Tag: Vladimir Putin

  • Strategi Trump dan Dampaknya, Apakah Eropa Siap Mandiri Secara Militer?

    Strategi Trump dan Dampaknya, Apakah Eropa Siap Mandiri Secara Militer?

    Jakarta

    Taktik Donald Trump dalam menggunakan ancaman untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dalam bisnis dan politik semakin menjadi kebiasaan di kalangan pemimpin politik global. Namun, laporan mengenai kesepakatan di balik layar antara Presiden AS dan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mengakhiri perang di Ukraina telah mengejutkan banyak pemimpin dunia, terutama di Eropa. Mereka khawatir Trump akan menarik perlindungan militer AS dari benua itu.

    Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menanggapi kekhawatiran ini dengan mengumumkan peningkatan anggaran pertahanan Inggris menjadi 2,5% dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2027, naik dari 2,3% saat ini. Ia menekankan bahwa investasi ini harus diikuti dengan peningkatan pengeluaran pertahanan di tahun-tahun mendatang. Langkah ini mencerminkan komitmen Inggris untuk “mengamankan perdamaian yang adil dan abadi di Ukraina” serta memperkuat keamanan kolektif Eropa.

    Di Jerman, para pemimpin politik masih berupaya merumuskan respons terhadap seruan Starmer untuk membentuk “Koalisi Negara yang Bersedia” di Eropa guna mengambil alih pertahanan benua tersebut. Setelah pemilihan umum baru-baru ini, Friedrich Merz, pemimpin aliansi partai konservatif CDU/CSU, keluar sebagai pemenang dan tengah bernegosiasi dengan Partai Sosial Demokrat yang dipimpin Kanselir Olaf Scholz, yang akan segera lengser, untuk membentuk pemerintahan baru. Salah satu isu utama dalam negosiasi ini adalah pelonggaran aturan pinjaman Jerman guna membiayai peningkatan anggaran pertahanan.

    Seberapa serius ancaman Rusia?

    Selama beberapa dekade, anggota NATO di Eropa mengandalkan Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi dan militer terbesar dalam aliansi ini untuk memikul beban utama pertahanan. Kini, para pemimpin Eropa mulai mempertimbangkan kemungkinan runtuhnya NATO jika Trump menarik dukungan AS.

    Rafael Loss, pakar pertahanan dan keamanan dari Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri (ECFR), mengatakan kepada DW bahwa tidak ada risiko langsung dari “pasukan Rusia yang berdiri di luar Berlin besok.” Namun, ia memperingatkan bahwa Rusia berupaya “memecah belah NATO dan Uni Eropa guna memperoleh dominasi militer di Eropa.”

    ADVERTISEMENT

    `;
    var mgScript = document.createElement(“script”);
    mgScript.innerHTML = `(function(w,q){w[q]=w[q]||[];w[q].push([“_mgc.load”])})(window,”_mgq”);`;
    adSlot.appendChild(mgScript);
    },
    function loadCreativeA() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    adSlot.innerHTML = “;

    console.log(“πŸ” Checking googletag:”, typeof googletag !== “undefined” ? “βœ… Defined” : “❌ Undefined”);

    if (typeof googletag !== “undefined” && googletag.apiReady) {
    console.log(“βœ… Googletag ready. Displaying ad…”);
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    } else {
    console.log(“⚠️ Googletag not loaded. Loading GPT script…”);
    var gptScript = document.createElement(“script”);
    gptScript.src = “https://securepubads.g.doubleclick.net/tag/js/gpt.js”;
    gptScript.async = true;
    gptScript.onload = function () {
    console.log(“βœ… GPT script loaded!”);
    window.googletag = window.googletag || { cmd: [] };
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.defineSlot(‘/4905536/detik_desktop/news/static_detail’, [[400, 250], [1, 1], [300, 250]], ‘div-gpt-ad-1708418866690-0’).addService(googletag.pubads());
    googletag.enableServices();
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    };
    document.body.appendChild(gptScript);
    }
    }
    ];

    var currentAdIndex = 0;
    var refreshInterval = null;
    var visibilityStartTime = null;
    var viewTimeThreshold = 30000;

    function refreshAd() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;

    currentAdIndex = (currentAdIndex + 1) % ads.length;
    adSlot.innerHTML = “”; // Clear previous ad content
    ads[currentAdIndex](); // Load the appropriate ad

    console.log(“πŸ”„ Ad refreshed:”, currentAdIndex === 0 ? “Creative B” : “Creative A”);
    }

    var observer = new IntersectionObserver(function(entries) {
    entries.forEach(function(entry) {
    if (entry.isIntersecting) {
    if (!visibilityStartTime) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    console.log(“πŸ‘€ Iklan mulai terlihat, menunggu 30 detik…”);

    setTimeout(function () {
    if (visibilityStartTime && (new Date().getTime() – visibilityStartTime >= viewTimeThreshold)) {
    console.log(“βœ… Iklan terlihat 30 detik! Memulai refresh…”);
    refreshAd();
    if (!refreshInterval) {
    refreshInterval = setInterval(refreshAd, 30000);
    }
    }
    }, viewTimeThreshold);
    }
    } else {
    console.log(“❌ Iklan keluar dari layar, reset timer.”);
    visibilityStartTime = null;
    if (refreshInterval) {
    clearInterval(refreshInterval);
    refreshInterval = null;
    }
    }
    });
    }, { threshold: 0.5 });

    document.addEventListener(“DOMContentLoaded”, function() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (adSlot) {
    ads[currentAdIndex](); // Load the first ad
    observer.observe(adSlot);
    }
    });

    Lembaga pemikir Bruegel yang berbasis di Brussels bahkan menilai bahwa serangan Rusia terhadap negara anggota Uni Eropa adalah kemungkinan yang nyata.

    “Penilaian oleh NATO, Jerman, Polandia, Denmark, dan negara-negara Baltik menempatkan Rusia siap untuk menyerang dalam waktu tiga hingga sepuluh tahun,” kata lembaga pemikir itu dalam sebuah analisis baru-baru ini.

    Sebagai respons terhadap perang Rusia di Ukraina, Jerman membentuk dana khusus sebesar €100 miliar ($103 miliar) untuk memodernisasi angkatan bersenjatanya yang telah lama terabaikan. Meski dana tersebut belum sepenuhnya dibelanjakan, alokasinya sudah ditetapkan. Namun, peningkatan anggaran pertahanan reguler Jerman belum terjadi secara signifikan.

    Tantangan dalam menggantikan militer AS

    Para ekonom Bruegel menghitung bahwa bantuan militer AS untuk Ukraina pada 2024 mencapai €20 miliar (sekitar Rp348,4 triliun) dari total €42 miliar (sekiar Rp730,5 triliun). “Untuk menggantikan AS, Uni Eropa hanya perlu mengalokasikan 0,12% dari PDB-nya, angka ini dinilai masih terjangkau,” ujar mereka dalam analisisnya.

    Bruegel juga menguraikan kebutuhan Eropa agar tetap mampu mempertahankan diri jika AS menarik diri dari NATO. Selain menggantikan brigade tempur, kapal, dan pesawat tempur AS, Eropa juga harus meningkatkan kapasitas di bidang intelijen, komunikasi, dan infrastruktur komando untuk mengerahkan unit militer yang besar dan kompleks.

    Kapabilitas militer Jerman, misalnya, masih jauh dari memadai. Janji Berlin untuk menyediakan dua divisi bagi NATO, dengan jumlah sekitar 40.000 tentara, menghadapi kendala besar. Menurut Bruegel, kontribusi Jerman yang lebih realistis, mengingat ukuran negaranya, seharusnya mendekati 100.000 tentara.

    Meskipun akuisisi perangkat keras militer terutama merupakan “permainan angka,” Bruegel menekankan bahwa membangun “kapabilitas lunak,” seperti struktur operasional dan pengalaman militer, jauh lebih sulit. Proses ini bisa memakan biaya ratusan miliar euro dan berlangsung selama bertahun-tahun.

    Jack Allen-Reynolds, wakil kepala ekonom untuk zona euro di Capital Economics, memperkirakan bahwa belanja pertahanan Eropa perlu ditingkatkan secara signifikan. Ia memperkirakan tambahan €250 miliar (sekitar Rp4.340 triliun) per tahun akan diperlukan dalam jangka pendek, yang akan meningkatkan anggaran pertahanan Uni Eropa menjadi sekitar 3,5% dari PDB.

    Bagaimana cara membiayai persenjataan Eropa?

    Allen-Reynolds mengusulkan beberapa opsi pendanaan untuk peningkatan belanja militer ini. Salah satu caranya adalah dengan mengalihkan fungsi Bank Investasi Eropa (EIB) atau mendirikan “bank persenjataan” baru guna mendukung sektor pertahanan tanpa membebani anggaran nasional secara langsung.

