Waketum Gerindra Habiburokhman: Amnesti untuk Hasto bukan Upaya Rekonsiliasi Politik
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menegaskan bahwa pemberian amnesti kepada Sekretaris Jenderal Partai PDI-P Hasto Kristiyanto, bukanlah upaya rekonsiliasi politik.
Hal ini disampaikan
Habiburokhman
untuk menjawab anggapan dari mantan Pimpinan KPK
Johan Budi
, yang menilai Prabowo Subianto berusaha melakukan rekonsiliasi dengan PDI-P melalui amnesti untuk Hasto.
“Pak Johan Budi mengatakan amnesti (untuk Hasto) sebagai bentuk rekonsiliasi, bukan itu,” kata Habiburokhman, dalam acara diskusi ‘Gejolak Jelang 2026: Dampak Politik Pisau Hukum Prabowo’ di Menteng, Jakarta, Sabtu (6/12/2025).
Habiburokhman menuturkan, pemberian amnesti kepada Hasto justru menjadi bukti bahwa Prabowo tidak ingin menggunakan hukum untuk membalas dendam politik.
“Justru Pak Prabowo mau meluruskan bahwa kami ini enggak mau menggunakan hukum sebagai alasan untuk mengeksekusi dendam politik,” ujar dia.
Ia menambahkan, Prabowo tidak akan mempidanakan seseorang karena ada dendam politik yang belum selesai.
“Kami ingin menegaskan sikap
gentleman
kita, sikap
gentleman
Pak Prabowo. Enggak ada karena dendam politik, orang di-tipikorkan, enggak ada,” ujar Habiburokhman.
Sebelum giliran Habiburokhman menyampaikan pendapatnya, Johan Budi sempat memberikan pendapat terkait sejumlah keputusan Prabowo untuk menggunakan hak prerogatifnya.
Ada tiga kasus yang disinggung Johan: Abolisi untuk Eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula, rehabilitasi untuk eks Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi dan dua direksinya dalam kasus korupsi akuisisi perusahaan PT JN, serta amnesti untuk Hasto Kristiyanto dalam kasus suap penanganan perkara terkait Harun Masiko.
Johan menegaskan bahwa dirinya setuju dengan keputusan Prabowo “mengampuni” Tom Lembong dan Ira Puspadewi, tetapi tidak dengan amnesti untuk Hasto.
“Saya tidak setuju kalau kewenangan konstitusi yang dimiliki Presiden Prabowo itu digunakan untuk kepentingan politik, rekonsiliasi nasional kan istilahnya. Anda tahu kan sebelum ada amnesti, itu saya enggak setuju kalau yang itu,” kata Johan, dalam acara yang sama.
Ia menegaskan bahwa abolisi untuk Tom dan rehabilitasi untuk Ira menjawab pertanyaan di masyarakat sekaligus memberikan rasa keadilan.
Namun, pemberian amnesti untuk Hasto tidak memenuhi aspek-aspek ini.
“Kalau politik kan bisa banyak hal, tapi kalau amnesti itu saya enggak setuju, tolong dicatat itu,” tegas Johan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Tom Lembong
-
/data/photo/2025/12/06/6934116fda909.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Waketum Gerindra Habiburokhman: Amnesti untuk Hasto bukan Upaya Rekonsiliasi Politik Nasional 6 Desember 2025
-

Ujian Kepercayaan Publik di Era Prabowo
Bisnis.com, JAKARTA – “Pemimpin yang bijak tidak hanya mematuhi hukum, tetapi juga menjaga rasa keadilan di hati rakyat, agar masyarakat tetap percaya dan negara berjalan dengan bermartabat”
Dua keputusan penting dari Presiden Prabowo Subianto, yaitu pengampunan (abolisi) kepada Thomas Lembong dan pemulihan nama baik (rehabilitasi) kepada Ira Puspadewi, menjadi bahan diskusi publik yang hangat. Meski keduanya sah secara hukum, pertanyaan publik tidak berhenti pada legalitas, tetapi meluas ke ranah keadilan substantif dan etika kepemimpinan.
Dalam kasus Ira Puspadewi, mantan Direktur Utama ASDP, menjadi ilustrasi nyata kompleksitas keputusan korporasi yang bersentuhan dengan hukum pidana. Dalam putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, beliau dinyatakan bersalah karena melampaui kewenangan dalam pembelian lahan di Lampung Selatan, meski tidak memperkaya diri atau merugikan negara.
Keputusan bisnis tersebut diambil dalam konteks mempercepat pengembangan pelabuhan Bakauheni, yang menjadi bagian penting dari inisiatif pariwisata nasional. Sayangnya, dalam penegakan hukum, belum ada ruang yang memadai untuk membedakan antara pelanggaran administratif dan niat jahat (mens rea) dalam praktek manajerial BUMN.
