Tag: Tjandra Yoga Aditama

  • Pakar: Anggaran Efisien, Layanan Kesehatan Jangan Sampai Terabaikan – Halaman all

    Pakar: Anggaran Efisien, Layanan Kesehatan Jangan Sampai Terabaikan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) juga turut terdampak efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah. 

    Dalam instruksi Presiden Prabowo Subianto Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga, Kementerian Kesehatan diminta melakukan efisiensi anggaran Rp19,6 triliun. 

    Merespons kondisi ini, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menegaskan, pemangkasan anggaran ini tidak boleh mengurangi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. 

    “Pelayanan kesehatan menyeluruh ini tidak hanya kuratif harus sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia,” kata dia di Jakarta, Kamis (6/2/2025). 

    Ia menyebut, Kemenkes perlu menyusun prioritas penggunaan anggaran. 

    Seperti kegiatan langsung di lapangan, utamanya kegiatan promotif preventif yang menjangkau langsung masyarakat. 

    Kemudian pelayanan kesehatan primer untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat, peran serta tenaga dan profesi kesehatan harus ditingkatkan. 

    “Perlu ada kerja bersama pemerintah dengan petugas kesehatan di berbagai tingkatan, demi kesehatan bangsa,”

    Keempat, upaya maksimal untuk memberi prioritas tinggi pada kesehatan diri dan keluarganya. 

    Kelima, jika ada pembelian obat dan alat kesehatan maka harus yang betul-betul bermanfaat di lapangan, langsung dapat digunakan dengan kesiapan SDM yang sudah terlatih mahir dan juga prasarana yang sudah tersedia mendukung. 

    Keenam, diplomasi kesehatan regional dan global harus terus ditingkatkan. 

    “Hal-hal yang tidak perlu tentu harus dikurangi, seperti perjalanan dinas, kegiatan seremonial serta menjamin efisiensi di dalam alur kerja kantor Kementerian, dengan menggunakan SDM ASN yang ada di Kementerian,” pesan direktur pascasarjana Universitas YARSI.

  • Anggaran Kemenkes Dipangkas Rp 19 T, Pakar: Kurangi Perdinas-Acara Seremonial

    Anggaran Kemenkes Dipangkas Rp 19 T, Pakar: Kurangi Perdinas-Acara Seremonial

    Jakarta

    Sebelumnya diberitakan, Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 terkait pemangkasan anggaran. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025, yang mengamanatkan penghematan anggaran kementerian dan lembaga sebesar Rp 256,10 triliun.

    Presiden Prabowo Subianto merilis Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 terkait pemangkasan anggaran. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025, yang mengamanatkan penghematan anggaran kementerian dan lembaga sebesar Rp 256,10 triliun, termasuk Kementerian Kesehatan RI.

    Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit Kemenkes Prof Tjandra Yoga Aditama mewanti-wanti agar hal ini tak ikut berdampak pada anggaran pelayanan kesehatan.

    Eks Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara ini juga berpesan, prioritas penggunaan anggaran yang saat ini tersedia harus diutamakan pada kegiatan langsung di lapangan, utamanya dalam hal promotif dan preventif. Prof Tjandra juga mengingatkan perlunya memastikan ketersediaan obat dan alat kesehatan di masyarakat, agar pasokannya tidak ikut terganggu.

    Prioritas penggunaan anggaran yang saat ini tersedia harus diutamakan pada kegiatan langsung di lapangan, utamanya dalam hal promotif dan preventif. Prof Tjandra juga mengingatkan perlunya memastikan ketersediaan obat dan alat kesehatan di masyarakat, agar pasokannya tidak ikut terganggu.

    Salah satunya bisa dengan mengurangi kegiatan tidak perlu, misalnya perjalanan dinas hingga kegiatan seremonial.

    “Seperti juga kebijakan umum untuk kementerian dan lembaga lain maka hal-hal yang tidak perlu tentu harus dikurangi, seperti perjalanan dinas, kegiatan seremonial dan lain lain, serta menjamin efisiensi di dalam alur kerja kantor Kementerian, dengan menggunakan SDM ASN yang ada di Kementerian,” pesan dia dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom Kamis (6/2/2024).

    Di tengah pemangkasan bantuan dari AS, pemerintah juga dinilai perlu gencar melakukan diplomasi kesehatan global.

    “Yang harus dicamkan, pemangkasan anggaran ini tidak boleh mengurangi pelayanan kesehatan kepada rakyat kita semua, serta pelayanan kesehatan menyeluruh ini (tidak hanya kuratif) harus sesuai dengan kebutuhan sebagian besar rakyat Indonesia,” pungkasnya.

    (naf/kna)

  • Trump Setop Bantuan TBC-HIV, Eks Petinggi WHO Bicara Dampak bagi RI dan Antisipasinya

    Trump Setop Bantuan TBC-HIV, Eks Petinggi WHO Bicara Dampak bagi RI dan Antisipasinya

    Jakarta

    Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, menilai pemerintah perlu merespons cepat penghentian pasokan obat-obatan tuberkulosis (TBC), HIV, dan Malaria dari Amerika Serikat (AS). Ia menyoroti pentingnya kemandirian produksi dalam negeri yang membantu memenuhi pasokan medis.

    Tentu, dalam hal ini, perlu ada ketersediaan anggaran tambahan.

    “Pemerintah tentu dapat memanfaatkan maksimal obat yang diproduksi dalam negeri, tentu yang mutunya sudah terjamin dan sebaiknya sudah melewati proses WHO PQ (“pre qualification”) pula,” beber Prof Tjandra dalam pesannya kepada wartawan, Jumat (31/1/2025).

    “Tentu juga pemerintah dapat dan harus menyediakan anggaran ekstra kini untuk membeli obat-obat ke tiga penyakit ini dari berbagai pabrik di berbagai negara, baik dari Asia maupun dari Eropa, kalau memang diperlukan,” lanjutnya,

    Pemerintah disebutnya juga perlu segera menganalisis berapa besar ketersediaan pasokan medis yang berkurang pasca titah Trump menyetop bantuan.

    Terutama yang selama ini didapat dari rekanan kerja sama United States Agency for International Development (USAID). Menurutnya, hasil analisis juga perlu diumumkan secara publik.

    “Agar tidak terjadi keresahan,” katanya.

    Begitu pula dengan dana yang selama ini didapat dari badan internasional lain misalnya Global Fund AIDS-TB-Malaria (GF ATM).

    “Yang bukan tidak mungkin obatnya bukan hanya dari Amerika Serikat. Atau mungkin juga ada masyarakat dan pasien kita yang terima obat dari negara lain di luar Amerika Serikat, atau pemerintah menjajaki hubungan kerjasama dengan negara di luar Amerika untuk mendapatkan obat-obat ini. Hasil kerjasama ini juga perlu diumumkan ke publik secara luas,” pungkas Prof Tjandra.

    (naf/naf)

  • Pasokan Obat HIV, Malaria dan TBC Dihentikan Trump, Pakar: Tantangan Penting Pemerintahan Prabowo – Halaman all

    Pasokan Obat HIV, Malaria dan TBC Dihentikan Trump, Pakar: Tantangan Penting Pemerintahan Prabowo – Halaman all

     

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA –Penghentian sementara bantuan program HIV, Malaria dan TBC termasuk untuk obat ke negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump memiliki dampak serius.

    Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menyebut, kebijakan tiba-tiba Trump itu menjadi tantangan penting yang perlu ditangani serius di 100 hari kerja pemerintahan Presiden Prabowo.

    “Masalah penghentian obat untuk HIV, TB dan Malaria dari Amerika Serikat yang terjadi pada masa 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo tentu jadi salah satu tantangan kesehatan penting,” kata dia kepada Tribunnews.com, Jumat (31/1/2025).

