Tag: Wihadi Wiyanto

  • Serangan Balik Koalisi Pendukung Prabowo usai PDIP Kritik PPN 12%

    Serangan Balik Koalisi Pendukung Prabowo usai PDIP Kritik PPN 12%

    Bisnis.com, JAKARTA — Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyesalkan sikap PDI Perjuangan atau PDIP yang menolak kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%.

    PSI menjadi partai keempat yang menyerang balik PDIP. Sebelumnya ada Gerindra, PKB, dan Golkar yang telah melontarkan pernyataan dengan nada yang sama kepada partai berlambang banteng tersebut.  

    Juru Bicara PSI, I Putu Yoga Saputra menilai bahwa partai yang dinahkodai Megawati Soekarnoputri itu bak pahlawan kesiangan, padahal sempat terlibat dalam panitia kerja (panja) UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).  Bahkan, Ketua Panja UU HPP berasal dari PDIP.

    “Kami sangat menyesalkan sikap PDIP. Lihat jejak digital, PDIP menjadi pengusul dan terlibat dalam panja UU HPP. Bahkan Ketua Panja dari PDIP. Kalau sekarang mereka menolak, apa namanya? Ya, pahlawan kesiangan,”  katanya lewat rilisnya, Senin (23/12/2024).

    Menurutnya, PPN 12% itu sudah menjadi amanat UU yang apabila tidak dijalankan, justru melanggar hukum dan mengundang risiko sosial.

    “Kenaikan itu bermanfaat dalam jangka panjang terkait peningkatan penerimaan negara untuk membiayai sejumlah hal, termasuk program kesejahteraan sosial. Ujung-ujungnya akan kembali ke rakyat,” ujar Yoga.

    Satu hal lain, Fraksi PDIP adalah fraksi terbesar di DPR RI. Mereka sangat bisa mengarahkan pembahasan sebuah UU. “Kalau mereka tidak ada di parlemen atau fraksi kecil, okelah. PDIP itu fraksi terbesar di DPR. Tidak ada catatan sama sekali mereka menolak saat pembahasan,” pungkas Yoga.

    Gerindra Minta PDIP Oposisi 

    Sementara itu, Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan bahkan menyarankan agar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) segera menyatakan diri sebagai oposisi. 

    Sebelum Hergun, politikus Gerindra lainnya yakni Wihadi Wiyanto dan Bahtra Banong juga mengungkapkan hal yang sama. Mereka mempertanyakan sikap PDIP yang berubah menetang tarif PPN 12%..

    Adapun Heru Gunawan menuding bahwa banyak politisi PDIP mengunakan isu PPN untuk menyampaikan kritik kepada pemerintahan Prabowo Subianto atas rencana kenaikan PPN 12% atas barang tertentu.

    Dia menyebut Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang juga menjabat sebagai Ketua DPR RI menyatakan, kenaikan PPN 12% dapat memperburuk kondisi kelas menengah dan pelaku usaha kecil.

    Termasuk, mantan calon presiden yang diusung PDIP yang juga Ketua DPP PDIP Ganjar Pranowo menyatakan, kebijakan tersebut bisa membuat ngilu kehidupan rakyat.  

    “Menurutnya, PDIP tidak perlu bermain drama dengan berpura-pura membela rakyat kecil. Semua tahu, bahwa kenaikan PPN 12% merupakan tanggung jawab PDIP yang kala itu menjadi pimpinan pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP),” tuturnya lewat rilisnya, Minggu (22/12/2024).

    Politisi yang biasa disapa Hergun itu menyatakan, dasar kenaikan PPN adalah Pasal 7 Ayat (1) UU HPP yang menyatakan tarif PPN sebesar 11% berlaku 1 April 2022 dan tarif 12% berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

    Dia menilai bahwa berdasarkan ketentuan UU HPP, kenaikan tarif PPN dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama sudah dilakukan pada 2022.

    “Waktu itu PDIP paling bersemangat menyampaikan kenaikan PPN dan bahkan mau pasang badan. Sehingga aneh menjelang pemberlakukan tahap kedua, PDIP berpaling muka dan mengkritik dengan keras,” katanya.

    Lebih lanjut, mantan anggota Panja UU HPP itu, menjelaskan bahwa pembahasan tingkat I UU HPP dilakukan di Komisi XI DPR. Waktu itu yang menjabat sebagai Ketua Panja adalah kader PDIP Dolfi OFP.

    Selain itu, sebagai partai terbesar di DPR, PDIP juga mengirim anggotanya paling banyak di Panja. “Pembahasan di tingkat I terbilang lancar. Hampir semua fraksi menyatakan persetujuannya terhadap UU HPP. Lalu, pembahasan dilanjutkan pada tingkat II yaitu di Rapat Paripurna DPR RI. Konfigurasinya tidak berbeda. Perlu diketahui, waktu itu Ketua DPR juga dijabat oleh kader PDIP Puan Maharani,” jelasnya.

    Hergun menyatakan, pembentukan UU HPP sejatinya bertujuan memperkuat fondasi fiskal dan meningkatkan tax ratio Indonesia. Sebagaimana diketahui, tax ratio Indonesia tercatat masih lebih rendah dibanding negara-negara lain.