Oleh karena itu, rehabilitasi terhadap Ira dapat dimaknai sebagai koreksi atas tumpang tindih antara ruang sistem manajemen dan pendekatan hukum pidana yang masih kaku. Hal ini menjadi pelajaran bahwa hukum harus lebih adaptif dalam menilai keputusan bisnis yang bersifat strategik.
Sementara itu, abolisi untuk Tom Lembong diberikan melalui Kepres No. 18/2025, dengan alasan kontribusinya sebagai tokoh reformasi ekonomi yang dinilai tidak terbukti merugikan negara, serta memiliki integritas pribadi tinggi. Pemerintah menyampaikan bahwa keputusan ini adalah bagian dari semangat rekonsiliasi nasional menjelang Hari Kemerdekaan.
Abolisi ini bukan hanya langkah administratif, tetapi memiliki muatan simbolik bahwa negara menghargai integritas pribadi dan kontribusi profesional seseorang. Namun, pemaknaan tersebut hanya bisa diterima secara luas apabila disertasi dengan komunikasi publik yang transparan.
Dalam demokrasi yang sehat, legalitas saja tidak cukup menjadi satu-satunya dasar kebijakan. Rakyat ingin mendengar narasi etika, nilai, dan tanggungjawab moral di balik setiap keputusan yang menyangkut kepercayaan publik.
Nonaka dan Takeuchi dalam The Wise Leader menyebutkan bahwa kepemimpinan bijak mengandalkan phronesis atau kebijaksanaan praktis, yaitu kemampuan memadukan pengetahuan, intuisi, dan nilai moral untuk mengambil keputusan yang tepat dan adil dalam konteks tertentu, keputusan yang tidak hanya benar secara hukum, tetapi juga adil secara sosial.
Jika keputusan Presiden dimaksudkan untuk memperbaiki sistem dan melindungi profesional yang tidak bersalah, maka penting untuk mengkomunikasikan alasan tersebut secara jujur dan terbuka. Hanya dengan itulah kepercayaan masyarakat dapat dibangun secara tulus.
Sebaliknya, jika narasi yang disampaikan tidak kuat, maka masyarakat dapat kehilangan kepercayaan dan menilai keputusan ini sebagai bentuk ketidakadilan. Dalam masyarakat demokratis, persepsi ketimpangan lebih mudah menyebar ketimbang klarifikasi prosedural.
Frei dan Morriss dalam Begin with Trust mengingatkan bahwa kepercayaan lahir dari logika yang masuk akal, empati kepada rakyat, dan ketulusan pemimpin. Ketiganya harus hadir dalam setiap keputusan penting yang menyangkut keadilan dan integritas negara.
Dalam ajaran Islam, prinsip keadilan menjadi pijakan utama bagi pemimpin. QS. An-Nisa: 58 mengingatkan bahwa amanat harus diberikan kepada yang berhak, dan hukum harus ditegakkan secara adil. Ayat ini mengingatkan bahwa pemimpin tidak hanya bertanggungjawab secara administratif, tetapi juga secara moral dan spiritual kepada rakyat dan Tuhan..
Oleh karena itu, dua keputusan ini semestinya menjadi tidak berhenti sebagai respons terhadap kasus individu. Ini harus dijadikan titik tolak untuk mereformasi tata kelola hukum dan manajemen korporasi negara yang selama ini belum sepenuhnya sinkron.
Langkah strategis yang perlu diambil ke depan melibatkan berbagai pihak. Kementerian BUMN dan Kementerian Hukum dan HAM dapat menyusun pedoman yang lebih rinci dalam membedakan kesalahan administratif dan pelanggaran hukum pidana di lingkungan BUMN.
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial juga perlu memperkuat pemahaman hakim terhadap konteks bisnis agar vonis tidak hanya berdasarkan tafsir hukum yang rigid, tetapi juga mempertimbangkan dampak strategis dan risiko manajerial. Hal ini penting agar keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dirasakan.
Bagi para profesional BUMN, penting untuk membangun budaya integritas, akuntabilitas, dan pencatatan keputusan yang baik sebagai bentuk mitigasi risiko hukum. Pemerintah juga perlu menyusun program pelatihan tata kelola risiko untuk memperkuat kapasitas kepemimpinan di sektor publik.
Presiden Prabowo dan jajaran eksekutif dapat menunjukkan bahwa kebijakan ini bukan sekedar pengampunan, melainkan bagian dari langkah awal menuju sistem hukum dan birokrasi yang lebih manusiawi. Inisiatif untuk merevisi UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Administrasi Pemerintahan dapat menjadi bukti nyata dari komitmen reformasi.
