Tag: Usman Hamid

  • 4
                    
                        Bahlil Usul Semua Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Tak Hanya Soeharto
                        Nasional

    4 Bahlil Usul Semua Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Tak Hanya Soeharto Nasional

    Bahlil Usul Semua Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Tak Hanya Soeharto
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan agar semua presiden yang pernah memimpin Republik Indonesia mendapatkan gelar pahlawan nasional.
    Usulan tersebut disampaikannya ketika ditanya soal adanya penolakan pemberian gelar
    pahlawan nasional
    kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia
    Soeharto
    .
    “Bila perlu kami menyarankan semua tokoh-tokoh bangsa yang mantan-mantan presiden ini kalau bisa dapat dipertimbangkan untuk diberikan
    gelar pahlawan nasional
    , ya,” ujar Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
    Dalam daftar 40 nama yang diusulkan Kementerian Sosial (Kemensos), terdapat pula nama Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
    Selain Gus Dur, Bahlil juga mengusulkan agar Presiden ke-3 Republik Indonesia BJ Habibie diberikan gelar pahlawan nasional.
    “Pak Gus Dur juga mempunyai kontribusi yang terbaik untuk negara ini. Ya, kami menyarankan juga harus dipertimbangkan agar bisa menjadi pahlawan nasional. Pak Habibie juga, semuanya lah,” ujar Bahlil.
    Selain itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu juga menjawab soal adanya penolakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
    Menurutnya, jasa yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun memimpin Indonesia menjadi indikator kelayakan untuk menerima gelar pahlawan nasional.
    “Negara ini, kita harus menghargai jasa para tokoh-tokoh bangsa, ya. Jadi kita biasa saja. Kita tidak bisa melupakan bahwa apa yang dilakukan oleh Pak Harto selama 32 tahun itu sesuatu yang luar biasa,” ujar Bahlil.
    Bahlil mengatakan, penolakan merupakan hal yang lumrah karena tidak ada manusia yang benar-benar sempurna.
    Kendati demikian, ia mengungkit jasa Soeharto yang menciptakan swasembada pangan, lapangan pekerjaan, hingga membuat Indonesia dijuluki Macan Asia.
    “Mampu membawa Indonesia dari inflasi yang 100 persen kemudian inflasinya terjaga, menciptakan lapangan pekerjaan, kemudian juga mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam swasembada pangan, swasembada energi, sampai kemudian bangsa kita menjadi Macan Asia di pada saat itu ya, di zaman Orde Baru,” ujar Bahlil.
    Dok. KOMPAS/Charles Dharapak Presiden Soeharto saat mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998.
    Sementara itu, 500 aktivis dan akademisi menyatakan menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI itu.
    Penolakan itu ditegaskan dalam deklarasi di Kantor LBH, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025). Aktivis HAM yang juga Direktur Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid mendesak agar usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional dibatalkan.
    Setidaknya ada empat alasan mengapa koalisi masyarakat sipil menolak gelar untuk Soeharto. Pertama, karena pemerintahan Soeharto selama 32 tahun dipenuhi berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
    Kedua, pemerintah Soeharto dipenuhi oleh berbagai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
    “Yang ketiga, juga diikuti dengan pemberangusan kebebasan berpendapat, kebebasan pers sampai dengan kebebasan akademik,” ungkap Usman.
    “Dan yang terakhir adalah adanya ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi selama pemerintahan Soeharto,” sambungnya menegaskan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pengurus PP Muhammadiyah Tolak Soeharto Pahlawan Nasional

    Pengurus PP Muhammadiyah Tolak Soeharto Pahlawan Nasional

    GELORA.CO -Penolakan gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto juga datang dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

    Pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Usman Hamid menilai, seorang pahlawan nasional harus memegang nilai-nilai kebenaran dan keberanian moral hingga akhir hayat.

    “Jadi kalau dia meninggal dunia dalam keadaan melakukan kejahatan atau dengan status tersangka atau terdakwa, entah itu kejahatan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan lingkungan, atau korupsi, sulit diletakkan sebagai pahlawan,” papar Usman dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 6 November 2025.

    Hingga akhir kekuasaan Soeharto, Usman menyoroti status yang belum selesai secara hukum.

    “Soeharto meninggal dunia ketika ia setengah diadili oleh pengadilan karena kasus korupsi bahkan di Asia Tenggara, dia dianggap sebagai pemimpin paling buruk di dunia,” jelasnya.

    Maka dari itu, ia menegaskan bahwa pahlawan sejati adalah orang-orang yang memiliki keberanian dan berani berkorban untuk orang lain.

    “Bagaimana bisa Soeharto disandingkan dengan Gus Dur, Soeharto disandingkan dengan Marsinah,” pungkas Usman. 