    “Pada 2021 tax ratio Indonesia tercatat sebesar 10,9%. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata 36 negara Asia Pasifik yang sebesar 19,3%. Tax ratio Indonesia juga tercatat lebih rendah 22 poin persen dibanding negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dengan rata-rata 34%,” jelasnya.

    Jawaban PDIP

    Wakil Ketua Komisi XI DPR RI sekaligus anggota Banggar DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Dolfie Othniel Frederic Palit, menjawab tudingan politikus Gerindra tentang protes kenaikan tarif PPN menjadi 12%. 

    Dolfie bahkan menegaskan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) disetujui oe 8 fraksi di parlemen dalam paripurna 7 Oktober 2021 lalu.

    Adapun, kedelapan fraksi tersebut adalah Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi NasDem, Fraksi PKB, Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP menyetujui UU HPP. Dia menyebut hanya Fraksi PKS tidak menyetujui itu.

    “Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP. Selanjutnya RUU HPP dibahas bersama antara Pemerintah dan DPR RI [Komisi XI]. Disahkan dalam Paripurna tanggal 7 Oktober 2021,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, pada Minggu (22/12/2024).

    Adapun dalam amanat UU HPP, lanjut Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU HPP pada kala itu, bahwa tarif PPN mulai 2025 adalah 12%, yang sebelumnya adalah 11%.

    Dia menjelaskan, dalam UU itu, pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif dalam rentang 5% hingga 15% dan bisa menurunkan ataupun menaikkan. Sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) UU HPP, tambahnya, pemerintah dapat mengubah tarif PPN sesuai dengan persetujuan DPR.

    “Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa kenaikan atau penurunan tarif PPN sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN [naik atau turun],” jelasnya.

    Kendati demikian, Politikus PDIP ini menyebut jika Pemerintahan Prabowo Subianto tetap menggunakan tarif PPN 12%, ada enam hal yang perlu menjadi perhatian saat membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

    “Kinerja ekonomi nasional yang semakin membaik, pertumbuhan ekonomi berkualitas, penciptaan lapangan kerja, penghasilan masyarakat meningkat, pelayanan publik yang semakin baik, efisiensi dan efektivitas belanja negara,” pungkasnya.

  • Partai Politik Jangan Cari Muka! Batalkan PPN 12% Lebih Penting Ketimbang Saling Menyalahkan

    Partai Politik Jangan Cari Muka! Batalkan PPN 12% Lebih Penting Ketimbang Saling Menyalahkan

    loading…

    Demo penolakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 %. Foto/SINDOnews TV

    JAKARTA – Dua kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP ) Ganjar Pranowo dan Rieke Diah Pitaloka mengkritik kebijakan pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) menjadi 12 %. Rieke menyampaikan kritik tersebut dalam Paripurna Penutupan Masa Sidang Pertama DPR pada Kamis, 5 Desember 2024.

    “Mohon dukungannya sekali lagi dari Ibu Ketua DPR, Wakil Ketua DPR, dan seluruh anggota DPR, seluruh anggota DPRD di seluruh Indonesia, mahasiswa yang ada di belakang, dan rekan-rekan media, kita beri dukungan penuh kepada Presiden Prabowo, saya yakin menunggu kado Tahun Baru 2025 dari Presiden Prabowo batalkan rencana kenaikan PPN 12 %,” kata Rieke diunggah di akun Instagramnya, dikutip Senin (23/12/2024).

    Sedangkan Ganjar melontarkan kritikan melalui video yang diunggah di Channel YouTube-nya beberapa hari lalu dengan judul “PPN 12% Bikin Tambah Miskin?”. “Dengan angka ini, Indonesia menjadi negara yang tertinggi di ASEAN bersama Filipina, jauh di atas Malaysia yang hanya 8%, Singapura 7%, dan Thailand 7%,” kata Ganjar di Channel Youtube-nya.

    “Pajak memang sumber pendapatan utama negara. Namun, dalam situasi ekonomi kita saat ini, keputusan pemerintah menaikkan PPN jadi 12 persen mungkin bukan keputusan tepat. Apakah ini keadilan?” cuit Ganjar di media sosial X (sebelumnya Twitter).

    Sejumlah elite Partai Gerindra pun langsung merespons. “Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDIP berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12%. Jujur saja, banyak dari kita saat itu hanya bisa senyum dan geleng-geleng ketawa,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati.

    “Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya. Padahal mereka saat itu Ketua Panja UU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12% ini. Kalau menolak ya kenapa tidak waktu mereka Ketua Panjanya?” sambung wanita yang akrab disapa Sara ini.

    Saling MenyalahkanPolitikus Partai Gerindra yang kini menjabat Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Wihadi Wiyanto menjelaskan kenaikan PPN 12% merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Payung hukum itu merupakan produk legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh partai penguasa PDIP.

    Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit turut membalas sindiran yang dilakukan Fraksi Partai Gerindra soal kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Dia mengungkapkan, UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang menjadi dasar kenaikan PPN 12% merupakan inisiatif pemerintah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).