Sejarah tidak hanya mencatat siapa yang dibebaskan, tetapi juga pesan moral dan struktur keadilan baru yang dibangun dari keputusan tersebut. Pemimpin yang bijak menggunakan momen kontroversial untuk memicu perbaikan jangka panjang, bukan hanya memenangkan riuh sesaat.
Indonesia kini berada di titik penting untuk menata ulang sistem penegakan hukum dan manajemen BUMN yang lebih berimbang dan adaptif. Oleh karena itu, kepemimpinan di era mendatang tidak hanya kuat secara politik, tetapi juga wajib berpijak pada keberanian etis, kejernihan nalar politik, dan kemampuan membangun legitimasi berbasis integritas serta transparansi sebagai fondasi utama kepercayaan jangka panjang dalam negara demokratis.
-

Otto Hasibuan Ungkap Alasan Prabowo 3 Kali Berikan Ampunan pada Kasus Korupsi
Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan memberikan penjelasan terkait keputusan Presiden Prabowo Subianto yang kembali memberikan pengampunan yang ketiga kali dalam kasus korupsi.
Menanggapi penilaian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut pemberian pengampunan sebagai bentuk intervensi dan berpotensi menjadi preseden buruk, Otto mengatakan bahwa keputusan Presiden didasarkan pada prinsip keadilan.
“Bapak Presiden tidak mau terjadi ada orang yang tidak bersalah di hukum, dan tidak mau juga ada orang yang bersalah bebas. Itu tegas tadi Bapak Presiden sampai ke tempat saya. Jadi Bapak Presiden itu betul-betul melihat rasa keadilan masyarakat itu harus ditegakkan di Republik ini,” katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (28/11/2025).
Otto menjelaskan bahwa Presiden tidak ingin ada kekeliruan dalam proses hukum, baik menghukum orang yang tidak bersalah maupun membebaskan pelaku kejahatan.
Lebih lanjut, dia menekankan bahwa kebijakan pengampunan bukan bentuk intervensi, melainkan pelaksanaan hak prerogatif Presiden.
“Nah soal rehabilitasi, ini juga salah satu hal mungkin yang menjadi pertimbangan walaupun tidak spesifik tadi kita bicarakan. Tetapi mengenai soal rehabilitasi ini, ini adalah hak prerogatif dari Presiden yang berasal dan bersumber dari konstitusi,” ujarnya.
Otto kemudian menjelaskan dua bentuk rehabilitasi dalam hukum, yakni yang bersifat yuridis dan yang bersifat konstitusional. Rehabilitasi yuridis, ujarnya, berlaku ketika seseorang dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan sehingga nama baiknya harus dipulihkan.
Sementara itu, dia menegaskan bahwa rehabilitasi yang diberikan Presiden bersumber dari kewenangan konstitusional, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945.
Menurutnya, pertimbangan Presiden dalam memberikan rehabilitasi sepenuhnya berada dalam ranah konstitusional.
“Konstitusi mengatakan bahwa Presiden memperhatikan memberikan rehabilitasi. Nah, pertimbangan ini tentunya hanya Presiden yang tahu apa sebabnya dia memberikan itu,” ujarnya.
Otto menegaskan bahwa penggunaan kewenangan tersebut tidak dapat disebut sebagai intervensi.
“Jadi saya kira merupakan jauh daripada intervensi, justru dia melaksanakan hak dan kewajiban konstitusional dia yang dipandangnya tepat dan benar untuk kepentingan bangsa negara,” tandas Otto.
Prabowo Subianto, dalam kapasitasnya sebagai Presiden, telah memberikan ampunan (baik dalam bentuk amnesti, abolisi, maupun rehabilitasi) kepada terdakwa atau terpidana kasus korupsi sebanyak tiga kali hingga November 2025.
Ketiga pemberian ampunan tersebut adalah Amnesti kepada mantan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Abolisi untuk mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama (Dirut) ASDP Ferry Indonesia atas nama Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Muhammad Adhi Caksono.
-

Said Didu: Pak Prabowo, Jangan Sibuk Koreksi Kesalahan Hukum, Benahi Hulunya
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Aktivis sosial, Muhammad Said Didu, bicara terkait maraknya pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang dikeluarkan Presiden Prabowo Subianto dalam beberapa bulan terakhir.
Dikatakan Said Didu, kondisi tersebut menunjukkan adanya persoalan serius dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.
Pria kelahiran Kabupaten Pinrang ini menyampaikan bahwa berdasarkan konstitusi, Presiden memang memiliki kewenangan.
“Dalam setahun kekuasaan Presiden Prabowo sudah menggunakan hak tersebut ke beberapa warga negara yang dianggap terjadi kesalahan keputusan pengadilan,” ujar Said Didu di X @msaid_didu (27/11/2025).