  • Pendiri PBHI dan Aktivis HAM Johnson Panjaitan Wafat

    Pendiri PBHI dan Aktivis HAM Johnson Panjaitan Wafat

    Pendiri PBHI dan Aktivis HAM Johnson Panjaitan Wafat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pendiri Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Johnson S Panjaitan, meninggal dunia pada hari ini, Minggu (26/10/2025).
    Kabar duka itu dikonfirmasi oleh aktivis senior sekaligus Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
    “Johnson kritis selama 4-5 hari terakhir hingga dini hari lalu meninggal pada pagi ini, 26 Oktober, pada pukul 8.30 pagi,” kata Usman dalam keterangannya kepada
    Kompas.com
    , Minggu (26/10/2025).
    Usman mengenang Johnson sebagai aktivis dan pengacara yang berani membela keadilan korban pelanggaran HAM.
    Ia lantas menceritakan, ketika menjadi Ketua Umum PBHI, kantornya menjadi sasaran tindak kekerasan.
    “Kantornya pernah digeruduk dan mobilnya ditembak,” ujar Usman.
    Meski demikian, kata Usman, aksi teror itu tidak membuat nyali Johnson ciut. Advokat itu tetap berdiri melawan ketidakadilan.
    Menurut Usman, Johnson merupakan sosok yang mencintai keadilan dan memperjuangkannya untuk korban.
    Ia juga bersikap adil kepada teman-temannya.
    “Satu-satunya sikap tidak adil dari Johnson barangkali kepada dirinya sendiri. Dia kurang istirahat,” tutur Usman.
    “Selamat beristirahat dalam damai, Bung Johnson,” tambahnya.
    Sementara itu, melalui akun Instagram resmi, PBHI menyebut Johnson sebagai sosok yang teguh membela nilai HAM dan keadilan sosial.
    Ia berkontribusi besar dalam memperjuangkan hak dan nasib korban pelanggaran HAM.
    “Termasuk keterlibatannya dalam advokasi kasus-kasus di Timor Leste pasca konflik, yang menunjukkan komitmen lintas batasnya terhadap internasional,” bunyi keterangan tersebut.
    PBHI menyatakan, pengabdian dan keberanian Johnson menjadi teladan bagi generasi selanjutnya yang memperjuangkan HAM di Indonesia dan Asia Tenggara.
    “Semoga semangat perjuangan almarhum terus hidup dalam setiap upaya membela mereka yang tertindas,” tulis PBHI.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sekjen Golkar Bicara Soeharto, ‘Bapak Pembangunan’ yang Dianggap Layak Jadi Pahlawan Nasional – Page 3

    Sekjen Golkar Bicara Soeharto, ‘Bapak Pembangunan’ yang Dianggap Layak Jadi Pahlawan Nasional – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Empat puluh nama masuk daftar usulan pahlawan nasional tahun ini. Namun, ada satu nama yang langsung jadi bahan perbincangan, ialah nama Presiden ke-2 RI Soeharto.

    Namanya dinilai telah memenuhi syarat, dan berkas usulan itu sudah diserahkan oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf ke Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Selasa 21 Oktober 2025. Sejak saat itu, ruang publik kembali riuh.

    Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, salah satunya yang bersuara keras menolak usulan tersebut. Bahkan, dipandang ini sebagai akhir dari reformasi jika gelar pahlawan nasional itu diberikan.

    Namun, berbeda halnya oleh Sekretaris Jenderal Golkar, Sarmuji. Soeharto dipandangnya layak menyandang gelar pahalawan nasional, karena terbukti sejarah. Salah satunya dikenal sebagai bapak pembangunan.

    “Pak Harto juga begitu, sampai saat ini orang masih terngiang-ngiang Pak Harto sebagai bapak pembangunan,” kata Sarmuji di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Rabu (22/10/2025).

    Menurut dia, di era pemerintahan Soeharto, Indonesia mengalami swasembada pangan. Bahkan, terjadi transformasi teknologi yang dianggap membuat bangga masyarakat kala itu.

    “Kita mengalami swasembada panggan di jaman Pak Harto, teknologinya juga begitu, kita waktu itu bangga sekali dengan kemampuan dirgantara kita, itu semua karena jasa-jasa Pak Harto,” kata dia.

     

  • Kapolri Gelar Dialog dengan Rocky Gerung hingga Usman Hamid, Bahas Reformasi Polri?

    Kapolri Gelar Dialog dengan Rocky Gerung hingga Usman Hamid, Bahas Reformasi Polri?

    Bisnis.com, JAKARTA – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melakukan dialog publik dengan sejumlah koalisi masyarakat sipil dan tokoh untuk menerima saran dan kritik untuk institusi.

    Sigit mengatakan pihaknya akan menyerap masukan dari masyarakat sipil itu untuk kebaikan institusi sekaligus menjaga ruang demokrasi Indonesia.

    “Tentunya kami ingin mendengar langsung baik dari masyarakat Sipil terhadap apa yang harus Polri lakukan ke depan dalam menjaga ruang demokrasi agar tetap berjalan dengan lancar, aman, dan juga pesan tersampaikan,” kata Sigit di PTIK, Jakarta Senin (29/9/2025).

    Sigit menambahkan forum dialog bersama koalisi masyarakat sipil ini bakal digelar secara berkelanjutan. Dengan begitu, Polri bakal menjadi institusi sesuai harapan masyarakat.

