RUU Perampasan Aset: Penting, tetapi Jangan Asal Jadi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sejumlah pihak mengingatkan DPR RI agar tidak asal-asalan dalam menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
Peringatan ini disampaikan menyusul keputusan DPR RI yang menetapkan RUU Perampasan Aset sebagai RUU inisiatif DPR dan memasukkannya dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Adapun RUU Perampasan Aset telah dinantikan banyak pihak untuk disahkan sebagai salah satu instrumen penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Melalui RUU itu, aparat penegak hukum bisa menyita aset dan harta penyelenggara negara yang tidak wajar namun asal usulnya tidak dapat dibuktikan (
illicit enrichment
).
Kehadiran RUU ini diharapkan bisa mengembalikan kerugian negara dengan cepat dan memiskinkan koruptor.
Kendati dinantikan banyak pihak, DPR diingatkan untuk tidak membahas RUU Perampasan Aset secara asal-asalan hanya agar mewujudkan adanya UU Perampasan Aset.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan RUU Perampasan Aset menambah daftar beban legislasi akhir tahun.
Padahal, sepanjang 2025, DPR RI baru mengesahkan dua dari 42 Prolegnas, yakni RUU TNI dan Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Keputusan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset sebagai inisiatif DPR membuat lembaga legislatif harus menyiapkan naskah akademik.
Namun, sampai saat ini belum ada kejelasan mengenai naskah akademik maupun draf RUU.
“Tentu kita tidak ingin RUU Perampasan Aset ini asal jadi saja,” kata Lucius saat dihubungi
Kompas.com
, Kamis (11/9/2025).
Lucius menyebut, keberadaan naskah akademik dan draf itu penting untuk memastikan muatan RUU tersebut bermanfaat.
Sebab, RUU Perampasan Aset digadang-gadang bakal mendukung pemberantasan korupsi.
“Kejelasan sejak awal naskah akademik dan drafnya penting untuk memastikan manfaat RUU ini,” ujar dia.
Terpisah, Koalisi Masyarakat Sipil menyebut RUU Perampasan Aset harus mengatur batas jumlah harta terkait pidana yang bisa dirampas.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, mengatakan, berdasarkan Pasal 6 draf RUU Perampasan Aset per April 2023, aset yang bisa dirampas minimal Rp 100 juta dengan ancaman 4 tahun penjara atau lebih.
“Batas ini penting untuk dibahas kembali untuk menyesuaikan dengan, misalnya, kondisi inflasi, nilai ekonomis, dan lain sebagainya,” kata Wana dalam keterangannya, Kamis.
Pernyataan itu disampaikan ICW bersama Auriga Nusantara, Institute for Criminal Justice Reform, IM57+Institute, Kaoem Telapak, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.
Mereka mengingatkan pentingnya aturan mengenai harta yang tidak bisa dijelaskan sumbernya.
Hal ini merupakan konsep dasar illicit enrichment atau penambahan kekayaan secara ilegal.
Ketika seorang pejabat memiliki harta lebih banyak atau tidak sesuai dengan pendapatan sahnya, maka patut dicurigai bahwa harta itu bersumber dari suap atau gratifikasi.
”
Unexplained wealth
penting untuk diatur dalam RUU Perampasan Aset, sebab akan mempermudah pembuktian dugaan korupsi,” ujar Wana.
RUU Perampasan Aset telah disepakati pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.
Keputusan itu diambil dalam rapat evaluasi Prolegnas 2025 yang digelar Baleg DPR RI dengan Menteri Hukum pada Selasa (9/9/2025).
Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, mengatakan pihaknya menargetkan RUU itu bisa rampung dibahas tahun ini.
Meski demikian, ia tetap menekankan pentingnya pembahasan yang melibatkan masyarakat secara berarti.
“Targetnya tahun ini semuanya harus dibereskan,” kata Bob saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
Menurut Bob, publik harus mengetahui isi RUU Perampasan Aset, bukan hanya judulnya.
DPR akan menjelaskan substansi RUU itu, termasuk yang menyangkut pidana pokok.
