Tag: Vladimir Putin

  • AS Bisa Kirim Rudal Tomahawk ke Ukraina, Rusia Ingatkan Ini!

    AS Bisa Kirim Rudal Tomahawk ke Ukraina, Rusia Ingatkan Ini!

    Moskow

    Pemerintah Rusia memberikan respons keras untuk kemungkinan Amerika Serikat (AS) mengirimkan pasokan rudal jarak jauh Tomahawk ke Ukraina, yang akan memampukan Kyiv untuk menyerang lebih dalam ke wilayah Rusia.

    Jika pengiriman semacam itu dilakukan AS, seperti dilansir Reuters, Selasa (30/9/2025), Moskow memperingatkan soal eskalasi tajam yang mungkin terjadi dalam konflik yang berkecamuk selama 3,5 tahun terakhir.

    Wakil Presiden AS JD Vance mengatakan pada Minggu (28/9) bahwa Washington sedang mempertimbangkan permintaan Ukraina untuk mendapatkan pasokan rudal Tomahawk. Presiden AS Donald Trump belum mengambil keputusan akhir, dan Trump berhati-hati untuk tidak memicu eskalasi perang Ukraina menjadi konfrontasi langsung dengan Rusia.

    Namun demikian, fakta bahwa Trump sekarang mempertimbangkan langkah semacam itu menunjukkan seberapa besar frustrasi yang dirasakannya terhadap penolakan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menyetujui gencatan senjata.

    Bagi Kremlin, risiko eskalasi keterlibatan AS sudah jelas jika rudal jarak jauh semacam itu ditembakkan lebih jauh ke dalam wilayah Rusia. Dalam pernyataannya, juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan Rusia sedang melakukan “analisis mendalam” terhadap berbagai skenario.

    “Pertanyaannya… adalah: siapa yang dapat meluncurkan rudal-rudal ini…? Apakah hanya Ukraina yang dapat meluncurkannya, atau apakah tentara-tentara Amerika harus melakukannya?” kata Peskov kepada wartawan saat ditanya soal pernyataan terbaru Wapres AS.

    “Siapa yang menentukan penargetan rudal-rudal ini? Pihak Amerika atau Ukraina sendiri?” tanyanya.

    Peskov mengatakan bahwa “analisis yang sangat mendalam” diperlukan untuk situasi tersebut.

    Rudal Tomahawk memiliki jangkauan hingga 2.500 kilometer — cukup jauh untuk menghantam langsung Moskow dan sebagian besar wilayah Rusia di dekat Eropa jika ditembakkan dari Ukraina.

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky baru-baru ini memperingatkan para pejabat Kremlin bahwa mereka harus “mengetahui di mana tempat perlindungan bom berada” jika perang tidak juga diakhiri.

    Belum diketahui secara jelas bagaimana atau melalui negara mana rudal Tomahawk akan dipasok, jika nantinya AS mengabulkan permintaan Kyiv. Zelensky sebelumnya meminta Washington untuk menjualnya ke negara-negara Eropa yang kemudian akan mengirimkannya ke Ukraina.

    Putin sebelumnya memperingatkan bahwa Rusia berhak menyerang instalasi militer di negara-negara yang membiarkan Ukraina menggunakan rudal mereka untuk menyerang Rusia.

    Namun, terlepas dari itu, Peskov juga mengatakan bahwa penggunaan rudal Tomahawk tidak akan mengubah situasi dalam perang.

    “Bahkan jika ini terjadi, tidak ada obat mujarab yang dapat mengubah situasi di garis depan bagi rezim Kyiv sekarang… Dan baik itu Tomahawk maupun rudal-rudal lainnya, mereka tidak akan mampu mengubah dinamika,” tegasnya, merujuk pada kemajuan perlahan tapi pasti yang diraih Rusia di Ukraina bagian timur.

    Tonton juga video “Panas! Rusia-Ukraina Saling Melancarkan Serangan Besar” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Trump Ganti Gertak Rusia, Bagaimana Reaksi Ukraina?

    Trump Ganti Gertak Rusia, Bagaimana Reaksi Ukraina?

    Washington DC

    Mendadak nada Presiden Amerika Serikat Donald Trump berubah soal invasi Rusia di Ukraina. Tidak lagi menampakkan rasa kagum pada kekuatan otoriter Vladimir Putin, dia malah menulis Ukraina bisa merebut kembali semua wilayahnya, “dan mungkin lebih dari itu,” tulisnya di platform Truth Social.

    Pernyataan mengejutkan itu datang setelah pidato Trump di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa di New York, AS, yang juga ditandai pertemuan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.

    “Saya memahami sepenuhnya situasi militer dan ekonomi Ukraina serta Rusia,” tulis Trump.

    “Saya pikir Ukraina, dengan dukungan Uni Eropa, bisa berjuang dan merebut kembali seluruh wilayah dalam bentuk aslinya. Dengan waktu, kesabaran, dan bantuan finansial dari Eropa – terutama NATO – pemulihan wilayah yang menjadi asal mula perang ini bukanlah hal yang mustahil. Kenapa tidak? Rusia sudah berperang tanpa arah selama tiga setengah tahun, perang yang seharusnya bisa dimenangkan oleh kekuatan militer sejati dalam waktu kurang dari seminggu.”

    Trump mengulangi pandangan itu dalam pertemuan lanjutan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Dia menyebut Rusia berisiko menjadi “macan kertas”, karena keberhasilan militernya terbatas meski telah menelan banyak korban jiwa. Namun, dia juga mengakui bahwa perang ini kemungkinan masih akan berlangsung lama.

    Zelensky: “Kita lihat nanti”

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyambut pernyataan Trump dengan optimisme terbatas. Dalam wawancara dengan Fox News, dia menyebut unggahan Trump sebagai kejutan kecil yang menggembirakan.

    “Saya melihat sinyal yang sangat positif bahwa Trump dan Amerika akan berdiri di pihak kami hingga perang usai. Kita akan lihat, tapi semoga Tuhan memberkati ini menjadi kenyataan,” ujarnya.

    Pada Februari lalu, pertemuan keduanya di Oval Office berakhir ricuh di depan kamera. Saat itu, Zelensky mencoba menjelaskan posisi Ukraina dalam mempertahankan diri dengan segala cara dari agresi Rusia, namun akhirnya justru diminta meninggalkan Gedung Putih.

    Kini, Trump justru menyampaikan kekagumannya kepada Zelenksy. “Dia pria pemberani yang berjuang dalam sebuah perang sengit,” demikian pernyataan resmi Gedung Putih yang dikutip dari akun X milik presiden AS.

    Respons beragam di Ukraina

    Retorika baru Trump menuai berbagai respons dari kalangan politik Ukraina. Penasehat Kantor Kepresidenan Ukraina, Mykhailo Podolyak, menduga perubahan sikap itu karena Trump menyadari bahwa “Putin telah benar-benar menghancurkan reputasinya sendiri.”

    “Trump semula berharap bahwa kedekatannya dengan Putin akan membantunya menemukan solusi untuk konflik besar yang melanda seluruh Eropa. Dia ingin tampil sebagai pemimpin kuat Amerika dalam proses itu. Tapi sekarang dia sadar, itu semua ilusi,” ujar Podolyak kepada Deutsche Welle.

    Dia menyebut hal paling penting dari perubahan retorika ini adalah kesiapan AS menjual lebih banyak senjata ke negara-negara Eropa melalui NATO. “Itu semua harus sampai ke medan tempur,” katanya.