Apalagi untuk memberikan pengampunan hukum kepada warga negara yang dianggap mengalami ketidakadilan dalam proses peradilan.
“Di antaranya pemberian Abolisi kepada Tom Lembong, Grasi kepada Hasto, Rehabilitasi kepada dua guru di Palopo, dan terakhir Rehabilitasi kepada Ibu Ira dan dua mantan direksi ASDP,” ucapnya.
Namun, menurutnya, terlalu seringnya intervensi presiden justru mengindikasikan adanya kerusakan sistemik.
Ia menyampaikan apresiasi terhadap Presiden Prabowo atas keberanian mengambil langkah untuk menolong pihak-pihak yang menurutnya terzalimi.
“Dengan seringnya Presiden menggunakan kewenangan ikut campur dalam penegakan hukum adalah tidak baik bagi Presiden,” sebutnya.
Hanya saja, ia mengingatkan bahwa frekuensi yang tinggi bukanlah pertanda baik.
“Ini menunjukkan ada masalah besar dalam penegakan hukum dan jangan sampai Presiden setiap saat disibukkan melakukan koreksi terhadap kesalahan penegakan hukum,” tegasnya.
-

Kasus Ira Puspadewi, Kriminalisasi atau Korban Pasal Karet Korupsi?
Bisnis.com, JAKARTA — Putusan hakim terhadap mantan Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi memantik polemik hukum. Ada isu kriminalisasi dan berbagai macam tetek bengeknya, kendati putusan pengadilan tingkat pertama menyatakan Ira telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Adapun vonis terhadap Ira adalah imbas dari keberadaan pasal 2 dan pasal 3 atau ‘pasal karet’ di Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pasal 2 UU Tipikor mengatur bahwa: ‘Setiap orang yang secara sengaja melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda Rp200 juta – Rp1 miliar.”
Sementara itu, Pasal 3 UU Tipikor menekankan bahwa koruptor adalah setiap orang yang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 – 20 tahun.
Adapun Ira menjadi tersangka kemudian berstatus terdakwa karena diduga melanggar pasal 3 UU Tipikor. Hakim pengadilan tindak pidana korupsi bahkan telah memutus Ira terbukti melakukan tindak pidana korupsi, meskipun tidak ada bukti keuntungan pribadi dalam perkara tersebut.
Dalam catatan Bisnis, eksistensi kedua pasal itu selain dianggap multitafsir, juga bisa berimplikasi menimbulkan ketidakpastian hukum. Apalagi, kalau merujuk kepada dua pasal itu, korupsi tidak sebatas pada tindakan menguntungkan diri sendiri, tetapi orang lain atau korporasi.
Selain itu, korupsi juga didefinisikan sebagai sebuah tindakan penyalahgunaan kewenangan yang dapat menimbulkan kerugian negara.
Dalam catatan Bisnis, polemik tentang penerapan Pasal 2 atau pasal 3 UU Tipikor pernah terjadi saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka eks Mantan Perdagangan Thomas Lembong dan mantan petinggi BUMN, RJ Lino. Lino bahkan menyandang status tersangka selama hampir 6 tahun. Dia menjadi tersangka pada tahun 2015 dan baru divonis pengadilan pada tahun 2021.
Selain RJ Lino, polemik juga sempat terjadi di kasus mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan. Karen pernah bebas dalam kasusnya di Kejaksaan Agung. Namun pada 2024 lalu, Karen divonis penjara selama 9 tahun dalam kasus pembelian gas alam cair alias LNG.
Karen terbukti bersalah. Dia dinyatakan telah melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor. Menariknya, dalam vonis yang dijatuhkan, hakim memutuskan bahwa Karen tidak memperoleh hasil dari tindakan korupsi yang dijatuhkan kepadanya. Karen dipenjara karena kebijakannya terkait pembelian LNG terbukti merugikan negara hingga US$113,87 juta.
Selain RJ Lino dan Karen, tentu masih banyak lagi pejabat atau direksi BUMN yang masuk penjara karena keberadaan ‘pasal karet’ di UU Tipikor. Yang paling baru tentu nama bekas Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong. Sama seperti Karen, Tom terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor.
Penjelasan KPK
Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi polemik perhitungan kerugian negara di kasus dugaan korupsi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) yang dianggap janggal karena tidak melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kejanggalan itu disampaikan oleh terdakwa sekaligus mantan Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi dalam pledoinya beberapa waktu lalu sebelum divonis 4,5 tahun penjara.
