Tag: Trubus Rahardiansyah

  • Lewat Satgas Nataru, Pertamina Pastikan Distribusi BBM Hingga LPG Aman di Momen Libur – Page 3

    Lewat Satgas Nataru, Pertamina Pastikan Distribusi BBM Hingga LPG Aman di Momen Libur – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina membentuk pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Nataru yang beroperasi 16 Desember 2024 hingga 9 Januari 2025. Langkah ini sebagai bentuk kesiapan dalam menghadapi libur Natal dan Tahun Baru 2025 (Nataru).

    Analis kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai jika pembentukan satgas Nataru, Pertamina ingin memastikan bahwa distribusi energi, termasuk BBM dan LPG aman, sehingga kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi dengan baik.

    “Saya menilai sebagai upaya Pertamina untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat pada libur Natal dan Tahun Baru,” ujar dia melansir Antara di Jakarta, seperti ditulis Selasa (17/12/2024).

    Menurut dia, BUMN migas tersebut berupaya menjaga ketahanan energi nasional antara lain melalui peningkatan layanan di jalur potensial meliputi jalur tol, jalur wisata, dan jalur lintas utama.

    Sedangkan fasilitas yang disiapkan meliputi SPBU Siaga, Agen LPG Siaga, Agen Mitan Siaga, Kiosk Pertamina Siaga, Motorist, Mobil tangki stand by, dan Serambi MyPertamina.

    Dalam konteks kebijakan publik, Trubus menambahkan, upaya Pertamina akan memudahkan dan menjamin ketersediaan energi bagi masyarakat saat libur akhir tahun yang diperkirakan mengalami peningkatan pesat.

    Pada masa tersebut, masyarakat akan memanfaatkan untuk bepergian dari satu kota ke kota lainnya, dan juga ke destinasi-destinasi wisata, lanjutnya, kegiatan ini tentunya membutuhkan ketersediaan BBM di sejumlah titik, termasuk di wilayah pedalaman.

    “Oleh karena itu apa yang dilakukan Pertamina bisa menjawab kebutuhan masyarakat yang berpergian,” ujarnya.

     

  • Publik Ingin Biaya Perpanjangan SIM Gratis

    Publik Ingin Biaya Perpanjangan SIM Gratis

    Jakarta, CNN Indonesia

    Perpanjangan masa berlaku surat izin mengemudi (SIM) kembali mendapat respons negatif dari sejumlah kalangan. Terbaru pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Dr. Trubus Rahardiansyah.

    Trubus mengatakan bahwa yang dikehendaki masyarakat terkait SIM seumur hidup, yaitu perpanjangan setiap lima tahun gratis atau tidak lagi dipungut biaya karena membebani.

    “Yang dikehendaki publik ini biaya perpanjangan digratiskan,” kata Trubusdi Jakarta, Senin (16/12) dikutip dari Antara.

    Menurut dia, evaluasi SIM diperlukan setiap lima tahun sekali, namun masyarakat jangan dibebankan biaya lagi.

    Ia menyadari bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak uji materi terkait SIM seumur hidup karena orang yang memiliki SIM harus mempunyai kompetensi dalam mengemudi dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

    Kendati demikian yang dipermasalahkan oleh masyarakat yaitu munculnya biaya untuk perpanjangan masa berlaku dokumen legal untuk pengendara itu.

    “Jadi yang punya itu wajib melaporkan secara periodik. Tapi kalau, misalnya, lima tahun tidak melaporkan, dianggap sudah mati. Yang menjadi persoalan itu karena berbayar ketika perpanjangan,” ucap Trubus.

    Sebelumnya, Anggota Komisi III Fraksi Demokrat Benny K. Harman dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI bersama Korlantas Polri mengatakan proses perpanjangan SIM terbukti sangat menyengsarakan masyarakat. Hal ini tak lain karena pengurusannya yang membutuhkan waktu dan banyak biaya.

    Benny mencontohkan salah satu kasus yang ditemuinya, di mana warga salah satu kabupaten di NTT harus mengurus perpanjangan SIM jauh-jauh ke Kupang sebab mesin cetak SIM di daerahnya mengalami kerusakan.