    Adapun, dia juga memastikan bahwa Polri akan terus melakukan perbaikan serta beradaptasi dengan segala bentuk tantangan zaman yang ada. 

    “Ke depan tentu diskusi ini tidak hanya berhenti sampai di sini tapi terus bisa berlanjut mungkin dalam pertemuan-pertemuan lain yang bersifat informal dan tentunya kami Polri terus akan berupaya untuk melakukan perbaikan melakukan transformasi reformasi,” pungkasnya.

    Di samping itu, Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid menyampaikan salah satu pembahasan dari dialog itu yakni berkaitan dengan pembebasan sejumlah aktivis terkait aksi unjuk rasa akhir Agustus lalu.

    “Kami menyampaikan kepada jajaran kepolisian hari ini, termasuk Bapak kapolri, untuk membebaskan para aktivis yang hingga hari ini masih ditahan,” imbuhnya.

    Adapun, Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur mengemukakan bahwa pihaknya telah mendorong agar Polri bisa melakukan perbaikan eksternal maupun internal.

    Salah satunya berkaitan dengan kontrol penyidikan dengan pembaharuan peraturan kepolisian yang belum diperbaharui sejak 2010. 

    Selain itu, YLBHI juga meminta agar Polri bisa mengevaluasi proses perekrutan hingga pendidikan untuk lebih menghargai kebebasan berekspresi.

    “Kita mendorong adanya bagaimana struktur dan program baik dari mulai pendidikan, rekrutmen, kemudian upgrading setiap anggota itu lebih memahami bagaimana protap dan lebih menghargai kebebasan berekspresi, membuka ruang agar teman-teman yang mendorong perubahan itu dijamin dan dilindungi,” tutur Isnur.

    Berikut ini 10 tokoh yang tergabung dalam dialog publik bersama kepolisian pada Senin (29/9/2025) : 

    1. Franz Magnis Suseno (Guru Besar Filsafat STF Driyarkara)

    2. Usman Hamid, S.H., M.Phil. (Direktur Amnesty Internasional Indonesia)

    3. Rocky Gerung (Pengamat Politik)

    4. M. Choirul Anam (Komisioner Kompolnas)

    5. Ardi Manto Adi Putra (Direktur Imparsial)

    6. Dimas Bagus Arya (Koordinator KontraS)

    7. Muhammad Isnur (Ketua Umum YLBHI)

    8. Julius Ibrani (Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI)

    9. Al Araf (Ketua Badan Pengurus Centra Initiative)

    10. Iftitah Sari (Sekjen / Manajer Program Institute For Criminal Justice Reform).

  • Publik Patut Skeptis Terhadap Pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri

    Publik Patut Skeptis Terhadap Pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri

    JAKARTA – Pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri patut diapresiasi, namun di sisi lain harus dipandang skeptis. Karena hanya berisi nama-nama perwira tinggi yang semuanya berasal dari kepolisian, sulit mengharapkan agenda Reformasi Polri akan bermakna besar bagi masyarakat.

    Desakan Reformasi Polri kian menguat belakangan ini, setelah terjadinya aksi demonstrasi besar-besaran di sejumlah daerah di Indonesia pada akhir Agustus silam. Saat itu, tuntutan supaya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mundur menggema setelah kasus meninggalnya pengemudi ojek online Affan Kurniawan akibat dilindas kendaraan taktis Brimob.

    Merespons tuntutan publik, Presiden Prabowo Subianto pun mengungkapkan rencana membentuk tim atau komisi reformasi kepolisian. Sebagai langkah awal, Prabowo melantik pensiunan Wakapolri Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat serta Reformasi Kepolisian pada 17 September.

    Namun yang menjadi perhatian luas sekarang ini justru langkah Kapolri Listyo yang membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri yang diumumkan lebih dulu dibanding rencana reformasi kepolisian yang tengah disiapkan Presiden Prabowo.

    Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menjawab pertanyaan wartawan saat dia ditemui selepas menghadiri upacara pelantikan menteri, wakil menteri, dan pimpinan lembaga hasil “reshuffle” jilid ke-3 Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/9/2025). (ANTARA/Genta Tenri Mawangi/aa)

    Keputusan ini memicu perdebatan luas di ruang publik. Mereka mempertanyakan tentang koordinasi, arah kebijakan, dan potensi dinamika politik di baliknya. Bahkan tak sedikit yang menyebut langkah Kapolri membentuk Tim Transformasi Reformasi sebagai tindakan yang melangkahi presiden.

    Bias Kepentingan

    Instruksi pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri bentukan Kapolri jenderal Listyo Sigit Prabowo berisi 52 perwira Polri, terdiri dari 47 perwira tinggi dan lima perwira menengah. Listyo didapuk sebagai pelindung, sedangkan Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Dedi Prasetyo menjadi penasihat. Ketua tim ini diemban oleh Komjen Chryshnanda Dwilaksana. Perwira bintang tiga Polri ini menjabat sebagai Kepala Lembaga Diklat Polri.