Menurut Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo perhitungan kerugian negara dilakukan oleh accounting forensik (AF) KPK yang sebelumnya sudah sering terlibat dalam menghitung kerugian negara dan diterima oleh hakim
“Artinya ini memang sudah firm bahwa AF di KPK ini punya kewenangan dalam menghitung kerugian negara. Dalam proses persidangannya juga KPK sudah menghadirkan ahli dari BPK yang juga menyatakan bahwa hitungan yang dilakukan oleh accounting forensik KPK ini sudah sesuai,” kata Budi kepada jurnalis, Senin (24/11/2025).
Budi menegaskan proses perhitungan kerugian negara telah melibatkan sejumlah ahli seperti ahli perkapalan. Menurutnya, akuisisi kapal PT JN oleh PT ASDP berisiko terhadap faktor keselamatan karena kapal yang diakuisisi berusia tua sehingga memengaruhi kualitas kapal.
Pihaknya turut membandingkan kapal milik PT JN dengan PT ASDP mulai dari usia hingga volume kapal. Termasuk valuasi kapal-kapal tersebut. “Ya mungkin ASDP secara keseluruhan itu laba atau untuk tapi kan itu ekosistem besarnya. Sedangkan akuisisi atas PT JN sampai dengan hari ini ekosistem bisnisnya masih merugi,” ujar Budi.
Budi menyebutkan jika PT ASDP tidak melakukan akuisisi, maka berpeluang untung lebih besar. Sebab, PT JN memiliki permasalahan keuangan yang salah satunya adalah utang.
Dalam hal ini, selain mengakuisisi kapal, PT ASDP harus membayar utang yang ditanggung PT JN. Selain itu, Budi menegaskan penetapan tersangka terhadap Ira telah memenuhi kecukupan alat bukti.
Rehabilitasi dari Prabowo
Setelah menjadi polemik, Presiden Prabowo Subianto resmi meneken surat rehabilitasi bagi tiga terdakwa kasus korupsi terkait akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry.
Tiga terdakwa tersebut, yakni eks Dirut ASDP Ira Puspadewi, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi.
Rehabilitasi dari Prabowo diumumkan oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang didampingi oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya di Istana, Selasa (25/11/2025).
“Alhamdulillah pada hari ini Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap 3 nama tersebut,” kata Dasco dalam konferensi pers di Istana, Selasa (25/11/2025).
Di samping itu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan bahwa pemberian rehabilitasi terhadap tiga mantan pejabat PT ASDP Indonesia Ferry pada dasarnya setara dengan pembebasan.
“Kira-kira begitulah [pembebasan], oke,” tutur Prasetyo.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, pemberian rehabilitasi merupakan kewenangan presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung,” bunyi Pasal 14.
Kemudian, penjelasan rehabilitasi secara eksplisit tertera dalam Pasal 1 (23) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam beleid itu, rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang.
Selain diadili tanpa alasan, rehabilitasi juga merupakan hak pemulihan karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Adapun, pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP mengatur soal hak penerima rehabilitasi. Dalam hal ini, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
-

Prabowo Rehabilitasi Ira Puspadewi Pertanda Potret Buram Peradilan RI?
Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah baru saja membebaskan Ira Puspadewi, karena adanya tuduhan merugikan negara saat ASDP mengakuisi PT Jembatan Nusantara.
Ira dituduh karena dianggap merugikan negara hingga Rp1,25 triliun. Namun, dia tidak terima telah dituduh merugikan negara, sebab dia mengklaim tidak ada uang sepeserpun masuk ke pribadinya.
Pada 6 November 2025, terdakwa Ira Puspadewi dalam persidangan mengatakan tidak terima disebut merugikan negara. Ira meyakini akuisisi tersebut tidak merugikan negara, tetapi menguntungkan karena mendapatkan 53 kapal dengan izin operasi.
Kasus Ira mendapatkan banyak perhatian masyarakat di Indonesia dan menjadi viral. Kasus ini dianggap mirip kasus Tom Lembong dalam kasus gula. Saat di pengadilan, Tom juga mengaku bahwa tidak ada mengantongi dana sepeserpun dan tidak ditemukan mens rea.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam penyidikan kasus dugaan korupsi dalam akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP tahun 2019–2022.
Empat tersangka tersebut adalah Direktur Utama PT ASDP periode 2017–2024 Ira Puspadewi, Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP periode 2019–2024 Muhammad Yusuf Hadi, Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP periode 2020–2024 Harry Muhammad Adhi Caksono, dan pemilik PT JN bernama Adjie.
Lalu, pada 20 November 2025, majelis hakim memvonis Ira selama 4 tahun dan 6 bulan penjara, sementara Yusuf dan Harry dijatuhi pidana 4 tahun penjara. Mereka divonis merugikan keuangan negara senilai Rp1,25 triliun.