    “Di daerah saya di NTT, provinsi kepulauan, untuk memperpanjang SIM saja harus datang ke Kupang. Ada SIM tertentu yang di kabupaten lah. Di kabupaten saja susah, tiba-tiba mesin rusak, SIM tidak bisa diperpanjang,” ujarnya dikutip dari YouTube.

    (Antara/mik)

    [Gambas:Video CNN]

  • Pengamat: Polri di bawah Kemendagri dan TNI tidak tepat

    Pengamat: Polri di bawah Kemendagri dan TNI tidak tepat

    Fokus TNI ini lebih pada pertahanan dalam konteks keselamatan negara.

    Jakarta (ANTARA) – Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Doktor Trubus Rahardiansyah mengatakan bahwa usulan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau TNI kurang tepat karena akan ada tumpang tindih tugas pokok dan fungsi (tupoksi).

    “Kalau dari pandangan kebijakan publik, meletakkan Polri di bawah TNI maupun Kemendagri itu tidaklah tepat,” kata Dr. Trubus Rahardiansyah kepada ANTARA melalui sambungan telepon di Jakarta, Minggu (1/12).

    Menurut dia, ketika Polri di bawah Kemendagri, tupoksinya akan tumpang tindih dengan satpol PP. Selain itu, Polri juga sudah berperan dalam penegakan peraturan daerah bersama-sama dengan satpol PP.

    Sementara itu, ketika Polri di bawah TNI, kata Trubus, juga tidak efektif karena kedua institusi itu memiliki tupoksinya masing-masing. TNI sebagai pertahanan, sedangkan Polri mengurusi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas).

    “Fokus TNI ini lebih pada pertahanan dalam konteks keselamatan negara. Jadi, kalau diletakkan di situ, malah jadi tumpang tindih, malah jadi tidak efektif,” tuturnya.

    Trubus mengatakan bahwa usulan meletakkan Polri di bawah Kemendagri atau TNI itu akan menjadi kemunduran sebab penggabungan TNI dan Polri sudah pernah dilakukan sebelum reformasi dan hasilnya pun tidak baik.

    “Saya lihat perdebatan ini sudah lama sekitar 2—3 tahun lalu, juga pernah terjadi perdebatan ini. Ujungnya semua kembali kepada DPR itu sendiri,” katanya.

    Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI Deddy Sitorus dari Fraksi PDI Perjuangan menyampaikan bahwa wacana terkait dengan penempatan Polri di bawah TNI atau Kemendagri.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2024

  • Fenomena Choice Fatigue dalam Pilkada di Indonesia

    Fenomena Choice Fatigue dalam Pilkada di Indonesia

    Anggota KPPS menujukkan surat suara tidak sah saat penghitungan surat suara Pilkada DKI Jakarta 2024 di TPS 32 Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta, Rabu (27/11/2024). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/tom.)

    Fenomena Choice Fatigue dalam Pilkada di Indonesia
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 29 November 2024 – 16:23 WIB

    Elshinta.com – Hasil penelitian yang dilakukan dua periset, Ned Augenblick dan Scott Nicholson, menunjukkan adanya fenomena yang sangat menarik dalam pemilihan umum.

    Penelitian yang didanai the George P. Shultz Fund di Stanford Institute for Economic Policy Research itu fokus pada topik Choice fatigue and voter behavior dan mengungkap fakta bahwa kelelahan memilih (choice fatigue) berdampak signifikan pada perilaku pemilih dalam pemilihan umum.

    Studi ini menemukan bahwa semakin banyak keputusan yang harus dibuat oleh pemilih dalam surat suara, semakin besar kemungkinan mereka tidak menggunakan hak pilih secara penuh (undervote).

    Selain itu, pemilih cenderung mengandalkan pola yang sederhana, seperti memilih kandidat pertama dalam daftar atau opsi yang dianggap aman, meskipun itu mungkin bukan keputusan optimal.

    Temuan ini didasarkan pada eksperimen alami di California, yang menunjukkan bahwa penurunan posisi kandidat di surat suara cenderung meningkatkan abstensi sebesar 0,11 persen per posisi.