    Ia berharap, pemerintah berupaya maksimal agar masyarakat dan pasien di tanah air yang memerlukan obat-obat ini tidak putus pengobatan di tengah jalan.

    Pengobatan yang tidak tuntas berakibat buruk bagi kesehatan  dan juga berdampak pada penularan penyakit di masyarakat.

     “Ada upaya konkret segera yang akan dan sudah dilakukan untuk menyelamatkan mereka yang membutuhkan berbagai obat amat penting ini,” harap Direktur Pascasarjana Universitas YARSI ini.

    Guru besar UI ini menjabarkan tiga hal yang perlu diantisipasi pemerintah dalam menghadapi situasi ini.

    Pertama tentu perlu segera diidentifikasi berapa besar obat-obatan untuk ketiga penyakit itu yang datang dari bantuan langsung pemerintah Amerika Serikat yang kini digunakan di Indonesia.

    “Indonesia perlu tahu pasti seberapa besar masyarakat dan pasien yang menerima obat mereka dari kontraktor dan rekanan USAID ini. Kalau sudah ada jumlah dan proporsinya yang jelas maka sebaiknya diumumkan ke publik, agar tidak terjadi keresahan,” ungkap Prof Tjandra.

    Kedua, pemerintah perlu menjajaki hubungan kerja sama dengan negara di luar Amerika untuk mendapatkan obat-obat ini.

    Ketiga, pemerintah tentu dapat memanfaatkan maksimal obat yang diproduksi dalam negeri dengan mutu yang sudah terjamin dan sebaiknya sudah melewati proses WHO PQ (pre qualification).

    “Pemerintah dapat dan harus menyediakan anggaran ekstra kini untuk membeli obat-obat tiga penyakit ini dari berbagai pabrik di berbagai negara, baik dari Asia maupun dari Eropa, kalau memang diperlukan,” sebut dia.

     

     

  • Bagaimana Kebijakan Trump Pengaruhi Penanggulangan HIV di Indonesia?

    Bagaimana Kebijakan Trump Pengaruhi Penanggulangan HIV di Indonesia?

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencemaskan dampak penangguhan bantuan dana Amerika Serikat bagi ketersediaan obat HIV di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Apa dampaknya bagi penanggulangan HIV di Indonesia?

    Dilansir Reuters, berbagai mitra kerja dan penerima hibah Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) di seluruh dunia mendapatkan memo untuk segera menghentikan aktivitas mereka pada Selasa (27/01).

    Ini adalah bagian dari sikap Presiden AS Donald Trump yang membekukan hibah, pinjaman, dan bantuan keuangan luar negeri selama tiga bulan ke depan.

    Trump juga mengisyaratkan akan menarik AS keluar dari WHO.

    AS adalah penyumbang terbesar WHO yaitu sekitar seperlima dari anggaran tahunannya sebesar US$6,8 miliar.

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan keluarnya AS dari WHO tidak akan berdampak banyak bagi Indonesia.

    Namun, organisasi-organisasi nonpemerintah di lapangan mengatakan dampak dari kebijakan AS sudah terasa.

    Pada Rabu (28/01), WHO menghimbau pemerintah AS untuk melakukan “pengecualian” untuk program-program yang menyediakan obat-obatan antiretroviral atau ARV.

    WHO khususnya mengamati program Rencana Darurat Presiden AS untuk Penanggulangan AIDS (PEPFAR) di 50 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

    Obat ARV harus diminum orang yang hidup dengan HIV setiap harinya untuk menekan perkembangan virus.

    Data WHO per akhir 2023 menyatakan 39,9 juta orang dengan HIV di dunia yang membutuhkan obat.

    Berbeda dengan beberapa negara di Afrika, misalnya, Indonesia tidak termasuk ke dalam daftar negara yang bergantung kepada bantuan AS untuk persediaan obat ARV.

    Meskipun demikian, direktur eksekutif dari LSM Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana memperingatkan komponen-komponen program HIV di Indonesia, terkecuali persediaan obat HIV, mayoritas donor asing termasuk AS.

    Baca juga:

    Aditya juga memperingatkan nuansa kebijakan Trump tetap akan mempengaruhi penanggulangan HIV di Indonesia, misalnya kebijakan soal gender.

    “Dalam pidato inagurasi Trump, dia secara eksplisit mengatakan kebijakan AS hanya mengakui dua gender: laki-laki dan perempuan. Di Indonesia, program penanggulangan HIV berhubungan erat dengan teman-teman transgender. Prevalensi HIV di Indonesia di transgender cukup tinggi,” ujar Aditya.

    Berdasarkan wawancara dengan pegiat, LSM, dan pengamat kesehatan, BBC News Indonesia berupaya merangkum bagaimana kebijakan Trump mempengaruhi penanggulangan HIV di Indonesia.

    Dari mana saja sumber dana untuk program HIV di Indonesia?

    Getty ImagesData terakhir pada tahun 2020 memperlihatkan sebanyak 40,8% dari program-program HIV di Indonesia berasal dari Global Fund.

    Laporan tahunan Kementerian Kesehatan menunjukkan proporsi terbesar untuk penanganan HIV di Indonesia berasal dari Global Fund.

    Data terakhir pada 2020 memperlihatkan sebanyak 40,8% dari program-program HIV di Indonesia berasal dari Global Fund.

    Global Fund adalah organisasi internasional yang berfokus pada pengentasan AIDS, tuberkulosis, dan malaria di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

    AS adalah donor terbesar untuk Global Fund yang mencakup sekitar sepertiga dari total pendanaan.

    Untuk periode 2023-2025, AS telah mengumumkan komitmen hingga US$ 6 miliar untuk organisasi itu.

    Data 2020 memperlihatkan proporsi dana dari PEPFAR-USAID untuk program HIV di Indonesia mencapai 4,8%.

    Jumlah ini menjadikan PEPFAR-USAID, yang merupakan bentuk bantuan bilateral AS, sebagai donor asing kedua terbesar setelah Global Fund.

    Dari dalam negeri, APBN mencakup 37,2% dari pengeluaran program HIV pada tahun 2020, diikuti BPJS sebesar 11,2% sementara sisanya dana daerah.

    Untuk tahun 2024, anggaran kesehatan dalam APBN diproyeksikan sebesar Rp 186,4 triliun atau sebesar 5,6% dari APBN. Jumlah ini meningkat 8,1% atau Rp 13,9 triliun dibandingkan anggaran tahun 2023.

    Aditya Wardhana dari IAC mengestimasi skenario kebutuhan program-program penanggulangan HIV di seluruh Indonesia setiap tahunnya adalah sekitar Rp 4,8 triliun.

    “Idealnya Rp 4,8 triliun. Angkanya tidak besar sebetulnya,” ujar Aditya yang mendorong agar Indonesia berdikari dalam pendanaan program HIV.

    Apa imbas dari sikap Trump terhadap pengobatan HIV di Indonesia?

    Getty ImagesPresiden terpilih AS Donald Trump untuk sementara menghentikan bantuan luar negeri, termasuk untuk program-program terkait HIV.

    Daniel Marguari, yang mengetuai Yayasan Spiritia, LSM di Indonesia yang berfokus pada edukasi masyarakat, menyebut obat-obatan HIV di Indonesia didanai APBN.

    “Penyediaan obat HIV itu ditanggung APBN, termasuk biaya tes HIV itu juga ditanggung oleh biaya pemerintah,” ujar Daniel ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Rabu (29/01).

    Di sisi lain, Daniel mengungkapkan USAID mendanai beberapa organisasi di Indonesia yang berfokus pada program-program pendukung HIV lainnya.

    Organisasi-organisasi ini, menurut Daniel, saat ini mengalami penghentian sementara menyusul kebijakan Trump yang menangguhkan bantuan luar negeri.