  • Isu Politik Terkini: Sengketa Pemilu hingga Usulan Gus Dur Jadi Pahlawan Nasional

    Isu Politik Terkini: Sengketa Pemilu hingga Usulan Gus Dur Jadi Pahlawan Nasional

    Jakarta, Beritasatu.com – Berbagai isu politik terkini telah diberitakan Beritasatu.com sepanjang Minggu (21/12/2024), dimulai dari Mahkamah Konstitusi yang menerima 312 pengajuan sengketa Pilkada 2024 hingga tanggapan Yenny Wahid atas usulan agar Gus Dur dijadikan pahlawan nasional.

    Berikut 5 isu politik terkini Beritasatu.com:

    1. Perludem: MK Terima 312 Pengajuan Sengketa Pilkada 2024
    Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat sebanyak 312 permohonan sengketa perselisihan hasil Pilkada 2024 telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Peneliti Perludem Ajid Fuad Muzaki menyebut data tersebut merupakan hasil rekapitulasi dari situs resmi MK per Jumat (20/12/2024) pukul 16.00 WIB.

    “Dari data yang dihimpun, ada 312 permohonan sengketa yang meliputi pemilihan bupati, wali kota, dan gubernur,” ujar Ajid dalam diskusi daring bertajuk Potret Awal PHP-Kada 2024 yang dipantau di Jakarta, Minggu (22/12/2024) dilansir dari Antara

    Ia memerinci mayoritas permohonan berasal dari sengketa pemilihan bupati dengan jumlah 241 perkara, yang mencakup 77,2% dari total permohonan. Selanjutnya, sengketa pemilihan wali kota mencatat 49 perkara atau 15,7%, sementara permohonan sengketa pemilihan gubernur hanya berjumlah 22 perkara atau 7,1%.

    2. Wakil Ketua Banggar: Kenaikan PPN 12 Persen Diinisiasi PDIP
    Wakil Ketua Banggar yang juga Anggota Komisi XI DPR Wihadi Wiyanto mengatakan wacana kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Payung hukum itu merupakan produk Legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh partai penguasa PDI Perjuangan (PDIP).

    “Kenaikan PPN 12 persen itu merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan,” ujar Wihadi kepada wartawan, Minggu (22/12/2024).

    Wihadi mengaku aneh dengan sikap PDIP terhadap kenaikan PPN yang sangat bertolak belakang saat membentuk UU HPP tersebut. Terlebih, panja pembahasan kenaikan PPN yang tertuang dalam UU HPP jelas dipimpin langsung oleh fraksi partai besutan Megawati Soekarnoputri tersebut. 

  • Legislator Deddy Sitorus Bantah PDIP Inisiasi Kenaikan PPN 12 Persen

    Legislator Deddy Sitorus Bantah PDIP Inisiasi Kenaikan PPN 12 Persen

    JAKARTA – Anggota Fraksi PDIP DPR RI Deddy Sitorus membantah tudingan bahwa partainya yang menginisiasi kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang akan diterapkan di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Deddy menegaskan, keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) itu diusulkan saat pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo. Meski ketua panitia kerja (panja) merupakakan anggota fraksi PDIP, hal ini disepakati semua fraksi di DPR RI.

    “Itu adalah keputusan DPR RI, bukan inisiatif dari PDI Perjuangan. Salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan,” kata Deddy kepada wartawan, Minggu, 22 Desember.

    Deddy menjelaskan, saat kenaikan PPN diusulkan oleh Kementerian Keuangan, DPR menyetujui dengan asumsi kondisi ekonomi di Tanah Air maupun kondisi global itu dalam kondisi yang baik-baik saja.

    Namun, memang ada permintaan dari sebagian fraksi di DPR agar ini dipertimbangkan berdasarkan sejumlah faktor, yakni menurunnya daya beli masyarakat, kelas menengah yang tergerus, hingga ancaman badai PHK.

    “Jadi ini bukan salah pemerintahan Prabowo tentu saja. Yang diminta teman-teman itu juga bukan membatalkan undang-undang itu atau kesepakatan yang sudah dibuat di DPR, tetapi meminta pemerintah mengkaji baik buruknya dari kenaikan PPN itu bagi rakyat,” jelas Deddy.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Wihadi Wiyanto, mengungkapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) diinisiasi Fraksi PDI Perjuangan DPR. Hal ini yang menjadi dasar kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.

    “Kenaikan PPN 12 persen itu adalah merupakan keputusan UU Tahun 2021, HPP. (PPN) 12 persen di 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan,” kata Wihadi kepada wartawan, Sabtu, 21 Desember.

    “Itu kita bisa melihat dari yang memimpin Panja (Panitia Kerja) pun dari PDI Perjuangan,” tambahnya.

    Adapun Dolfie Othniel Fredric Palit yang merupakan anggota Fraksi PDIP menjadi Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) HPP saat pembahasan dilakukan.

    Kondisi ini membuat Wihadi mempertanyakan sikap PDIP yang mengkritisi kenaikan PPN menjadi 12 persen. Baginya, partai berlambang banteng itu terkesan menyudutkan Presiden Prabowo Subianto.