Walaupun demikian, Hakim Ketua Sunoto sempat menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dengan memandang perbuatan ketiga terdakwa bukan tindak pidana korupsi.
Pada 25 November 2025, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya mengumumkan Presiden Prabowo memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi dan dua terdakwa kasus tersebut.
Rehabilitasi dari Presiden Prabowo
Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Ferry Indonesia (Persero) Ira Puspadewi setelah divonis 4,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beberapa hari lalu.
Rehabilitasi dari Prabowo diumumkan oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang didampingi oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya di Istana, Selasa (25/11/2025).
Dasco mengungkapkan permasalahan yang terjadi di PT ASDP yang terjadi pada periode Juli 2024, berbagai pengaduan dan aspirasi kepada DPR RI.
“Kami kemudian meminta kepada komisi hukum untuk melakukan kajian terhadap perkara untuk mulai dilakukan penyelidikan sejak bulan Juli 2024. Hasil kajian hukum kemudian kami sampaikan kepada pemerintah. Terhadap perkara 68 Pidsus/ TPK/2025/PN/Jakarta Pusat atas nama Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Harry Muhammad Adhi Caksono, dengan komunikasi dengan pihak pemerintah Alhamdulillah pada hari ini, Presiden RI Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap ketiga nama tersebut,” ujar Dasco.
Alur Pembebasan Ira Puspadewi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons pemberian rehabilitasi kepada tiga mantan Direksi PT ASDP yang sebelumnya terseret kasus korupsi akusisi kapal milik PT Jembatan Nusantara (PT JN).
Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan pemberian rehabilitasi merupakan hak prerogatif presiden dan menghormati putusan tersebut.
“Terkait dengan rehabilitasi tentunya KPK menghormati ya keputusan rehabilitasi yang diberikan oleh Presiden sebagai hak preoregatif dari Presiden ya kepada tiga direksi PT ASDP tersebut,” kata Asep kepada jurnalis di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2025).
KPK menjelaskan alur pembebasan ketiga terdakwa kasus dugaan korupsi dalam proses kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tahun 2019-2022, termasuk Ira Puspadewi, usai pemberian rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan lembaga antirasuah harus menerima terlebih dahulu surat keputusan pemberian rehabilitasi dari pemerintah, yakni Kementerian Hukum.
“Setelah itu, kami segera melakukan proses terhadap surat tersebut,” ujar Asep dikutip dari Antara, Rabu (26/11/2025).
Dia kemudian menjelaskan bahwa pimpinan KPK akan mengeluarkan surat keputusan untuk membebaskan ketiga terdakwa tersebut setelah seluruh proses telah selesai dilakukan.
“Jadi, ada proses. Kita tunggu saja petugas dari Kementerian Hukum mengantarkan surat keputusan tersebut,” katanya.
Kendati demikian, pihaknya masih menunggu surat dari Kementerian Hukum untuk nantinya ditindak lanjuti. Asep menjelaskan, wewenang jaksa lembaga antirasuah adalah saat proses penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan.
-

Said Didu soal Vonis 4 Tahun Eks Driut ASDP: Ini Murni Kriminalisasi, Persis Kasus Tom Lembong
FAJAR.CI.ID,JAKARTA — Eks Sekretaris Badan Usaha Milik Negara, Muhammad Said Didu menyoal vonis vonis empat tahun terhadap eks Dirut PT ASDP, Ira Puspadewi.
Didu mengaku telah berdiskusi dengan Zaim Uchrowi. Suami dari Ira Puspitadewi.
“Diskusi dengan Bung Zaim Uchrowi (teman lama) suami Mba Ira mantan Dirut ASDP yang dikriminalisasi oleh @KPK_RI bersama putranya,” kata Didu dikutip dari unggahannya di X, Selasa (25/11/2025).
Setelah diskusi itu, dia menyimpulkan dua hal. Pertama, dia menegaskan kasus tersebut kriminalisasi.
Dia juga menyamakan kasus Ira dengan kasus Tom Lembong. Tom setelah divonis diketahui menerima abolisi dari Presiden Prabowo.
“Kesimpulan saya: pertama, ini murni kriminalisasi. Kedua, kasus ini persis sama dengan kasus Tom Lembong,” bebernya.
Selain itu, Didu menyimpulkan bahwa vonis terhadap Ira adalah langkah sistematis. Dilakukan oleh perampok negara.
“Ini langkah sistimatis perampok negara untuk memberikan rasa ketakutan kepada orang baik untuk memperbaiki negerinya,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Hakim Ketua yang mengadili perkara tersebut, Sunoto menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion. Dia mengatakan mestinya Ira divonis bebas.