    Melalui surat perintah itu, Kapolri menugaskan para personel di dalamnya untuk melaksanakan koordinasi dan kerja sama sebaik-baiknya dengan unsur terkait dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas sebagai Tim Transformasi Reformasi Polri. Tim juga diminta menyusun rencana kegiatan dan kebutuhan anggaran yang diperlukan serta melaksanakan perintah dari Kapolri dengan saksama dan penuh rasa tanggung jawab.

    Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri layak didukung, tapi juga harus dilihat dengan skeptis.

    Ia juga mewanti-wanti agar pembentukan tim ini jangan sebatas gimik atas desakan publik terhadap institusi kepolisian. Pasalnya, tim serupa sudah sering dibentuk Polri, namun jarang yang akhirnya memenuhi harapan masyarakat.

    “Sebagai sebuah upaya perbaikan ya layak didukung. Namun tetap saja kita sebagai masyarakat tentu harus melihatnya dengan skeptis,” ujar Bambang.

    Caption

    Bambang juga mempertanyakan penggunaan istilan “transformasi” dan “reformasi” secara bersamaan dalam nama tim. Menurut dia, kedua kata itu memiliki makna berbeda. Transformasi bermakna perubahan fundamental, sementara reformasi hanya sebatas perbaikan.

    “Ini tim tugasnya untuk melakukan transformasi atau reformasi?” ujarnya.

    Lebih jauh, Bambang mempertanyakan efektivias tim internal dalam membenahi Polri. Meski maksudnya baik, tim ini juga berpotensi menemui kendala subyektivitas dan konflik kepentingan mengingat seluruh anggota tim berasal dari lingkungan Polri itu sendiri.

    “Analoginya tidak mungkin dokter melakukan operasi dirinya sendiri. Ada kendala subyektivitas dan bias kepentingan di internal, belum lagi resistensi dari kelompok pro-status quo. Apakah mungkin tim internal tersebut memetakan penyakitnya sendiri?” tutur Bambang.

    Dengan kendala-kendala seperti itu, wajar jika publik kemudian skeptis. Pembentukan tim internal ini terkesan hanya gimik untuk mengalihkan desakan masyarakat.

    “Bila Tim Transformasi Reformasi Polri ini tidak tepat sesuai harapan masyarakat, risikonya malah blunder, bahkan tambahan legitimasi mempercepat pergantian Kapolri,” Bambang melanjutkan.

    Perlu Keragaman Latar Belakang

    Sementara itu peneliti Public Virtue Research Institute (PVRI) Muhammad Naziful Haq memandang pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri yang semua anggotanya berlatar polisi tidak saja problematik, tapi juga membawa konflik kepentingan.

    Menurut dia, seharusnya ada keragaman latar belakang di tim ini, misalnya melibatkan akademisi, perwakilan masyarakat sipil, atau tokoh yang berintegritas. Dengan demikian, upaya ini membawa penyegaran struktural ataupun kultural.

    “Reformasi Polri bukan saja harus mengarah pada agenda penguatan akuntabilitas, transparansi, maupun pembenahan struktur dan kultur di lingkungan Polri. Tapi juga di lingkungan pembuat keputusan dan juga kebijakan publik. Komitmen ini bisa kita lihat dari seberapa terbuka pemerintah dan juga jajaran Polri bagi masukan masyarakat,” kata Nazif. 

    Reformasi Polri, Nazif menambahkan, juga diukur dari ada tidaknya perubahan kebijakan pemerintah dan kepolisian yang dituntut independen. Keseriusan itu tidak hanya terletak pada jargon atau kampanye media sosial masif melalui penggalangan dukungan kalangan tertentu.

    “Tugas negara adalah melayani hak-hak sipil, dan sosial ekonomi rakyat. Jika penyelenggara negara hanya melayani elite, maka mustahil Polri dapat benar-benar melindungi dan mengayomi rakyat. Reformasi Polri wajib melibatkan masyarakat jika ingin membawa dampak positif bagi demokrasi,” sambungnya.

    Senada, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut partispasi masyarakat harus dikedepankan dalam kebijakan reformasi Polri yang kini diwacanakan pemerintah, termasuk oleh jajaran Polri melalui pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri.

    Jika tim itu hanya diisi nama-nama perwira tinggi yang semuanya dari kepolisian, maka sulit berharap bahwa agenda reformasi Polri akan bermakna besar bagi masyarakat. Apalagi, akar permasalahan di tubuh kepolisian juga sebenarnya bersumber dari kebijakan pemerintahan, yang di mata masyarakat dirasa tidak adil.

  • Media Arab Sorot Prabowo Reshuffle Kabinet Lagi, Sebut Ini

    Media Arab Sorot Prabowo Reshuffle Kabinet Lagi, Sebut Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Prabowo Subianto kembali melakukan reshuffle kabinet hanya sepekan setelah mengganti lima menteri pasca demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada Agustus lalu dan menelan korban jiwa. Hal ini pun menjadi sorotan media asing.

    “Presiden Indonesia melakukan perombakan Kabinet kedua yang mengejutkan pada hari Rabu, hanya seminggu setelah memecat lima menteri menyusul protes anti-pemerintah yang mematikan,” demikian laporan media Arab News dalam tajuk ‘Indonesian president reshuffles Cabinet again in wake of deadly protests’ pada Rabu (18/9/2025).