    “Kalau sekarang pihak PDI Perjuangan meminta itu ditunda, ini adalah merupakan suatu hal yang justru menyudutkan pemerintahan Prabowo. Sebenarnya yang menginginkan kenaikan itu adalah PDI Perjuangan,” tuturnya.

  • Kemarin, kenaikan PPN hingga KPU-Bawaslu lembaga permanen

    Kemarin, kenaikan PPN hingga KPU-Bawaslu lembaga permanen

    Jakarta (ANTARA) – Berbagai peristiwa politik telah diwartakan Kantor Berita ANTARA pada Minggu (22/12), mulai dari perkembangan mengenai kenaikan PPN menjadi 12 persen hingga keinginan Ketua Komisi II DPR RI mempertahankan KPU dan Bawaslu sebagai lembaga yang berstatus permanen.

    Berikut sejumlah berita politik kemarin untuk kembali Anda simak.

    1. Waka Banggar: Kebijakan kenaikan PPN 12 persen diinisiasi PDIP

    Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Wihadi Wiyanto mengatakan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) merupakan produk legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh PDI Perjuangan (PDIP).

    “Kenaikan PPN 12 persen itu adalah merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan,” kata Wihadi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (22/12).

    Baca selengkapnya di sini.

    2. PDIP minta pemerintah kaji ulang rencana kenaikan PPN 12 persen

    Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 menjadi 12 persen.

    “Jadi, sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo (Subianto), bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” ujar Deddy dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (22/12).

    Baca selengkapnya di sini.

    3. Ketua MPR bertemu Sekjen Liga Muslim Dunia bahas dunia Islam

    Ketua MPR RI Ahmad Muzani bertemu dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Liga Muslim Dunia Syekh Muhammad bin Abdul Karim Al-Issa membahas perkembangan dunia Islam, perdamaian hingga kemanusiaan, di Makkah, Arab Saudi, Sabtu (21/12).

    “Peran Liga Muslim Dunia sangat dirasakan penting dan manfaatnya, khususnya dalam mengkampanyekan Islam yang rahmatan lil alamin dan toleransi, baik di dunia Islam maupun barat,” kata Muzani dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (22/12).

    Baca selengkapnya di sini.

    4. Akademisi sebut jatuhnya Al-Assad seperti reformasi 98 di Indonesia

    Kepala Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Robi Sugara, menilai jatuhnya Bashar Al-Assad merupakan bentuk reformasi Suriah layaknya reformasi 1998 yang terjadi di Indonesia, di mana masyarakat sudah jengah terhadap pemerintahan dan menginginkan adanya perubahan.

    Menurut dia, tergulingnya mantan Presiden Suriah itu sebenarnya merupakan protes dari masyarakat. Adapun Al-Assad turun takhta setelah kelompok anti rezim menguasai Damaskus, Ibu Kota Suriah, pada Minggu (8/12).

    “Bashar al-Assad itu kan sebenarnya sudah dikomplain oleh masyarakatnya. Ini betul transisi politik, transisi dari masyarakat yang sebetulnya memang diinginkan,” kata Robi dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Minggu (22/12).

    Baca selengkapnya di sini.

    5. Ketua Komisi II ingin pertahankan KPU-Bawaslu sebagai lembaga permanen

    Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengatakan bahwa dirinya ingin mempertahankan status Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga permanen, alih-alih lembaga ad hoc.

    Dia mengatakan, pembahasan untuk mengubah status kedua lembaga penyelenggara pemilu itu belum bergulir di parlemen. Akan tetapi, secara pribadi, Rifqi memilih menentang wacana perubahan status KPU dan Bawaslu menjadi lembaga ad hoc.

    “Pembahasannya ‘kan belum dilakukan terkait dengan revisi sejumlah undang-undang. Ya kita tunggu saja nanti. Partai-partai politik juga belum menyampaikan sikap resminya kepada kami. Tapi, kalau ditanya secara pribadi, saya kira lebih baik kita pertahankan yang ada sekarang,” ujarnya menjawab ANTARA saat ditemui di Badung, Bali, Minggu (22/12).

    Baca selengkapnya di sini.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Hernawan Wahyudono
    Copyright © ANTARA 2024

  • Gerindra: HPP PPN 12 Persen Usulan PDI Perjuangan

    Gerindra: HPP PPN 12 Persen Usulan PDI Perjuangan

    Jakarta (beritajatim.com) – Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Novita Wijayanti menegaskan, kenaikan PPN 12 persen yang akan diterapkan di Januari 2025 berdasarkan Undang-undang tentang harmonisasi peraturan perpajakan (HPP) yang disahkan pada tahun 2021.

    Undang- undang a quo merupakan produk kolektif antara pemerintah yang dikuasai PDI Perjuangan dengan legislatif ketika itu. Dimana salah satu poin pentingnya mengenai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.

    “Perlu diingat bahwa usulan (UU,red) tersebut bukanlah hal yang datang tiba-tiba, melainkan bagian dari kebijakan yang telah disepakati melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (HPP) pada tahun 2021, yang pada waktu itu diusulkan oleh PDI Perjuangan sendiri,” tegas Novita menanggapi polemik pro kontra kenaikan PPN 12 persen, di Jakarta, Minggu (22/12/2024).