“Maka berdasarkan Pasal 191 Ayat (2) KUHAP, para terdakwa seharusnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag van rechtsvervolging,” kata Sunoto pada sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengutip Antara, Jumat (21/11/2025).
-

Alasan Nadiem Tidak Lagi Pakai Hotman Paris, Tunjuk Pengacara Tom Lembong Bela di Sidang
Bisnis.com, JAKARTA — Pengacara kondang Hotman Paris tidak akan mendampingi eks Mendikbudristek Nadiem Makarim dalam sidang kasus Chromebook di PN Tipikor, Jakarta Pusat.
Pengacara Nadiem, Dodi S Abdulkadir mengatakan Hotman sudah tidak diminta pihak keluarga Nadiem lantaran disibukkan mengurus perkara lain.
“Berdasarkan keputusan keluarga yang memberikan kesempatan, pak Hotman kan juga sedang menangani case [lain],” ujar Dodi kepada wartawan, dikutip Senin (24/11/2025).
Dia menambahkan, pihak keluarga juga telah memilih tim pengacara Ari Yusuf Amir untuk menjalani serangkaian persidangan yang akan datang.
Adapun, Ari Yusuf Amir sendiri merupakan pengacara yang sempat membela eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong dalam sidang impor gula.
“Nah sekarang pada saat penuntutan yang dapat kuasa itu adalah dari kantor MRP dan kantor Pak Ari Yusuf,” tambahnya.
Di lain sisi, Ari Yusuf menyampaikan penunjukan dirinya itu terjadi saat keluarga Nadiem Makarim mengajak dirinya dalam rapat bersama tim hukum Dodi Abdulkadir.
Singkatnya, Ari Yusuf mendapatkan kuasa dari kubu Nadiem Makarim per Senin (17/11/2025). Ari juga menyatakan dalam persidangan nantinya tim pengacara akan dipimpin oleh Dodi.
“Setelah satu pemahaman baru kita diangkat resmi oleh mereka dengan diberikan kuasa per 17 November,” tutur Ari
-

Menyoal Kasus Hukum Direksi ASDP
Jakarta –
Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini, mengomentari kasus hukum yang menimpa mantan Dirut PT ASDP, Ira Puspadewi (IP). Didik menyoroti Ira yang disebutnya tidak menerima aliran uang sepeser pun namun kini divonis 4,5 tahun penjara dalam perkara akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak pernah melakukan audit terhadap kerugian negara. Bahkan selama kepemimpinannya, Ira berhasil meningkatkan keuntungan perusahaan.
Seorang eksekutif BUMN terpidana tidak menerima aliran uang satu sen pun, tidak pernah dilakukan audit dari BPK atau BPKP perihal kerugian negara (bahkan keuntungan perusahaan meningkat), tidak ada mens rea dari para terpidana, dan hanya dikategorikan lalai pada putusan PN, lalu divonis sebagai koruptor.
Pengadilan seperti ini pantasnya disebut pengadilan apa? Sudah banyak para ahli sampai awam yang menjawab di publik, itu adalah pengadilan sesat. Ini hukum yang terjadi di Indonesia.
Seharusnya institusi hukum, seperti sistem peradilan, menjaga kontrak, dan penegakan hukum, berfungsi sebagai “pondasi” bagi aktivitas ekonomi.
Bila institusi ini buruk (korup, lamban, tidak independen, atau tidak dapat diprediksi), dampaknya sangat luas bagi perkembangan ekonomi. Pelaku usaha investor menahan investasi, profesional kaku dan takut mengambil keputusan, aktivitas bisnis menjadi lambat, bahkan mandek karena berhati-hati dan takut.
Kasus peradilan ASDP yang terakhir ini semakin mengukuhkan bahwa hukum semakin sesat dan menjadi ancaman bagi profesional, BUMN dan perekonomian secara keseluruhan.
Titik lemah dari upaya presiden Prabowo untuk memajukan ekonomi terganjal oleh praktek hukum dan peradilan, yang naif, absurd dan sembrono karena intervensi luar , setelah rangkaian banyak kasus sebelumnya seperti Karen Agustian, Tom Lembong, Nadiem Makarim dan lainnya.
Sampai saat ini sudah banyak korban peradilan sesat, hakim dan jaksa, aparat hukum yang korup. Jika tidak ada yang melakukan reformasi hukum, maka praktek sesat ini akan terus berlangsung dan secara gamblang dipertontonkan di muka publik.
Wajah hukum Indonesia sudah buruk sejak lama, membaik ketika reformasi dan kembali tampil sangat mengerikan. Ini terjadi di KPK, yang diidamkan pada masa reformasi, tetapi wajahnya sekarang tercoreng oleh oknum dan kasus-kasus intervensi kekuasaan busuk.