    Pada Rabu, Prabowo menunjuk 11 pejabat baru, termasuk dua menteri dan tiga wakil menteri. Di antara nama yang diangkat yakni Letjen (Purn) Djamari Chaniago sebagai Menko Polhukam, mantan Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, serta Komjen (Purn) Ahmad Dofiri sebagai penasihat khusus presiden bidang keamanan publik dan reformasi kepolisian.

    Langkah reshuffle ini menambah panjang perombakan Kabinet Merah Putih 2024-2029 yang sebelumnya mengganti Sri Mulyani Indrawati dari posisi Menteri Keuangan.

    Namun, sejumlah pihak menilai reshuffle tersebut tidak menjawab tuntutan masyarakat. Media tersebut mengutip Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang menegaskan perombakan Kabinet seakan jauh dari isu substansial yang memicu demonstrasi.

    “Publik menuntut supremasi sipil dan agar militer kembali ke barak, tetapi pilihan Menko Polhukam justru mencerminkan paradigma lama dengan latar belakang militer,” kata Usman, dikutip Arab News.

    Lebih lanjut, Usman menilai penunjukan penasihat khusus bidang keamanan juga tidak menyentuh persoalan mendasar. “Itu tidak menjawab tuntutan rakyat yang berharap pemerintah dan DPR segera membentuk komisi independen untuk menyelidiki kematian 11 orang serta pelanggaran HAM lain selama aksi,” tegasnya.

    Arab News juga menyoroti bahwa gelombang protes ini menjadi tantangan terbesar kepemimpinan Prabowo sejak dilantik Oktober 2024. Para pengunjuk rasa tidak hanya menuntut keadilan atas korban, tetapi juga mendorong reformasi menyeluruh terhadap kepolisian, militer, hingga parlemen.

    (tfa/tfa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Prabowo: Tak Boleh Ada Kriminalisasi Bagi Para Demonstran
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 September 2025

    Prabowo: Tak Boleh Ada Kriminalisasi Bagi Para Demonstran Nasional 7 September 2025

    Prabowo: Tak Boleh Ada Kriminalisasi Bagi Para Demonstran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden Prabowo Subianto menegaskan, tidak boleh ada kriminalisasi bagi para pedemo yang melakukan aksi unjuk rasa.
    Hanya saja, Prabowo mengingatkan bahwa massa demo harus tetap damai dan sesuai aturan yang berlaku. 
    “Saya kira tak boleh ada kriminalisasi bagi para demonstran, tapi harus damai dan sesuai undang-undang. Nanti, petugas juga akan memilahnya,” ujar Prabowo, seperti dikutip dari
    Kompas.id
    , Minggu (7/9/2025).
    Prabowo juga mengingatkan bahwa penyampaian aspirasi melalui unjuk rasa juga ada batas waktunya, yakni sampai pukul 18.00.
    “Juga tidak boleh bawa petasan api,” imbuhnya.
    Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengungkap bahwa kepolisian telah menangkap sekitar 3.095 orang terkait demonstrasi yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
    Paling banyak terjadi di Jakarta, saat polisi menangkap 1.438 demonstran yang melakukan aksi dalam beberapa hari terakhir.
    “Hari-hari terakhir ini, Jakarta itu kurang lebih 1.438, Jawa Barat itu 386, Jawa Tengah itu 479, Yogyakarta paling tidak sembilan kasus penangkapan, Jawa Timur itu 556 korban penangkapan,” ujar Usman dalam program Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Rabu (3/9/2025) malam.
    “Kalimantan Barat 16, Bali 140, Sulawesi Selatan itu ada 10, Sumatera Utara itu ada 44 kasus, Jambi 17, dan seterusnya,” sambungnya.
    Menurutnya, penangkapan tersebut justru tidak mencerminkan langkah perbaikan dari Polri usai kasus kendaraan taktis (rantis) Brimob yang melindas pengemudi ojek online (ojol) bernama Affan Kurniawan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 September 2025

    Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen Nasional 7 September 2025

    Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    DUA
    frase “tanda-tanda zaman” dan “pertobatan nasional” saya petik dari Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo, sebagai respons moral atas amuk massa selama 28-31 Agustus 2025.
    Hari Minggu, 31 Agustus 2025, di tengah panasnya situasi politik Ibu Kota, saya bersama sejumah teman berbincang dengan Kardinal Suharyo.
    Perbincangan tak lepas dari suasana yang penuh kegelisahan. Negeri sedang tak karu-karuan. Amuk massa belum reda.
    Penjarahan terjadi di rumah beberapa anggota DPR dan kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani. Gedung DPRD Makassar dibakar. Gedung Grahadi di Surabaya luluh lantak.
    Apa salah dan dosa Gedung Grahadi? Mengapa tak bisa dicegah? Kantor polisi di berbagai daerah turut jadi sasaran. Tuntutan agar DPR dibubarkan berseliweran di ruang publik.
    Dalam percakapan itu, Kardinal Suharyo berkata lirih, tapi tegas, “Elite seharusnya bisa membaca tanda-tanda zaman”.
    Ia tak menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan “tanda-tanda zaman”. Namun, dalam kesempatan lain, Kardinal menyerukan pertobatan. Sebuah ajakan spiritual yang sarat makna: kesadaran akan kesalahan kolektif, dan dorongan untuk berbalik arah sebelum semuanya terlambat.
    Peristiwa 28-31 Agustus 2025, masih menyimpan kabut tebal. Ada unjuk rasa sebagai ekspresi sumpek rakyat, tapi ada juga “Gerakan 28-31 Agustus 2025” dengan tujuan tertentu yang sistematis.
    Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi juga terjadi unjuk rasa besar, seputar penolakan revisi UU KPK (2019), pemberlakuan UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka jalan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wapres. Namun, dampak dari ketiga unjuk rasa tidak separah seperti sekarang.
    Peristiwa 28-31 Agustus 2025, justru menimbulkan banyak tanya. Pembagian kekuasaan sebenarnya hampir sempurna. Hanya PDIP dan Nasdem yang tak ada dalam kabinet.
    Ormas terbesar sudah berada dalam barisan kekuasaan. Relawan diakomodasi dalam kabinet atau komisaris BUM. Kabinet didukung koalisi super-mayoritas.
    DPR menjadi proksi dari kekuasaan. Kekuasaan sedang menuju otokratisasi sebagaimana kajian
    Varieties of Democracy
    (2024).
    Namun, ada juga pandangan konsolidasi otokratisasi itulah yang menyebabkan disfungsi lembaga pranata demokrasi. Dan, kini konsolidasi otokratisasi mendapatkan perlawanan.
    Situasi 2025, berbeda dengan Peristiwa Malari 1974. Meski berlatarbelakang antimodal asing, Malari 1974 adalah pembelaan warga sipil terhadap demokrasi liberal atas arah demokrasi terpimpin yang dilakukan Presiden Soeharto.
    Sedang pada Agustus 2025, polanya lebih mirip perlawanan warga sipil untuk membela reformasi dalam konteks konsolidasi otokratisasi.
    Spekulasi banyak, analisis berseliweran, narasi bersaing. Namun, di balik semua itu, ada realitas yang hampir pasti bisa dibaca. Sejumlah latar belakang krisis tampak jelas, seperti bara dalam sekam yang lama diabaikan.
    Pertama, akumulasi kekecewaan publik yang menahun. Kesenjangan sosial yang menganga tak tertanggulangi.
    Berdasarkan data Bank Dunia per Juni 2025, ada 194 juta orang miskin di Indonesia. Angka ini tentu bisa diperdebatkan tergantung mistar yang dipakai—Bank Dunia atau BPS—namun rasa lapar tidak bisa disangkal dengan metodologi.
    Pengangguran merajalela. Orang kehilangan pekerjaan, penghasilan menurun, harga-harga naik.
    Dalam siniar saya, Chandra Hamzah dari Forum Warga Negara berkata, “Situasi ini ibarat rumput kering. Tinggal dilempar api.”
    Sayangnya, elite kekuasaan sibuk menyangkal realitas ini. Mereka gagal melihat bahwa ketika harapan publik tidak terpenuhi, dan ketimpangan memburuk, maka benih ledakan sosial sedang ditanam.
    Inilah yang disebut Ted Gurr sebagai
    relative deprivation
    : kemarahan rakyat lahir dari jurang antara ekspektasi dan kenyataan yang makin menjauh.
    Kedua, tata kelola pemerintahan. Pemerintah tampak gamang dan terkesan coba-coba dalam membuat kebijakan.
    Wacana kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen diluncurkan, diprotes publik, lalu dibatalkan.
    Penataan distribusi gas melon 3 kg diusulkan, lalu ditarik. Rencana pemblokiran rekening pasif diumumkan, kemudian diklarifikasi.
    Ada lagi guyonan politik tentang penyitaan tanah mangkrak oleh negara. Wisata Raja Ampat, Papua, dirancang menjadi kawasan tambang nikel.
    Sejarah hendak diluruskan dengan menihilkan tragedi pemerkosaan massal 1998, sebelum akhirnya rencana itu ditunda.
    Bintang Mahaputra diobral. Dana transfer ke daerah dikurangi, menyebabkan pemerintah daerah menaikkan PBB. Meledaklah kasus Pati.
    Semua ini menunjukkan ada masalah besar dalam tata kelola kebijakan publik—termasuk komunikasi politik yang nir-empati, kasar, dan penuh kepercayaan diri berlebihan.
    Pemerintah kurang peka membaca denyut publik, dan tak mampu mengantisipasi letupan di bawah permukaan.
    Dalam kerangka teori
    fragile states
    (Rotberg, 2003), negara seperti ini kehilangan kapasitas dasar untuk merespons kebutuhan rakyat secara adil dan efektif.
    Ketiga, penegakan hukum mengikuti perspektif
    the executive weaponization of law enforcement
    (Thomas Power: 2020).
    Dalam perspektif
    the executive weaponization of law enforcement
    bukan berarti hukum berhenti bekerja sama sekali, melainkan hukum dijalankan secara manipulatif: ditegakkan terhadap lawan, diabaikan terhadap kawan.
    Putusan MK yang mengubah persyaratan calon wapres, tidak dieksekusinya terpidana dan malah dianugerahi jabatan komisaris, mempertontonkan bagaimana penegakan hukum negeri ini.
    Desakan RUU Perampasan Aset harus ditempatkan dalam konstruksi Indonesia adalah negata hukum.
    Keempat, disfungsi institusi demokrasi. Partai politik kian terasing dari rakyat. Mereka menjelma menjadi kartel politik, sibuk mendekatkan diri ke kekuasaan, bukan memperjuangkan aspirasi konstituen.
    DPR tidak lebih dari proksi kekuasaan eksekutif. Ketua umum partai duduk di kabinet dan semua fraksi berbaur dalam koalisi super mayoritas.
    Lembaga legislatif kehilangan daya kritis dan empati. Bayangkan: di tengah penderitaan rakyat, DPR malah menaikkan tunjangan anggotanya dan berjoget-joget dalam Sidang Tahunan MPR.
    Komunikasi publik mereka
    clometan
    , pongah, dan menyakiti rakyat. Dewan Perwakilan Daerah nyaris tak bersuara. Maka rakyat mencari jalannya sendiri.
    Kelima, organisasi masyarakat sipil gagal menjalankan perannya sebagai
    psychological striking force
    atau kekuatan moral yang ampuh sebagaimana pernah diutarakan Nurcholis Madjid dan diulang Usman Hamid.
    Dalam posisi terkooptasi kekuasaan, organisasi masyarakat sipil sangat melemah posisi tawarnya terhadap absolutisme kekuasaan karena terikat konsesi ekonomi.
    Keenam, teknologi digital dan media sosial mempercepat eskalasi konflik. Dalam suasana kacau, informasi menyebar secara
    real-time