    Podolyak juga berterima kasih atas tekanan AS terhadap Eropa untuk menghentikan sanksi setengah hati terhadap Rusia — yang sudah mencapai 18 paket — dan beralih pada larangan nyata, termasuk sanksi sekunder kepada negara-negara yang masih membeli energi dari Rusia. Menurutnya, tekanan ekonomi adalah satu-satunya cara yang efektif untuk membuat Kremlin menghentikan perang.

    Namun tak semua pihak di Ukraina optimistis. Oleksiy Honcharenko dari oposisi “Solidaritas Eropa” memperingatkan bahwa pernyataan Trump bisa menimbulkan harapan palsu.

    “Itu bukan bantuan nyata. Dia hanya ingin mencuci tangan dari konflik ini. Trump tak bicara soal kemenangan Ukraina. Ia bilang: ‘Urus sendiri dengan Uni Eropa. Semoga sukses.’”

    Anggota fraksinya, Volodymyr Ariev, juga menyarankan rakyat Ukraina agar tidak memupuk ilusi.

    “Posisi Trump pada dasarnya tak berubah. Dia hanya mengulangi yang sudah kita tahu: Ukraina bisa menang kalau punya cukup senjata, dan perang akan terus berlangsung.”

    Ariev menambahkan, baru jika Trump dan Eropa mengirim lebih banyak senjata dan menjatuhkan sanksi berat, barulah bisa dibicarakan perubahan kondisi perang. “Untuk saat ini, kita harus bertahan dan mengandalkan kekuatan pertahanan sendiri.”

    Jaroslav Zhelezniak dari oposisi Partai “Holos” bahkan lebih singkat. “Apa yang baru dari ucapan Trump dan apa artinya bagi kita? Tidak ada. Apa yang bisa kita harapkan setelah ini? Juga tidak ada.”

    Dari kubu pemerintah, nada yang sama terdengar. Danylo Hetmantsev dari Partai “Diener des Volkes” menyebut Trump akhirnya sadar bahwa Rusia tak menginginkan perdamaian. Tapi dia menilai pernyataan Trump soal perang yang akan berlangsung lama adalah skenario buruk.

    “Itu berarti bahkan Trump, yang dulu percaya ia bisa cepat mengakhiri perang dan meraih Hadiah Nobel Perdamaian, kini tak yakin lagi bisa melakukannya,” tulisnya di Telegram.

    Kenapa sekarang?

    Direktur Pusat Riset Sosial “Ukrainian Meridian”, Dmytro Lewus, percaya perubahan retorika Trump adalah hasil dari kerja keras diplomatik Ukraina dan mitra-mitra Eropanya. Kyiv bersikukuh pada posisinya. Kunjungan Zelensky ke Washington bersama para pemimpin Uni Eropa dan NATO disebutnya sebagai keberhasilan Ukraina.

    Rusia juga turut mempengaruhi Trump, menurut Lewus. Meski mendapat berbagai bentuk konsesi, Moskow tetap bersikeras pada posisinya, bahkan menuntut Kyiv menyerah. Sikap arogan Rusia itu, katanya, bisa jadi membuat Trump kecewa.

    Namun Oleksandr Kraiev, pakar Amerika Utara dari Ukrainian Prism, skeptis. “Ini hanya diplomasi burung beo dari Trump. Dia hanya mengulangi apa yang baru-baru ini dia dengar. Dia bertemu delegasi Eropa dan Ukraina, lalu mengatakan apa yang ingin kita dengar. Dalam bukunya pun Trump menulis, katakan pada orang apa yang ingin mereka dengar untuk mencapai kesepakatan.”

    Kraiev menambahkan, Trump saat ini menuntut Eropa memberlakukan sanksi pada China, India, dan negara-negara lain yang berpihak pada Rusia, sementara dirinya sendiri hanya ingin tampil sebagai mediator.

    “Jadi, ini langkah yang benar dan positif, tapi tetap didasari kepentingannya sendiri.”

    Pendapat senada datang dari Taras Beresovets – mantan jurnalis yang kini menjadi perencana strategi politik dan personel militer. Dia menduga retorika baru Trump soal Ukraina lebih berkaitan dengan perubahan taktik Amerika terhadap China.

    “Pernyataan itu lebih merupakan upaya menaikkan taruhan, bukan terhadap Moskow, melainkan terhadap Beijing. Saya yakin parade militer di Tiananmen mengesankan Trump, dan kini ia justru memprovokasi musuh yang sebenarnya dia anggap utama. Karena itu sikapnya berubah. Tapi, bisa jadi dua hari lagi Trump berubah pikiran lagi. Kita tak perlu bereuforia, tapi juga tak perlu putus asa,” tulisnya di Telegram.

    Diadaptasi dari bahasa Ukraina oleh Markian Ostaptschuk
    Disadur oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    Lihat juga Video: Macron Sepakat dengan Trump di Sidang PBB, Desak Rusia Akhiri Perang

    (nvc/nvc)

  • Bisakah Donor Organ Bantu Manusia Hidup hingga Umur 150? Dokter Bilang Gini

    Bisakah Donor Organ Bantu Manusia Hidup hingga Umur 150? Dokter Bilang Gini

    Jakarta

    Pertemuan Presiden Rusia, Vladimir Putin dengan Presiden China Xi Jinping beberapa waktu lalu sempat menghebohkan publik. Ini karena keduanya terekam secara tak sengaja membahas manfaat dahsyat dari transplantasi organ.

    Saat Putin dan Xi berjalan menuju mimbar Tiananmen tempat mereka menyaksikan parade bersama Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, penerjemah Putin terdengar berkata dalam bahasa Mandarin.

    “Bioteknologi terus berkembang. Organ manusia dapat ditransplantasikan secara terus-menerus. Semakin lama Anda hidup, maka semakin muda Anda, dan (Anda) bahkan dapat mencapai keabadian,” kata penerjemah Putin.

    Menanggapi hal tersebut, Xi, yang tidak terlihat di kamera, terdengar menjawab dalam bahasa Mandarin.

    “Beberapa orang memperkirakan bahwa pada abad ini manusia dapat hidup hingga 150 tahun,” kata Xi.

    Saat ditanya mengenai hal ini, Ketua Indonesian Transplantation Society (InaTS) Dr dr Maruhum Bonar Hasiholan marbun, SpPD-KGH mengatakan bahwa masa depan transplantasi organ di dunia medis memang cukup terang.

    Namun, untuk transplantasi organ bisa membantu manusia menjadi ‘hidup abadi’ atau 150 tahun seperti yang dikatakan oleh Xi, sejauh ini mimpi tersebut masih teoritis.

    “Di China, kan pusat penelitiannya bagus sekali kita ngaku lah karena duitnya banyak jadi risetnya luar biasa. Jadi mereka sudah bisa bikin (organ). Mau bikin ginjal, hati, stem cell itu kan bikin (organ),” kata dr Bonar kepada wartawan di Kabupaten Tangerang, Jumat (26/9/2025).

    “Jadi ngambil (sel) dari organ apa aja, dari tali pusat, bikin organ. Tapi itu masih teoritis. Jadi mereka (Xi dan Putin) ngomong-ngomong gini ‘kalau lo mau sehat, tinggal mana yang sakit gue ganti’. Tapi, itu masih jauh ke depan, belum sampai saat ini,” sambungnya.

    dr Bonar mengatakan, untuk transplantasi organ di Indonesia, sebagai contoh adalah ginjal, saat ini ‘tambahan umur’ yang masih realistis adalah 10 tahun, ditambah dengan kualitas hidup yang lebih baik pula.