    Alternatif lain adalah melalui EIB, yang dapat memberikan pinjaman kepada perusahaan pertahanan atau menerbitkan obligasi khusus untuk proyek militer. Pendekatan ini tidak secara langsung membiayai personel atau peralatan militer, tetapi mendukung produsen senjata Eropa dalam meningkatkan produksi.

    “Opsi termudah,” menurut Allen-Reynolds, adalah jika Uni Eropa meluncurkan program pinjaman bersama yang mirip dengan dana pemulihan pandemi NextGenerationEU senilai €750 miliar (sekitar Rp13.000 triliun). Program ini akan memberikan akses murah ke pasar keuangan berkat peringkat kredit AAA Uni Eropa dan memungkinkan negara-negara dengan keterbatasan fiskal untuk menghindari peminjaman dari anggaran nasional mereka sendiri.

    Namun, gagasan penerbitan Eurobonds seperti ini telah lama ditentang oleh semua partai politik utama di Jerman, termasuk Merz.

    Dampak terhadap ekonomi zona euro?

    Dari perspektif makroekonomi, Bruegel berpendapat bahwa peningkatan belanja pertahanan berbasis utang bahkan dapat mendorong aktivitas ekonomi Eropa di tengah ancaman perang dagang yang berpotensi melemahkan permintaan eksternal.

    Ancaman Trump untuk memberlakukan tarif tinggi pada mobil-mobil Eropa telah menyebabkan para investor menjual saham industri otomotif dan mengalihkan investasinya ke sektor pertahanan, yang dianggap memiliki prospek pertumbuhan lebih baik.

    Rafael Loss dari ECFR menambahkan bahwa ekspansi militer Jerman dapat membawa dampak positif bagi ekonomi nasional serta membantu mengatasi perlambatan pertumbuhan. “Jika pekerjaan di rantai pasok otomotif dapat dialihkan ke produksi alat pertahanan, ini bisa memberikan manfaat ekonomi,” ujarnya, seraya mengingatkan agar tidak melebih-lebihkan dampaknya secara keseluruhan.

    Artikel ini diadpatasi dari DW dalam bahasa Inggris.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Kenapa Trump Musuhi Eropa dan Sekutu Lama?

    Kenapa Trump Musuhi Eropa dan Sekutu Lama?

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat secara terang-terangan melecehkan sekutu lama di Eropa dan Ukraina, ketika pada saat yang sama melunak kepada Rusia. Skenario yang terasa mustahil di masa lalu itu kini menjadi tontonan siaran langsung di bawah pemerintahan Donald Trump di Gedung Putih.

    Lantas, mau dibawa ke mana arah kebijakan luar negeri AS di masa depan?

    Amerika Serikat sejatinya telah berjanji melindungi Ukraina, sejak Kyiv mengembalikan senjata nuklir kepada Rusia pada Desember tiga puluh tahun silam, dengan janji mendapat jaminan keamanan dari Moskow dan Washington.

    Pun sejak invasi Rusia tahun 2021, AS menjadi pemasok terbesar perlengkapan perang bagi Ukraina. Namun usai percekcokan terbuka antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenksyy di Gedung Putih, Jumat (28/2) silam, AS menghentikan semua pengiriman senjata ke sekutu dekatnya itu.

    Sikap Trump mengingkari perjanjian lama dan solidaritas transatlantik sebabnya diyakini dapat menggeser keseimbangan geopolitik global. Bagi Eropa dan Ukraina, ketidakpastian ini menuntut kesiapan untuk menghadapi kemungkinan bahwa Washington tak lagi bisa diandalkan sebagai sekutu utama.

    ADVERTISEMENT

    `;
    var mgScript = document.createElement(“script”);
    mgScript.innerHTML = `(function(w,q){w[q]=w[q]||[];w[q].push([“_mgc.load”])})(window,”_mgq”);`;
    adSlot.appendChild(mgScript);
    },
    function loadCreativeA() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    adSlot.innerHTML = “;

    console.log(“πŸ” Checking googletag:”, typeof googletag !== “undefined” ? “βœ… Defined” : “❌ Undefined”);

    if (typeof googletag !== “undefined” && googletag.apiReady) {
    console.log(“βœ… Googletag ready. Displaying ad…”);
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    } else {
    console.log(“⚠️ Googletag not loaded. Loading GPT script…”);
    var gptScript = document.createElement(“script”);
    gptScript.src = “https://securepubads.g.doubleclick.net/tag/js/gpt.js”;
    gptScript.async = true;
    gptScript.onload = function () {
    console.log(“βœ… GPT script loaded!”);
    window.googletag = window.googletag || { cmd: [] };
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.defineSlot(‘/4905536/detik_desktop/news/static_detail’, [[400, 250], [1, 1], [300, 250]], ‘div-gpt-ad-1708418866690-0’).addService(googletag.pubads());
    googletag.enableServices();
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    };
    document.body.appendChild(gptScript);
    }
    }
    ];

    var currentAdIndex = 0;
    var refreshInterval = null;
    var visibilityStartTime = null;
    var viewTimeThreshold = 30000;

    function refreshAd() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;

    currentAdIndex = (currentAdIndex + 1) % ads.length;
    adSlot.innerHTML = “”; // Clear previous ad content
    ads[currentAdIndex](); // Load the appropriate ad

    console.log(“πŸ”„ Ad refreshed:”, currentAdIndex === 0 ? “Creative B” : “Creative A”);
    }

    var observer = new IntersectionObserver(function(entries) {
    entries.forEach(function(entry) {
    if (entry.isIntersecting) {
    if (!visibilityStartTime) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    console.log(“πŸ‘€ Iklan mulai terlihat, menunggu 30 detik…”);

    setTimeout(function () {
    if (visibilityStartTime && (new Date().getTime() – visibilityStartTime >= viewTimeThreshold)) {
    console.log(“βœ… Iklan terlihat 30 detik! Memulai refresh…”);
    refreshAd();
    if (!refreshInterval) {
    refreshInterval = setInterval(refreshAd, 30000);
    }
    }
    }, viewTimeThreshold);
    }
    } else {
    console.log(“❌ Iklan keluar dari layar, reset timer.”);
    visibilityStartTime = null;
    if (refreshInterval) {
    clearInterval(refreshInterval);
    refreshInterval = null;
    }
    }
    });
    }, { threshold: 0.5 });

    document.addEventListener(“DOMContentLoaded”, function() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (adSlot) {
    ads[currentAdIndex](); // Load the first ad
    observer.observe(adSlot);
    }
    });

    Enam pekan masa jabatan Trump kian jelas mengindikaskan arah kebijakan diplomasi untuk empat tahun ke depan. Di bawah pemerintahannya, AS bersedia mengorbankan Ukraina demi mendekat kepada Rusia. Alih-alih melibatkan sekutu lama, Trump justru mengambil sikap permusuhan terhadap Eropa.

    “Uni Eropa diciptakan untuk mengacaukan AS,” kata Trump pada Rabu (26/2) lalu. Pada hari Jumat, dia dan wakilnya JD Vance mendamprat Volodymyr Zelensky dalam siaran langsung di televisi. Padahal, presiden Ukraina sebenarnya datang untuk menyegel perjanjian bahan mentah seperti yang diminta AS. Ketika Zelensky menuntut jaminan keamanan yang lebih solid, dia dianggap “tidak berterimakasih” dan “menghina rakyat AS” oleh Trump dan Vance.

    Trump akhiri aliansi Barat?

    Sejarawan Jerman Norbert Frei, yang mengepalai Pusat Jena untuk Sejarah Abad ke-20 di Universitas Jena, melihat ini sebagai akhir dari tatanan dunia setelah Perang Dunia Kedua dan titik balik sejarah dalam skala runtuhnya Uni Soviet.

    “Tujuannya jelas, yakni dominasi tiga serangkai global dengan Donald Trump, Xi Jinping, dan Vladimir Putin,” kata Frei di stasiun radio publik Deutschlandfunk. “Yang tidak mau diakui Trump sekarang adalah bahwa AS sebagai adidaya sedang merosot. Dan Trump sedang menyingkirkan satu-satunya sekutu sejati, yaitu Eropa. Dan Eropa ini sekarang benar-benar berdiri sendiri.”

    Sebab itu pula, Eropa melangsungkan konsultasi diplomatik untuk menemukan jawaban bersama, yang pertama di London, kemudian pada pertemuan puncak khusus Uni Eropa di Brussels. “Saya berharap mereka menyadari bahwa kita tengah menyaksikan perubahan arah yang jelas dalam politik dunia,” kata Mikhail Alexseev, ilmuwan politik di Universitas Negeri San Diego di California, menjelang diskusi tersebut.

    “Insiden di Ruang Oval bukan sekadar pertikaian antara dua pemimpin. Ini menandakan perubahan besar orientasi AS dari Eropa. Kita tidak bisa lagi menganggap remeh jaminan keamanan AS, tidak hanya untuk Ukraina tetapi mungkin juga untuk NATO,” kata Alexseev kepada DW.