    Baca juga:

    Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana mengatakan program penanggulangan HIV selama ini tetap bergantung kepada LSM-LSM sekalipun persediaan obat-obatnya ditanggung APBN.

    Ini termasuk LSM-LSM yang mendapat pendanaan PEPFAR-USAID dan melakukan pendampingan kepada penyintas HIV.

    “[Pemerintah] tidak tahu susahnya mendorong teman-teman komunitas untuk melakukan tes [HIV] dan melakukan pengobatan di pelayanan kesehatan,” ujar Aditya kepada kepada BBC News Indonesia pada Rabu (29/1).

    “Pemerintah Indonesia keenakan karena sudah sekian belas tahun LSM-LSM ini dikasih terus dananya dari bantuan luar negeri.

    “[Pemerintah seolah berkata]: ‘Sudahlah, kalian [LSM-LSM] minta saja terus dana bantuan luar negeri. Yang penting obatnya sudah kita sediakan.”

    Aditya Wardhana dari IAC mengatakan anggaran untuk program HIV tahun diperkirakan sekitar Rp 400 miliar, itu pun masih bergantung pada donor.

    Padahal, menurut dia, skenario IAC untuk kebutuhan program-program HIV di seluruh Indonesia setiap tahunnya adalah sekitar Rp 4,8 triliun.

    “Idealnya Rp 4,8 triliun. Angkanya tidak besar sebetulnya,” ujar Aditya.

    Data Kementerian Kesehatan memperkirakan ada 503.261 orang yang hidup dengan HIV di Indonesia per akhir tahun 2024 . Dari jumlah itu, diperkirakan hanya 351.378 orang yang mengetahui status mereka.

    Ini berarti masih ada sekitar 30,18% orang yang hidup dengan HIV tetapi tidak mengetahuinya.

    Data Kementerian Kesehatan juga menyebut per 2024, hanya 217.482 orang yang sudah menjalani pengobatan.

    Ini menunjukkan bahwa ada lebih dari setengah orang yang hidup dengan HIV belum mendapatkan pengobatan yang dibutuhkan.

    Salah satu LSM di Indonesia yang mendapat pendanaan dari USAID adalah Jaringan Indonesia Positif, organisasi nirlaba yang berfokus pada dukungan dan advokasi untuk orang dengan HIV di Indonesia.

    BBC News Indonesia sudah menghubungi Jaringan Indonesia Positif untuk artikel ini, tetapi tidak mendapatkan tanggapan.

    Aditya dari IAC menyebut organisasi-organisasi yang didanai USAID otomatis tidak melakukan aktivitas setelah mendapat memo itu.

    “Kita juga tidak tahu apakah pemberhentian sementara ini juga berpengaruh ke pembayaran gaji. Proyek PEPFAR ini juga mendanai petugas lapangan yang cukup banyak. Di Jakarta, ada ratusan mungkin,” ujarnya.

    Apa dampaknya bagi pengentasan HIV di Indonesia apabila kebijakan Trump terus berlangsung?

    Aditya dari Indonesia AIDS Coalition memperingatkan komponen-komponen program HIV di Indonesia, terkecuali persediaan obat HIV, mayoritas berasal dari Global Fund.

    “Global Fund memang bukan dibiayai pemerintah AS semata, tetapi sepertiganya uangnya berasal dari PEPFAR tadi,” ujar Aditya.

    Menurut Aditya, apabila penghentian bantuan luar negeri AS berlanjut, maka ini otomatis mempengaruhi Global Fund. Dia mengingatkan periode pendanaan Global Fund saat ini adalah 2023-2025.

    Artinya, siklus pembiayaan organisasi itu akan berakhir pada akhir tahun ini.

    “Sederhananya, ada dampak tidak langsung dari jeda ini,” ujar Aditya.

    Terpisah, Daniel dari Spiritia mengatakan sejauh ini dirinya tidak mendengar adanya penundaan dana bantuan AS untuk Global Fund.

    Program-program yang dikelola Spiritia, ujar Daniel, didanai Global Fund sehingga masih dapat berlangsung sampai saat ini.

    Baca juga:

    Meskipun demikian, Daniel tidak menutup kemungkinan bahwa Presiden Trump suatu saat akan mengurangi pendanaan kepada Global Fund.

    “Mungkin saja itu terjadi, sampai hari ini saya belum dengar, dan semoga tidak terjadi,” ujarnya.

    Ditanya soal kekhawatiran, Daniel mengaku tidak mau berasumsi.

    “Tetapi dengan melihat kurang dari sebulan kepemimpinan beliau sudah mengambil keputusan-keputusan yang mengejutkan, menurut saya risiko akan mendapatkan kejutan-kejutan yang lain tentu terbuka,” ujarnya.

    Daniel menyebut salah satu program yang disokong Global Fund di Indonesia adalah program Pre-Exposure Prophylaxis atau PrEP, yakni pemberian obat ARV bagi orang yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV agar tercegah dari virus.

    Apa yang mesti dilakukan pemerintah Indonesia?

    Kepala Riset dan Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda, mengatakan penahanan dana yang dilakukan Presiden Trump menunjukkan “besarnya ketergantungan pendanaan kesehatan global, termasuk HIV, terhadap AS”.

    “Perubahan kebijakan luar negeri AS akan sangat bergantung dengan kepemimpinan yang sangat dinamis berganti,” ujar Olivia kepada BBC News Indonesia.

    Olivia mengatakan pemerintah Indonesia harus mulai berinvestasi lebih banyak dan mengalokasikan sumber daya domestik untuk menurunkan ketergantungan hibah untuk program kesehatan.

    Senada, Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, menekankan pemerintah Indonesia perlu mengedepankan komitmen anggaran kesehatan untuk semua warga negara Indonesia terlepas dari bantuan negara lain termasuk Amerika Serikat.

    “Pemerintah kita sendiri tentu yang paling bertanggung jawab untuk kesehatan rakyat kita” ujarnya.

    Untuk tahun 2024, anggaran kesehatan dalam APBN diproyeksikan sebesar Rp 186,4 triliun atau sebesar 5,6% dari APBN.

    Jumlah ini meningkat 8,1% atau Rp 13,9 triliun dibandingkan anggaran tahun 2023.

    Getty ImagesMenteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Indonesia tidak terlalu terkena dampak dari keluarnya AS dari WHO.

    Aditya Wardhana dari IAC mendesak agar Indonesia dapat lebih mandiri dalam pendanaan program HIV. Menurut Aditya, anggaran program HIV saat ini adalah sekitar Rp 400 miliar.

    “HIV ini, kan, penyakit negara dunia ketiga. Harusnya kalau memang pemerintahan ingin dipandang setara sebagai negara maju, kita berdikari dalam pendanaan,” ujarnya.

    Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Albert Wirya menilai bantuan luar negeri, termasuk dari AS, masih signifikan untuk program-program HIV di Indonesia.

    “Pemberhentian sementara [hibah AS] bisa menjadi wake up call bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kemandiriannya dalam program-program HIV di Indonesia,” ujarnya.

    BBC News Indonesia sudah menghubungi pihak Kementerian Kesehatan dan USAID untuk kebutuhan artikel ini, tetapi hingga berita diturunkan yang bersangkutan belum memberikan respons.

    Dilansir kantor berita Antara pada 22 Januari, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sempat dikutip mengatakan Indonesia tidak terlalu terkena dampak apabila AS keluar dari WHO.

    “Kita enggak terlalu banyak dapat dari WHO,” ujar Menkes Budi.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Ahli Kesehatan: Indonesia Perlu Belajar soal Harga Obat Murah dan Pengendalian TBC dari India – Halaman all

    Ahli Kesehatan: Indonesia Perlu Belajar soal Harga Obat Murah dan Pengendalian TBC dari India – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar kesehatan sekaligus ahli paru Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, hubungan persahabatan antara India dan Indonesia haruslah terus dibina.