    “Ginjal itu dikatakan berhasil 80-90 persen dalam satu tahun (hidup usai transplantasi), itu yang dikatakan pusat transplatasinya berhasil,” kata dr Bonar.

    “(Hidup) di atas satu tahun, keberhasilan kami di atas 90 persen, untuk di RSCM ya. Rata-rata pasien di atas 60 tahun,” sambungnya.

    Umumnya, yang menjadi masalah dari prosedur transplantasi adalah ketidakcocokan organ atau infeksi pasca operasi.

    “Kalau operasinya gampang, seperti operasi yang lain kan,” katanya.

    Di RSCM sendiri, lanjut dr Bonar saat ini sudah ada beberapa orang yang sudah mendaftar untuk menjadi pendonor organ.

    “Sudah kami buat daftarnya, sampai saat ini kurang lebih ada 10 orang (calon pendonor). Sudah ada di RSCM,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/kna)

  • Reformasi Polri: Dari Dalam atau Luar?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 September 2025

    Reformasi Polri: Dari Dalam atau Luar? Nasional 26 September 2025

    Reformasi Polri: Dari Dalam atau Luar?
    Direktur Eksekutif Migrant Watch
    SAYA
    masih ingat jelas ketika kami, mahasiswa, turun ke jalan pada peristiwa 1998, menuntut reformasi.
    Meski rakyat diliputi ketakutan terhadap sosok Soeharto yang memerintah dengan tangan besi, tuntutan reformasi itu menggaung kuat, lahir dari jeritan nurani rakyat yang lelah dan jenuh menghadapi otoritarianisme yang telah berlangsung bertahun-tahun.
    Menariknya, Presiden Soeharto saat itu mencoba merespons tuntutan reformasi dengan langkah simbolik.
    Ia merombak beberapa posisi kabinet, mengundang tokoh nasional seperti Gus Dur, Cak Nur, dan Emha Ainun Nadjib untuk berdialog, serta mengusulkan pembentukan Dewan Reformasi.
    Pertanyaannya: apakah rakyat langsung percaya? Tentu saja tidak. Mayoritas menolak karena tidak percaya pada keseriusan langkah tersebut.
    Rakyat tidak yakin reformasi bisa lahir dari tangan penguasa yang justru dianggap biang dari masalah itu sendiri. Bagaimana mungkin orang yang selama puluhan tahun mempertahankan status quo, tiba-tiba menjadi juru kunci reformasi?
    Akhirnya, meski Soeharto mencoba tampil sebagai motor perubahan, rakyat justru semakin kencang menuntut agar ia turun. Reformasi hanya bisa berjalan tanpa campur tangan rezim Soeharto.
    Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri, membuka jalan bagi perubahan yang sesungguhnya.
    Sejarah membuktikan bahwa reformasi hanya bisa terjadi dari luar kekuasaan, bukan dari dalam kekuasaan.
    Sejarah Reformasi 1998 masih menyisakan gema yang relevan hingga saat ini, khususnya dalam konteks agenda reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
    Desakan agar institusi kepolisian direformasi telah lama bergema di ruang publik, seiring munculnya berbagai kasus yang mencoreng kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
    Namun, respons yang muncul justru mirip dengan pola lama: pemerintah membentuk Komite Reformasi, sementara Kapolri turut menginisiasi Tim Transformasi Reformasi Polri. Dari sisi logika publik, situasi ini tampak janggal.
    Bagaimana mungkin institusi yang menjadi objek kritik sekaligus bertindak sebagai subjek yang mengatur arah reformasi?
    Analogi yang sering muncul adalah ibarat seorang pasien sakit keras diminta meracik obat untuk dirinya sendiri, padahal ia belum tentu mengakui penyakit yang dideritanya.
    Publik pun bertanya-tanya, apakah ini wujud keseriusan atau justru siasat untuk mereduksi tujuan reformasi Polri?
    Dalam kerangka akademis, persoalan reformasi dapat dipahami sebagai dilema antara reformasi internal dan eksternal.
    Reformasi yang sepenuhnya dilakukan dari dalam institusi kerap berakhir pada langkah-langkah
    lips service
    atau kosmetik, sekadar perubahan nomenklatur, pembentukan tim ad-hoc, atau slogan-slogan sementara yang tidak menyentuh akar persoalan.
    Ketika Kapolri mengumumkan pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri lewat Surat Perintah yang diteken pada 17 September 2025, reaksi publik muncul cepat dan beragam.
    Polri menegaskan bahwa tim ini bukan untuk menggantikan Komite Reformasi bentukan Presiden, melainkan untuk mempercepat dan mengakomodasi proses reformasi.
    Namun, banyak pihak menilai narasi itu sebagai upaya mereduksi urgensi reformasi. Dalam praktiknya, tim internal Polri berpotensi mengambil ruang inisiatif dan legitimasi, sekaligus menggeser perhatian publik dari kelemahan struktural hingga fokus pada evaluasi administratif semata.
    Kecurigaan publik muncul dari beberapa faktor. Pertama, pembentukan tim internal dipandang sebagai strategi defensif: Polri tampak ingin menunjukkan bahwa mereka “sudah bergerak”, bahkan sebelum Komite Reformasi Presiden beroperasi.
    Hal ini menimbulkan persepsi bahwa narasi reformasi sedang direbut dan kritik publik dibingkai ulang sebagai bagian dari kontrol internal, sehingga tekanan eksternal, yang biasanya efektif, dapat dilemahkan.
    Kedua, publik melihat risiko bahwa tim internal ini bisa menjadi alat legitimasi tanpa kejelasan sanksi atau implementasi nyata.
    Evaluasi internal tanpa diikuti perombakan regulasi, revisi undang-undang, pemisahan kepentingan, atau pengurangan kewenangan yang rawan disalahgunakan, dapat membuat reformasi berhenti di level dokumen saja.
    Ketiga, ada kekhawatiran bahwa tim internal dapat “membangkang” atau mengambil jarak dari arahan Komite Presiden, bahkan arahan Presiden sendiri, dengan alasan teknis-operasional, stabilitas organisasi, atau hambatan internal Polri.
    Walaupun Polri membantah dan menyatakan tim bertujuan akselerasi dan akuntabilitas, publik tetap khawatir bahwa alasan tersebut menjadi topeng untuk mempertahankan status quo.
    Keempat, ketidakjelasan komposisi tim dan transparansi mandat memperkuat kecurigaan. Beberapa laporan menyebut tim sebagian besar terdiri dari internal Polri (perwira), sementara belum jelas seberapa besar ruang diberikan bagi unsur masyarakat sipil, akademisi, pegawai non-perwira, atau institusi pengawas eksternal.
    Ketidakjelasan ini membuka kemungkinan tim bekerja dalam lingkup yang aman bagi institusi, bukan sebagai agen perubahan yang menantang struktur.
    Publik pun mempertanyakan apakah tim transformasi internal ini akan berani menegakkan reformasi yang dapat “menyakiti” kepentingan internal Polri — misalnya memecat anggota bermasalah, membongkar sistem promosi tidak transparan, atau menangani kasus pelanggaran HAM dan kekerasan aparat secara tegas.
    Di sisi lain, Polri dan pendukung reformasi internal menekankan bahwa tim ini adalah bentuk tanggung jawab organisasi agar reformasi tidak berhenti pada jargon.
    Tanpa kerja internal, reformasi dari luar bisa jadi sia-sia karena institusi sendiri tidak siap menghadapi lonjakan tuntutan, atau bisa terjadi konflik internal yang kontraproduktif.
    Dalam perspektif teori kekuasaan, sulit membayangkan institusi yang begitu kuat rela melucuti kekuatan dirinya sendiri. Analogi klasiknya: tidak ada pemilik pistol yang menyerahkan pistolnya untuk ditembakkan ke kepalanya sendiri.
    Lembaga yang memiliki privilese kekuasaan, wewenang hukum, dan monopoli kekerasan sah cenderung mempertahankan status quo. Reformasi internal sering berisiko melahirkan simulasi perubahan, bukan perubahan substansial.
    Polri, sebagai institusi dengan struktur hirarkis ketat dan akses luas terhadap alat negara, menghadapi dilema tersebut.
    Pembentukan tim internal justru mempertegas kecenderungan alami ini: alih-alih memfasilitasi transformasi, tim internal bisa berfungsi sebagai mekanisme pengaman untuk menghindarkan institusi dari guncangan.
    Dengan kata lain, reformasi internal sering bekerja sebagai strategi penundaan, bukan strategi perombakan.
    Inilah alasan mengapa reformasi sejati memerlukan tekanan eksternal yang kuat, pengawasan independen, dan kesediaan politik dari pucuk kekuasaan.
    Tanpa reformasi dari luar, setiap janji reformasi berpotensi redup menjadi jargon administratif yang aman bagi institusi, tetapi gagal menjawab keresahan rakyat.
    Belajar dari negara lain memberikan pelajaran berharga bagi reformasi kepolisian yang akan dilakukan di Indonesia.
    Di Hong Kong, lembaga kepolisian pernah dikenal korup dan kehilangan kepercayaan publik pada era 1960-an.
    Pemerintah kemudian membentuk Independent Commission Against Corruption (ICAC), komisi independen yang benar-benar terpisah dari kepolisian.
     