    Relevansi penelitian ini sangat terasa di Indonesia, terutama dalam pelaksanaan pemilu serentak yang kompleks, di mana pemilih dihadapkan pada surat suara yang panjang dan melibatkan banyak kandidat dari berbagai tingkat pemerintahan.

    Pada Pemilu 2019, misalnya, menunjukkan fenomena ballot roll-off, di mana banyak pemilih fokus pada pemilihan presiden, sementara pemilihan legislatif sering diabaikan.

    Hal ini menunjukkan bahwa pemilih menghadapi beban kognitif yang berat dalam membuat keputusan secara bersamaan, mirip dengan choice fatigue yang ditemukan dalam penelitian Augenblick dan Nicholson.

    Riset itu semakin relevan kini dalam Pilkada DKI Jakarta 2024, ketika diketahui angka partisipasi pemilih dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 disebut paling rendah dalam sejarah pilkada di wilayah ibu kota itu, sejak 2007.

    Tercatat partisipasi pemilih pada Pilgub DKI Jakarta 2024 hanya mencapai 4.357.512. Sementara itu, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 8.214.007. Artinya, partisipasi pemilih di Jakatta ada di angka 53,05 persen atau yang golput mencapai 46,95 persen.

    Untuk mengatasi tantangan ini, Indonesia dapat mempertimbangkan beberapa strategi yang diusulkan dalam penelitian tersebut, seperti mengurangi jumlah kontes dalam satu pemilu, melakukan pengacakan posisi kandidat dalam surat suara, atau memberikan jeda waktu yang lebih panjang antarpemilu.

    Pendekatan ini dapat membantu mengurangi beban psikologis pemilih dan meningkatkan kualitas partisipasi.

    Pengamat politik dari Citra Institute, Efriza menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta harus lebih menggencarkan sosialisasi ke masyarakat agar rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada Jakarta 27 November 2024 tidak terulang.

    Ia juga berpandangan bahwa beberapa kelompok masyarakat beranggapan semua keputusan terkait kehidupan sehari-hari tergantung pada keputusan nasional, yakni presiden dan jajaran legislatif sehingga masyarakat lebih antusias saat Pemilu Februari lalu dibandingkan saat harus memilih gubernur.

    Partisipasi pemilih

    Dalam setiap demokrasi, partisipasi pemilih menjadi indikator penting keberhasilan proses politik. Indonesia sendiri secara keseluruhan sedang menghadapi fenomena tren penurunan partisipasi pemilih dalam pilkada.

    Fenomena yang sering disebut voter fatigue ini sekarang sedang menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan, termasuk pengamat politik, Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

    Apakah benar masyarakat mulai jenuh dengan pemilu yang sering diadakan dalam waktu berdekatan, dan apakah hal ini cukup kuat untuk menjadi pertimbangan memisahkan kembali pemilu serentak?

    Fenomena voter fatigue atau kelelahan pemilih, umumnya terjadi ketika masyarakat merasa terbebani dengan intensitas pemilu yang terlalu sering atau rumit.

    Dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan pemilu serentak dimulai dari pemilu legislatif, pilpres, hingga pilkada didesain untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya, dan memperkuat sistem presidensial. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan tantangan baru yang tidak terduga.

    Data dari beberapa pilkada terakhir menunjukkan penurunan partisipasi di sejumlah daerah. Pada Pilkada Serentak 2020, misalnya, partisipasi pemilih tercatat sekitar 76,09 persen, turun dibandingkan Pilpres 2019 yang mencapai 81 persen.

    Meski angka ini masih tergolong tinggi di tingkat global, tren penurunan tetap menjadi alarm bagi keberlangsungan demokrasi Indonesia.

    Dalam diskusi dengan beberapa pengamat politik, banyak yang mengaitkan fenomena ini dengan kelelahan pemilih akibat intensitas pemilu yang terlalu tinggi dalam kurun waktu singkat.

    Ditambah lagi, pandemi COVID-19, saat itu, juga menjadi faktor penghambat yang mempengaruhi tingkat partisipasi.