“Harus tahu seluruh publik apa isinya perampasan aset itu. Itu kalau secara makna,” ujar Bob.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Wana Alamsyah
-
/data/photo/2025/05/13/6822cf828a4c9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
RUU Perampasan Aset: Penting, tetapi Jangan Asal Jadi Nasional 12 September 2025
-
/data/photo/2025/03/11/67cfe675b1674.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
RUU Perampasan Aset Harus Atur Batas Harta Koruptor yang Boleh Dirampas Nasional 11 September 2025
RUU Perampasan Aset Harus Atur Batas Harta Koruptor yang Boleh Dirampas
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Koalisi Masyarakat Sipil menekankan soal batas jumlah harta terkait tindak pidana yang dapat dirampas dalam rancangan undang-undang (RUU) Perampasan Aset.
Sebab berdasarkan Pasal 6 draf RUU Perampasan Aset per April 2023, aset yang dapat dirampas bernilai paling sedikit Rp100.000.000 dan diancam dengan 4 tahun atau lebih.
“Batas ini penting untuk dibahas kembali untuk menyesuaikan dengan, misalnya, kondisi inflasi, nilai ekonomis, dan lain sebagainya,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah dalam keterangan tertulisnya, Kamis (11/9/2025).
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Auriga Nusantara, Institute for Criminal Justice Reform, IM57+Institute, Kaoem Telapak, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.
Mereka juga menekankan soal aturan terkait harta yang tidak dapat dijelaskan sumbernya atau
unexplained wealth order
.
Harta yang tidak dapat dijelaskan sumbernya ini, kata Wana, merupakan konsep dasar dari
illicit enrichment
atau pengayaan ilegal.
Jika seorang pejabat memiliki harta yang melebihi pendapatan dan tidak dapat dijelaskan asalnya, maka patut diduga harta tersebut adalah hasil dari suatu tindak pidana seperti suap atau gratifikasi.
”
Unexplained wealth
penting untuk diatur dalam RUU Perampasan Aset, sebab akan mempermudah pembuktian dugaan korupsi,” ujar Wana.
Wana melanjutkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memiliki instrumen Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dapat dijadikan rujukan dasar pengenaan pengayaan ilegal.
LHKPN juga dapat digunakan untuk melihat kenaikan harta dari seorang pejabat dari tahun ke tahun.
Diketahui, Badan Legislasi (Baleg) DPR telah mengusulkan agar RUU Perampasan Aset masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Ketua Baleg Bob Hasan mengungkap bahwa RUU Perampasan Aset ditargetkan rampung pada 2025.
“Targetnya tahun ini semuanya harus dibereskan,” ujar Bob, Selasa (9/9/2025).
Meski demikian, pembahasan RUU Perampasan Aset tetap harus dilakukan dengan melibatkan publik secara bermakna atau
meaningful participation
.
Dalam hal ini, ia mengartikan publik mengetahui isi RUU Perampasan Aset, bukan hanya judul RUU tersebut.
“Harus tahu seluruh publik apa isinya perampasan aset itu. Itu kalau secara makna,” ujar Bob.
Dalam pembahasannya, DPR akan menjelaskan substansi RUU Perampasan Aset, termasuk apakah pelanggaran terkait merupakan pidana pokok atau pidana asal.
“Ada pidana pokok, ada jenisnya macam-macam. Perampasan aset ini pidana apa perdata? Kan begitu,” ujar Bob.
“Nah, di situ nanti di-
meaningfulkan
, kita akan sajikan di depan, di YouTube. Terbuka, secara terbuka,” lanjut politikus Partai Gerindra tersebut.
Sebagai informasi, pemerintah sudah mengusulkan RUU Perampasan Aset ini ke DPR sejak 2012. Usulan itu dilakukan setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan kajian sejak 2008.
Hingga akhirnya pada 4 Mei 2023, pemerintah mengirim surat presiden (surpres) terkait RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana ke DPR.
Namun, hingga rapat paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 pada 30 September 2024, pembahasan RUU Perampasan Aset itu belum pernah dilakukan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Nyaris 1 Tahun, Laporan ICW soal Dugaan ‘Mark Up’ Gas Air Mata Polri Tak Ada Perkembangan
GELORA.CO – Hingga saat ini, laporan kasus dugaan korupsi pengadaan gas air mata selama tahun anggaran (TA) 2022-2023 di lingkungan Polri tak kanjung ada perkembangan di Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK).
Sehingga pada Jumat (15/8/2025) mendatangi KPK menanyakan laporan mereka sejak 2 September 2024 silam. “Kami tidak mendapatkan informasi secara jelas sudah sampai sejauh mana proses penanganan perkaranya,” kata Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW Wana Alamsyah.
ICW kini menagih perkembangan laporan tersebut menyusul penanganan aksi demonstrasi di Pati, Jawa Tengah, yang menggunakan gas air mata diduga kedaluwarsa untuk mengurai massa. “Jangan sampai kemudian proses pengadaan yang dilakukan kepolisian dari segi tata kelola ini tidak pernah diperbaiki hingga saat ini,” tegasnya.
Setidaknya, tegasnya, ada dua hal yang pihaknya nilai bermasalah di balik pengadaan gas air mata tersebut. Pertama, ada dugaan mark up berkaitan dengan pembelian 3.400 butir peluru atau unit pistol yang dibeli Polri dengan total anggaran mencapai Rp99 miliar.
“Dari Rp 99 miliar yang dikeluarkan kepolisian, berdasarkan perhitungan kami ada dugaan mark up sekitar lebih Rp20 miliar, atau 20 persen dari total anggaran yang dikelola,” katanya.
Keuda,, ICW menemukan petunjuk perusahaan pemenang pengadaan gas air mata memiliki afiliasi dengan anggota polisi. Atas hal tersebut, ICW berharap KPK serius mendalami laporan dugaan korupsi terkait pengadaan gas air mata. “Oleh karena itu, kami mendorong KPK untuk terus menjalankan proses perkaranya agar tidak diberikan ke kepolisian,” pungkasnya.
Pada 2 September 2024, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto menyatakan pihaknya akan memproses setiap laporan atau pengaduan yang masuk.
Apabila laporan yang disampaikan Aliansi Masyarakat Sipil tersebut lengkap dan telah dinyatakan layak, maka akan ditindaklanjuti ke tingkat penyelidikan.
“Bila ada pelaporan/pengaduan yang masuk maka akan dilakukan verifikasi, dan bila sudah lengkap akan ditelaah dan pengumpulan info. Bila dinyatakan layak untuk ditindaklanjuti, maka akan diproses ke tingkat penyelidikan,” jelas Tessa kepada Monitorindonesia.com.
“Dan bila belum layak, akan diminta pelapor untuk melengkapi lagi kekurangannya,” imbuhnya.
-
/data/photo/2025/08/10/6898c13f851c8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Dugaan Korupsi Haji 2025 Dilaporkan ke KPK, Menag Klaim Tak Ada Masalah Nasional
Dugaan Korupsi Haji 2025 Dilaporkan ke KPK, Menag Klaim Tak Ada Masalah
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengeklaim tidak ada masalah dalam penyelenggaraan haji 2025 yang ditangani Kementerian Agama.
Hal tersebut disampaikan Nasaruddin saat merespons laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai dugaan korupsi penyelenggaraan haji 2025 ke KPK.
“Sudah, sudah, enggak ada masalah,” ujar Nasaruddin saat ditemui di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Minggu (10/8/2025) malam.
Nasaruddin mengaku sudah memberikan klarifikasi terkait masalah ini.
Akan tetapi, saat ditanya lebih jauh mengenai apa pembelaannya, Nasaruddin tidak menjawab dan langsung pergi.
“Sudah diklarifikasi, sudah diklarifikasi,” ujar dia.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan dugaan korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji 2025 ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada Selasa (5/8/2025).
Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan, pihaknya melaporkan dua dugaan korupsi terkait penyelenggaraan haji, yaitu pertama, pelayanan Masyair, dan kedua, pengurangan spesifikasi konsumsi bagi jemaah haji.
“Pertama adalah layanan masyair atau layanan umum bagi jemaah haji dari Muzdalifah, dari Mina, dan Arofah. Kemudian, yang kedua berkaitan dengan pengurangan spesifikasi konsumsi yang diberikan kepada jemaah haji,” kata Wana.
Wana mengatakan, berdasarkan hasil investigasi ICW, diduga terjadi monopoli pasar terhadap pemilihan penyedia layanan di mana dua perusahaan dimiliki satu individu.
Dia mengatakan, hal tersebut menjadi persoalan karena di dalam Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disebutkan bahwa suatu pasar tidak boleh dimonopoli oleh satu individu.
“Berdasarkan hasil penghitungan kami, individu tersebut yang memiliki dua perusahaan itu menguasai pasar sekitar 33 persen dari layanan umum yang total jemaah hajinya sekitar 203.000 orang,” ujar dia.
Wana mengatakan, dalam pengadaan catering untuk jemaah haji, ICW menemukan tiga persoalan.
Pertama, makanan yang diberikan untuk jemaah haji tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019 terkait dengan angka kecukupan energi.
Berdasarkan Permenkes tersebut, idealnya secara umum individu membutuhkan kalori sekitar 2.100.
“Tapi, berdasarkan hasil penghitungan kami, rata-rata makanan yang diberikan oleh Kementerian Agama melalui penyedia kepada jemaah haji itu berkisar 1.715 sampai 1.765. Artinya, konsumsi yang diberikan itu tidak sesuai dengan kebutuhan gizi,” tutur dia.
Kedua, ICW menduga adanya pungutan yang dilakukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap konsumsi yang telah dialokasikan oleh pemerintah sebesar 40 Riyal.
Wana mengatakan, dari setiap makanan jemaah haji diduga terdapat pungutan sebesar 0,8 Riyal.
“Sehingga berdasarkan hasil penghitungan kami, ketika adanya pungutan, dugaan pungutan yang dilakukan oleh pegawai negeri, maka terlapor yang kami laporkan kepada KPK itu mendapatkan keuntungan sekitar Rp 50.000.000.000 (50 miliar),” kata dia.
Ketiga, ICW menemukan dugaan pengurangan spesifikasi makanan yang diterima oleh jemaah haji.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/21/687de911f32a2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Berkaca dari Kasus Tom Lembong, Eks Pimpinan KPK Khawatir Kopdes Merah Putih Dapat Dijerat Pidana Nasional
Berkaca dari Kasus Tom Lembong, Eks Pimpinan KPK Khawatir Kopdes Merah Putih Dapat Dijerat Pidana
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Saut Situmorang
khawatir program
Koperasi Desa Merah Putih
dapat dijerat pidana, menyusul vonis 4,5 tahun untuk
Tom Lembong
dalam kasus dugaan korupsi importasi gula.
“Hari ini kan lagi rame. Hari ini diresmikan Koperasi (Desa/Kelurahan) Merah Putih. Hari ini diresmikan. Itu (Presiden) Prabowo bisa dihukum sama 3 hakim (yang memvonis Tom) ini loh, nanti,” kata Saut Situmorang dalam program
Gaspol! Kompas.com
, dikutip Sabtu (26/7/2025).
Pasalnya, vonis itu didapat Tom lantaran majelis hakim menilai mantan Menteri Perdagangan tersebut menganut sistem ekonomi kapitalis dalam mengimpor gula, bukan Pancasila.
Sementara, Saut menyebutkan bahwa program koperasi lekat dengan sistem ekonomi Sosialis, yang sama-sama bukan Pancasila.
Ia tidak memungkiri, tujuan dibentuknya Koperasi Desa Merah Putih sangat baik, yakni agar terjadi pemerataan ekonomi di desa-desa.
Namun, vonis hakim dalam kasus Tom Lembong justru membuktikan bahwa menganut sistem ekonomi tertentu dalam pengambilan kebijakan dapat dijerat pidana.
“Lo bicara koperasi, lo bicara sosialis. Ini kan Lembong ini dikenakan karena kapitalis, kan. Kalau kapitalis bisa dihukum, sosialis bisa dihukum. Hati-hati, Prabowo bakal dihukum sama (tiga) orang (hakim) ini,” ucap Saut.
“Karena dia bilang kalau kapitalis bisa dihukum, sosialis bisa, dong. Jadi hati-hati nih di Koperasi Merah Putih,” imbuh dia.
Karena hal itu pula, ia menilai vonis majelis hakim terhadap Tom sangat tidak beralasan.
Ia tidak menemukan adanya
mens rea
atau niat jahat Tom untuk memperkaya diri sendiri saat mengimpor gula.
Saut pun menilai para hakim yang mengadili Tom perlu dilaporkan kepada Mahkamah Kehormatan Hakim karena dianggap melakukan penilaian subjektif.
“Tiga orang ini mesti dibawa ke Mahkamah Kehormatan Hakim sebenarnya. Bisa dibawa mereka ke sana. Itu bisa dibahas. Yang menurut saya, kalau kita bicara pertimbangan-pertimbangan kapitalis dihukum, sosialis nggak dihukum, itu menjadi aneh,” kata Saut.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dihukum 4 tahun dan 6 bulan penjara dalam kasus dugaan korupsi importasi gula.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyebut, Tom Lembong terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa, Thomas Trikasih Lembong, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika, membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025) lalu.
Hakim menilai Tom Lembong mengedepankan ekonomi kapitalis dalam kebijakan impor gulanya, bukan
ekonomi Pancasila
.
Argumentasi soal “ekonomi kapitalis” ini menjadi salah satu hal yang memberatkan hukuman Tom Lembong.
Di sisi lain, argumentasi ini mendapat kritikan dari banyak pihak.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD misalnya, menilai putusan itu keliru.
“Hakim juga bercanda lucu bahwa salah satu yang memberatkan Tom Lembong adalah membuat kebijakan yang kapitalistik. Tampaknya hakim tak paham bedanya ide dan norma,” kata Mahfud kepada
Kompas.com
, Selasa (22/7/2025).
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah juga mengungkapkan belum pernah menemukan putusan pengadilan seperti yang dialami Tom.
Wana menyebut, putusan hakim terkait perbuatan Tom yang menjalankan ekonomi kapitalis perlu didiskusikan di ruang publik.
“Paling tidak sampai saat ini belum pernah menemukan putusan yang semacam itu. Jadi rasanya ini penting juga untuk dijadikan sebagai diskursus publik mengenai kerugian yang mengakibatkan untuk kapitalis,” kata Wana di kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Rabu (23/7/2025).Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
-

Kronologi Megakorupsi 1MDB yang Disebut Bakal Mirip Danantara yang Diresmikan Prabowo Hari Ini
PIKIRAN RAKYAT – Para pengamat mengkhawatirkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dapat mengalami nasib serupa dengan skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di Malaysia, jika tidak dikelola dengan transparansi dan pengawasan yang ketat.
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengumumkan bahwa sisa anggaran sebesar US$20 miliar atau sekitar Rp325 triliun dari penghematan anggaran akan dialokasikan ke Danantara.
“(Hasil efisiensi sebesar US$20 miliar) ini akan kita serahkan ke Danantara untuk diinvestasikan,” ujar Prabowo.
Pernyataan ini disampaikan dua minggu setelah pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang memunculkan kekhawatiran terkait independensi Danantara.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, menyoroti adanya potensi korupsi dalam pengelolaan Danantara. Menurutnya, klausul dalam UU BUMN yang mengatur bahwa lembaga auditor hanya dapat memeriksa Danantara setelah mendapat persetujuan dari DPR berpotensi menghambat transparansi dan pengawasan independen.
“Patut diduga ada upaya memproteksi Danantara agar tidak disentuh oleh lembaga penegak hukum dan lembaga auditor,” ujar Wana saat dihubungi BBC News Indonesia pada Selasa 18 Februari 2025.
Ia menambahkan bahwa kondisi tersebut dapat menjadikan Danantara sebagai objek yang rawan dikorupsi untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.
Hasil pemantauan ICW dari tahun 2016 hingga 2021 menunjukkan bahwa korupsi di lingkungan BUMN masih marak terjadi. Dalam periode tersebut, tercatat sekitar 119 kasus korupsi dengan total kerugian negara mencapai lebih dari Rp40 triliun.
Menurut Wana, temuan ini menandakan bahwa tata kelola di BUMN masih belum optimal, sehingga pengawasan terhadap Danantara menjadi sangat penting agar tidak bernasib serupa dengan skandal 1MDB yang terjadi di Malaysia.
Bagaimana kronologi kasus korupsi 1MDB yang menyeret mantan perdana Menteri Malaysia Najib Razak? Simak selengkapnya.
Kronologi Megakorupsi 1MDB di Malayia
Skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB) menjadi salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Malaysia. Dengan dugaan penyalahgunaan dana mencapai US$4,5 miliar, kasus ini telah menyeret sejumlah nama besar, termasuk mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak. Berikut adalah kronologi lengkap dari kasus ini.
2009: Pembentukan 1MDB
Pada tahun 2009, Perdana Menteri Najib Razak membentuk 1MDB sebagai dana investasi pemerintah yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Malaysia. Dana ini dikembangkan dengan bantuan pakar keuangan Malaysia, Low Taek Jho atau Jho Low, yang kemudian memiliki peran besar dalam pengelolaan keuangan 1MDB.
2013-2014: Penggalangan Dana dan Penyalahgunaan
Antara 2009 hingga 2013, 1MDB berhasil mengumpulkan miliaran dolar melalui surat utang dan kemitraan investasi. Namun, Departemen Kehakiman AS mencatat bahwa dana tersebut tidak sepenuhnya digunakan untuk proyek pembangunan. Sebaliknya, sebagian besar dialihkan ke rekening bank di berbagai negara dengan skema perusahaan cangkang.
2015: Terungkapnya Skandal
Pada Agustus 2015, harian Wall Street Journal menerbitkan laporan yang menyebutkan bahwa dana sebesar US$700 juta dari 1MDB ditemukan dalam rekening pribadi Najib Razak. Hal ini memicu penyelidikan dari berbagai lembaga internasional, termasuk Departemen Kehakiman AS, Swiss, dan Singapura.
2016: Penyitaan Aset dan Langkah Hukum
Sejak Juli 2016, otoritas AS mulai mengajukan tuntutan hukum untuk menyita aset yang terkait dengan dana 1MDB, termasuk properti mewah di New York, Los Angeles, dan London. Beberapa aset lain yang diduga dibeli dengan dana ilegal ini adalah pesawat pribadi, lukisan Picasso yang diberikan kepada Leonardo DiCaprio, serta perhiasan yang diberikan kepada model Miranda Kerr.
2017-2018: Dampak Politik dan Pemilu Malaysia
Skandal 1MDB menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan kekalahan Najib Razak dalam pemilu Malaysia pada Mei 2018. Mahathir Mohamad, yang sebelumnya keluar dari koalisi pemerintah, kembali mencalonkan diri sebagai perdana menteri dan berjanji untuk menyelidiki kasus ini.
2018-2020: Penangkapan dan Persidangan
Setelah kalah dalam pemilu, Najib Razak dan beberapa rekannya, termasuk Jho Low, menghadapi tuntutan hukum atas keterlibatan mereka dalam skandal ini. Pengadilan Malaysia kemudian menjatuhkan hukuman penjara terhadap Najib atas berbagai kasus korupsi yang berkaitan dengan 1MDB.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk memastikan bahwa badan investasi seperti Danantara dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas yang ketat. Dengan sistem pengawasan yang kuat, skandal seperti 1MDB dapat dicegah agar tidak terulang di masa depan.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