    ICAC tidak hanya berwenang menyelidiki kasus korupsi di luar kepolisian, tetapi juga menindak aparat kepolisian sendiri.
    Anggota kepolisian yang terbukti bersalah dapat dipecat, diproses hukum, dan dijatuhi hukuman penjara. Dengan pengawasan eksternal yang tegas ini, kepercayaan publik terhadap institusi negara dapat dipulihkan.
    Di Amerika Serikat, berbagai skandal polisi yang melibatkan diskriminasi rasial mendorong lahirnya Civilian Review Boards atau dewan pengawas sipil di sejumlah kota.
    Dewan ini menampung laporan warga, melakukan investigasi independen, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah kota.
    Walaupun efektivitasnya berbeda-beda di tiap kota, keberadaan mekanisme sipil menegaskan pentingnya kontrol eksternal dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
    Pengalaman Afrika Selatan pasca-runtuhnya apartheid juga menarik. Reformasi kepolisian di sana tidak hanya soal pembenahan struktur, tetapi juga transformasi budaya.
    Aparat yang terbukti bersalah diberhentikan atau dipindahkan, sementara pendidikan ulang dilakukan secara besar-besaran agar mereka meninggalkan mentalitas represif rezim lama dan mengadopsi nilai-nilai demokrasi.
    Dalam beberapa kasus, anggota yang melanggar hukum diproses secara hukum. Hasilnya, meskipun belum sempurna, kepolisian di Afrika Selatan lebih diarahkan menjadi instrumen pelayanan publik, bukan alat politik.
    Selain itu, beberapa negara mengambil langkah lebih tegas berupa pemecatan massal aparat kepolisian sebagai bagian dari reformasi institusi.
    Di Georgia, Presiden Mikheil Saakashvili pada 2005 memecat sekitar 30.000 personel kepolisian, terutama dari kepolisian lalu lintas, untuk menanggulangi maraknya korupsi.
    Pemerintah kemudian merekrut polisi baru, memberikan pelatihan intensif, dan meningkatkan gaji untuk membangun institusi yang lebih bersih dan profesional.
    Di Peru, Presiden Ollanta Humala pada 2011 memecat sekitar dua pertiga jajaran petinggi kepolisian, termasuk Kepala Kepolisian dan Kepala Satuan Pemberantasan Narkoba, sebagai langkah membersihkan institusi dari praktik ilegal dan penyalahgunaan wewenang.
    Afrika Selatan, pada 2012, juga memecat Kepala Kepolisian Jenderal Bheki Cele terkait kasus korupsi penyewaan gedung, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi di tingkat tinggi.
    Di Rusia, Presiden Vladimir Putin pada 2015 memecat lebih dari 1.000 petinggi kepolisian yang terlibat kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang, bagian dari upaya untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
    Dari berbagai contoh tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa reformasi kepolisian yang efektif membutuhkan dua hal utama: pengawasan eksternal yang benar-benar independen, serta kesediaan internal untuk berubah melalui transformasi budaya, pendidikan, dan perombakan struktural, termasuk pemecatan aparat yang terbukti melanggar hukum, bahkan sampai level jabatan tinggi.
    Reformasi tanpa langkah tegas ini berisiko hanya menjadi retorika tanpa perubahan substansial.
    Indonesia dapat belajar dari pengalaman tersebut. Reformasi Polri tidak cukup hanya dibicarakan dalam komite atau tim internal yang dibentuk pemerintah.
    Diperlukan lembaga independen yang memiliki otoritas nyata untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja kepolisian, bahkan menindak jika diperlukan.
    Pada saat sama, Polri perlu melakukan transformasi internal melalui kurikulum pendidikan baru yang menekankan etika, pelayanan publik, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
    Restrukturisasi kelembagaan juga harus dilakukan agar Polri lebih fokus. Fungsi-fungsi yang tumpang tindih atau dapat diotomatisasi sebaiknya dipangkas untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan.
    Namun, masalahnya kini bukan hanya soal teknis reformasi, melainkan juga soal kepercayaan publik. Banyak kalangan curiga bahwa pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri tidak lebih dari strategi untuk meredam kritik.
    Alih-alih menunjukkan keseriusan, tim ini justru menimbulkan tanda tanya besar: apakah polisi benar-benar berniat berubah, atau hanya berusaha mengendalikan narasi reformasi agar tetap aman di bawah kendali mereka?
    Kecurigaan ini wajar, sebab publik sudah terlalu sering disuguhi janji perubahan yang berakhir menjadi jargon.
    Tanpa keterlibatan independen dari masyarakat sipil dan tanpa kesediaan menyerahkan sebagian kontrol kepada mekanisme eksternal, reformasi Polri akan sulit dipercaya.
    Apalagi, jika reformasi hanya dijalankan melalui tim internal, besar kemungkinan hasilnya sekadar kosmetik. Terlihat rapih di permukaan, tetapi busuk di dalam.
    Sejarah 1998 menunjukkan bahwa rakyat tidak akan percaya reformasi yang digerakkan penguasa yang mempertahankan status quo. Untuk Polri menjadi profesional dan memulihkan legitimasi, reformasi harus dilakukan dari tekanan eksternal.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Rusia Tegaskan Tak Ada Pilihan Selain Lanjutkan Serangan di Ukraina

    Rusia Tegaskan Tak Ada Pilihan Selain Lanjutkan Serangan di Ukraina

    Moskow

    Kantor kepresidenan Rusia atau Kremlin menegaskan bahwa pihaknya tak punya pilihan selain melanjutkan serangan militer di Ukraina. Hal ini disampaikan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan bahwa Ukraina bisa merebut kembali seluruh wilayahnya yang diduduki Rusia selama perang.