    Menurut Novita, sikap PDI Perjuangan yang menolak kenaikan PPN sebesar 12 persen, serta tudingan bahwa pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming seolah tidak pro-rakyat, dianggapnya sebagai bentuk tidak gentlemen.

    “Yang sejatinya justru mereka (PDI Perjuangan red) yang mengusulkan dan memutuskan. Sekarang seolah-olah melempar kesalahan kepada Pak Prabowo dimana Pak Prabowo baru menjadi Presiden baru 2 bulan,” ketus Novita.

    Novita menghimbau seharusnya sejumlah pemangku kepentingan tidak melakukan playing victim, dengan bersandiwara untuk mendapat simpati rakyat. Sebaliknya, sambung Novita, saat ini yang lebih penting adalah bagaimana secara bersama-sama mencari solusi untuk meringankan beban rakyat, sambil tetap menjaga keberlanjutan pembangunan ekonomi negara kedepannya.

    “Mari kita jujur dan terbuka dalam diskursus politik ini, dan berhenti memainkan peran sebagai korban dari kebijakan yang sejatinya merupakan hasil kesepakatan bersama,” tegas Novita.

    ‘Fokus kita sekarang adalah bagaimana menuntaskan tantangan ekonomi yang ada dan memastikan kebijakan ini dapat dijalankan dengan bijaksana demi kepentingan rakyat,” pungkas bendahara Fraksi Partai Gerindra ini.

    Sebelumnya diberitakan, Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Wihadi Wiyanto juga mengungkapkan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) diinisiasi oleh Fraksi PDI Perjuangan DPR. Hal ini yang menjadi dasar naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.

    Sebagai informasi, Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) HPP saat itu adalah Dolfie Othniel Frederic Palit yang merupakan anggota Fraksi PDIP. [hen/but]

  • PDIP Bantah Keras Dicap Jadi Inisiator Kenaikan PPN: Salah Alamat

    PDIP Bantah Keras Dicap Jadi Inisiator Kenaikan PPN: Salah Alamat

    Jakarta, CNN Indonesia

    Ketua DPP PDIP Deddy Yevry Sitorus menepis keras tudingan yang menyebut partainya sebagai inisiator wacana kenaikan tarif PPN 12 persen.

    Ia menyatakan pihak yang menarasikan demikian telah keliru. Menurutnya, UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) disepakati bersama oleh mayoritas fraksi di DPR dan merupakan inisiatif pemerintah Presiden ke-7 RI Joko Widodo.

    “Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan. Karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah melalui Kementerian Keuangan,” kata Deddy di Cikini, Jakarta, Minggu (22/12).

    Ia mengakui wacana itu memang diputuskan lewat pengesahan UU HPP yang di mana kader PDIP menjadi Ketua Panja-nya.

    Namun, Deddy menegaskan itu telah menjadi keputusan lembaga untuk mengesahkannya pada 7 Oktober 2021 lalu.

    Sebanyak delapan fraksi partai di DPR RI menyetujui RUU HPP menjadi undang-undang. Hanya PKS yang menolak.

    “Pada waktu itu disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi internal kita dan kondisi global itu dalam kondisi yang baik-baik saja,” ucapnya.

    Ia pun menyinggung permintaan dari sebagian fraksi DPR yang meminta pemerintah kembali mempertimbangkan wacana itu.

    Ia menyebut hal itu harus dipertimbangkan kembali lantaran kondisi daya beli masyarakat yang terpuruk dan kelas menengah yang juga berkurang jauh.

    “Angkanya sekitar 9,3 juta kelas menengah itu sudah tergerus. Lalu kita melihat dolar naik gila-gilaan,” ujar dia.

    Deddy pun menegaskan bahwa PDIP sama sekali tak menyalahkan pemerintahan Prabowo Subianto atas wacana ini.

    Melainkan meminta Prabowo untuk mengkaji kembali baik dan buruknya wacana kenaikan PPN itu bagi masyarakat luas.

    “Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, enggak. Karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” ucapnya.

    Pihak yang menarasikan PDIP jadi pengusul wacana kenaikan PPN 12 persen itu ialah Anggota Komisi XI DPR Fraksi Gerindra Wihadi Wiyanto.

    Ia menyebut wacana itu adalah keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang menjadi produk DPR periode 2019-2024 atas inisiasi PDIP.

    Wihadi pun menyatakan sikap PDIP mengenai kenaikan PPN saat ini sangat bertolak belakang dengan saat membentuk UU HPP dulu. Padahal, panja pembahasan kenaikan PPN dipimpin oleh PDIP.

    “Kenaikan PPN 12 persen itu adalah merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan,” kata Wihadi dalam keterangannya, Minggu (22/12).

    (mnf/gil)

    [Gambas:Video CNN]

  • Ramai Politikus Gerindra Serang Balik PDIP Usai Kritik Prabowo Soal Tarif PPN 12%

    Ramai Politikus Gerindra Serang Balik PDIP Usai Kritik Prabowo Soal Tarif PPN 12%

    Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah politkus Gerindra mengkritik balik PDI Perjuangan (PDIP) yang belakangan ini cukup sering melontarkan keberatan dengan keputusan pemerintah untuk tetap menaikan tarif PPN menjadi 12%. 

    Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan bahkan menyarankan agar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) segera menyatakan diri sebagai oposisi. 

    Sebelum Hergun, politikus Gerindra lainnya yakni Wihadi Wiyanto dan Bahtra Banong juga mengungkapkan hal yang sama. Mereka mempertanyakan sikap PDIP yang berubah menetang tarif PPN 12%..

    Adapun Heru Gunawan menuding bahwa banyak politisi PDIP mengunakan isu PPN untuk menyampaikan kritik kepada pemerintahan Prabowo Subianto atas rencana kenaikan PPN 12% atas barang tertentu.

    Dia menyebut Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang juga menjabat sebagai Ketua DPR RI menyatakan, kenaikan PPN 12% dapat memperburuk kondisi kelas menengah dan pelaku usaha kecil.

    Termasuk, mantan calon presiden yang diusung PDIP yang juga Ketua DPP PDIP Ganjar Pranowo menyatakan, kebijakan tersebut bisa membuat ngilu kehidupan rakyat.  

    “Menurutnya, PDIP tidak perlu bermain drama dengan berpura-pura membela rakyat kecil. Semua tahu, bahwa kenaikan PPN 12% merupakan tanggung jawab PDIP yang kala itu menjadi pimpinan pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP),” tuturnya lewat rilisnya, Minggu (22/12/2024).

    Politisi yang biasa disapa Hergun itu menyatakan, dasar kenaikan PPN adalah Pasal 7 Ayat (1) UU HPP yang menyatakan tarif PPN sebesar 11% berlaku 1 April 2022 dan tarif 12% berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

    Dia menilai bahwa berdasarkan ketentuan UU HPP, kenaikan tarif PPN dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama sudah dilakukan pada 2022.

    “Waktu itu PDIP paling bersemangat menyampaikan kenaikan PPN dan bahkan mau pasang badan. Sehingga aneh menjelang pemberlakukan tahap kedua, PDIP berpaling muka dan mengkritik dengan keras,” katanya.

    Lebih lanjut, mantan anggota Panja UU HPP itu, menjelaskan bahwa pembahasan tingkat I UU HPP dilakukan di Komisi XI DPR. Waktu itu yang menjabat sebagai Ketua Panja adalah kader PDIP Dolfi OFP.

    Selain itu, sebagai partai terbesar di DPR, PDIP juga mengirim anggotanya paling banyak di Panja. “Pembahasan di tingkat I terbilang lancar. Hampir semua fraksi menyatakan persetujuannya terhadap UU HPP. Lalu, pembahasan dilanjutkan pada tingkat II yaitu di Rapat Paripurna DPR RI. Konfigurasinya tidak berbeda. Perlu diketahui, waktu itu Ketua DPR juga dijabat oleh kader PDIP Puan Maharani,” jelasnya.

    Hergun menyatakan, pembentukan UU HPP sejatinya bertujuan memperkuat fondasi fiskal dan meningkatkan tax ratio Indonesia. Sebagaimana diketahui, tax ratio Indonesia tercatat masih lebih rendah dibanding negara-negara lain.

    “Pada 2021 tax ratio Indonesia tercatat sebesar 10,9%. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata 36 negara Asia Pasifik yang sebesar 19,3%. Tax ratio Indonesia juga tercatat lebih rendah 22 poin persen dibanding negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dengan rata-rata 34%,” jelasnya.

    Hergun berdalih bahwa berdasarkan catatan OECD, penerimaan pajak Indonesia masih didominasi pajak penghasilan (PPh) yaitu sebesar 5,1% dari PDB, disusul pajak pertambahan nilai (PPN) yaitu sebesar 3,4% dari PDB, dan terakhir dari cukai sebesar 1,6% dari PDB.

    Hergun menilai bahwa pemerintah juga sudah menyiapkan sejumlah insentif untuk rumah tangga berpenghasilan rendah dan untuk menjaga daya beli. Paket insentif tersebut antara lain berupa bantuan beras/pangan, diskon biaya listrik 50% selama 2 bulan, serta insentif perpajakan seperti.

    “Ada berbagai insentif PPN dengan total alokasi mencapai Rp265,6 triliun untuk 2025,” tandasnya.

    Oleh sebab itu, Hergun berpandangan, para politisi seharusnya menunjukkan keteladanan dan konsistensi perjuangan. Sikap PDIP yang berubah 180 derajat bisa dipandang sebagai sikap oportunis yang memanfaatkan panggung demi menaikkan pencitraan.

    “Sebaiknya PDIP mengambil sikap tegas sebagai opisisi terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dengan demikian, konfigurasi politik di parlemen akan menjadi jelas. Tidak seperti sekarang, PDIP terkesan menjadi partai yang tidak bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuatnya,” pungkas Hergun.

    Jawaban PDIP

    Wakil Ketua Komisi XI DPR RI sekaligus anggota Banggar DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Dolfie Othniel Frederic Palit, menjawab tudingan politikus Gerindra tentang protes kenaikan tarif PPN menjadi 12%. 

    Dolfie bahkan menegaskan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) disetujui oe 8 fraksi di parlemen dalam paripurna 7 Oktober 2021 lalu.