    Ada banyak hal yang bisa dipelajari aspek kesehatan oleh Indonesia.

    Misalnya saja soal harga obat yang murah, pengendalian TBC yang amat masif, jaminan kesehatan untuk lebih dari 1 milyar penduduk India, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan India, serta pakar kesehatan dan kedokteran India yang sudah mendunia pula.

    “Kemampuan India memproduksi berbagai jenis obat, alat diagnosis dan vaksin yang diekspor ke berbagai negara dan merupakan salah satu sumber utama obat dan vaksin dunia.  Semoga ke lima hal ini dapat ditindak lanjuti dari kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo kali ini,” ujar Prof Tjandra di Jakarta, Senin (27/1/2025).

    Ia membeberkan, ketika bertugas menjadi Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara selama lima tahun, harga obat di India jauh lebih murah dari negara Indonesia.

    Misalnya saja harga 1 tablet  Atorvastatin 20 mg di apotik di Jakarta adalah Rp 6.160 dan harga di India hanya 4,9 Indian rupees, atau Rp 1.000.

    Lalu, 1 tablet Clopidogrel 75 mg di Jakarta adalah  Rp 7.835 dan di India hanya 7,7 Indian rupees, atau Rp 1.540.

    Obat Telmisartan 40 mg di Jakarta adalah Rp. 5.198, dan harga di India hanya 7,4  Indian rupees, atau Rp 1500.

    Kemudian obat Concord 2.5 mg harga di Jakarta adalah Rp 10.711 sementara harga di India hanya 7,8 Indian rupees, atau Rp 1.560.

    “Di semua kemasan obat di India selalu tercantum harganya. Jadi mau beli di kota mana pun di India maka harganya sama persis, dan tentu jadi dikontrol ketat oleh pemerintahnya. Ini suatu contoh yang baik kalau bisa diterapkan juga di negara Indonesia, dengan dua keuntungan. Keuntungan ke satu, masyarakat jadi tahu persis harganya karena tercetak di kemasan obat, dan keuntungan kedua harga akan sama di seluruh negara, di apotek manapun saat membelinya,” jelas Prof Tjandra.

    Juga, soal pengendalian Tuberkulosis atau TBC di India.

    India pada April 2024 lalu melaporkan, kasus TBC di negaranya menjadi kedua terbanyak di dunia.

    India berhasil menurunkan angka kematian akibat Tuberkulosis (TB) cukup tajam, dimana dari 28 / 100.000 penduduk di tahun 2015 menjadi 23 / 100.000 penduduk di tahun 2022.

    Data lain juga menunjukkan bahwa kematian akibat TB India turun dari 494.000 di tahun 2021 menjadi 331.000 di tahun 2022.

    Kini India telah berhasil mencapai target 2023 dimana mereka memulai pengobatan pada 95 persen pasien mereka, angka ini sangat tinggi.  

    Program penurunan kasus TB di India, sebagian besar ditangani oleh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Namun peran swasta juga ditingkatkan yakni 33 persen kasus ditangani klinik swasta di tahun 2023.

    Pemerintah India ujar Prof Tjandra, memiliki lima tantangan yang hampir mirip dengan pengendalian di Indonesia yaitu kurang gizi, HIV, Diabetes, alkohol dan kebiasaan merokok.

    “Akan baik kalau pengalaman dari India juga dipakai sebagai salah satu pertimbangan dan kajian dalam pemerintah mengambil kebijakan TB di negara kita, tentu sepanjang memungkinkan dijadikan benchmark pula,” harap direktur pascasarjana RS Yarsi ini.

     

  • Donald Trump Ingin AS Keluar dari Keanggotaan, WHO Ingatkan ‘Kenangan Manis’ saat Atasi Cacar – Halaman all

    Donald Trump Ingin AS Keluar dari Keanggotaan, WHO Ingatkan ‘Kenangan Manis’ saat Atasi Cacar – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM,JENEWA — Keputusan mengejutkan diungkapkan Donald Trump, Presiden Amerika Serikat (AS), Senin (20/1/2025). Ia memerintahkan negara yang sekarang dipimpinnya keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 

    WHO pun buka suara terkait pernyataan yang diungkapkan Trump usai resmi dilantik sebagai Presiden AS.

    Melalui keterangan tertulis, WHO merespon pernyataan Trump. 

    WHO menyesalkan pengumuman penarikan diri Amerika Serikat dari organisasi tersebut. Lembaga ini bahkan ungkap ‘kenangan manis’ bersama negara besar ini dalam upaya pemeberantasan penyakit dan membangun sistem kesehatan global.

    Berikut ulasan Tribunnews.com.

    Amerika dan Perannya Pada Sejarah Berdirinya WHO

    Masih dikutip dari keterangan tertulisnya, WHO mengenang sejarah berdirinya lembaga ini dan peran Amerika Serikat.

    Amerika termasuk jajaran negara anggota WHO yang berperan dalam terbentuknya organisasi ini pada tahun 1948.

    Terhitung sejak tahun itu, Amerika Serikat dan telah berpartisipasi dalam membentuk dan mengatur kerja WHO.

    Amerika bersama dengan 193 Negara Anggota lainnya memiliki peran penting. 

    Termasuk melalui partisipasi aktifnya dalam Majelis Kesehatan Dunia dan Dewan Eksekutif.

    Kenangan Manis WHO dan Amerika Serikat

    WHOt. (CBS News)

    WHO menjelaskan bagaimana kolaborasi Amerika di Lembaga ini begitu banyak meninggalkan ‘kenangan manis’.

    WHO bersama negara-negara anggota termasuk Amerika memainkan peran penting dalam melindungi kesehatan dan keamanan masyarakat dunia.

    Perlindungan ini juga dirasakan manfaatnya untuk warga Amerika.

    WHO menandai kolaborasi ini salah satunya ialah upaya merespons keadaan darurat kesehatan seperti wabah penyakit.

    Selama lebih dari tujuh dekade, WHO dan Amerika Serikat telah menyelamatkan banyak nyawa dan melindungi warga Amerika dan semua orang dari ancaman kesehatan.

    Diantara kenangan manis iyu adalah pemberantasan wabah cacar dan polio.

    Monkeypox atau cacar monyet (freepik)

    “Bersama-sama, WHO dan AS mengakhiri penyakit cacar, dan bersama-sama kita membawa polio ke ambang pemberantasan. Institusi-institusi Amerika telah berkontribusi dan memperoleh manfaat dari keanggotaan WHO,” tulis WHO dilaman resminya, Selasa (22/1/2025).

    Data berbagai sumber, pada 2022 lalu, Amerika tercatat sebagai satu dari kawasan yang paling terdampak wabah cacar monyet.

    Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus kepada wartawan di Jenewa pada Rabu (27/7/2022) menyatakan hal ini.

    Pada tahun sama, di bulan Agustus mengutip Our World in Data, kasus positif cacar monyet di skala global Amerika Serikat menjadi negara dengan kasus terkonfirmasi tertinggi dalam skala global.

    Dengan partisipasi Amerika Serikat dan Negara Anggota lainnya, WHO selama 7 tahun terakhir telah menerapkan rangkaian reformasi terbesar dalam sejarahnya, untuk mengubah akuntabilitas, efektivitas biaya, dan dampaknya di berbagai negara.

    Oleh sebab itu, WHO berharap Amerika Serikat tetap ada di organisasi ini. 