    Pernyataan terbaru Trump itu menandai perubahan besar dalam sikapnya terhadap Rusia setelah perang berkecamuk selama tiga setengah tahun terakhir. Trump, dalam pernyataannya, juga menyebut perang telah membuat Rusia tampak seperti “macan kertas”, dengan perekonomian yang sedang merosot.

    Dalam tanggapannya, seperti dilansir AFP, Rabu (24/9/2025), juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menolak pernyataan “macan kertas” yang dilontarkan Trump, yang tampaknya dimaksudkan untuk menyebut Moskow lemah.

    Peskov membalas komentar Trump itu dengan mengatakan bahwa Rusia lebih diasosiasikan dengan “beruang”.

    “Istilah ‘macan kertas’ digunakan dalam kaitannya dengan ekonomi kita,” ucapnya, menepis komentar Trump.

    “Rusia lebih diasosiasikan dengan beruang. Dan beruang kertas itu tidak ada. Rusia adalah beruang sungguhan,” cetus Peskov.

    Peskov, dalam pernyataannya, menegaskan bahwa Rusia tidak memiliki pilihan lainnya selain melanjutkan serangan militer terhadap Ukraina.

    “Kami melanjutkan operasi militer khusus kami untuk memastikan kepentingan kami dan mencapai tujuan (yang ditetapkan oleh Presiden Vladimir Putin),” kata Peskov, menggunakan istilah Moskow untuk menyebut invasi terhadap Ukraina.

    “Kami melakukan ini baik untuk masa kini dan masa depan negara kami. Untuk banyak generasi mendatang. Oleh karena itu, kami tidak memiliki alternatif,” tegasnya dalam wawancara dengan surat kabar Rusia.

    Dalam pernyataannya, Peskov mengakui bahwa perekonomian Rusia — yang melambat setelah tiga tahun pertumbuhan pesat dan inflasi yang membandel — menghadapi beberapa hambatan.

    “Rusia menjaga stabilitas makroekonominya,” ujar Peskov, sembari menambahkan: “Iya, Rusia sedang mengalami ketegangan dan masalah-masalah di berbagai sektor ekonomi.”

    Trump, dalam pernyataan via media sosial miliknya, Truth Social pada Selasa (23/9), mengatakan Ukraina, dengan didukung Uni Eropa, bisa memulihkan perbatasannya seperti sebelum invasi Rusia. Dia juga mencetuskan Kyiv bertindak sekarang saat Moskow menghadapi masalah ekonomi “besar”.

    “Putin dan Rusia berada dalam masalah ekonomi BESAR, dan inilah saatnya bagi Ukraina untuk bertindak,” cetusnya.

    Trump juga mengatakan perang membuat Rusia tampak seperti “macan kertas”, dengan menyebut perang telah memakan dana yang besar untuk Moskow.

    “Rusia telah bertempur tanpa tujuan selama tiga setengah tahun, sebuah perang yang seharusnya hanya membutuhkan waktu kurang dari seminggu bagi kekuatan militer sejati untuk menang. Hal ini membuat Rusia berbeda. Malah, hal ini justru membuat mereka tampak seperti ‘macan kertas’,” sebutnya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Dino Patti Djalal Bongkar Politik Luar Negeri Jokowi yang Buruk, ke Ukraina Untuk Pencitraan

    Dino Patti Djalal Bongkar Politik Luar Negeri Jokowi yang Buruk, ke Ukraina Untuk Pencitraan

    GELORA.CO  – Usai pensiun jadi Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi, mata publik baru terbuka.

    Karena mulai banyak orang yang berani membongkar sikap buruknya.

    Terbaru, mantan Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) di era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Dino Patti Djalal, ungkap unek-unek yang sudah lama dipendam.

    Sebagai mantan diplomat, Dino memiliki jarinagn luar negeri yang luas dan kredibel.

    Karena itu Dino sangat tahu sikap politik luar negeri Jokowi saat dua periode menjabat.

    Ternyata, Jokowi menjadi salah satu Presiden RI yang paling enggan mengikuti acara pemimpin dunia lewat berbagai forum atau organisasi.

    Entah karena kendala bahasa Inggris yang tak lancar, atau persoalan lain.

    Yang pasti, kata Dino, Jokowi sering mendelegasikan acara penting itu kepada para menteri atau Wakil Presiden saat dijabat Jusuf Kalla.

    Hal ini diungkap Dino di kanal YouTube Total Politik, Rabu (24/9/2025), yang dikutip Tribunnews.com.

    Menurut Dino, Jokowi bukanlah sosok presiden yang tertarik dengan politik luar negeri.

    Dino mengungkapkan hal itu sudah terlihat ketika Jokowi pertama kali menjabat sebagai Presiden RI pada tahun 2014 lalu.

    Adapun contohnya ketika Jokowi enggan menghadiri forum G20 dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC.

    Bahkan, kata Dino, Jokowi juga tidak tertarik akan pertemuan dengan negara anggota ASEAN.

    Baca juga: Jokowi Arahkan Relawan Dukung Prabowo-Gibran 2 Periode, Ahli: Sebagai Eks Presiden, Ini Menyedihkan

    Jokowi, sambung Dino, menyebut bahwa pertemuan semacam itu tidak menimbulkan dampak nyata bagi masyarakat.

    “Saya ingat waktu beliau menjadi Presiden diminta untuk ke G20 dan KTT APEC, setelah beliau disumpah jadi Presiden, susah banget karena beliau tidak tertarik.”

    “Bahkan ASEAN pun, banyak cerita-cerita diplomat, beliau sempat bilang ini apa sih perkumpulan hanya ngomong-ngomong aja,” katanya.

    Keengganan Jokowi untuk hadir dalam pertemuan internasional semakin terlihat ketika dirinya juga enggan untuk mengikuti Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Jokowi memang tidak pernah menghadiri langsung Sidang Umum PBB selama dua periode menjadi orang nomor satu di Indonesia.

    Dia selalu memerintakan Menteri Luar Negeri (Menlu) ataupun Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), untuk menghadirinya.

    Dino pun sempat memperoleh cerita ketika Jusuf Kalla bercerita ke Jokowi terkait padatnya rangkaian acara di PBB.

    Menurut Dino, hal tersebut turut menjadi alasan Jokowi enggan untuk menghadiri Sidang Umum PBB.

    “Pernah ada cerita, beliau nanya ke pak JK, Pak JK waktu itu sedang di New York ‘pak saya hari ini 5-10 meeting, sibuk. Pak Jokowi lalu bilang ‘ya karena itulah saya nggak mau ke sana’. Nah jadi interest-nya emang nggak ada,” tuturnya.

    Selanjutnya, mantan juru bicara SBY tersebut juga menyebut bahwa kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia saat konflik kedua negara tersebut terjadi hanya untuk pencitraan di dalam negeri.

    Jokowi memang pernah pergi ke Ukraina dan bertemu Presiden Volodymyr Zelenskyy pada 29 Juni 2022 lalu.