    Namun, bukan hanya kebenaran yang tersebar, tapi juga opini-opini sintetis yang diproduksi oleh pasukan siber.
    Operasi pengaruh ini dijalankan secara sistematis oleh elite politik. Dalam situasi ini, suara publik yang asli justru tenggelam di tengah gelombang manipulasi.
    Inilah yang disebut
    manufactured consent
    —persetujuan publik dibentuk bukan lewat deliberasi rasional, melainkan melalui rekayasa algoritma dan opini sintesis.
    Ketujuh, terjadinya persaingan elite. Seperti dalam Peristiwa Malari 1974 dan Mei 1998, konflik horizontal di masyarakat sering kali dipicu konflik di kalangan elite.
    Dalam waktu 36 jam sejak tewasnya Affan Kurniawan, negeri seperti tanpa kendali. Polisi tak muncul karena mengalami demoralisasi luar biasa setelah meninggalnya Affan.
    TNI belum bisa bergerak karena belum diminta. Penjarahan terjadi. Media sosial menjadi panggung utama. Negara absen.
    Akibat dari semua ini sangat dalam. Sepuluh orang tewas. Banyak yang ditangkap. Polisi luka-luka. Kompol Cosmas yang berada dalam rantis Brimob dipecat. Katanya, dia hanya menjalankan perintah.
    Fasilitas umum dibakar. Gedung DPR dan kantor polisi—dua simbol supremasi sipil—dihancurkan rakyat.
    Pesannya jelas: simbol negara kehilangan legitimasi di mata publik. Presiden Prabowo Subianto menuding ada makar dan terorisme.
    Apa yang bisa dilakukan? Di berbagai forum, tuntutan rakyat mulai terdengar. Ada suara dari Forum Warga Negara, imbauan dari Gerakan Nurani Bangsa, seruan dari Aliansi Akademisi, juga gelombang mahasiswa. Semua menyuarakan hal serupa.
    Pertama, latar belakang peristiwa 28–31 Agustus, harus diungkap tuntas. Jangan biarkan ruang publik dipenuhi spekulasi soal makar, terorisme, atau faksionalisasi elite.
    Kedua, dibutuhkan reformasi menyeluruh—terhadap kepolisian, DPR, partai politik, dan kebijakan negara.
    Ketiga, reformasi peradilan menjadi keniscayaan. Kardinal Suharyo merangkumnya secara jernih: “Pertobatan di semua cabang kekuasaan.”
    Namun, bagaimana mungkin reformasi dijalankan oleh aktor-aktor yang justru menjadi bagian dari masalah?
    Dalam kondisi
    low trust society
    , kepercayaan publik tak mungkin pulih lewat manuver elite lama. Dibutuhkan satu struktur baru: semacam Komite Independen atau apapun namanya.
    Komite yang berisi tokoh independen dengan integritas tinggi dan rekam jejak tak tercela. Orang yang tak punya beban politik, dan bisa menjadi penjaga moral sekaligus pemandu arah reformasi untuk memperbaiki republik yang sedang sakit.
    Namun untuk terbentuk, inisiatif ini butuh legitimasi. Dan hanya satu pihak yang saat ini memiliki otoritas untuk menginisiasi: Presiden Prabowo Subianto.
    Pertanyaannya: apakah Presiden Prabowo membaca tanda-tanda zaman? Mengutip Sukidi Mulyadi dalam acara
    Satu Meja The Forum
    , “Presiden terisolasi dengan realitas di Indonesia.”
    Jakob Oetama, pendiri
    Kompas
    , dalam banyak perjumpaan pribadi pernah berpesan, “Jaga negeri ini, jangan sampai
    mrucut
    .”
    “Mrucut” dalam pemahaman orang Jawa adalah tergelincir dari jalur yang seharusnya. Bukan sekadar salah arah, tapi kehilangan arah. Kehilangan etika, kehilangan hati nurani, kehilangan jati diri.
    Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Atau “mrucut” ke arah otoritarianisme atau malah sebagaimana dikhawatirkan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid dalam Haul Nucholish Madjid, masuk dalam tahap fasisme.
    Hari ini, ancaman “mrucut” itu nyata. Demokrasi kita menjauh dari substansinya. Keadilan hanya tinggal kata. Simbol negara tak lagi dimuliakan. Kepercayaan rakyat menguap.
    Namun, sejarah bangsa tidak harus berakhir dengan kehancuran. Tanda zaman bukan hanya isyarat murka, tapi juga panggilan untuk bangkit.
    Dari reruntuhan kepercayaan, selalu bisa tumbuh tunas perbaikan. Dari amarah yang meledak, selalu bisa lahir kesadaran kolektif untuk berubah. Kuncinya pada masyarakat sipil!
    Kuncinya: keberanian elite untuk mendengar. Kerendahan hati untuk bertobat. Dan kemauan untuk menyerahkan agenda reformasi pada yang lebih layak, lebih bersih, lebih jernih.
    Sebab hanya dengan keberanian itu, bangsa ini bisa kembali menemukan pijakan—dan berjalan tegak menatap masa depan. Bukan dalam “mrucut”, tapi dalam “waskita”. Dalam kebijaksanaan membaca zaman.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemerintah Didesak Bentuk Tim Pencari Fakta Terkait Kericuhan Akhir Agustus
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        5 September 2025