    “Kami berharap Amerika Serikat akan mempertimbangkan kembali dan kami berharap dapat terlibat dalam dialog konstruktif untuk mempertahankan kemitraan antara Amerika Serikat dan WHO, demi kepentingan kesehatan dan kesejahteraan jutaan orang di seluruh dunia,” lanjut keterangan tersebut.

    AS Keluar dari Keanggotaan WHO Adakah Dampaknya untuk Indonesia?

    Menteri Kesehatan RI (Menkes) Budi Gunadi Sadikin saat wawancara eksklusif dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin(18/11/2024). (Tribunnews/Jeprima)

    Menteri Kesehatan RI (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penarikan diri Amerika Serikat dari keanggotaan WHO tidak memiliki dampak langsung terhadap Indonesia.

    Sekalipun soal pendanaan, Budi menyebut hal ini tidak signifikan berdampak kepada Indonesia.

    Indonesia hanya mendapat porsi sedikit pembiayaan tersebut.

    Diketahui, Amerika Serikat banyak menyumbang WHO untuk melakukan pencegahan penyakit menular dinegara-negara berkembang di Asia Tenggara .

    “Itu berdampak pada pendanaan WHO. Di RI nggak terlalu banyak dapat dari WHO,” kata dia saat ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu (22/1/2025).

    Trump Kritik WHO, Merasa Ditipu Soal Covid-19 dan Memilih Keluar 

    Ramai sebelumnya, pernyataan mengejutkan dari Donald Trump. Ia Trump mengumumkan AS keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 

    Pernyataan resmi ini dilontarkan dari Gedung Putih pada Senin (20/1/2025) waktu setempat. 

    Mengutip dari BCC, kebijakan itu diumumkan pada Senin (20/1/2025) melalui penandatangan perintah eksekutif.

    Apa dampaknya pada kelangsungan sistem kesehatan dunia? Berikut ulasannya

    Banyak yang menduga jika efek pertama keluarnya Amerika Serikat (AS) sebagai anggota WHO ialah pada pendanaan dan anggaran WHO.

    Induk kesehatan dunia milik PBB itu berulang kali dikritik Trump atas penanganannya terhadap pandemi Covid-19.

    Beberapa jam setelah pelantikan, Trump berujar bahwa AS membayar jauh lebih banyak ke WHO daripada China.

    “(Badan) Kesehatan Dunia menipu kita,” lanjutnya, dikutip Kompas.com.

    Trump sering mengkritik cara badan internasional tersebut menangani Covid-19 dan memulai proses penarikan diri dari lembaga yang berbasis di Jenewa tersebut selama pandemi.

    Sayangnya saat masa Presiden Joe Biden, Biden membatalkan keputusan itu.

    “WHO sangat menginginkan USA kembali, jadi  dilihat saja apa yang terjadi,” kata Trump.

    Trump beralasan jika AS menarik diri karena kesalahan organisasi tersebut dalam menangani pandemi Covid-19 yang muncul di Wuhan, Tiongkok, dan krisis kesehatan global lainnya, kegagalan organisasi tersebut untuk mengadopsi reformasi yang sangat diperlukan, dan ketidakmampuannya untuk menunjukkan kemandirian.

    Trump menuduh WHO bias terhadap Tiongkok dalam cara mereka mengeluarkan pedoman selama wabah ini terjadi.

    Jadi Penyandang Dana Terbesar, Trump Pernah Berupaya Bawa AS Keluar dari WHO

    Tindakan ini merupakan kali kedua Trump memerintahkan AS keluar dari WHO.

    Awalnya, ia berupaya membawa AS keluar dari WHO saat masa jabatan pertamanya.

    Trump sebagai presiden ke-45 AS menuduh WHO dipengaruhi China selama awal pandemi.

    Sehari setelah dilantik, Presiden AS Donald Trump mempertimbangkan rencana untuk memberlakukan tarif sebesar 10 persen pada impor barang-barang buatan Tiongkok, berlaku  mulai 1 Februari 2025. (CNBC International)

    Namun, upaya Trump dibatalkan oleh Joe Biden setelah politisi Demokrat itu menang pemilihan presiden atau pilpres AS 2020.

    AS Jadi Donatur Terbesar, Trump Perintahkan Stop Transfer Dana ke WHO

    Pada keputusannya kali ini, Trump meneken perintah eksekutif yang memerintahkan badan-badan terkait menghentikan sementara transfer dana, dukungan, atau sumber daya Pemerintah AS ke WHO.

    Amerika Serikat adalah donatur terbesar bagi organisasi yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss, tersebut. 

    Dukungan finansial AS sangat penting bagi operasional WHO.

    Di bawah pemerintahan Biden, AS terus menjadi penyandang dana terbesar bagi WHO dan pada tahun 2023 menyumbang hampir seperlima anggaran badan tersebut. 

    Anggaran tahunan organisasi ini adalah $6,8 miliar (£5,5 miliar).

    Efek untuk Amerika Jika Keluar dari WHO

    Pakar kesehatan masyarakat mengkritik keputusan Trump untuk keluar dari WHO, dan memperingatkan bahwa mungkin ada konsekuensi bagi kesehatan masyarakat Amerika.

    Beberapa orang berpendapat bahwa langkah ini memutus kemajuan AS dalam memerangi penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis, dan Hiv & Aids.

    “Ini adalah keputusan presiden yang sangat dahsyat. Penarikan diri dari program ini merupakan luka yang sangat menyedihkan bagi kesehatan dunia, namun luka yang lebih dalam bagi Amerika Serikat,” kata pakar kesehatan masyarakat global dan profesor di Universitas Georgetown, Lawrence Gostin.

    Jika Amerika keluar dari WHO, akan memicu restrukturisasi besar-besaran lembaga itu dan dapat mengganggu rencana-rencana kesehatan global.

    Pengamat kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama. (istimewa)

    Kabinet Trump juga mengumumkan rencana meninjau dan membatalkan Strategi Keamanan Kesehatan Global AS 2024, yang dirancang Biden untuk mencegah, mendeteksi, serta menanggapi ancaman penyakit menular.

    AS keluar dari WHO saat kekhawatiran dunia meningkat mengenai pandemi flu burung (H5N1). Puluhan orang terinfeksi dan satu pasien meninggal di Amerika Serikat.

    Negara-negara anggota WHO sejak akhir 2021 merundingkan perjanjian pertama di dunia tentang pencegahan, kesiapsiagaan, dan tanggapan pandemi.

    Dengan keluarnya AS, negosiasi akan dilanjutkan tanpa partisipasi Washington.

    Amerika Keluar dari WHO Bakal Berdampak pada Situasi Kesehatan Dunia?

    Keputusan Presiden Trump yang mengeluarkan Amerika Serikat dari keanggotaaan WHO menimbulkan kekhawatiran pada situasi kesehatan global.

    Hal ini disampaikan Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Selasa (21/1/2025).

    Ia menuturkan, Amerika Serikat mempunyai berbagai pusat kajian kesehatan yang diakui dunia seperti Center of Diseases Control and Prevention (CDC), National Institute of Health (NIH) dan lainnya.

    “Bagaimana peran berbagai organisasi ini sesudah Amerika Serikat menarik diri dari WHO,” ujar Prof Tjandra.

    Banyak pakar Amerika Serikat yang aktif dalam kesehatan global, termasuk bekerja di World Health Organization (WHO).

    Ada berbagai Universitas ternama di Amerika Serikat yang bergerak dalam kesehatan global pula.

    “Tentu patut ditelusuri bagaimana peran para pakar ini di kesehatan global kelak, sehubungan dengan kebijakan Trump di hari pertama kerjanya ini,” kata dia.

    Lebih jauh, aspek pendanaan dan anggaran WHO terkena dampak cukup bermakna jika kontribusi dari Amerika Serikat dihentikan.