    Adapun, kedelapan fraksi tersebut adalah Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi NasDem, Fraksi PKB, Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP menyetujui UU HPP. Dia menyebut hanya Fraksi PKS tidak menyetujui itu.

    “Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP. Selanjutnya RUU HPP dibahas bersama antara Pemerintah dan DPR RI [Komisi XI]. Disahkan dalam Paripurna tanggal 7 Oktober 2021,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, pada Minggu (22/12/2024).

    Adapun dalam amanat UU HPP, lanjut Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU HPP pada kala itu, bahwa tarif PPN mulai 2025 adalah 12%, yang sebelumnya adalah 11%.

    Dia menjelaskan, dalam UU itu, pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif dalam rentang 5% hingga 15% dan bisa menurunkan ataupun menaikkan. Sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) UU HPP, tambahnya, pemerintah dapat mengubah tarif PPN sesuai dengan persetujuan DPR.

    “Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa kenaikan atau penurunan tarif PPN sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN [naik atau turun],” jelasnya.

    Kendati demikian, Politikus PDIP ini menyebut jika Pemerintahan Prabowo Subianto tetap menggunakan tarif PPN 12%, ada enam hal yang perlu menjadi perhatian saat membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

    “Kinerja ekonomi nasional yang semakin membaik, pertumbuhan ekonomi berkualitas, penciptaan lapangan kerja, penghasilan masyarakat meningkat, pelayanan publik yang semakin baik, efisiensi dan efektivitas belanja negara,” pungkasnya.

  • Wihadi Sebut PDIP Inisiator PPN 12 Persen, Bukan Pemeritahan Prabowo

    Wihadi Sebut PDIP Inisiator PPN 12 Persen, Bukan Pemeritahan Prabowo

    Jakarta, CNN Indonesia

    Anggota Komisi XI DPR RI, Wihadi Wiyanto menyampaikan, wacana kenaikan tarif PPN 12 persen bukan keputusan pemerintahan Prabowo Subianto, melainkan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

    Untuk itu, Wihadi mengingatkan pihak-pihak tertentu untuk tidak menggiring isu bahwa kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan pemerintahan Presiden Prabowo.

    “Jadi apabila sekarang ada informasi ada hal-hal yang mengkaitkan ini dengan pemerintah Pak Prabowo yang seakan-akan memutuskan itu adalah tidak benar, yang benar adalah UU ini produk dari pada DPR yang pada saat itu diinisiasi PDI Perjuangan dan sekarang Pak Presiden Prabowo hanya menjalankan,” kata kata Wihadi saat dihubungi wartawan, Jakarta, Sabtu, 21 Desember 2024.

    Menurut Wihadi, regulasi ini merupakan produk hukum yang dihasilkan DPR periode 2019-2024.

    “Kenaikan PPN 12 persen, itu adalah merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan,” ujar Wihadi.

    Legislator dari Fraksi Gerindra itu menilai sikap PDIP terhadap kenaikan PPN sangat bertolak belakang saat membentuk UU HPP tersebut. Terlebih, panja pembahasan kenaikan PPN yang tertuang dalam UU HPP jelas dipimpin langsung oleh fraksi PDIP.

    “Jadi kita bisa melihat dari yang memimpin panja pun dari PDIP, kemudian kalau sekarang pihak PDIP sekarang meminta ditunda ini adalah merupakan sesuatu hal yang menyudutkan pemerintah Prabowo (Presiden Prabowo Subianto),” kata Wihadi.

    Wihadi justru menegaskan jika Presiden Prabowo sebenarnya sudah ‘mengulik’ kebijakan itu agar tidak berdampak pada masyarakat menengah ke bawah. Salah satunya, dengan menerapkan kenaikan PPN terhadap item-item mewah.

    “Sehingga pemikiran Pak Prabowo ini bahwa kalangan menengah bawah itu tetap terjaga daya belinya dan tidak menimbulkan gejolak ekonomi, ini adalah merupakan langkah bijaksana dari Pak Prabowo,” kata Wihadi.

    Dengan demikian, Wihadi menilai sikap PDIP sekarang adalah upaya ‘melempar bola panas’ kepada pemerintahan Presiden Prabowo. Padahal, kenaikan PPN 12 persen yang termaktub dalam UU HPP.

    “Jadi kami dalam hal ini melihat bahwa sikap PDIP ini adalah dalam hal PPN 12 persen adalah membuang muka jadi kami ingatkan bahwa apabila ingin mendukung pemerintahan maka tidak dengan cara seperti ini, tetapi bila ingin melakukan langkah-langkah oposisi maka ini adalah hak daripada PDIP,” kata Wihadi.

    Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit menjawab pernyataan elite Partai Gerindra yang menilai ada andil PDIP dalam pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang menjadi dasar kenaikan PPN jadi 12 persen.

    Dolfie mengatakan UU HPP merupakan inisiatif pemerintah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang diusulkan ke DPR.

    “UU HPP merupakan UU inisiatif pemerintahan Jokowi, yang disampaikan ke DPR tanggal 5 Mei 2021. Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP,” kata Dolfie sekaligus Ketua Panja RUU HPP, dalam keterangan tertulis, Minggu (22/12).