    Dikutip dari laman Presiden RI, Jokowi menyebut bahwa kunjungan ke Ukraina adalah wujud kepedulian masyarakat Indonesia untuk Ukraina.

    Sehari setelahnya, Jokowi pun sempat bertemu Presiden Rusia, Vladimir Putin, di Moskow dan mengatakan siap menjembatani agar kedua negara berdamai.

    “Kita lihat waktu konflik Rusia-Ukraina, beliau datang ke Ukraina dan Rusia dan saya dan kita semua kan senang, ya,” ujarnya.

    “Tetapi ternyata, dan mohon maaf sekali untuk para pendukung Jokowi, tapi ternyata ini lebih untuk konsumsi dalam negeri dan bukan untuk menyelesaikan konflik. Kalau kita benar-benar mau bantu, ya bantu,” lanjut Dino.

    Dino lantas membandingkan kepemimpinan Jokowi dan SBY di mana mantan atasannya itu memiliki keseimbangan dalam mengurusi urusan dalam negeri dan luar negeri.

    “Ini Pak SBY, dalam negeri bagus secara politik, ekonomi, demokrasi, reformasi, tetapi (urusan) luar negeri aktif dan berdampak,” tuturnya.

    Dia pun berharap agar Presiden Prabowo Subianto mencontoh cara kepemimpinan SBY di masa lalu.

    “Dan saya kira dari sekarang, Pak Prabowo harus bisa berpikir bagaimana saya jadi Presiden di dalam negeri secara politik dan ekonomi sukses tapi juga luar negeri, kita bisa berdampak. Itu susah sekali,” pungkasnya

  • Putin Beri Kewarganegaraan Rusia ke Wanita AS Ngaku Dilecehkan Biden

    Putin Beri Kewarganegaraan Rusia ke Wanita AS Ngaku Dilecehkan Biden

    Moskow

    Tara Reade, seorang wanita Amerika Serikat (AS) yang menuduh mantan Presiden Joe Biden melakukan kekerasan seksual pada dirinya tahun 1990-an silam, mendapatkan status kewarganegaraan Rusia. Pemberian kewarganegaraan itu diatur dalam dekrit yang diteken langsung oleh Presiden Rusia Vladimir Putin.

    Dokumen yang dipublikasikan dalam situs web informasi hukum resmi Rusia, seperti dilansir AFP, Selasa (23/9/2025), menyatakan bahwa Reade, yang memiliki nama lengkap “McCabe Alexandra Tara, lahir pada 26 Februari 1964” kini telah menjadi warga negara Rusia.

    Menurut laporan media lokal AS, Reade mengganti namanya menjadi Alexandra McCabe pada tahun 1998 untuk melindungi dirinya dari mantan suaminya, yang dia tuduh melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

    Pada awal tahun 2020, Reade mengklaim bahwa Biden, yang saat itu mencalonkan diri dalam pilpres, telah melakukan kekerasan seksual terhadap dirinya di koridor gedung Kongres AS tahun 1993 silam, ketika Biden masih menjadi Senator AS dan Reade bekerja untuknya.

    Tuduhan itu dibantah mentah-mentah oleh Biden, namun sempat menjadi salah satu hambatan dalam kampanye pilpres melawan Donald Trump, yang pada saat itu menjabat periode pertama sebagai Presiden AS.

    Trump sendiri juga menghadapi rentetan tuduhan penyerangan seksual, pelecehan seksual, bahkan tuduhan pemerkosaan dari sejumlah wanita. Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS untuk periode keduanya sejak Januari 2025 lalu.

    Namun tuduhan yang dilontarkan Reade terhadap Biden diwarnai Inkonsistensi, termasuk tidak adanya catatan aduan yang diklaimnya telah disampaikan kepada Kongres AS usai dugaan kekerasan seksual itu.

    Kemudian pada Mei 2023, Reade mengumumkan dalam wawancara dengan media Rusia, Sputnik, bahwa dirinya bermaksud mengajukan permohonan paspor Rusia.

    Pada saat itu dia berbicara dari Moskow, dan mengakui dirinya memutuskan tetap tinggal di Rusia karena khawatir akan keselamatannya di negara asalnya.

    Pada Juli 2024, Reade sempat mengumumkan via media sosial X bahwa dirinya pulang ke AS untuk mengadukan Biden atas tuduhan penyerangan seksual, beberapa hari sebelum Biden yang sedang sakit itu mengundurkan diri dari pencapresannya.

    Lihat juga Video ‘Putin Ungkit Perjanjian Minsk, Salahkan Ukraina Atas Perang’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Eks Presiden Duterte Didakwa Atas Kejahatan terhadap Kemanusiaan

    Eks Presiden Duterte Didakwa Atas Kejahatan terhadap Kemanusiaan

    Jakarta

    Mantan presiden Filipina, Rodrigo Duterte, didakwa atas kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

    Pria berusia 80 tahun ini dituduh bertanggung jawab secara pidana terkait puluhan pembunuhan yang diduga terjadi sebagai bagian dari apa yang disebutnya sebagai ‘perang melawan narkoba’. Dalam operasi tersebut, ribuan pengedar narkoba kecil-kecilan, pengguna, dan lainnya dibunuh tanpa diadili.

    Surat dakwaan ICC, yang beberapa bagiannya telah disensor sebelum dirilis ke publik, dikeluarkan pada Juli lalu tetapi baru dipublikasikan pada Senin (22/09).

    Wakil jaksa ICC, Mame Mandiaye Niang, mengatakan Duterte adalah “pelaku tidak langsung” dalam rentetan pembunuhan tersebut. Aksi pembunuhan itu sendiri, menurut pengadilan, dilakukan orang lain termasuk polisi.

    Dakwaan pertama terhadap Duterte menyangkut dugaan keterlibatannya dalam pembunuhan terhadap 19 orang di Kota Davao antara 2013 dan 2016 saat ia menjabat sebagai wali kota di sana.

    Dakwaan kedua berkaitan dengan pembunuhan terhadap 14 “target bernilai tinggi” di berbagai lokasi di Filipina. Adapun dakwaan ketiga berkaitan dengan pembunuhan dan percobaan pembunuhan terhadap 45 orang dalam operasi pembersihan desa.

    Dakwaan kedua dan ketiga terjadi saat Duterte menjabat presiden Filipina, antara 2016 dan 2022, ketika dia melancarkan apa yang disebutnya sebagai ‘perang melawan narkoba’.

    Duterte tidak menyampaikan permintaan maaf atas tindakan keras antinarkoba yang menewaskan lebih dari 6.000 orangmeskipun para aktivis yakin angka sebenarnya bisa mencapai puluhan ribu orang.

    Pengacara Duterte mengatakan kliennya tidak dapat diadili karena kesehatannya yang buruk.

    Getty ImagesMantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, membaca surat perintah penahanannya saat berada di Pangkalan Udara Villamor di Manila, Selasa (11/03).

    Pada Mei lalu, mantan presiden tersebut kembali terpilih sebagai wali kota Davao, meskipun berada di penjara. Putranya, Sebastian (yang telah menjabat sebagai wali kota sejak 2022), mengemban tugas sebagai wali kota sementara menggantikan ayahnya.

    Para pendukung Duterte menuduh ICC digunakan sebagai alat politik oleh presiden saat ini, Ferdinand Marcos, yang secara terbuka berselisih dengan keluarga Duterte.