    Amerika Serikat sudah lama dikenal sebagai donatur WHO.

    Imbasnya, apakah kondisi setelah ini tetap bisa terjaga kesehatan dunia.

    Situasi kesehatan dunia akan jadi perhatian penting karena besarnya jumlah penduduk Amerika Serikat, yang juga banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara di dunia.

    Kondisi ini membawa dampak dalam pengawasan perjalanan kesehatan internasonal.

    “Harus ditunggu bagaimana implementasi atau eksekusi keputusan itu, apakah akan ada waktu tertentu sampai ini benar-benar terlaksana. Pernah ada informasi bahwa prosesnya akan memakan waktu 1 tahun, tetapi mungkin saja situasinya berbeda kini,” kata direktur pascasarjana RS YARSI ini.

     

    (Tribunnews.com/Anita K Wardhani/Rina Ayu/Rizki Sandi Saputra/BBC/Kompas.com)

  • Donald Trump Ingin AS Keluar dari Keanggotaan, WHO Ingatkan ‘Kenangan Manis’ saat Atasi Cacar – Halaman all

    Amerika Serikat Keluar dari WHO, Donald Trump Hentikan Transfer Dana, Apa Efek pada Kesehatan Dunia? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JENEWA – Pernyataan mengejutkan keluar dari Donald Trump usai resmi dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), Senin (20/1/2025).

    Donald Trump mengumumkan AS keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 

    Pernyataan resmi ini dilontarkan dari Gedung Putih pada Senin (20/1/2025) waktu setempat. 

    Mengutip dari BCC, kebijakan itu diumumkan pada Senin (20/1/2025) melalui penandatangan perintah eksekutif.

    Apa dampaknya pada kelangsungan sistem kesehatan dunia? Berikut ulasannya

    Banyak yang menduga jika efek pertama keluarnya Amerika Serikat (AS) sebagai anggota WHO ialah pada pendanaan dan anggaran WHO.

    Kritik Trump Pada WHO, Merasa Ditipu Soal Covid-19 dan Memilih Keluar 

    Induk kesehatan dunia milik PBB itu berulang kali dikritik Trump atas penanganannya terhadap pandemi Covid-19.

    Beberapa jam setelah pelantikan, Trump berujar bahwa AS membayar jauh lebih banyak ke WHO daripada China.

    Presiden Donald Trump mengumumkan keputusan untuk menarik Amerika Serikat (AS) keluar dari WHO. (Tangkap layar ABC News)

    “(Badan) Kesehatan Dunia menipu kita,” lanjutnya, dikutip Kompas.com.

    Trump sering mengkritik cara badan internasional tersebut menangani Covid-19 dan memulai proses penarikan diri dari lembaga yang berbasis di Jenewa tersebut selama pandemi.

    Sayangnya saat masa Presiden Joe Biden, Biden membatalkan keputusan itu.

    “WHO sangat menginginkan USA kembali, jadi  dilihat saja apa yang terjadi,” kata Trump.

    Trump beralasan jika AS menarik diri karena kesalahan organisasi tersebut dalam menangani pandemi Covid-19 yang muncul di Wuhan, Tiongkok, dan krisis kesehatan global lainnya, kegagalan organisasi tersebut untuk mengadopsi reformasi yang sangat diperlukan, dan ketidakmampuannya untuk menunjukkan kemandirian.

    Trump menuduh WHO bias terhadap Tiongkok dalam cara mereka mengeluarkan pedoman selama wabah ini terjadi.

    Bukan Kali Pertama, Trump Pernah Berupaya Bawa AS Keluar dari WHO

    Kali kedua Trump memerintahkan AS keluar dari WHO.

    Tindakan ini merupakan kali kedua Trump memerintahkan AS keluar dari WHO.

    Awalnya, ia berupaya membawa AS keluar dari WHO saat masa jabatan pertamanya.

    Trump sebagai presiden ke-45 AS menuduh WHO dipengaruhi China selama awal pandemi.

    Namun, upaya Trump dibatalkan oleh Joe Biden setelah politisi Demokrat itu menang pemilihan presiden atau pilpres AS 2020.

    AS Jadi Donatur Terbesar, Trump Perintahkan Stop Transfer Dana ke WHO

    Kantor pusat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Geneva, Swiss. WHO menyerukan tindakan segera dan terpadu untuk menindaklanjuti temuan kasus kematian anak-anak di sejumlah negara usai mengonsumsi obat batuk sirup. (Global Times/VCG)

    Pada keputusannya kali ini, Trump meneken perintah eksekutif yang memerintahkan badan-badan terkait menghentikan sementara transfer dana, dukungan, atau sumber daya Pemerintah AS ke WHO.

    Amerika Serikat adalah donatur terbesar bagi organisasi yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss, tersebut. 

    Dukungan finansial AS sangat penting bagi operasional WHO.

    Di bawah pemerintahan Biden, AS terus menjadi penyandang dana terbesar bagi WHO dan pada tahun 2023 menyumbang hampir seperlima anggaran badan tersebut. 

    Anggaran tahunan organisasi ini adalah $6,8 miliar (£5,5 miliar).

    Efek untuk Amerika Jika Keluar dari WHO

    Pakar kesehatan masyarakat mengkritik keputusan Trump untuk keluar dari WHO, dan memperingatkan bahwa mungkin ada konsekuensi bagi kesehatan masyarakat Amerika.

    Beberapa orang berpendapat bahwa langkah ini memutus kemajuan AS dalam memerangi penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis, dan Hiv & Aids.

    “Ini adalah keputusan presiden yang sangat dahsyat. Penarikan diri dari program ini merupakan luka yang sangat menyedihkan bagi kesehatan dunia, namun luka yang lebih dalam bagi Amerika Serikat,” kata pakar kesehatan masyarakat global dan profesor di Universitas Georgetown, Lawrence Gostin.

    Jika Amerika keluar dari WHO, akan memicu restrukturisasi besar-besaran lembaga itu dan dapat mengganggu rencana-rencana kesehatan global.

    Kabinet Trump juga mengumumkan rencana meninjau dan membatalkan Strategi Keamanan Kesehatan Global AS 2024, yang dirancang Biden untuk mencegah, mendeteksi, serta menanggapi ancaman penyakit menular.

    AS keluar dari WHO saat kekhawatiran dunia meningkat mengenai pandemi flu burung (H5N1). Puluhan orang terinfeksi dan satu pasien meninggal di Amerika Serikat.

    Negara-negara anggota WHO sejak akhir 2021 merundingkan perjanjian pertama di dunia tentang pencegahan, kesiapsiagaan, dan tanggapan pandemi.

    Dengan keluarnya AS, negosiasi akan dilanjutkan tanpa partisipasi Washington.

    Situasi Kesehatan Dunia Jika AS Keluar dari WHO

    Keputusan Presiden Trump yang mengeluarkan Amerika Serikat dari keanggotaaan WHO menimbulkan kekhawatiran pada situasi kesehatan global.

    Hal ini disampaikan Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Selasa (21/1/2025).

    Prof Tjandra Yoga Aditama (HO/TRIBUNNEWS)

    Ia menuturkan, Amerika Serikat mempunyai berbagai pusat kajian kesehatan yang diakui dunia seperti Center of Diseases Control and Prevention (CDC), National Institute of Health (NIH) dan lainnya.

    “Bagaimana peran berbagai organisasi ini sesudah Amerika Serikat menarik diri dari WHO,” ujar Prof Tjandra.

    Banyak pakar Amerika Serikat yang aktif dalam kesehatan global, termasuk bekerja di World Health Organization (WHO).

    Ada berbagai Universitas ternama di Amerika Serikat yang bergerak dalam kesehatan global pula.