    “Keretakan besar tidak dapat dikenali”

    Setahun yang lalu, Trump meminta Eropa untuk menginvestasikan hingga lima persen anggaran belanja nasional untuk pertahanan di masa depan.

    Laura von Daniels, kepala kelompok penelitian Amerika di Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan, SWP, di Berlin, juga menunjukkan ketidakpastian besar di bidang keamanan. Namun begitu, dia juga menepis dugaan keretakan besar dalam hubungan transatlantik.

    “Saya yakin ini akan menjadi situasi yang sulit, dan Trump siap merugikan kepentingan Uni Eropa. Baik dalam hal kebijakan keamanan maupun kebijakan ekonomi, misalnya dengan tarif hukuman. Namun, dia juga tidak berkepentingan untuk menceraikan Eropa dalam semalam.”

    Von Daniels menunjuk pada rencana kebijakan ekonomi Trump, dia mengincar Eropa sebagai pasar untuk menjual gas alam cair, LNG. Oleh karena itu, tekanan ekonomi kemungkinan akan terus meningkat. “Tarif baja dan aluminium akan diberlakukan pada 12 Maret,” kata von Daniels. Pada musim semi dan panas, Eropa harus menghadapi tarif lebih besar – misalnya pada mobil.

    Dengan langkah ini, Trump ingin menyeimbangkan neraca perdagangan antara UE dan AS. Menurut data AS, pada tahun 2024 AS telah membeli barang dan jasa dari Eropa senilai hampir satu triliun euro lebih banyak daripada sebaliknya.

    Secara keseluruhan, hubungan transatlantik cukup berguna bagi Trump, kata pakar SWP: “Pertanyaannya tentu saja dibenarkan apakah dia akan terus mengidentifikasikan diri sebagai aliansi Barat.”

    Gabriel: Trump Ingin Melemahkan Eropa

    Mantan Menteri Luar Negeri Jerman, Sigmar Gabriel, menilai pemerintahan AS di bawah Donald Trump tidak lagi menganggap Eropa sebagai mitra strategis. Dalam wawancara dengan harian Augsburger Allgemeine, Gabriel menuduh Trump tidak memahami atau menghargai Eropa.

    “Pandangan dunianya bertolak belakang dengan visi kerja sama internasional yang dianut Eropa. Saya yakin dia ingin melemahkan atau bahkan menghancurkan Eropa, karena kita sebenarnya cukup kuat jika bersatu dan itu mengganggunya,” ujar Gabriel.

    “Yalta 2.0”: Trump dan Putin Atur Ulang Dunia?

    Gabriel juga menyoroti rencana pembicaraan antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin mengenai kemungkinan mengakhiri perang di Ukraina. Dia membandingkan situasi ini dengan Konferensi Yalta 1945, ketika AS, Uni Soviet, dan Inggris membagi wilayah pengaruh di Eropa usai Perang Dunia II.

    “Trump membayangkan semacam ‘Yalta 2.0’, di mana para ‘pemimpin kuat’ dunia membagi wilayah kekuasaan mereka, sementara negara-negara kecil harus mencari cara untuk bertahan hidup,” katanya.

    Pengamat politik dari Yayasan Sains dan Politik, SWP, Laura von Daniels, juga menilai bahwa Trump melihat Ukraina sebagai penghalang utama dalam upayanya menjalin kesepakatan langsung dengan Putin. Insiden di Gedung Oval pada Jumat lalu, kata von Daniels, memiliki karakteristik yang mirip dengan kepemimpinan otoriter.

    Tanpa AS, Rusia Bisa Menang?

    Sementara itu, Institute for the Study of War di Washington memperingatkan bahwa penghentian bantuan AS untuk Ukraina dapat meningkatkan kemungkinan kemenangan Rusia. Jika ini terjadi, Putin bisa merasa semakin percaya diri untuk memperluas pengaruhnya ke negara-negara bekas Uni Soviet lainnya, termasuk anggota Uni Eropa dan NATO seperti Estonia, Latvia, dan Lituania.

    Di sisi lain, jika AS mundur dari konflik ini, dampaknya bisa lebih luas: Washington akan kehilangan pengaruh global, sementara Rusia semakin mengukuhkan dominasinya di kawasan.

    Artikel diadaptasi dari DW Bahasa Jerman

    Tonton juga Video Geramnya Trump Gegara Zelensky Bilang Perang Ukraina Bakal Panjang

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Analis Militer Israel: Trump Pimpin Koalisi Preman, Netanyahu Potensial Dikadali – Halaman all

    Analis Militer Israel: Trump Pimpin Koalisi Preman, Netanyahu Potensial Dikadali – Halaman all

    Analis Militer Israel: Trump Pimpin Koalisi Preman, Netanyahu Potensial Dikadali
    Β 
    TRIBUNNEWS.COM – Israel saat ini bisa jadi tengah dihinggapi euforia dan kepercayaan diri tinggi menghadapi berbagai front peperangan seiring dukungan penuh dari Amerika Serikat (AS).

    Namun, analis militer Israel, Nahum Barnea, mengingatkan, Israel, khususnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, potensial terperangkap oleh sosok yang sejauh ini dia sanjung-sanjung, Presiden AS, Donald Trump.

    Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di media Israel,Β Yedioth Ahronoth, Barnea menggambarkan Donald Trump sebagai pemimpin “koalisi preman” atau “aliansi penjahat”.

    Menurutnya, koalisi para preman ini terdiri dari Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping.

    Barnea beralasan, ketiga sosok pemimpin negara kaya ini berupaya untuk, “Menggambar ulang lingkup pengaruh global menurut visi yang didasarkan pada kekuasaan dan ekspansi, jauh dari nilai-nilai demokrasi tradisional.”

    Sayangnya, kata Barnea, pemerintah Israel kini mendapati dirinya menjadi bagian dari aliansi ini.

    “Israel menjadi bagian dari koalisi preman ini karena diuntungkan oleh pendekatan yang dilakukan Trump dalam mengelola politik internasional, tetapi Barnea juga memperingatkan bahwa Israel mungkin dikhianati oleh perilaku Trump yang tidak menentu,” tulisΒ Khaberni, mengulas analisis Barnea di Yedioth Ahronoth, dikutip Rabu (5/3/2025).

    ZELENSKY DIUSIR – Tangkapan layar YouTube The White House menunjukkan momen di mana Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden AS Donald Trump terlibat adu mulut di Ruang Oval Gedung Putih, Jumat (28/2/2025). Setelah terjadi adu mulut itu, Zelensky ‘diusir’ oleh Trump untuk segera meninggalkan Gedung Putih. (Tangkapan Layar YouTube The White House)

    Trump dan Aliansi Kekuasaan, Insiden Penghinaan Zelensky

    Barnea mengatakan kalau apa yang terjadi di Amerika Serikat sejak pemilu terakhir adalah “revolusi” yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam politik Amerika.

    Hal itu, kata dia, karena Trump sedang mengatur ulang prioritas, nilai-nilai, dan kebijakan, melewati aturan tradisional dalam hubungan dalam dan luar negeri.

    Trump yang mengusung tagline ‘Make America Great Again’, digambarkan menabrak semua aturan dan etika dalam pemerintahan baik di lingkup nasional maupun internasional.

    “Barnea menunjukkan, lembaga politik Amerika dan juga masyarakat internasional berada dalam keadaan terguncang karena pendekatan (pola dan cara) Trump yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata ulasan tersebut.

    Sang analis militer mengemukakan dua teori untuk menjelaskan perilaku presiden AS tersebut saat ini.

    “Sebagian percaya bahwa gerakannya (Trump) yang keras hanyalah taktik negosiasi untuk mendapatkan kesepakatan yang lebih baik, sementara yang lain percaya bahwa ia (Trump) sedang membawa Amerika dan dunia menuju bencana, dan mungkin menuju perang dunia ketiga,” kata Barnea dari ulasan tersebut.

    Barnea mencontohkan pertemuan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dengan Trump di Gedung Putih, yang dianggapnya sebagai penghinaan yang disengaja.

    Menurut CNN, ketika Trump menyambut Zelensky keluar dari mobilnya dengan mengenakan seragam militernya yang biasa presiden Ukraina itu kenakan, Trump dengan sinis berkomentar kepada wartawan, “Lihat dia, dia datang dengan menyamar.”

    “Tidak berhenti di situ, Zelensky pun ditanyai pertanyaan-pertanyaan yang mengejek tentang pakaiannya, kemudian ia dihina oleh Trump dan wakilnya, JD Vance, sebelum ia diusir dari Gedung Putih, dan tiba-tiba dikeluarkan dari jamuan makan siang yang dijadwalkan,” ulas Barnea.

    Berdasarkan dua teori yang diajukannya, analis militer itu mencoba menjelaskan konsekuensi dari posisi Trump terhadap Zelensky, dengan mengatakan, “Bagi sebagian orang, reaksi presiden Ukraina – yang dengan cepat mengeluarkan pernyataan menyanjung Trump dan menyusun rencana gencatan senjata baru – merupakan bukti bahwa semua itu hanyalah taktik negosiasi.”