    Namun, voter fatigue bukan hanya soal jadwal. Ada elemen lain yang memperparah jenuh pemilih, yaitu minimnya diferensiasi program dan visi antarkandidat.

    Sejumlah pemilih yang diwawancarai mengungkapkan, pilihan mereka tidak banyak berpengaruh. Kandidat sering kali menjanjikan hal yang sama, tetapi kenyataannya tidak banyak berubah.

    Ungkapan ini mencerminkan keresahan sebagian masyarakat bahwa pemilu hanya menjadi ritual politik tanpa dampak nyata bagi kesejahteraan mereka.

    Fenomena ini harus disadari sebagai ancaman bagi demokrasi partisipatif, sehingga perlu kajian mendalam tentang dampak pemilu serentak terhadap partisipasi pemilih.

    Pemilu serentak

    Terlepas dari perdebatan yang terjadi, pertanyaan yang muncul adalah apakah perlu memisahkan kembali pemilu serentak? Jawabannya, tentu tidak sederhana.

    Pemilu serentak dicanangkan untuk menyederhanakan proses pemilu dan mengurangi biaya negara, tetapi jika implementasinya justru menimbulkan dampak negatif, seperti penurunan partisipasi atau potensi voter fatigue, maka perlu ada evaluasi ulang.

    Beberapa pakar menyarankan pendekatan hibrida, di mana pemilu serentak tetap dilakukan, tetapi dengan jeda waktu yang lebih panjang antara pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada.

    Hal ini dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk memproses hasil pemilu sebelumnya dan mengurangi beban psikologis yang mungkin timbul akibat terlalu sering terpapar kampanye politik.

    Selain itu, pendidikan politik kepada masyarakat perlu diperkuat, terutama untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya partisipasi dalam pilkada.

    Pandangan lain mengusulkan inovasi dalam penyelenggaraan pemilu untuk mengatasi kelelahan pemilih.

    Digitalisasi proses pemilu, misalnya, dapat menjadi salah satu solusi. Dengan memperkenalkan e-voting atau sistem hibrida antara manual dan digital, masyarakat dapat merasakan kemudahan dalam menyalurkan hak suaranya.

    Hanya saja, implementasi solusi ini membutuhkan infrastruktur yang memadai dan jaminan keamanan data.

    Selain teknis pelaksanaan, peningkatan kualitas kandidat juga menjadi kunci penting. Masyarakat akan lebih antusias berpartisipasi jika mereka merasa kandidat yang maju benar-benar mewakili kepentingan mereka.

    Partai politik harus mampu menciptakan mekanisme seleksi yang transparan dan inklusif, sehingga melahirkan calon pemimpin yang berintegritas dan kompeten.

    Sebab, pada akhirnya, pemilih cenderung jenuh, bukan hanya karena terlalu sering memilih, tetapi juga karena merasa pilihan yang ada tidak membawa perubahan signifikan.

    Keharusan untuk memisahkan pemilu serentak masih membutuhkan kajian mendalam. Meskipun demikian, apa pun langkah yang diambil, satu hal yang jelas adalah, demokrasi harus terus diperkuat.

    Demokrasi bukan hanya tentang angka partisipasi, tetapi juga tentang kualitas hubungan antara pemilih dan pemimpin yang dipilih.

    Faktanya yang harus disyukuri adalah bahwa masyarakat Indonesia disadari kian dewasa dalam berdemokrasi. Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Dr Trubus Rahardiansyah menilai masyarakat sudah semakin dewasa dalam berdemokrasi, sehingga tidak lagi terlalu reaktif dalam merespons penyelenggaraan pilkada. Terlebih dalam pilkada serentak, fokus masyarakat terpecah di daerahnya masing-masing.

    Meski begitu, tipis anggapan tentang kedewasaan dalam berdemokrasi dengan voter fatigue. Memang kerap kali orang dewasa lebih rendah tingkat ketertarikannya pada sesuatu yang sudah pernah mereka alami sebelumnya, termasuk pemilu, namun voter fatigue jelas merupakan fenomena lain yang berbeda, yang benar-benar bisa menjadi ancaman nyata dalam kehidupan berdemokrasi.