    “Tentu patut ditelusuri bagaimana peran para pakar ini di kesehatan global kelak, sehubungan dengan kebijakan Trump di hari pertama kerjanya ini,” kata dia.

    Lebih jauh, aspek pendanaan dan anggaran WHO terkena dampak cukup bermakna jika kontribusi dari Amerika Serikat dihentikan.

    Amerika Serikat sudah lama dikenal sebagai donatur WHO.

    Imbasnya, apakah kondisi setelah ini tetap bisa terjaga kesehatan dunia.

    Situasi kesehatan dunia akan jadi perhatian penting karena besarnya jumlah penduduk Amerika Serikat, yang juga banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara di dunia.

    Kondisi ini membawa dampak dalam pengawasan perjalanan kesehatan internasonal.

    “Harus ditunggu bagaimana implementasi atau eksekusi keputusan itu, apakah akan ada waktu tertentu sampai ini benar-benar terlaksana. Pernah ada informasi bahwa prosesnya akan memakan waktu 1 tahun, tetapi mungkin saja situasinya berbeda kini,” kata direktur pascasarjana RS YARSI ini.

    Respon WHO, Masih Berharap AS  Tak Keluar dari Keanggotaan

     (Times of Israel)

    Organisasi kesehatan dunia atau WHO buka suara terkait keluarnya Amerika Serikat dari keanggotaan WHO.

    Melalui keterangan tertulis, WHO menyesalkan pengumuman penarikan diri Amerika Serikat dari organisasi tersebut.

    WHO memainkan peran penting dalam melindungi kesehatan dan keamanan masyarakat dunia, termasuk warga Amerika dalam merespons keadaan darurat kesehatan seperti wabah penyakit.

    Amerika Serikat merupakan anggota pendiri WHO pada tahun 1948 dan telah berpartisipasi dalam membentuk dan mengatur kerja WHO sejak saat itu, bersama dengan 193 Negara Anggota lainnya, termasuk melalui partisipasi aktifnya dalam Majelis Kesehatan Dunia dan Dewan Eksekutif. 

    Selama lebih dari tujuh dekade, WHO dan Amerika Serikat telah menyelamatkan banyak nyawa dan melindungi warga Amerika dan semua orang dari ancaman kesehatan. 

    “Bersama-sama, WHO dan AS mengakhiri penyakit cacar, dan bersama-sama kita membawa polio ke ambang pemberantasan. Institusi-institusi Amerika telah berkontribusi dan memperoleh manfaat dari keanggotaan WHO,” tulis WHO dilaman resminya, Selasa (22/1/2025).

    Dengan partisipasi Amerika Serikat dan Negara Anggota lainnya, WHO selama 7 tahun terakhir telah menerapkan rangkaian reformasi terbesar dalam sejarahnya, untuk mengubah akuntabilitas, efektivitas biaya, dan dampaknya di berbagai negara. 

    “Kami berharap Amerika Serikat akan mempertimbangkan kembali dan kami berharap dapat terlibat dalam dialog konstruktif untuk mempertahankan kemitraan antara Amerika Serikat dan WHO, demi kepentingan kesehatan dan kesejahteraan jutaan orang di seluruh dunia,” lanjut keterangan tersebut.

    Pengamat: Potensi Amerika Serikat jadi ‘Preman Dunia’ di Bawah Kendali Donald Trump 2.0

    Terpisah, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri membeberkan soal kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dunia global usai Donald Trump kembali memimpin Amerika Serikat.

    Menurut Yose, pemerintahan administrasi Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump jilid dua dimungkinkan akan lebih kontroversial dibandingkan periode pertama Trump memimpin.

    “Dan kemarin-kemarin juga dengan statement-statement yang diberikan itu kelihatan sekali bahwa presiden Trump dan administrasi nya itu akan menjadi kontroversial dibandingkan tahun tahun sebelumnya,” kata Yose saat media briefing dengan tema Pelantikan Trump Dinamika Baru persaingan AS-China dan Tantangan bagi Indonesia, di Auditorium CSIS, Jakarta, Selasa (21/1/2025).

    Bahkan, pada hari ini atau belum tepat 24 jam Donald Trump dilantik, presiden yang berasal dari Republican Party tersebut sudah meneken beberapa kesepakatan.

    Satu di antaranya keputusan Amerika Serikat yang keluar dari Paris Agreement dan keluar sebagai anggota World Health Organization (WHO).

    “Sudah ada beberapa eksekutif order yang sudah ditandatangani yang kemudian memperlihatkan bahwa berbagai tindak kontroversial itu akan dijalankan oleh presiden Trump sendiri,” kata dia.

    “Jadi kelihatan nya ada keinginan dari administrasi baru ini untuk work the talk, apa yang mereka sudah kabarkan sudah beritakan sebelumnya,” sambung Yose.

    Atas hal itu, Yose menilai kondisi tersebut harus diantisipasi ke depan dan jangan sampai setiap bangsa khususnya Indonesia, merasa terkejut dengan berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Trump yang baru ini.

    “Dan untuk itu kita di Indonesia juga perlu untuk mengantisipasi serta merespons dengan tepat berbagai kemungkinan-kemungkinan tadi,” beber dia.

    Tak cukup di situ, Yose juga melihat kalau kebijakan Trump yang dinilai bakal menuai kontroversial itu akan turut didukung oleh banyak pihak.

    “Catatan saya adalah bahwa ini kelihatan nya kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh adminstrasi baru ini mendapatkan dukungan yang cukup luas dari berbagai pihak di Amerika Serikat sendiri,” kata dia.

    “Baik itu dari, sisi pemerintahannya karena memang kita bisa lihat sendiri Republikan itu sendiri mendapatkan porsi dukungan yang cukup kuat di kongres serta juga di berbagai tempat-tempat yang lainnya,” sambung Yose.

    Bahkan lebih jauh, beberapa pegiat bisnis yang berbasis di Amerika Serikat juga sudah mulai mengarah untuk memberikan dukungan terhadap kebijakan Trump.

    Padahal menurut Yose, pada masa kepemimpinan Trump yang pertama, banyak pebisnis yang tidak sejalan dengan kebijakan Presiden berusia 78 tahun itu.

    “Dan itu mungkin catatan yang pertama, jadi ada kecenderungan dukungan yang cukup kuat juga dari dunia usaha terutama yang datangnya dari Amerika Serikat sendiri tentunya ini diberikan dengan berbagai konsesi-konsesi yang ada,” ucap Yose.

    Lebih lanjut, dia juga berpandangan kalau ke depan di sektor ekonomi, pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump akan lebih mementingkan negaranya itu sendiri.

    Terkait dengan itu tentunya menurut Yose, posisi geopolitik Amerika Serikat akan menjadi lebih penting.

    Bahkan bukan tidak mungkin, Amerika Serikat ke depan akan banyak menarik diri dari beragam kesepakatan-kesepakatan internasional.

    “Itu dalam rangka agar Amerika Serikat sendiri bisa menerapkan kebijakan-kebijakan yang sifatnya lebih unilateral dan menekan mitra-mitra atau negara-negara yang lainnya,” ujar dia.

    Dalam momen ini, Yose berkelakar kalau bukan tidak mungkin, Amerika Serikat di bawah Donald Trump akan membuat kebijakan-kebijakan baru yang sifatnya lebih menekan kepada mitra negara.

    Lebih jauh, dirinya menyebut, jika sebelumnya Amerika Serikat kerap disebut Polisi Dunia, maka bukan tidak mungkin ke depan Amerika Serikat akan bersikap sebagai Preman Dunia.

    “Mungkin bisa dibilang secara bercanda ya, kalau dulu kita selalu komplain karena Amerika Serikat menempatkan diri sebagai polisi dunia, mengatur-atur dunia dan mencoba memberikan menetapkan rambu-rambu dunia, tapi ke depannya mungkin kita harus mengantisipasi ketika Amerika Serikat menjadi preman dunia,” kata dia.