    “Namun bagi yang lain, episode itu merupakan tanda jelas bahwa Trump mengkhianati sekutu tradisionalnya, yang menimbulkan kekhawatiran di Eropa dan kegembiraan di Moskow,” kata Barnea.

    Selama ini, AS dan Eropa, khususnya NATO, dianggap sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan, hal yang kini penuh keraguan atas metode yang dilakukan Trump dalam memimpin AS.

    Guna memperjelas betapa hipokritnya AS di bawah kepemimpinan Trump saat ini, Barnea menunjukkan kalau miliarder Elon Musk -sosok pendukung utama Trump- mengunggah sebuah tweet yang menyerukan pembubaran NATO, dengan bertanya, β€œKetika Amerika dan Rusia sepakat, siapa yang butuh NATO?”

    Barnea yakin bahwa cara Trump memperlakukan Zelensky menyampaikan pesan yang jelas kepada sekutu Washington, bahwa: “Dukungan Amerika tidak terjamin, dan bisa menguap kapan saja.”

    Barnea menjelaskan bahwa perilaku ini tidak dapat dipisahkan dari pendekatan Trump dalam mengelola kebijakan luar negeri AS.

    “Karena ia (Trump) berupaya memaksakan dirinya sebagai poros utama dalam menentukan masa depan aliansi internasional,” kata Barnea.

    PASUKAN ISRAEL – Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English pada Selasa (18/2/2025) menunjukkan pasukan israel berada di pos di Lebanon Selatan pada 15 Februari 2025. Juru bicara militer Israel, Letnan Kolonel Nadav Shoshani pada hari Senin (17/2/2025) mengatakan bahwa pihaknya tidak akan menarik pasukan dari 5 pos di Lebanon Selatan. (Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English)

    Israel Bagian dari “Koalisi Preman”

    Barnea mengadopsi teori kalau Trump berusaha membentuk “koalisi preman’ yang mencakup Amerika Serikat, Rusia, dan Cina, di mana negara-negara adidaya tersebut membagi wilayah pengaruh di dunia menurut persamaan kekuatan dan bukan hukum internasional.

    Menurut visi ini, menurut Barnea, β€œPutin akan mendapatkan Ukraina dan mungkin negara-negara Baltik, presiden Tiongkok akan menginvasi Taiwan, sementara Trump mungkin berusaha menguasai Greenland.”

    Ia juga meramalkan kalau Uni Eropa β€œakan menyusut atau runtuh, dan partai-partai sayap kanan akan mengambil alih Eropa, sehingga memudahkan Trump dan Putin untuk berbagi kendali atasnya, sebuah skenario yang menakutkan bagi negara-negara seperti Jerman dan Prancis yang masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip tradisional Uni Eropa.”

    Barnea yakin kalau Israel dapat dengan mudah berintegrasi ke dalam “dunia baru” ini, dengan mengatakan, “Trump menghormati kekuasaan (kekuatan), yang saat ini berada di tangan Israel, dan menghormati kendali atas wilayah, yang juga dikuasainya. Ia juga membenci nilai-nilai demokrasi tradisional, hak asasi manusia, dan keadilan, yang juga telah menjadi bagian dari pendekatan pemerintah Israel.”

    Analis militer ini menegaskan bahwa pemerintah Israel bertindak saat ini dengan keberanian yang belum pernah terjadi sebelumnya, melewati batas merah yang berlaku pada masa jabatan presiden Amerika sebelumnya, baik dari Partai Republik maupun Demokrat.

    Analisis Barnea tersebut mengindikasikan kalau pemerintah Benjamin Netanyahu saat ini sedang mengeksploitasi dukungan tanpa syarat dari pemerintahan Trump pada tahap ini untuk memaksakan fakta di lapangan, yaitu sebagai berikut:

    Pelanggaran perjanjian yang disepakati Israel dalam kerangka kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas.
    Memelihara lokasi militer dan keberadaan pasukan IDF di dalam wilayah Suriah dan secara terbuka menyatakan kalau pasukan Israel akan tetap berada di sana selamanya.
    Israel mengancam akan campur tangan dalam konflik antara rezim Suriah dan komunitas Druze di Jaramana, meskipun kedua pihak menolak intervensi Israel.
    Mempertahankan posisi militer di Lebanon meskipun ada perjanjian gencatan senjata.
    Ribuan warga Palestina diusir dari kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, termasuk wilayah dalam “Area A” Otoritas Palestina.
    Mencegah masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.
    Meninggalkan tahap kedua negosiasi kesepakatan pertukaran tahanan, yang menghasilkan pembebasan 59 tahanan, baik yang hidup maupun yang telah meninggal.

    Harus digarisbawahi, rentetan hal-hal di atas berisiko besar terhadap situasi perang menyeluruh di kawasan.

    Israel yang saat ini terlena dalam buaian AS dengan dukungan penuhnya, bisa jadi terjebak dalam pusaran konflik yang kesemuanya menjadikannya sebagai ‘target bersama’ aliasΒ common enemy.

    NETANYAHU DAN TRUMP – Foto ini diambil pada Senin (10/2/2025) dari publikasi resmi YouTube The White House pada Jumat (7/2/2025), memperlihatkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kiri) dan sekutunya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kanan), berbicara kepada wartawan di Gedung Putih. (YouTube The White House)

    Dukungan yang Tidak Pasti

    Meskipun pendekatan Trump ini tampaknya bermanfaat bagi Israel dalam jangka pendek, Barnea memperingatkan kalau β€œdukungan yang diberikan Trump sama sekali tidak terjamin,” dengan mencatat bahwa β€œZelensky mengira ia mendapat dukungan Trump, tetapi ia menemukan bahwa dukungan ini dapat berubah menjadi penghinaan yang tiba-tiba.”

    Ia menambahkan, “Netanyahu mengikuti apa yang terjadi pada presiden Ukraina, dan mungkin ia merasa khawatir bahwa situasi tersebut dapat terjadi lagi kepadanya kapan saja, dan oleh karena itu ia bergegas untuk memaksakan lebih banyak fakta di lapangan di Gaza, Tepi Barat, Suriah, dan Lebanon untuk mengantisipasi perubahan mendadak posisi Trump.”

    Barnea bertanya-tanya tentang risiko yang dihadapi Israel dengan menggambarkan, “Apakah Israel telah menaruh semua telurnya dalam satu keranjang dengan bertaruh sepenuhnya pada Trump?”

    Dalam situasi perjudian itu, Barnea memperingatkan Israel bahwa setiap perubahan mendadak dalam suasana politik AS dan Trump dapat membuat Tel Aviv menghadapi dilema yang tak terduga.

    Barnea menegaskan kalau “tidak adanya kesamaan nilai di antara para ‘teman’ membuat pengkhianatan menjadi masalah waktu,” seraya menekankan kalau “Netanyahu sangat menyadari kalau suasana hati sahabat karibnya (Trump) dapat berubah setiap saat, yang mendorongnya untuk mempercepat langkah-langkah pencegahannya sebelum terlambat.”

    Barnea juga menekankan kalau sejarah telah membuktikan kalau aliansi yang didasarkan pada kepentingan jangka pendek sering kali runtuh pada ujian serius pertama.

    Dia memperingatkan, “Israel tidak tahu seperti apa suasana hati sahabat terbesarnya (AS) besok.”

    Β 

    (oln/YA/khbrn/*)

    Β 

  • AS Setop Bantuan Militer ke Ukraina, Rusia: Terbaik untuk Perdamaian

    AS Setop Bantuan Militer ke Ukraina, Rusia: Terbaik untuk Perdamaian

    Moskow

    Kremlin atau istana kepresidenan Rusia mengomentari langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menghentikan bantuan militer untuk Ukraina. Kremlin menyebut langkah Washington itu menjadi kontribusi terbaik bagi perdamaian.

    Namun ditegaskan oleh Kremlin bahwa Rusia perlu mengklarifikasi rincian langkah Trump tersebut.

    Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, seperti dilansir Reuters, Selasa (4/2/2024), terkesan berhati-hati terhadap laporan penghentian bantuan AS untuk Ukraina tersebut. Dia mengatakan detail soal langkah terbaru AS itu perlu diperhatikan.

    Langkah penangguhan bantuan militer Washington untuk Kyiv itu diungkapkan oleh seorang pejabat Gedung Putih yang enggan disebut namanya, seperti dilansir Reuters. Gedung Putih, atau Trump sendiri, belum memberikan pernyataan resmi soal hal tersebut.

    “Jika ini benar, maka ini adalah keputusan yang benar-benar dapat mendorong rezim Kyiv untuk melakukan proses perdamaian,” sebut Peskov dalam pernyataannya.