Menurutnya, KPK sekarang sudah jauh berbeda dengan perubahan dan intervensi yang bertubi-tubi sehingga menjadi lembaga hukum yang cacat. Seperti lembaga hukum yang ada, praktik sesat sudah terjadi, seperti pada kasus terakhir, ASDP.
Kasus ini layak dijadikan referensi dan dikaji mendalam sebagai kerusakan hukum di Indonesia dengan dampak yang luas terhadap ekonomi. Tidak usah ahli hukum yang menganalisis secara mendalam, mata dan pendengaran awam saja sudah bisa mencium bau busuk menusuk proses hukum sesat, yang terjadi pada saat ini
Aksi Korporasi Dikriminalisasi
Para direksi melakukan transformasi perusahaan melalui “corporate action” untuk satu tugas melayani penyeberangan di seluruh nusantara. Pilihannya terbatas karena tidak banyak tersedia pembelian kapal dalam jumlah besar.
Peluang aksi korporasi ada dengan cara akuisisi perusahaan sejenis yang tidak berjalan optimal. Aksi ini sangat baik secara manajemen dan sukses dilakukan sehingga menambah kapasitas layanan penyeberangan, yang berguna untuk masyarakat.
Aksi korporasi seperti ini sudah dipermasalahkan dengan kacamata hukum yang picik sehingga akan banyak CEO di masa mendatang tidak akan melakukan apa pun karena takut menghadapi aparat hukum yang naif.
Perusahaan dilihat secara obyektif justru meraih kinerja yang bagus dan terus melebarkan sayapnya melayani masyarakat. Direksi meningkatkan laba perusahaan yang tertinggi selama ini, yakni Rp 637 miliar pada tahun 2023 dan sekaligus peringkat 7 BUMN terbaik.
Direksi tidak mencuri satu sen pun uang perusahaan tetapi ada indikasi hukum dipengaruhi kepentingan tertentu justru memutuskan hukuman yang dholim 4,5 tahun penjara. Tuduhan merugikan negara Rp 1,25 triliun 98,5% dari nilai akuisisi PT Jembatan Nusantara sangat naif dan dibuat-buat dengan menilai kapal-kapal yang beroperasi sebagai besi tua.
Tetapi aksi korporasi melibatkan rente transaksi dana dalam jumlah besar, yang sering dikangkangi para pemburu rente, yang berselingkuh dengan kekuasaan. Ada indikasi, meski aksi korporasi sukses tetapi ada yang tertinggal dan kecewa sehingga melakukan balas melalui hukum yang dikendalikan kekuasaan.
Di sinilah terjadi hukum yang absurd, sesat dan melawan nurani serta akal sehat. Ini harus menjadi pelajaran sejarah hukum yang menyesatkan dan mesti ada yang menyelidiki proses gelap di balik kasus ini serta mengungkapnya agar tidak terulang kembali (komisi yudisial dan komisi kejaksaan).
Yang naif selanjutnya adalah menghitung kerugian sesuai selera sendiri. Kapal-kapal yang dibeli dinilai sebagai besi tua dihitung secara kiloan seperti pemulung besi menyerahkan besi bekas kepada pengumpul.
Lalu jadilah nilai kerugian sim salabim pengurangan dari nilai pembelian terhadap perhitungan ala pengumpul rombeng besi tua. BPK diabaikan padahal sudah melakukan audit dengan opini “Wajar Dengan Pengecualian” hanya untuk dua kapal dengan opportunity loss sekitar Rp 4,8-10 miliar. Jauh sekali dari Rp 1,25 triliun yang didakwakan sebagai kerugian negara.
Para ahli pasti berpendapat bahwa mengakuisisi perusahaan rugi adalah hal lazim dalam bisnis dimana proses akuisisi yang terjadi bagian dari pengembangan perusahaan. Peluang untuk dan rugi merupakan bagian dari dinamika perusahaan.
Dalam kasus ASDP, direksi bukan hanya melakukan hal yang benar tetapi berjuang untuk mengembangkan perusahaan. KPK yang mengangkat kasus ini mengakui tidak ada aliran uang mencurigakan. PPATK tidak menemukan aliran dana korupsi. BPK menyatakan akuisisi dilakukan sesuai ketentuan. Saksi dari komisaris dan direksi membantah tuduhan bahwa komisaris tidak menyetujui akuisisi.
Lalu, jika fakta ini diabaikan, maka layak pengadilan ASDP ini sebagai pengadilan sesat, jaksa dan hakim yang zalim. Proses hukum di baliknya dan motivasi mengejar orang tidak bersalah ke dalam hukum perlu diselidiki.
Didik J Rachbini
Rektor Universitas Paramadina(ily/hns)
/data/photo/2025/07/24/6881ce9a01426.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)