    Preman di sini artinya menurut Yose, Amerika Serikat akan membuat kebijakan yang sifatnya unilateral dengan menekan berbagai negara mitra untuk mengikuti keinginan mereka.

    “Preman ini artinya memang maunya hanya menekan kepada berbagai negara-negara lain mitra-mitra lainnya untuk mengikuti keinginan atau interest mereka bahkan tidak mengindahkan rambu-rambu yang tadinya atau berbagai agreement-agreement yang tadinya dibuat oleh Amerika Serikat sendiri, ataupun juga bersama dengan negara-negara lainnya,” tukas dia.

    (Tribunnews.com/Anita K Wardhani/Rina Ayu/Rizki Sandi Saputra/BBC/Kompas.com)

  • Disinggung Trump, Negara Mana yang Paling Banyak Sumbang Dana ke WHO?

    Disinggung Trump, Negara Mana yang Paling Banyak Sumbang Dana ke WHO?

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ikut menyinggung sumbangan dana yang selama ini dikeluarkan untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hal ini menjadi salah satu alasan di balik keputusan kontroversial AS keluar dari keanggotaan WHO.

    Mengingat, AS menjadi penyumbang dana terbesar dalam pendanaan WHO. Diikuti organisasi Bill Gates & Melinda Foundation. Dalam pengumumannya, Trump bahkan menyoroti keterlibatan China dalam pendanaan WHO yang 90 persen lebih rendah dari AS.

    Berbicara di Gedung Putih, ia menuding WHO bias terhadap China. “WHO menipu kita,” ujar Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih.

    Dikutip dari laman resmi WHO, berikut sumber pendanaan WHO dari sejumlah negara dan organisasi berdasarkan pemantauan di Selasa (21/1):

    Amerika Serikat: 14,53 persen (terbanyak untuk pengendalian atau eradikasi penyakit polio yakni 24,44 persen dari total pendanaan)Bill & Melinda Gates Foundation: 13,67 persen (untuk peningkatan akses terhadap layanan kesehatan berkualitas tanpa memandang jenis kelamin, usia, atau disabilitas)Gavi Alliance: 10,49 persen (19,35 persen pendanaan untuk kedaruratan kesehatan akut yang perlu ditanggapi dengan cepat, memanfaatkan kapasitas nasional dan internasional yang relevan, 5,18 persen untuk peningkatan akses obat-obatan, vaksin, diagnostik, dan alat untuk perawatan kesehatan primer)European Commission: 7,82 persen (4,74 persen untuk pencegahan epidemi dan pandemi)World Bank: 4,02 persen (4,03 persen pendanaan untuk menanggapi keadaan darurat kesehatan, respons yang cepat)Jerman: 3,29 persen (pendanaan kesiapan negara untuk kondisi darurat)Kanada: 2,32 persen (1,63 persen sebagai strategi pencegahan untuk penyakit prioritas di wilayah rawan pandemi atau wabah)European Investment Bank 2,27 (beberapa pendanaan diberikan untuk penanganan lingkungan yang sehat untuk meningkatkan kesehatan masyarakat yang berkelanjutan)United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland: 2,27% (mendukung dan memberdayakan penanganan faktor risiko kesehatan)Miscellaneous: 2,02% (mengupayakan hal yang aman dan adil melalui penanganan faktor penentu kesehatan)Rotary International: 1,78% (program khusus penelitian, pengembangan, dan pelatihan penelitian dalam reproduksi manusia)India: 1,58% (penguatan kepemimpinan, tata kelola, dan advokasi untuk kesehatan, membantu negara-negara siap secara operasional untuk menilai dan mengelola risiko dan kerentanan wabah).

    China Peringkat Berapa?

    Jauh dari AS, China ‘hanya’ menyumbang 0,35 persen dari total pendanaan WHO di peringkat ke-41.

    Dampak dari keluarnya AS kepada aspek pendanaan juga disoroti Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama. Prof Tjandra menilai WHO perlu melalukan upaya rekayasa finansial. Semata-mata demi menjaga kesehatan global tetap terlaksana dengan baik.

    “Anggaran WHO akan terkena dampak cukup bermakna kalau kontribusi dari Amerika Serikat dihentikan,” sorotnya.

    (naf/kna)

  • Amerika Serikat Keluar dari Keanggotaan WHO, Bakal Berdampak pada Situasi Kesehatan Dunia? – Halaman all

    Amerika Serikat Keluar dari Keanggotaan WHO, Bakal Berdampak pada Situasi Kesehatan Dunia? – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Presiden Donald Trump yang memutuskan Amerika Serikat keluar dari keanggotaaan WHO justru menimbulkan kekhawatiran pada situasi kesehatan global.

    Hal ini disampaikan Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Selasa (21/1/2025).

    Ia menuturkan, Amerika Serikat mempunyai berbagai pusat kajian kesehatan yang diakui dunia seperti Center of Diseases Control and Prevention (CDC), National Institute of Health (NIH) dan lainnya.

    “Bagaimana peran berbagai organisasi ini sesudah Amerika Serikat menarik diri dari WHO,” ujar Prof Tjandra.

    Banyak pakar Amerika Serikat yang aktif dalam kesehatan global, termasuk bekerja di World Health Organization (WHO).

    Ada berbagai Universitas ternama di Amerika Serikat yang bergerak dalam kesehatan global pula.

    “Tentu patut ditelusuri bagaimana peran para pakar ini di kesehatan global kelak, sehubungan dengan kebijakan Trump di hari pertama kerjanya ini,” kata dia.

    Lebih jauh, aspek pendanaan dan anggaran WHO terkena dampak cukup bermakna jika kontribusi dari Amerika Serikat dihentikan.

    Amerika Serikat sudah lama dikenal sebagai donatur WHO.

    Imbasnya, apakah kondisi setelah ini tetap bisa terjaga kesehatan dunia.

    Situasi kesehatan dunia akan jadi perhatian penting karena besarnya jumlah penduduk Amerika Serikat, yang juga banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara di dunia.

    Kondisi ini membawa dampak dalam pengawasan perjalanan kesehatan internasonal.

    “Harus ditunggu bagaimana implementasi atau eksekusi keputusan itu, apakah akan ada waktu tertentu sampai ini benar-benar terlaksana. Pernah ada informasi bahwa prosesnya akan memakan waktu 1 tahun, tetapi mungkin saja situasinya berbeda kini,” kata direktur pascasarjana RS YARSI ini.

    Diketahui, Trump sering mengkritik cara badan internasional tersebut menangani Covid-19 dan memulai proses penarikan diri dari lembaga yang berbasis di Jenewa tersebut selama pandemi.

    Sayangnya saat masa Presiden Joe Biden, Biden membatalkan keputusan itu.

    “WHO sangat menginginkan USA kembali, jadi  dilihat saja apa yang terjadi,” kata Trump.

    AS menarik diri karena kesalahan organisasi tersebut dalam menangani pandemi Covid-19 yang muncul di Wuhan, Tiongkok, dan krisis kesehatan global lainnya, kegagalan organisasi tersebut untuk mengadopsi reformasi yang sangat diperlukan, dan ketidakmampuannya untuk menunjukkan kemandirian.

    Trump menuduh WHO bias terhadap Tiongkok dalam cara mereka mengeluarkan pedoman selama wabah ini terjadi.

    Di bawah pemerintahan Biden, AS terus menjadi penyandang dana terbesar bagi WHO dan pada tahun 2023 menyumbang hampir seperlima anggaran badan tersebut. Anggaran tahunan organisasi ini adalah $6,8 miliar (£5,5 miliar).