    ADVERTISEMENT

    `;
    var mgScript = document.createElement(“script”);
    mgScript.innerHTML = `(function(w,q){w[q]=w[q]||[];w[q].push([“_mgc.load”])})(window,”_mgq”);`;
    adSlot.appendChild(mgScript);
    },
    function loadCreativeA() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    adSlot.innerHTML = “;

    console.log(“πŸ” Checking googletag:”, typeof googletag !== “undefined” ? “βœ… Defined” : “❌ Undefined”);

    if (typeof googletag !== “undefined” && googletag.apiReady) {
    console.log(“βœ… Googletag ready. Displaying ad…”);
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    } else {
    console.log(“⚠️ Googletag not loaded. Loading GPT script…”);
    var gptScript = document.createElement(“script”);
    gptScript.src = “https://securepubads.g.doubleclick.net/tag/js/gpt.js”;
    gptScript.async = true;
    gptScript.onload = function () {
    console.log(“βœ… GPT script loaded!”);
    window.googletag = window.googletag || { cmd: [] };
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.defineSlot(‘/4905536/detik_desktop/news/static_detail’, [[400, 250], [1, 1], [300, 250]], ‘div-gpt-ad-1708418866690-0’).addService(googletag.pubads());
    googletag.enableServices();
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    };
    document.body.appendChild(gptScript);
    }
    }
    ];

    var currentAdIndex = 0;
    var refreshInterval = null;
    var visibilityStartTime = null;
    var viewTimeThreshold = 30000;

    function refreshAd() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;

    currentAdIndex = (currentAdIndex + 1) % ads.length;
    adSlot.innerHTML = “”; // Clear previous ad content
    ads[currentAdIndex](); // Load the appropriate ad

    console.log(“πŸ”„ Ad refreshed:”, currentAdIndex === 0 ? “Creative B” : “Creative A”);
    }

    var observer = new IntersectionObserver(function(entries) {
    entries.forEach(function(entry) {
    if (entry.isIntersecting) {
    if (!visibilityStartTime) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    console.log(“πŸ‘€ Iklan mulai terlihat, menunggu 30 detik…”);

    setTimeout(function () {
    if (visibilityStartTime && (new Date().getTime() – visibilityStartTime >= viewTimeThreshold)) {
    console.log(“βœ… Iklan terlihat 30 detik! Memulai refresh…”);
    refreshAd();
    if (!refreshInterval) {
    refreshInterval = setInterval(refreshAd, 30000);
    }
    }
    }, viewTimeThreshold);
    }
    } else {
    console.log(“❌ Iklan keluar dari layar, reset timer.”);
    visibilityStartTime = null;
    if (refreshInterval) {
    clearInterval(refreshInterval);
    refreshInterval = null;
    }
    }
    });
    }, { threshold: 0.5 });

    document.addEventListener(“DOMContentLoaded”, function() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (adSlot) {
    ads[currentAdIndex](); // Load the first ad
    observer.observe(adSlot);
    }
    });

    “Jelas bahwa Amerika Serikat sejauh ini merupakan pemasok utama perang ini. Jika Amerika Serikat berhenti (menjadi pemasok senjata) atau menangguhkan pasokan ini, mungkin hal ini akan menjadi kontribusi terbaik bagi perdamaian,” tegasnya.

    Trump memerintahkan penghentian pengiriman bantuan militer ke Ukraina menyusul cekcok dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Gedung Putih pekan lalu. Langkah ini memperdalam perpecahan yang telah terjadi di antara kedua negara yang pernah bersekutu tersebut.

    Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.

    Trump, yang berbicara via telepon dengan Presiden Vladimir Putin pada 12 Februari lalu, mengatakan dirinya ingin dikenang sebagai “pembuat perdamaian”. Dia mengubah kebijakan AS terhadap Ukraina dengan membuka pembicaraan bilateral dengan Moskow dalam upaya mencapai resolusi konflik.

    Trump juga menilai perang yang berkecamuk di Ukraina, selama tiga tahun terakhir, berisiko memicu Perang Dunia III. Dia bahkan menyebut Kyiv tidak memiliki pilihan lainnya selain berdamai.

    Peskov mengatakan Rusia menyambut baik pernyataan Trump soal keinginannya untuk perdamaian di Ukraina.

    “Kam mendengar pernyataannya tentang keinginannya untuk membawa perdamaian ke Ukraina, dan hal ini disambut baik. Kami melihat hal-hal tertentu dan menerima informasi tertentu mengenai usulan tindakan ke arah ini. Hal ini juga disambut baik. Namun kami akan terus melihat bagaimana situasi berkembang dalam kenyataannya,” ujarnya.

  • Jerman Bilang Adu Mulut Trump-Zelensky Disengaja AS

    Jerman Bilang Adu Mulut Trump-Zelensky Disengaja AS

    Berlin

    Kanselir Jerman selanjutnya, Friedrich Merz, menilai adu mulut yang terjadi antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Gedung Putih pekan lalu adalah “eskalasi yang disengaja” oleh AS.

    Dalam adegan menakjubkan yang mengejutkan Eropa itu, seperti dilansir Reuters dan Politico, Selasa (4/3/2025), Zelensky diomeli oleh Trump dan Wakil Presiden AS JD Vance, yang menuduhnya tidak berbuat cukup banyak hal untuk mengakhiri invasi besar-besaran Rusia dan tidak berterima kasih atas bantuan AS.

    Zelensky yang pada saat itu terbang ke Washington DC untuk menandatangani perjanjian mineral bagi hasil dengan AS dan memperkuat dukungan Trump untuk Kyiv, diusir dari Gedung Putih dan dipaksa pulang dengan tangan kosong.

    Namun adu mulut pada Jumat (28/2) lalu, menurut Merz yang hampir pasti akan menggantikan Olaf Scholz sebagai Kanselir Jerman, merupakan serangan yang telah direncanakan sebelumnya oleh AS. Merz menilai cekcok di Ruang Oval Gedung Putih, di depan banyak wartawan itu, tidak terjadi secara spontan.

    “Menurut pendapat saya, itu bukanlah reaksi spontan terhadap apa yang dikatakan oleh Zelensky, tetapi jelas merupakan eskalasi yang disengaja dalam pertemuan di Ruang Oval ini,” sebut Merz dalam konferensi pers di Hamburg, seperti dikutip media lokal Jerman.

    ADVERTISEMENT

    `;
    var mgScript = document.createElement(“script”);
    mgScript.innerHTML = `(function(w,q){w[q]=w[q]||[];w[q].push([“_mgc.load”])})(window,”_mgq”);`;
    adSlot.appendChild(mgScript);
    },
    function loadCreativeA() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    adSlot.innerHTML = “;

    console.log(“πŸ” Checking googletag:”, typeof googletag !== “undefined” ? “βœ… Defined” : “❌ Undefined”);

    if (typeof googletag !== “undefined” && googletag.apiReady) {
    console.log(“βœ… Googletag ready. Displaying ad…”);
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    } else {
    console.log(“⚠️ Googletag not loaded. Loading GPT script…”);
    var gptScript = document.createElement(“script”);
    gptScript.src = “https://securepubads.g.doubleclick.net/tag/js/gpt.js”;
    gptScript.async = true;
    gptScript.onload = function () {
    console.log(“βœ… GPT script loaded!”);
    window.googletag = window.googletag || { cmd: [] };
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.defineSlot(‘/4905536/detik_desktop/news/static_detail’, [[400, 250], [1, 1], [300, 250]], ‘div-gpt-ad-1708418866690-0’).addService(googletag.pubads());
    googletag.enableServices();
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    };
    document.body.appendChild(gptScript);
    }
    }
    ];

    var currentAdIndex = 0;
    var refreshInterval = null;
    var visibilityStartTime = null;
    var viewTimeThreshold = 30000;

    function refreshAd() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;

    currentAdIndex = (currentAdIndex + 1) % ads.length;
    adSlot.innerHTML = “”; // Clear previous ad content
    ads[currentAdIndex](); // Load the appropriate ad

    console.log(“πŸ”„ Ad refreshed:”, currentAdIndex === 0 ? “Creative B” : “Creative A”);
    }

    var observer = new IntersectionObserver(function(entries) {
    entries.forEach(function(entry) {
    if (entry.isIntersecting) {
    if (!visibilityStartTime) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    console.log(“πŸ‘€ Iklan mulai terlihat, menunggu 30 detik…”);

    setTimeout(function () {
    if (visibilityStartTime && (new Date().getTime() – visibilityStartTime >= viewTimeThreshold)) {
    console.log(“βœ… Iklan terlihat 30 detik! Memulai refresh…”);
    refreshAd();
    if (!refreshInterval) {
    refreshInterval = setInterval(refreshAd, 30000);
    }
    }
    }, viewTimeThreshold);
    }
    } else {
    console.log(“❌ Iklan keluar dari layar, reset timer.”);
    visibilityStartTime = null;
    if (refreshInterval) {
    clearInterval(refreshInterval);
    refreshInterval = null;
    }
    }
    });
    }, { threshold: 0.5 });

    document.addEventListener(“DOMContentLoaded”, function() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (adSlot) {
    ads[currentAdIndex](); // Load the first ad
    observer.observe(adSlot);
    }
    });

    Merz mengatakan, seperti dilansir The Hill, bahwa diri telah menyaksikan video interaksi Zelensky dengan Trump dan Vance beberapa kali untuk mencapai kesimpulan tersebut. Dia mengakui dirinya “agak terkejut dengan nada percakapan” antara Trump, Vance dan Zelensky.