    Pemerintah Didesak Bentuk Tim Pencari Fakta Terkait Kericuhan Akhir Agustus Megapolitan 5 September 2025

    Pemerintah Didesak Bentuk Tim Pencari Fakta Terkait Kericuhan Akhir Agustus
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid meminta pemerintah membentuk tim pencari fakta independen untuk mengungkap peristiwa demonstrasi yang berujung ricuh pada 25–31 Agustus 2025.
    “Kami mendesak agar segera dibentuk tim pencari fakta independen agar kita bisa sama-sama memperoleh pengetahuan yang lengkap tentang apa yang sesungguhnya terjadi di balik demonstrasi itu,” ucap Usman Hamid di Polda Metro Jaya, Kamis (4/9/2025).
    Menurut dia, tim pencari fakta penting untuk memastikan siapa saja pihak yang terlibat dalam demonstrasi tersebut.
    “Apakah itu misalnya yang dimaksud oleh Presiden tentang terorisme, atau yang dimaksud dengan makar, atau yang dimaksud mendalangi demonstrasi,” tutur dia.
    Ia juga mendesak Polda Metro Jaya dan Mabes Polri membebaskan sejumlah aktivis yang ditangkap karena diduga menghasut massa.
    “Saya ingin mendesak kembali kepada Kepolisian Metro Jaya dan Mabes Polri untuk membebaskan seluruh aktivis yang memprotes atau yang terlibat di dalam unjuk rasa atau yang terlibat dalam menyerukan unjuk rasa lalu ditangkap oleh pihak kepolisian,” kata Usman.
    “Saya kira itu langkah yang keliru, langkah yang malah menyudutkan pihak aktivis seolah-olah sebagai dalang,” kata dia.
    Sebelumnya, Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri mengungkapkan sebanyak 1.240 orang ditangkap terkait kericuhan yang terjadi di Jakarta pada Jumat (29/8/2025).
    Mayoritas dari mereka bukan warga Jakarta, melainkan berasal dari wilayah sekitar, yakni Jawa Barat, Banten, hingga Jawa Tengah.
    “Mulai awal kejadian sampai saat ini sudah menangkap sekitar 1.240 ya yang mana mereka berasal dari wilayah luar Jakarta, ada yang dari Jawa Barat, ada yang dari Jawa, dari Banten,” kata Asep usai rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di Balai Kota Jakarta, Senin (1/9/2025).
    Ribuan orang itu ditangkap dalam tiga gelombang yakin 25 Agustus 357 orang, 28–29 Agustus 814 orang, dan 31 Agustus 69 orang. Dari total tersebut, 1.113 orang dipulangkan.
    Sementara 127 orang lainnya masih menjalani proses hukum. Polisi juga menerima sembilan laporan pidana dan menetapkan 10 orang sebagai tersangka.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.