    Dolfie menyebutkan saat itu sebanyak delapan fraksi partai di DPR RI menyetujui RUU HPP menjadi undang-undang. Hanya PKS yang menolak. Ia mengatakan RUU itu diketok pada 7 Oktober 2021.

    “UU HPP, bentuknya adalah Omnibus Law, mengubah beberapa ketentuan dalam UU KUP, UU PPh, UU PPN, dan UU Cukai. UU ini juga mengatur Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dan Pajak Karbon,” tuturnya.

    Ia pun menjelaskan pemerintah saat ini dapat mengusulkan kenaikan atau penurunan dari tarif PPN tersebut. Rentang perubahan tarif itu berada di angka 5-12 persen sesuai ketentuan dalam UU HPP.

    “Sebagaimana amanat UU HPP, bahwa tarif PPN mulai 2025 adalah 12 persen. Pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif tersebut dalam rentang 5 persen sampai dengan 15 persen (bisa menurunkan maupun menaikkan), sesuai UU HPP Pasal 7 Ayat (3), Pemerintah dapat mengubah tarif PPN di dalam UU HPP dengan Persetujuan DPR,” katanya.

    Dolfie menyebutkan pertimbangan kenaikan atau penurunan tarif PPN bergantung pada kondisi perekonomian nasional. Ia mengatakan pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN.

    Menurutnya, jika pemerintahan Prabowo Subianto tetap ingin menaikkan PPN jadi 12 persen, maka mesti dibarengi dengan penciptaan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat.

    “Maka hal-hal yang harus menjadi perhatian adalah kinerja ekonomi nasional yang semakin membaik, pertumbuhan ekonomi berkualitas, penciptaan lapangan kerja, penghasilan masyarakat meningkat, pelayanan publik yang semakin baik,” tegasnya.

    (inh/inh)

  • Kebijakan kenaikan PPN 12 persen diinisiasi PDIP

    Kebijakan kenaikan PPN 12 persen diinisiasi PDIP

    Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Wihadi Wiyanto dalam kunjungan kerja ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Surabaya, Kamis (28/11/2024). (ANTARA/HO-Pemprov Jatim)

    Waka Banggar: Kebijakan kenaikan PPN 12 persen diinisiasi PDIP
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Minggu, 22 Desember 2024 – 12:30 WIB

    Elshinta.com – Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Wihadi Wiyanto mengatakan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) merupakan produk legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh PDI Perjuangan (PDIP).

    “Kenaikan PPN 12 persen itu adalah merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan,” kata Wihadi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu.

    Legislator dari Fraksi Gerindra itu mengatakan bahwa Panitia Kerja (Panja) pembahasan kenaikan PPN yang tertuang dalam UU HPP saat itu diketuai oleh Fraksi PDIP.

    Untuk itu, dia menilai sikap PDIP saat ini terhadap penerapan kebijakan PPN 12 persen sangat bertolak belakang saat membentuk UU HPP tersebut.

    “Jadi kita bisa melihat dari yang memimpin Panja pun dari PDIP, kemudian kalau sekarang pihak PDIP sekarang meminta ditunda ini adalah merupakan sesuatu hal yang menyudutkan pemerintah Prabowo (Presiden Prabowo Subianto),” ujar anggota Komisi XI DPR RI itu.

    Dia pun mengingatkan pihak-pihak tertentu untuk tidak menggiring isu bahwa kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebab kebijakan itu menjadi payung hukum yang diputuskan PDIP pada periode 2019-2024.

    “Jadi apabila sekarang ada informasi ada hal-hal yang mengkaitkan ini dengan pemerintah Pak Prabowo yang seakan-akan memutuskan itu adalah tidak benar, yang benar adalah UU ini produk dari pada DPR yang pada saat itu diinisiasi PDI Perjuangan dan sekarang Pak Presiden Prabowo hanya menjalankan,” ucapnya.

    Sebaliknya, dia menilai sikap PDIP saat ini seperti upaya “melempar bola panas” kepada pemerintahan Presiden Prabowo, padahal kenaikan PPN 12 persen yang termaktub dalam UU HPP merupakan produk DPR periode sebelumnya dari PDIP.

    “Jadi kami dalam hal ini melihat bahwa sikap PDIP ini adalah dalam hal PPN 12 persen adalah membuang muka, jadi kami ingatkan bahwa apabila ingin mendukung pemerintahan maka tidak dengan cara seperti ini, tetapi bila ingin melakukan langkah-langkah oposisi maka ini adalah hak daripada PDIP,” tuturnya.

    Dia pun menegaskan jika Presiden Prabowo sedianya sudah “mengulik” kebijakan itu agar tidak berdampak pada masyarakat menengah ke bawah, salah satunya dengan menerapkan kenaikan PPN tersebut dikenakan terhadap barang-barang mewah.

    “Sehingga pemikiran Pak Prabowo ini bahwa kalangan menengah bawah itu tetap terjaga daya belinya dan tidak menimbulkan gejolak ekonomi, ini adalah merupakan langkah bijaksana dari Pak Prabowo,” kata dia.

    Sumber : Antara