    Lihat juga Video: Diawali Jabat Tangan, Trump-Zelensky Berakhir Cekcok di Gedung Putih

    Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.

    Ditambahkan oleh Merz bahwa insiden di Ruang Oval itu tampaknya cocok dengan tren dalam kebijakan luar negeri AS, karena Trump meningkatkan tekanan terhadap Zelensky, sembari mencairkan hubungan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

    “Apa yang baru saja kita lihat di Washington memiliki kesinambungan tertentu dengan sejumlah peristiwa dalam beberapa pekan terakhir, termasuk kemunculan delegasi Amerika di Munich saat konferensi keamanan,” ujarnya.

    Merz tampaknya merujuk pada video Vance yang berapi-api dalam Konferensi Keamanan Munich bulan lalu, di mana dia mengejutkan para pemimpin Eropa dengan menyerang nilai-nilai Eropa dan menyerukan Eropa untuk “meningkatkan tindakan” juga mengelola pertahanan sendiri daripada mengandalkan jaminan keamanan dari AS.

    Lebih lanjut, Merz, yang sedang berusaha membentuk koalisi pemerintahan setelah kubu konservatifnya memenangkan pemilu sela bulan lalu, mengatakan bahwa Eropa kini berada di bawah tekanan untuk bertindak cepat.

    “Kita sekarang harus menunjukkan bahwa kita berada dalam posisi untuk bertindak independen di Eropa,” katanya.

    Lihat juga Video: Diawali Jabat Tangan, Trump-Zelensky Berakhir Cekcok di Gedung Putih

  • Alasan Trump Suka dengan Putin Tapi Tidak dengan Zelensky

    Alasan Trump Suka dengan Putin Tapi Tidak dengan Zelensky

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menunjukkan ketidaksukaan ke Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Hal ini setidaknya terlihat dari pertengkaran verbal keduanya di Ruang Oval, Gedung Putih, pekan lalu.

    Awalnya, pertemuan berjalan cukup baik selama 23 menit pertama. Terlihat pertemuan yang sopan meskipun kaku antara seorang presiden Amerika dan seorang pemimpin asing.

    Situasi kemudian memanas 39 menit. Bahkan ada kesan Trump lebih menyukai Presiden Rusia Vladimir Putin.

    Ya, mengutip tulisan khusus New York Times, Trump memang tampaknya benar-benar kesal selama diskusi dengan Zelensky karena kata-kata kasar mantan komedian itu ke Putin. Trump, yang tidak mengatakan apa-apa selain hal-hal baik tentang penguasa Kremlin itu, tampak tersinggung atas namanya dan memarahi Zelensky karena bersikap bermusuhan terhadap orang yang telah menginvasi negaranya.

    “Dia membenci kita,” kata Zelensky kepada Trump, mencoba menjelaskan bahwa Putin adalah agresor, bukan korban.

    “Ini bukan tentang saya. Dia membenci orang Ukraina. Dia pikir kita bukan sebuah negara.”

    Zelensky pun menjelaskan pernyataan Trump pekan lalu yang menyebut Ukraina memulai perang salah besar. Ia menegaskan “Putin memulai perang ini”.

    Trump kemudian tidak setuju. Ia mulai menegur Zelensky karena bersikap jahat.

    “Sangat menyenangkan berbicara buruk tentang orang lain,” kata Trump, nadanya mencemooh.

    “Tetapi saya ingin masalah ini segera diselesaikan,” katanya.

    “Ini bukan cinta,” tegasnya menjelaskan bahwa ia menganggap Zelensky sebagai pihak yang bersalah.

    “Itulah sebabnya Anda berada dalam situasi ini.”

    Lalu mengapa Trump sepertinya lebih suka Putin dibanding Zelensky?

    Mengutip Carnegie Politika, publikasi digital yang menampilkan analisis soal Rusia dan Ukraina, Putin pintar mengambil hati Trump. Ini terjadi saat pembebasan Marc Fogel seorang warga negara AS yang ditahan di Rusia atas tuduhan narkoba terjadi pekan lalu.

    Trump berbicara dengan Putin secara langsung. Putin pun memanfaatkan keinginan Trump itu, memperlakukan pria 78 tahun itu sesuai keinginannya “dianggap cepat dan tegas”.

    Komunikasi untuk memberikan Trump kesan keberhasilan dan kesuksesan yang dilakukan Putin. Putin hanya perlu membebaskan Fogel.

    Kasus yang sama juga terjadi di Ukraina. Putin siap memberi Trump kemenangan dengan perdamaian dengan Ukraina.

    “Ia memulai perang dan akan menghentikannya jika kondisi tertentu terpenuhi dan kata-kata yang tepat diucapkan,” ujar analisis lembaga itu, dikutip Selasa (4/3/2025).

    “Selama seperempat abad berkuasa, Putin telah mengusulkan agar Rusia dan Amerika Serikat bekerja sama untuk mengalahkan musuh bersama, mulai dari teroris Islam dan perompak Somalia hingga COVID-19 dan bahkan pemanasan global,” tambahnya.

    “Ia percaya bahwa kemenangan seperti itu akan membawa kedua negara lebih dekat, melampaui hambatan politik dan ideologis, perbedaan antara kekuatan yang dapat diubah dan yang tidak dapat diubah, dan bahkan penindasan domestik Rusia, seperti yang berhasil dilakukan Stalin dan Roosevelt pada tahun 1940-an.”

    Hal ini berbeda dengan Zelensky. Dimuat Politico, Zelenskyy melakukan kesalahan fatal dengan terlibat dalam debat di depan kamera dengan Trump dan wakilnya JD Vance di Gedung Putih. Itu memalukan buat Trump dan menimbulkan kemarahannya.

    Kebencian Pribadi Trump ke Zelensky sejak 2019

    Indian Express juga mencoba membedah ini. Laman itu mengatakan tampaknya Trump memendam ketidaksukaan pribadi terhadap Zelensky.

    “Trump membenci Ukraina. Dia dan orang-orang di sekitarnya percaya bahwa Ukraina adalah penyebab semua masalah Trump..,” kata seorang pengusaha Ukraina-Amerika yang pernah bekerja dengan pengacara Trump, Rudy Giuliani, Lev Parnas.

    “Dia membenci Zelensky dengan penuh semangat, dan Zelensky mengetahuinya,” tambahnya.

    Trump dan Zelensky memang punya sejarah yang sudah terjalin setidaknya lima tahun lalu, sekitar 2019. Saat itu, Zelensky tidak melakukan sesuatu yang Trump inginkan.

    Ini terkait kasus pemakzulan Trump di masa dirinya menjabat di periode pertama. Kala itu muncul isu bahwa pemilu AS 2016 yang dimenangkan Trump terkait campur tangan Rusia.

    “Penyelidikan oleh otoritas Amerika mengklaim bahwa Rusia telah meretas email Partai Demokrat dan merilisnya. Dokumen yang bocor menunjukkan bahwa pimpinan Partai Demokrat lebih memilih Hillary Clinton sebagai kandidat Presiden daripada Bernie Sanders, yang merusak reputasi Clinton,” tulis laman itu, yang juga bersumber dari Politico.

    “Namun, Trump mengatakan peretasan itu dilakukan oleh Ukraina untuk mencemarkan nama baik Rusia. Begitu ia menjadi Presiden, dalam panggilan telepon yang menentukan pada tahun 2019, ia bahkan meminta Zelensky untuk menyelidiki masalah tersebut dan mengembalikan server yang ia yakini berada di Ukraina. Zelensky menyetujui hal ini akan memperkuat teori campur tangan Ukraina.”

    Namun, ini bukan satu-satunya bantuan yang Trump minta. Ia juga meminta Zelensky untuk menyelidiki putra Joe Biden, Hunter Biden, terkait perusahaan migas di sana.

    Ia bahkan membuat kunjungan ke Gedung Putih untuk Zelensky. Di mana Trump berjanji akan memberikan bantuan militer senilai hampir US$400 juta untuk Ukraina dengan syarat bantuan ini diberikan.

    Namun permintaan itu justru menjadi masalah. Ini dibawa ke Kongres AS dan Trump dimakzulkan atas tindakannya meminta penyelidikan Hunter.

    (sef/sef)

  • Dikritik Terlalu Dekat dengan Putin, Trump Tanggapi Santai

    Dikritik Terlalu Dekat dengan Putin, Trump Tanggapi Santai

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menanggapi santai atas kritikan yang muncul soal dirinya yang semakin dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, terutama saat membahas perang Ukraina. Trump mengatakan AS seharusnya “mengurangi” kekhawatiran terhadap Putin.

    “Kita seharusnya mengurangi waktu untuk mengkhawatirkan Putin, dan lebih banyak waktu untuk mengkhawatirkan geng-geng pemerkosaan migran, para gembong narkoba, para pembunuh, dan orang-orang dari rumah sakit jiwa yang memasuki negara kita — Agar kita tidak berakhir seperti Eropa!” cetus Trump dalam pernyataan via media sosial Truth Social, seperti dilansir AFP, Senin (3/3/2025).

    Pergeseran “menakjubkan” Trump dalam pendekatan terhadap perang Ukraina dan terhadap Rusia terlihat jelas beberapa hari sebelumnya, ketika dia mengomeli Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di depan banyak wartawan di Gedung Putih.

    Perselisihan publik yang belum pernah terjadi sebelumnya itu, memaksa Zelensky untuk meninggalkan Gedung Putih tanpa melakukan penandatanganan perjanjian mineral bagi hasil, yang disebut penting untuk upaya perdamaian Kyiv dan Moskow.

    Kedekatan Trump yang semakin meningkat dengan Putin telah memicu kewaspadaan di seluruh kawasan Eropa dan di kalangan Partai Demokrat AS, yang menyuarakan kekhawatiran soal keamanan nasional negara itu.

    “Gedung Putih telah menjadi perpanjangan tangan Kremlin,” tuduh Senator Demokrat, Chris Murphy, yang menjadi salah satu pengkritik Trump yang paling vokal.

    “Tampaknya Amerika sedang berusaha untuk bersekutu dengan para diktator,” sebut Murphy dalam wawancara dengan media terkemuka AS, CNN.

    Sementara itu, Partai Republik AS yang sebagian besar mendukung Trump, dan sejumlah pejabat tinggi AS saat ini, justru menyerukan Zelensky untuk mengundurkan diri demi memastikan perjanjian damai dengan Rusia.

    “Kami membutuhkan seorang pemimpin yang dapat berurusan dengan kami, pada akhirnya berurusan dengan Rusia, dan mengakhiri perang ini,” ucap Penasihat Keamanan Nasional AS, Mike Waltz, saat berbicara kepada CNN.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Putin Respons Zelensky & Trump Cekcok, Ini Kata Rusia

    Putin Respons Zelensky & Trump Cekcok, Ini Kata Rusia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan mitranya dari Ukraina Volodomyr Zelensky cekcok secara terbuka di Gedung Putih. Adu mulut terjadi saat Zelinsky datang ke AS dan menemui Trump serta Wakil Presiden AS JD Vance membahas perang Rusia dan Ukraina, Jumat.

    Mulanya Zelensky mempertanyakan condongnya Trump pada Rusia dan mempertanyakan “diplomasi” yang diserukan Vance dalam pertemuan itu, dengan menyinggung pelanggaran komitmen yang dilakukan oleh Rusia selama bertahun-tahun di panggung global. Trump kemudian menyebut Zelensky mempertaruhkan nyawa jutaan orang dan bertaruh dengan Perang Dunia III, serta menuduh Presiden Ukraina itu sangat tidak menghormati negara ini. Sedangkan Vance menuduh Zelensky tidak tahu berterima kasih.

    Hal ini pun tak luput dari pantauan Rusia. Pemerintah Presiden Vladimir Putin pun memberi respons mellui juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova.

    “Saya pikir kebohongan terbesar Zelensky dari semua kebohongannya adalah pernyataannya di Gedung Putih bahwa rezim Kyiv pada tahun 2022 sendirian, tanpa dukungan,” tulis Zakharova di Telegram, dikutip dari NDTV, Senin (3/3/2025).

    “Bagaimana Trump dan Vance menahan diri untuk tidak memukul bajingan itu adalah keajaiban dalam hal menahan diri,” ujarnya.

    “Zelensky menggigit tangan yang memberinya makan… Hal yang tidak menyenangkan bagi semua orang.”

    Komentar lain juga muncul dari Kepala Dewan Keamanan Rusia dan mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev. Ia bahkan menyebut Zelensky sebagai “babi kurang ajar” yang telah menerima “tamparan keras di Ruang Oval”.

    “Untuk pertama kalinya, Trump mengatakan kebenaran kepada badut kokain di hadapannya,” ujarnya.

    “Rezim Kyiv sedang bermain-main dengan PD 3. Dan, babi yang tidak tahu terima kasih itu menerima tamparan keras di pergelangan tangan dari pemilik kandang babi. Ini berguna. Namun, itu tidak cukup – kita harus menghentikan bantuan militer kepada mesin Nazi,” kata Medvedev.

    Kepala Dana Investasi Langsung Rusia Kirill Dmitriev menggambarkan momen Zelensky dan Trump sebagai hal yang bersejarah. Sedangkan Kepala Badan Kerjasama Kemanusiaan Internasional Rusia Yevgeny Primakov menuduh Zelensky berusaha menghasut kekerasan.

    “Zelensky duduk dengan tangan di antara kedua kakinya saat Presiden dan Wapres AS menghajarnya,” tulis laman milik pemerintah Rusia, RT.

    (sef/sef)

  • Diusir Trump, Disambut PM Inggris

    Diusir Trump, Disambut PM Inggris

    Jakarta

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky diusir oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump usai mereka berdebat panas. Namun siapa sangka, Zelensky disambut hangat oleh Perdana Menteri Inggris Keir Starmer.

    Dilansir AFP, Sabtu (1/3), debat panas antara Trump dan Zelensky berlangsung di Ruang Oval, Gedung Putih. Trump memang sedang menjadi sahibulbait lawatan Zelensky.

    Hebohnya lagi, adu mulut ini terjadi saat kamera media massa sedang menyala. Seluruh dunia heboh oleh adu mulut Trump-Zelensky. Debat ini terjadi saat Ukraina sedang diinvasi oleh Rusia yang dipimpin oleh Vladimir Putin.

    Trump adalah Presiden AS yang belum lama menggantikan Joe Biden. Biden dulu lebih pro ke Zelensky dan cenderung bersedia membantu Zelensky. Namun Trump berbeda. Trump lebih pragmatis dan memiliki hubungan yang lumayan dekat dengan Putin.

    Zelensky pun akhirnya terusir dari Gedung Putih. Di sisi lain, Zelensky justru disambut dengan hangat oleh PM Inggris Keir Starmer.

    Bagaimana perbedaan yang dialami Zelensky ketika berkunjung ke AS dan Inggris? Baca halaman selanjutnya.

    Debat Panas

    Foto :Momen Donald Trump-Zelensky Cekcok di Gedung Putih (REUTERS/Nathan Howard)

    Dilansir CNN, Minggu (2/3/2025), mulanya berbagai upaya telah dilakukan untuk mempersiapkan Zelensky agar berhasil bertemu dengan Trump, yang terkenal mudah terbuai pujian dan sangat peka terhadap perlakuan yang diterimanya.

    Presiden Ukraina itu telah diperingatkan agar fokus sepenuhnya pada kesepakatan mineral dan menghindari terlibat dalam pertengkaran dengan Trump.

    “Saya katakan kepadanya pagi ini ‘Jangan terpancing. Jangan biarkan media atau siapa pun membuat Anda berdebat dengan Presiden Trump. Apa yang dilakukannya hari ini adalah memulihkan hubungan’,” kata Senator Lindsey Graham, yang termasuk dalam sekelompok senator Republik dan Demokrat yang bertemu Zelensky sebelum datang ke Gedung Putih.

    Para pemimpin Eropa lain yang lebih dulu datang ke AS telah memberikan arahan mereka kepada Zelensky, termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron yang berhasil mendekati Trump dengan menyeimbangkan pujian dan penolakan. Yang lain lagi, termasuk beberapa pejabat AS, telah mencoba mencegah Zelensky melakukan perjalanan ke Washington dengan keyakinan masih diperlukan upaya untuk memperkuat hubungan yang telah menjadi permusuhan.

    Namun saat Zelensky memasuki gerbang Gedung Putih pada hari Jumat (28/2), hanya sedikit yang dapat meramalkan betapa hebohnya 139 menit berikutnya. Meski demikian, beberapa pihak telah mendeteksi tanda-tanda awal adanya masalah.

    Zelensky tiba di Gedung Putih menumpangi SUV hitam dengan mengenakan apa yang telah menjadi seragam standarnya, yakni kemeja dan celana militer yang kusam. Zelensky tidak memungkiri adanya ketegangan dengan Trump, yang telah berjalan melalui lorong-lorong West Wing untuk menyambutnya. Beberapa pejabat AS yang menonton dari jauh melihat sebuah masalah, yaitu pakaian Zelensky.

    “Oh, Anda berpakaian rapi,” kata Trump dengan nada sarkasme saat dia menyapa Zelensky dan menjabat tangannya.

    Sebelum pertemuan di Ruang Oval berubah menjadi adu mulut, Zelensky ditanya oleh seorang reporter dari media yang dipilih langsung oleh Gedung Putih untuk berada di ruangan tersebut selama pembicaraan ‘mengapa tidak mengenakan jas di kantor tertinggi Amerika Serikat?’.

    “Saya akan mengenakan kostum setelah perang ini berakhir, ya,” kata Zelensky, menanggapi dalam bahasa Inggris.

    “Mungkin sesuatu seperti milik Anda, ya, mungkin sesuatu yang lebih baik. Saya tidak tahu, kita lihat saja nanti. Mungkin sesuatu yang lebih murah. Terima kasih,” sambung Zelensky.

    Zelensky sendiri tidak datang dengan tangan kosong. Dia membawa sabuk UFC yang dimenangkan oleh petinju Ukraina, Oleksandr Usyk, tahun lalu. Sabuk emas berwarna-warni itu diletakkan di salah satu meja saat kedua pria itu mulai berbicara.

    Kemarahan di Ruang Oval

    Foto: Momen Zelensky dan Trump adu mulut saat bertemu di Ruang Oval Gedung Putih (AFP/SAUL LOEB)

    Selama 40 menit pertama pembicaraan mereka, Trump tidak menunjukkan kepahitan terhadap Zelensky, melainkan membahas kesepakatan mineral yang akan mereka tanda tangani. Bahkan, di lantai atas di Ruang Timur, sebuah meja kayu panjang telah disiapkan untuk upacara penandatanganan dengan empat kursi siap untuk para penandatangan.

    Namun, hal itu tidak pernah terjadi. Suasana mulai berubah menegangkan saat Wapres AS Vance bergabung dalam percakapan.

    “Tunggu sebentar. Hei, saya ingin menanggapi ini,” ujarnya untuk mendukung upaya Trump dalam mengakhiri konflik.

    “Jalan menuju perdamaian dan jalan menuju kemakmuran mungkin melibatkan diplomasi,” katanya, mengarahkan komentarnya kepada Zelensky.

    Saat itulah semuanya memburuk. Zelensky yang marah dan tidak terbiasa dengan teguran publik setelah 3 tahun dukungan kuat Barat terlihat dengan marah memaparkan gencatan senjata yang telah dilanggar Rusia di masa lalu.

    “Diplomasi macam apa, JD, yang sedang kamu bicarakan? Apa, apa yang kamu miliki, apa yang kamu, apa maksudmu?” tanya Zelensky dengan nada tidak percaya.

    “Saya berbicara tentang jenis diplomasi yang akan mengakhiri kehancuran negaramu,” ujar Vance menanggapi dari sofa di sebelah Trump.

    Suasana semakin berubah memanas. Dia kemudian memarahi Zelensky dengan menyebutnya tidak sopan.

    “Saya pikir tidak sopan bagi Anda untuk datang ke Ruang Oval untuk mencoba mengajukan gugatan di depan media Amerika,” kata Vance dengan teguran tajam.

    “Anda seharusnya berterima kasih kepada presiden karena telah mencoba mengakhiri konflik ini,” sambung Vance.

    Zelensky mencoba bicara. Namun, Trump meledak dalam kemarahan.

    “Anda tidak memiliki kartu sekarang,” teriaknya terhadap Zelensky.

    “Anda mempertaruhkan nyawa jutaan orang. Anda mempertaruhkan Perang Dunia III,” ujarnya.

    Zelensky pun terusir dari Gedung Putih usai berdebat panas dengan Trump. Tanpa menghasilkan perjanjian apapun.

    Sambutan Hangat di Inggris

    Foto: Zelensky Diterima PM Inggris Usai Cekcok dengan Trump (AFP/PETER NICHOLLS)

    Zelensky mendapat pengalaman berbeda saat menemui Perdana Menteri Inggris Keir Starmer. Zelensky disambut dengan hangat.

    Dilansir AFP, Minggu (2/3/2025), pertemuan itu dilakukan menjelang pertemuan puncak di London untuk membahas cara mendukung Ukraina memerangi pasukan Rusia. Starmer menegaskan kembali dukungannya untuk Kyiv.

    “Dalam kemitraan dengan sekutu kami, kami harus mengintensifkan persiapan kami untuk elemen jaminan keamanan Eropa di samping diskusi berkelanjutan dengan Amerika Serikat,” katanya dalam pernyataan yang disampaikan Sabtu (1/3) malam.

    “Sekarang saatnya bagi kita untuk bersatu guna menjamin hasil terbaik bagi Ukraina, melindungi keamanan Eropa, dan mengamankan masa depan kolektif kita,” tambahnya.

    Ukraina dan Inggris juga meneken perjanjian pinjaman sebesar GBP 2,26 miliar atau sekitar Rp 47,2 triliun. Uang itu dipinjamkan Inggris untuk mendukung kemampuan pertahanan Ukraina, yang akan dibayar kembali dengan keuntungan dari aset Rusia yang dilumpuhkan Ukraina.

    “Dana tersebut akan diarahkan untuk produksi senjata di Ukraina,” kata Zelensky lewat akun media sosialnya.

    “Ini adalah keadilan sejati, orang yang memulai perang harus menjadi orang yang membayar,” sambungnya.

    Para pendukung bersorak saat konvoi Zelensky memasuki Downing Street, di mana dia dipeluk oleh Starmer dan berpose untuk difoto sebelum menuju ke dalam rumah pemimpin Inggris tersebut.

    “Anda sangat, sangat diterima di Downing Street,” kata Starmer kepada Zelensky.

    “Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda, rakyat Inggris, atas dukungan yang begitu besar sejak awal perang ini,” jawab Zelensky.

    Zelensky dan Starmer bertemu secara tertutup selama sekitar 75 menit dan berpelukan lagi saat akan berpisah. Zelensky juga dijadwalkan bertemu dengan Raja Charles III pada Minggu (2/3).

    Zelensky akan menghadiri pembicaraan darurat di London dengan para pendukung Kyiv dari Eropa. Pertemuan itu juga akan dihadiri oleh Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau.

    Halaman 2 dari 4

    (rdp/rdp)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • 10
                    
                        Lihat Zelensky Dikata-katai Trump, Ribuan Warga Ukraina Turun ke Jalan
                        Internasional

    10 Lihat Zelensky Dikata-katai Trump, Ribuan Warga Ukraina Turun ke Jalan Internasional

    Lihat Zelensky Dikata-katai Trump, Ribuan Warga Ukraina Turun ke Jalan
    Tim Redaksi
    KYIV, KOMPAS.com
    – Ribuan warga Ukraina turun ke jalan di Kyiv pada Jumat (28/2/2025) untuk menyuarakan dukungan bagi Presiden Volodymyr Zelensky.
    Aksi ini berlangsung setelah Zelensky terlibat perdebatan tajam dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam pertemuan di Gedung Putih.
    Seperti dilaporkan
    Reuters
    pada Sabtu (1/3/2025), dalam pertemuan tersebut Zelensky secara terbuka mengkritik kebijakan Trump terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin. Ia menegaskan bahwa kompromi dengan seorang β€œpembunuh” bukanlah langkah yang dapat diterima.
    Sebaliknya, Trump menuding Zelensky dapat memicu Perang Dunia Ketiga dan menilai Ukraina kurang berterima kasih atas bantuan militer yang telah diberikan AS.
    β€œTrump akhirnya menyadari bahwa Zelensky adalah pemimpin yang tidak mudah menyerah,” kata Mila, salah seorang peserta aksi di Kyiv.
    Senada dengan itu, Oksana, seorang konsultan bisnis, menilai Ukraina hanyalah pihak yang dimanfaatkan dalam konflik geopolitik global.
    β€œBukan Ukraina yang bermain-main dengan Perang Dunia Ketiga, tetapi kita yang dijadikan alat tawar-menawar,” ujarnya.
    Di media sosial, berbagai pejabat Ukraina dan tokoh publik juga menyuarakan dukungan terhadap Zelensky.
    Menteri Luar Negeri Ukraina Andriy Sybiha, yang turut hadir dalam pertemuan di Washington DC, menegaskan bahwa sang presiden memiliki keberanian untuk membela negaranya.
    β€œPresiden Zelensky memiliki keberanian dan kekuatan untuk membela apa yang benar,” tulis Sybiha.
    Meski banyak warga yakin Ukraina mampu bertahan, sebagian mengkhawatirkan dampak ketegangan antara kedua pemimpin terhadap hubungan bilateral.
    β€œTanpa pasokan senjata dari AS, kita tidak akan bisa memenangi perang ini. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika hubungan ini semakin memburuk,” ujar Andriy, seorang dosen berusia 59 tahun.
    Sebelumnya, pertemuan di Washington DC direncanakan untuk memperbaiki hubungan kedua negara, dengan agenda utama penandatanganan perjanjian terkait mineral langka Ukraina.
    Namun, alih-alih meredakan ketegangan, diskusi antara Trump dan Zelensky justru berubah menjadi perdebatan sengit di hadapan awak media.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.