    ICC tidak memiliki wewenang untuk menangkap orang tanpa kerja sama dari negara tempat mereka berada. Marcos sebelumnya telah menolak bekerja sama dengan ICC.

    Mantan juru bicara kepresidenan Duterte, Salvador Panelo, mengecam penangkapan Duterte. Dia mengklaim penangkapan Duterte “melanggar hukum” karena Filipina telah menarik diri dari ICC.

    Namun, ICC sebelumnya mengatakan bahwa mereka memiliki yurisdiksi di Filipina atas dugaan kejahatan yang dilakukan sebelum Filipina menarik diri sebagai anggota.

    Rodrigo Duterte adalah mantan kepala negara Asia pertama yang didakwa oleh ICC dan tersangka pertama yang diterbangkan ke Den Haag di Belanda, tempat pengadilan tersebut berada selama lebih dari tiga tahun terakhir. Ia telah ditahan di sana sejak Maret.

    AFPPesawat jet yang membawa mantan presiden Filipina Rodrigo Duterte ke Belanda, terlihat di landasan pacu Pangkalan Udara Villamor di Pasay, Metro Manila, 11 Maret 2025.

    Duterte ditangkap di bandara Manila pada 11 Maret lalu. Dalam beberapa jam sudah berada di dalam pesawat jet sewaan menuju Den Haag, tempat ICC berkantor.

    Selama penerbangan, Duterte berbicara seraya direkam kamera ponsel. Hasil rekamannya kemudian disebarluaskan melalui platform Facebook.

    “Saya adalah orang yang memimpin aparat penegakan hukum dan militer kita. Saya sudah katakan bahwa saya akan melindungi Anda dan saya akan bertanggung jawab atas semua ini,” katanya dalam sebuah video Facebook.

    Duterte mempertanyakan dasar surat perintah penangkapan yang dikeluarkan ICC: “Kejahatan apa yang telah saya lakukan?”

    Begitu pesawat mendarat di Rotterdam, ICC mengonfirmasi bahwa Duterte ditahan untuk menghadapi dakwaan “pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan”.

    “Sidang akan dijadwalkan pada waktunya untuk menghadirkan Duterte di pengadilan,” sebut ICC.

    Getty ImagesPara pendukung Duterte berkumpul di luar Lembaga Pemasyarakatan Den Haag untuk memprotes penangkapannya.

    Pada Maret lalu, para pendukung Duterte berkumpul di luar Lembaga Pemasyarakatan Den Haag untuk memprotes penangkapannya.

    Banyak dari mereka melambaikan bendera Filipina, sementara yang lain menirukan gerakan khas Duterte dengan mengepalkan tangan.

    “Kami mendukung Duterte,” demikian bunyi spanduk yang dibentangkan para pendukungnya.

    Beberapa orang berteriak “bawa dia kembali” dan melambaikan bendera Filipina tatkala sebuah kendaraan yang diduga membawa Duterte melaju ke pusat penahanan ICC di Den Haag,

    “Tidak ada proses hukum yang semestinya,” kata Duds Quibin, 50 tahun, kepada kantor berita AFP.

    “Ini penculikan. Mereka hanya menaikkannya ke pesawat dan membawanya ke sini.”

    Berbicara kepada kantor berita AFP di luar Gedung ICC, Gilbert Andres, seorang pengacara yang mewakili para korban perang narkoba, mengatakan: “Klien saya sangat bersyukur kepada Tuhan karena doa mereka telah terjawab.”

    “Penangkapan Rodrigo Duterte merupakan sinyal yang bagus untuk keadilan pidana internasional. Itu berarti tidak ada seorang pun yang kebal hukum,” Andres menambahkan.

    Baca juga:

    Presiden Filipina, Ferdinand Marcos Jr, mengatakan pihaknya telah memenuhi kewajiban hukum.

    Marcos Jr mengatakan Duterte akan menghadapi tuntutan terkait “perang berdarah melawan narkoba”.

    “Interpol meminta bantuan dan kami menurutinya,” kata Presiden Marcos Jr dalam konferensi pers.

    “Inilah yang diharapkan masyarakat internasional dari kami,” sambungnya.

    Putri Duterte, Sara, mengatakan akan menemani sang ayah ke Den Haag. Sara adalah wakil presiden sekaligus pesaing politik Marcos Jr. Ia mengatakan penangkapan ayahnya merupakan penganiayaan.

    Di sisi lain, Koalisi Internasional untuk Hak Asasi Manusia di Filipina menyebut penangkapan Duterte sebagai “momen bersejarah”.

    “Jalannya moralitas itu panjang, tetapi hari ini, jalannya telah mengarah ke keadilan. Penangkapan Duterte adalah awal dari akuntabilitas atas pembunuhan massal yang menandai pemerintahannya yang brutal,” kata Ketua ICHRP, Peter Murphy.

    Mendekam di sel tahanan ICC

    Getty ImagesMantan presiden Filipina, Rodrigo Duterte.

    Duterte mendekam di fasilitas penahanan ICC, yang terletak di Den Haag, sejak Maret lalu.

    Fasilitas yang dulunya merupakan kompleks penjara Nazi itu, menyediakan sel pribadi, akses ke komputer, perpustakaan, dan fasilitas olahraga bagi setiap tahanan.

    Jika tidak puas dengan makanan yang disediakan, Duterte bisa menyiapkan makanannya sendiri menggunakan berbagai bahan makanan di dapur pusat penahanan. Ia juga akan diizinkan mendapat perawatan medis serta menerima kedatangan pengacara dan pengunjung.

    Duterte akan menjalani sidang dakwaan. Dalam sidang itu, para hakim akan memutuskan apakah jaksa penuntut telah menyajikan cukup banyak bukti untuk melanjutkan persidangan.

    Jika tuduhan dikonfirmasi, mungkin perlu waktu berbulan-bulan sebelum Duterte akhirnya diadili. Adapun penjatuhan vonis kemungkinan perlu waktu bertahun-tahun

    ‘Perang melawan narkoba’

    Rodrigo “Digong” Duterte, yang sekarang berusia 77 tahun, terpilih memimpin Filipina pada Juni 2016. Dia dulu berkampanye akan secara keras memberantas narkoba dan berbagai bentuk kejahatan.

    “Hitler membantai tiga juta orang Yahudi. Sekarang ada tiga juta pecandu narkoba [di Filipina]. Saya akan dengan senang hati membantai mereka,” katanya beberapa bulan setelah menjabat.

    Kebijakannya yang disebut “perang melawan narkoba” telah menyebabkan ribuan tersangka pecandu dan pengedar narkoba tewas dalam operasi polisi yang kontroversial.

    Ribuan orang lainnya ditembak mati oleh orang-orang bersenjata bertopeng tak dikenal, yang sering disebut oleh media Filipina sebagai vigilante alias orang-orang yang bertindak tanpa basis hukum.

    Jumlah resmi tersangka pengedar dan pengguna narkoba yang terbunuh selama Juli 2016 dan April 2022 adalah 6.248 orang.

    Banyak kelompok HAM percaya jumlah sebenarnya bisa mencapai 30.000 orang.

    Seorang kapten polisi di Kota Manila secara diam-diam diwawancarai dalam film dokumenter 2019 berjudul “On the President’s Orders”. Dia berkata, orang-orang bertopeng yang melakukan pembunuhan sebenarnya adalah polisi.