    Sebab dari kelelahan bisa mengarah pada ignorant, kemudian apatis. Jika hal itu terjadi, maka langkah evaluasi harus segera dilakukan, baik melalui perbaikan sistem, penguatan kapasitas penyelenggara, maupun pendidikan politik kepada masyarakat.

    Indonesia memiliki potensi besar untuk terus menjadi negara demokrasi yang stabil, namun potensi ini hanya akan terwujud jika setiap elemen dalam sistem pemilu, dari jadwal, kandidat, hingga penyelenggara, dapat memenuhi harapan masyarakat.

    Voter fatigue bukan sekadar tanda kejenuhan. Ini adalah sinyal bahwa demokrasi memerlukan perbaikan yang lebih inklusif, responsif, dan berorientasi pada hasil yang nyata.

    Sumber : Antara

  • Pengamat Paham Maksud Dharma Pongrekun Ingin Hilangkan Lampu Merah, tapi Tak Bisa Hilangkan Macet

    Pengamat Paham Maksud Dharma Pongrekun Ingin Hilangkan Lampu Merah, tapi Tak Bisa Hilangkan Macet

    Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra

    TRIBUNJAKARTA.COM – Salah satu pernyataan dari Cagub Jakarta nomor urut 2, Dharma Pongrekun saat debat pamungkas yang cukup disorot yakni ketika ia bakal menghilangkan lampu merah untuk atasi kemacetan di Jakarta.

    Purnawirawan jenderal bintang tiga Polri itu mengatakan demikian saat ditanyakan oleh moderator mengenai upayanya dalam mewujudkan kota hijau dan penggunaan transportasi ramah lingkungan.

    “Kurangi kemacetan dengan teknologi tanpa lampu merah,” kata Dharma.

    Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah mengatakan dirinya cukup paham maksud dari yang disampaikan Dharma terkait peniadaan lampu merah.

    “Ya, mengatasi lampu merah itu maksudnya dibikin itu kan bundaran itu lah,” kata Trubus saat dimintai tanggapannya, Senin (18/11/2024).

    Namun Trubus meyakini sejatinya konsep dari Dharma itu tak akan efektif untuk menghilangkan kemacetan di Jakarta.

    Pasalnya, di sejumlah titik di Jakarta, keberadaan bundaran di perempatan tetap saja menimbulkan kemacetan.

    “Karena kalau misalnya nggak ada lampu merah sama sekali Malah di bundaran itu jadi kemacetan, kan. Selama ini kan di bundaran-bundaran itu malah menyebutkan kemacetan.

    Contoh misalnya Kelapa Gading itu di dalam komplek aja sering macet itu karena bundaran itu kan depan mal itu Nah, itu karena orang ujung-ujungnya kan harus mecah kemana, itu kan tetap bertemu,” papar Trubus.

    Menurut Trubus, salah satu kebijakan yang tepat untuk mengatasi macet di Jakarta yakni dengan memperbanyak jembatan layang maupun terowongan di tiap perempatan yang kerap menjadi titik kemacetan.

    “Daripada pakai bunderan lebih efektif itu (jalan layang dan underpass).” kata Trubus.

    Selain ingin menghilangkan lampu merah, Dharma juga mengatakan berencana memprioritaskan transportasi umum.

    “Siapakah juga energi terbarukan seperti biodiesel dari rumput laut hingga bakau. Kurangi penggunaan listrik dah optimalkan penanaman mangrove,” jelasnya.

    Sebagai informasi debat ketiga Pilgub Jakarta mempertemukan tiga pasangan calon, yakni Ridwan Kamil–Suswono, Pramono Anung–Rano Karno, dan Dharma Pongrekun–Kun Wardana, yang akan beradu visi dan misi untuk memimpin ibu kota.

    Debat pamungkas kemarin mengusung tema Perkotaan dan Perubahan Iklim.

    Adapun untuk sub temanya meliputi  penanganan banjir, penataan pemukiman, penurunan emisi dan polusi udara serta transisi energi terbarukan, pengelolaan sampah, ketersediaan air bersih, kota layak huni, dan penataan ruang terbuka hijau. 

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya