perang dagang pertama era Trump.

    Beberapa sektor sudah terkena dampak besar. Ekspor konsol gim dari China anjlok setelah Nintendo Co. dan Microsoft Corp. memindahkan produksi ke Vietnam dan negara lain untuk menghindari tarif tinggi. Ekspor televisi LCD ke AS bahkan merosot 73% dibandingkan tahun lalu.

    Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), kerusakan akibat perang dagang kali ini bahkan lebih parah dibandingkan periode 2018—2019.

    “Pemutusan hubungan dagang antara AS dan China tampak terjadi lebih cepat dibandingkan guncangan tarif sebelumnya,” tulis IMF dalam laporan bulan ini.

  • Bahas Utang Whoosh, Prof Sulfikar: Jokowi Naif soal Teknologi

    Bahas Utang Whoosh, Prof Sulfikar: Jokowi Naif soal Teknologi

    GELORA.CO -Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh tengah menjadi perbincangan usai beberapa pihak menyoroti persoalan utang membengkak Indonesia kepada China di proyek tersebut.

    Utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang ditanggung melalui konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) diketahui mencapai Rp116 triliun atau sekitar 7,2 miliar dolar AS. 

    Akademisi Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Prof. Sulfikar Amir mengatakan, kereta cepat yang saat ini membebani negara bermula dari Presiden Joko Widodo alias Jokowi berkunjung ke China pada periode awal kepemimpinannya sebagai Presiden RI. Dia terpukau dengan kereta cepat yang dinaikinya bersama Presiden China, Xi Jinping.

    “Jadi Jokowi waktu berkunjung ke Cina, saya enggak tahu, saya lupa tahun berapa mungkin 2015 atau 2017, diajak sama si Jinping naik kereta cepat, dan di situlah dia terpesona,” kata Sulfikar dikutip melalui tayangan YouTube di Abraham Samad SPEAK UP, Rabu 22 Oktober 2025.

    “Jokowi kan agak naif soal teknologi. Jadi dia pikir kereta cepat buatan China sudah yang paling maju,” sambungnya.

    Sulfikar mengatakan, saat Jokowi meresmikan operasional KCJB di Stasiun Kereta Cepat Halim, Jakarta Timur, pada Senin 2 Oktober 2025, di Beijing (Ibukota Negara China) berlangsung pesta meriah.

    “Orang-orang di Beijing sangat bangga sekali, karena ini adalah pertama kali mereka berhasil mengalahkan Jepang,” kata Sulfikar.

  • Ketika China Menghunus Senjata Tanah Jarang

    Ketika China Menghunus Senjata Tanah Jarang

    Jakarta

    Dominasi Cina dalam penambangan, pengolahan, dan suplai logam tanah jarang menghasilkan pengaruh signifikan atas Amerika Serikat dalam perundingan dagang yang sedang berlangsung. Logam atau mineral tanah jarang (LTJ) merupakan bahan baku penting untuk pembuatan ponsel pintar, kendaraan listrik, hingga teknologi militer.

    Cina menguasai sekitar 60% produksi logam tanah jarang global dan hampir 90% proses pemurniannya. Baru-baru ini, Beijing kian memperkuat cengkeramannya akan mineral kritis tersebut dengan memberlakukan pembatasan ekspor LTJ dan magnet permanen.

    Pembatasan tersebut diterapkan sebagai respons terhadap tarif tinggi yang dikenakan Presiden AS Donald Trump terhadap ekspor Cina yang kemudian sempat dilonggarkan untuk memungkinkan negosiasi perdagangan berjalan.

    Namun, pada hari Kamis (16/10), Cina mengumumkan perluasan pembatasan ekspor terhadap logam tanah jarang, membatasi teknologi pengolahan, dan secara eksplisit membatasi ekspor kepada pengguna di sektor pertahanan dan semikonduktor di luar negeri.

    Kebijakan ini dipandang sebagai balasan Beijing, setelah Washington membatasi ekspor chip dan produk semikonduktor dari negara ketiga ke Cina.

    Pembatasan diberlakukan beberapa pekan sebelum pertemuan langsung Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping, dan semakin mengekspos kerentanan AS karena kurangnya kapasitas pemurnian di dalam negeri.

    “Seluruh dunia bergantung pada pasokan magnet permanen dari Cina,” kata Jost Wbbeke, pengelola lembaga riset Sinolytics di Berlin yang fokus menganalisa ekonomi serta kebijakan industri Cina, kepada DW. “Jika mereka berhenti mengekspor bahan baku tersebut, dampaknya akan terasa di seluruh dunia.”

    Michael Dunne, konsultan otomotif yang fokus pada Cina, mengatakan kepada The New York Times pada bulan Juni bahwa pembatasan ekspor dari Tiongkok”bisa membuat pabrik perakitan mobil Amerika berhenti total.”

    AS kehabisan stok

    Survei oleh Kamar Dagang Amerika di Cina pada bulan Mei silam menunjukkan bahwa 75% perusahaan AS memperkirakan stok logam tanah jarangakan habis dalam beberapa bulan. Produsen AS sebabnya mendesak Washington untuk menegosiasikan kelonggaran.

    Selama perundingan dagang di London pada bulan Juni, Cina sepakat mempercepat lisensi ekspor, meski masih menyebabkan antrean panjang. Pembatasan ekspor terbaru Cina mengancam implementasi kesepakatan ini.

    Kontrol strategis Cina atas logam tanah jarang sebagai alat geopolitik bukanlah hal baru. Pada 2010, Beijing menghentikan ekspor ke Jepang selama dua bulan di tengah sengketa Pulau Senkaku, memicu lonjakan harga dan mengekspos risiko rantai pasokan.

    Gabriel Wildau, direktur perusahaan konsultan Teneo yang berbasis di New York, memperingatkan sistem lisensi ekspor Cina adalah hal yang permanen, bukan sekadar respons terhadap tarif Trump. Wildau turut mengatakan pada kliennya bahwa “pemutusan pasokan akan selalu jadi ancaman,” sebagai sinyal Cina untuk mempertahankan pengaruhnya atas AS.

    Tak hanya Amerika, tapi juga Eropa

    AS bukan satu-satunya ekonomi yang terdampak oleh kekurangan logam tanah jarang. Uni Eropa bergantung pada Cina untuk 98% magnet logam tanah jarangnya, yang dibutuhkan untuk komponen mobil, jet tempur, dan perangkat pencitraan medis.

    Asosiasi Pemasok Otomotif Eropa memperingatkan pada bulan Juni bahwa sektor tersebut “sudah mengalami gangguan signifikan” akibat pembatasan ekspor Cina, menambahkan bahwa hal ini telah menyebabkan “penutupan beberapa jalur produksi dan pabrik di seluruh Eropa, dengan dampak lebih lanjut ke depan seiring menipisnya persediaan.”

    Alberto Prina Cerai, peneliti di Italian Institute for International Political Studies (ISPI), mengatakan kepada DW, “Dari segi skala, Barat tidak bisa mengejar Cina.”

    “Mereka memiliki rantai pasokan terintegrasi dari tambang hingga magnet yang sangat sulit ditiru.” Namun, meski pemisahan total dari Cina “tidak terpikirkan” dalam jangka pendek, ia mengatakan UE sebaiknya “mengelola ketergantungan ini dengan strategi industri yang koheren,” jelasnya.

    Komisi Eropa, berniat mendorong memproduksi 7.000 ton magnet berbasis UE secara domestik pada 2030 di bawah Undang-Undang Bahan Mentah Kritis, dengan beberapa proyek pertambangan, pemurnian, dan daur ulang. Sebuah pabrik pemrosesan logam tanah jarang besar dibuka di Estonia tahun ini, dan fasilitas besar lainnya di barat daya Prancis akan beroperasi pada 2026.

    Komisaris Perdagangan UE Maros Sefcovic menyebut pembatasan Cina “sangat mengganggu” sektor otomotif dan industri Eropa. Cina mengusulkan “jalur hijau” untuk mempercepat persetujuan lisensi bagi perusahaan UE, tetapi para ahli memperingatkan persetujuan masih bisa memakan waktu hingga 45 hari.

    India turut pangkas ekspor

    Meski memiliki cadangan logam tanah jarang terbesar kelima di dunia, sebesar 6,9 juta metrik ton, India menyumbang kurang dari 1% pasokan global. Negara Asia Selatan ini kekurangan kapasitas pemurnian untuk pengolahannya untuk dapat digunakan dalam aplikasi berteknologi tinggi. India juga bergantung pada ekspor Cina, yang juga menghadapi pembatasan.

    Meskipun New Delhi telah meningkatkan upaya untuk mendiversifikasi pasokan melalui kesepakatan dengan AS, Australia, dan negara-negara Asia Tengah, kemajuannya masih lambat.

    Pada bulan Juni, New Delhi memerintahkan perusahaan tambang milik negara, IREL, untuk menghentikan ekspor mineral yang diproduksi domestik, termasuk ke Jepang, guna menjaga pasokan bagi produsen dalam negeri. Pada 2024, IREL mengirim sepertiga dari 2.900 metrik ton logam tanah jarangnya untuk diproses di Jepang.

    Beberapa pesaing genjot produksi logam tanah jarang

    44 juta ton cadangan logam tanah jarang dimiliki Cina, cadangan kolektif sekitar 31,3 juta ton laina dimiliki Brazil, India, dan Australia, menurut Survei Geologi AS. Sekitar 20 juta ton baru-baru ini ditemukan di Kazakstan.

    AS dan Australia paling maju dalam meningkatkan output penambangan dan pemrosesan logam tanah jarang mereka sendiri, sementara rencana negara lain masih pada tahap awal hingga menengah, memerlukan waktu lima hingga 10 tahun dengan pertimbangan dampak lingkungan dan miliaran dolar investasi.

    Sumber potensial lain berasal dari Greenland, dengan kondisi cuacan ekstrem. AS dan UE telah menandatangani kesepakatan kerja sama, dan pada 2023, Proyek Tanbreez di selatan Greenland dinilai sebagai proyek logam tanah jarang paling unggul oleh penyedia data industri pertambangan Mining Intelligence, dengan perkiraan 28,2 juta ton.

    Namun sampai pasokan logam tanah jarang alternatif meningkat secara signifikan, Cina akan terus menggunakan sumber daya kritis ini sebagai senjata geopolitik yang kuat, menahan industri dan negara di seluruh dunia dalam cengkeramannya.

    Wbbeke dari Sinolytics skeptis apakah negara lain akan pernah menantang cengkeraman Cina atas logam tanah jarang karena keunggulan ekonomi yang dimiliki pemimpin pasar tersebut.

    “Begitu Cina mencabut kontrol ekspor, harga akan turun, dan situasi pasokan akan membaik. Tidak ada yang akan membicarakan [ketergantungan berlebihan pada Cina] lagi karena kemudian semuanya akan bergantung harga,” kata Wbbeke kepada DW. “Tambang dan pabrik pemurnian non-Cina harus bersaing dengan harga tersebut dan sepertinya mereka tidak bisa.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Rizky Nugraha

    Tonton juga video “Taman Jodoh di China, Bisa Promosi Pakai CV” di sini:

    (ita/ita)

  • Harga Minyak Melejit, Investor Cermati Pasokan hingga Hubungan Dagang AS-China – Page 3

    Harga Minyak Melejit, Investor Cermati Pasokan hingga Hubungan Dagang AS-China – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Kenaikan harga minyak ini seiring investor menilai kembali harapan kelebihan pasokan dan mencari kejelasan mengenai ketegangan hubungan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China, dua konsumen minyak terbesar di dunia.

    Mengutip CNBC, Rabu (22/10/2025), harga minyak mentah Brent naik 31 sen atau 0,5% menjadi USD 61,32 per barel. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November yang berakhir pada penutupan perdagangan Selasa, ditutup naik 30 sen atau 0,5% menjadi USD 57,82.

    Harga minyak dari dua kontrak itu mencapai level terendah sejak awal Mei pada perdagangan Senin, 20 Oktober 2025. Hal ini setelah rekor produksi minyak AS dan keputusan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya untuk terus melanjutkan rencana kenaikan pasokan meningkatkan harapan kelebihan pasokan.

    “Namun, persediaan minyak mentah dan bahan bakar distilat AS yang relatif rendah membantu mengatasi sebagian tekanan pada harga acuan minyak,” ujar Chief Commodities Analyst SEB, Bjarne Schieldrop.

    Perselisihan perdagangan AS-China juga telah meningkatkan antisipasi perlambatan pertumbuhan ekonomi global akan menekan permintaan minyak. Namun, kedua belah pihak telah berupaya untuk meredam perselisihan tersebut.

    Presiden AS Donald Trump mengatakan pada Senin kalau ia berharap dapat mencapai kesepakatan perdagangan yang adil dengan China. Ada pun Donald Trump dijadwalkan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan minggu depan.