    Duterte pernah mengatakan kepada aparat penegak hukum di sebuah acara anti-narkoba, “Anda mungkin akan ditembak. Tembak dia terlebih dahulu, karena dia akan benar-benar menodongkan senjatanya pada Anda, dan Anda akan mati.”

    “Saya tidak peduli dengan HAM. Saya secara penuh akan memikul tanggung jawab hukum. Saya akan menghadapi pengacara hak asasi manusia itu, bukan Anda,” kata Duterte.

    Penyelidikan di parlemen pada Oktober 2024 lalu mengarah pada pasukan pembunuh bayaran yang menargetkan tersangka narkoba. Duterte telah membantah tuduhan penyalahgunaan tersebut.

    “Jangan pertanyakan kebijakan saya karena saya tidak meminta maaf, tidak ada alasan. Saya melakukan apa yang harus saya lakukan, dan entah Anda percaya atau tidak… saya melakukannya untuk negara saya,” kata Duterte dalam penyelidikan parlemen.

    “Saya benci narkoba, jangan salah paham.”

    ‘Donald Trump dari Timur’

    Getty Images

    Duterte tetap populer di Filipina karena dia membangun citra sebagai seorang yang tegas di mata masyarakat.

    Duterte merupakan pemimpin pertama Filipina dari Mindanao, pulau di bagian selatan yang berbatasan dengan Laut Sulawesi, Indonesia. Di wilayah itu, banyak warga Filipina merasa terpinggirkan oleh para pemimpin di bagian utara, terutama di Manila.

    Duterte sering berbicara dalam bahasa Cebuano, bukan bahasa Tagalog yang lebih banyak digunakan di Manila dan wilayah utara.

    Retorika populis dan pernyataannya yang blak-blakan membuatnya mendapat julukan “Donald Trump dari Timur”.

    Dia menyebut Presiden Rusia, Vladimir Putin, sebagai “idolanya”. Di bawah pemerintahan Duterte, Filipina mengalihkan kebijakan luar negeri mereka dari AS, sekutu lamanya, ke China.

    Putri Rodrigo Duterte, Sara, adalah wakil presiden Filipina saat ini.

    Namun, dalam beberapa bulan terakhir, aliansi keluarga Duterte dengan Presiden Ferdinand Marcos tampak retak setelah keduanya memenangkan pemilihan umum 2022 dengan telak.

    Bahkan, pada awal Februari 2025, parlemen Filipina memilih untuk memakzulkan Wakil Presiden Sara Duterte menyusul adanya tudingan dugaan korupsi.

    Duterte dituduh menyalahgunakan dana publik senilai jutaan dolar dan mengancam akan membunuh Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr.

    Sara Duterte membantah tudingan tersebut dan mengeklaim dirinya adalah korban dendam politik.

    Marcos Jr awalnya menolak bekerja sama dengan penyelidikan ICC. Namun, karena hubungannya dengan keluarga Duterte memburuk, ia mengubah pendiriannya dan kemudian mengindikasikan bahwa Filipina akan bekerja sama dengan ICC.

    Belum jelas apakah Marcos Jr akan mengekstradisi Rodrigo Duterte ke Den Haag, Belanda, untuk menjadi sidang ICC.

    Artikel ini akan diperbarui secara berkala.

    (ita/ita)

  • Vladimir Putin Cari Pengganti, Ada Syarat Khusus yang Wajib Dipenuhi

    Vladimir Putin Cari Pengganti, Ada Syarat Khusus yang Wajib Dipenuhi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Rusia Vladimir Putin sudah mulai mencari calon penggantinya sebagai pemimpin negara terbesar di dunia tersebut. Ia pun memberikan persyaratan khusus yang wajib dipenuhi.

    Menurutnya, generasi berikutnya dari kepemimpinan politik Rusia harus berasal dari kalangan veteran perang Ukraina. Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam pertemuan dengan berbagai fraksi di Majelis Rendah Parlemen Rusia (Duma), yang kembali menegaskan pengaruh kuat nasionalisme garis keras dalam politik negeri itu.

    Berikut infografisnya, dikutip Senin (22/9/2025).

  • Rusia Menggila di Perbatasan, NATO Bergerak Kerahkan Jet Tempur

    Rusia Menggila di Perbatasan, NATO Bergerak Kerahkan Jet Tempur

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ketegangan di perbatasan timur Eropa kembali meningkat setelah Polandia dan sekutu NATO mengerahkan pesawat tempur pada Sabtu (20/9/2025) untuk mengamankan wilayah udara mereka. Langkah ini diambil setelah Rusia melancarkan serangan udara ke Ukraina barat, hanya beberapa kilometer dari perbatasan Polandia.

    Komando Operasional Angkatan Bersenjata Polandia menyatakan kesiapan penuh sejak pukul 03.40 waktu setempat, ketika hampir seluruh Ukraina berada dalam status siaga serangan udara.

    “Pesawat Polandia dan sekutu beroperasi di wilayah udara kami, sementara sistem pertahanan udara berbasis darat serta radar pengintaian telah dibawa ke tingkat kesiapan tertinggi,” demikian pernyataan resmi yang disampaikan lewat X.

    Operasi udara berlangsung hingga sekitar pukul 05.00, sebelum akhirnya dihentikan setelah serangan Rusia mereda. Situasi ini mempertegas kewaspadaan tinggi negara-negara NATO di sayap timur, menyusul insiden baru-baru ini ketika Polandia menembak jatuh drone Rusia yang diduga melanggar wilayahnya.

    Tak hanya Polandia, Inggris juga langsung memperkuat pertahanan udara NATO di kawasan. Kementerian Pertahanan Inggris mengonfirmasi dua jet tempur Royal Air Force (RAF) Typhoon telah melakukan patroli udara pertama mereka di atas Polandia pada Jumat malam sebagai bagian dari misi NATO Eastern Sentry.

    “Ini adalah sinyal yang jelas: wilayah udara NATO akan dipertahankan,” tegas Menteri Pertahanan Inggris John Healey dalam pernyataannya.

    Pesawat tempur itu lepas landas dari pangkalan militer Inggris di bagian timur negeri tersebut, melakukan patroli udara di Polandia, lalu kembali dengan selamat ke Inggris pada Sabtu pagi.

    Pemerintah Inggris menyebut pengerahan ini sebagai respons langsung terhadap “pelanggaran paling signifikan” yang dilakukan Presiden Rusia Vladimir Putin terhadap wilayah udara NATO sejak invasi penuh ke Ukraina pada Februari 2022.

    Kepala Staf Angkatan Udara Inggris, Marsekal Udara Harv Smyth, menambahkan bahwa jet Inggris bekerja bersama sekutu NATO di sayap timur aliansi. “Kami tetap gesit, terintegrasi, dan siap memproyeksikan kekuatan udara jarak jauh,” ujarnya.

    Dalam perkembangan terpisah, jaksa Polandia mengatakan pihak berwenang kemungkinan besar telah menemukan sisa terakhir dari sekitar dua lusin drone yang memasuki wilayah Polandia pada 9-10 September lalu. Drone itu ditemukan di sebuah ladang di Korsze, wilayah timur laut Polandia.

    “Pada titik ini, kami percaya ini adalah drone terakhir yang sedang dicari, yang masuk ke wilayah Polandia pada malam 9-10 September,” kata juru bicara kejaksaan distrik Olsztyn, Dariusz Brodowski, kepada kantor berita PAP.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]