Tag: Tjandra Yoga Aditama

  • Cerita Warga yang Terkena Paparan Gas Air Mata, Sesak Napas-Mata Perih

    Cerita Warga yang Terkena Paparan Gas Air Mata, Sesak Napas-Mata Perih

    Jakarta

    Gas air mata kerap digunakan oleh aparat ketika terjadi bentrokan pada aksi massa. Salah satunya digunakan saat aksi demonstrasi di sejumlah titik, termasuk di Depan Gedung DPR-RI hingga Polda Metro Jaya.

    Alat ini disebut memicu mata perih, sesak napas, dan rasa tidak nyaman bagi orang yang terpapar.

    Gilang Pandutanaya (28) yang berada di lokasi ketika demonstrasi terjadi menyebut efek gas air mata membuat matanya perih. Tidak hanya di area mata, efek perih juga ia rasakan di area tenggorokan.

    “Gejalanya pasti perih dan panas di mata serta tenggorokan dan kalau menghirup gas air mata pasti sesak napas,” cerita Gilang ketika berbincang dengan detikcom, Sabtu (30/8/2025).

    Senada dengan yang dialami Gilang, Robby Yudistira (28) juga merasakan efek yang cukup kuat di mata. Ia menceritakan saat itu berada di lokasi demonstrasi untuk mengambil dokumentasi pribadi.

    Efeknya menurut Robby cukup keras saat itu karena ia berada tidak terlalu jauh dari sumber gas air mata yang dilepaskan. Bahkan, setelah ia pulang dan mandi, efek gas air matanya masih sedikit terasa.

    “Di aku rasanya perih banget di mata, langsung berair sama merah, sesak napas sama batuk-batuknya juga iya, tapi kulit nggak ngerasain efek apa-apa. Cuma sampai kos walaupun udah mandi efek mata perihnya masih terasa sedikit,” kata Robby.

    Pakar Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Zullies Ikawati mengungkapkan gas air mata seperti CS-orto-kloro benzilidin malononitrile bersifat iritan. Ini yang membuat paparan gas air mata dapat menyesakkan saluran napas, dan mengiritasi mata hingga kulit.

    “Gas air mata, misalnya CS-orto-kloro benzilidin malononitrile, bersifat iritan yang bekerja dengan cara menstimulasi reseptor nyeri dan iritasi pada kulit, mata, dan saluran napas. Senyawa ini agak bersifat asam lemah,” jelas Prof Zullies ketika dihubungi detikcom beberapa waktu lalu.

    Spesialis paru Prof dr Tjandra Yoga Aditama, SpP dalam kesempatan yang berbeda membenarkan hal tersebut. Pada kondisi yang parah, gas air mata bahkan dapat memicu efek gawat pada sistem pernapasan yang disebut, respiratory distres.

    Oleh karena itu, ia juga mengimbau untuk orang-orang yang memiliki riwayat kesehatan paru untuk lebih berhati-hati.

    “Masih tentang dampak di paru, mereka yang sudah punya penyakit asma atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) maka kalau terkena gas air mata maka dapat terjadi serangan sesak napas akut yang bukan tidak mungkin berujung di gagal napas,” ujar Prof Tjandra.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/kna)

  • Fakta-fakta Gas Air Mata, Pahami Efek dan Cara Pertolongan Pertamanya

    Fakta-fakta Gas Air Mata, Pahami Efek dan Cara Pertolongan Pertamanya

    Jakarta

    Gas air mata kerap digunakan sebagai salah satu alat kontrol massa ketika terjadi sebuah bentrokan. Efek gas air mata biasanya memicu mata perih, sesak napas, dan rasa tidak nyaman bagi yang terpapar.

    Pakar farmasi Universitas Gadjah Mada Prof Zullies Ikawati menuturkan gas air mata seperti CS-orto-kloro benzilidin malononitrile memiliki sifat iritan, yang akhirnya memicu rasa perih di mata hingga sesak napas.

    “Gas air mata, misalnya CS-orto-kloro benzilidin malononitrile, bersifat iritan yang bekerja dengan cara menstimulasi reseptor nyeri dan iritasi pada kulit, mata, dan saluran napas. Senyawa ini agak bersifat asam lemah,” jelas Prof Zullies ketika dihubungi detikcom, Jumat (29/8/2025).

    Efek gas air mata tidak langsung bereaksi dengan permukaan mata. Gas air mata akan memberi efek sesaat setelah terhirup atau bereaksi di kelenjar air mata.

    Efek ke Sistem Pernapasan

    Gas air mata tidak hanya berdampak buruk pada mata, tapi juga sistem pernapasan. Spesialis paru Prof dr Tjandra Yoga Aditama, SpP menuturkan paparan gas air mata dapat mengiritasi saluran pernapasan.

    Tingkat keparahan gejala pada seseorang tergantung banyak paparan gas air mata dan jarak dari sumber paparan.

    “Gejala akutnya di paru dan saluran napas dapat berupa dada berat, batuk, tenggorokan seperti tercekik, batuk, bising mengi, dan sesak napas,” jelas Prof Tjandra dalam keterangannya terkait gas air mata saat tragedi Kanjuruhan, Minggu (21/10/2022).

    Pada kondisi yang parah, gas air mata dapat memicu efek gawat pada sistem pernapasan yang disebut respiratory distres. Pada mereka yang memiliki riwayat asma atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), terkena gas air bisa menimbulkan serangan sesak napas akut.

    “Masih tentang dampak di paru, mereka yang sudah punya penyakit asma atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) maka kalau terkena gas air mata maka dapat terjadi serangan sesak napas akut yang bukan tidak mungkin berujung di gagal napas,” wanti-wanti Prof Tjandra.

    Pertolongan Pertama untuk Paparan di Mata dan Pernapasan

    Setelah terpapar gas air mata, segera cari tempat dengan udara segar. Pindah ke area yang lebih netral untuk mengurangi paparan efek gas air mata, khususnya ke dalam saluran pernapasan.

    dr Wisnu Pramudito D Pusponegoro, SpB dari Perhimpunan Dokter Emergency Indonesia mengungkapkan mencuci area yang terpapar dengan air bersih bisa menjadi langkah pertolongan pertama. Mencuci mata dengan air membuat zat aktif dari gas air mata meluruh, tidak berkumpul, dan menimbulkan iritasi.

    “Kalau memang pedih, jangan digaruk. Cuci saja pakai air mengalir yang bersih. Jangan pakai sabun, susu, segala macam. Kalau ke mata, paling baik air mengalir saja,” ucap dr Wisnu.

    Penggunaan pasta gigi yang selama ini dikaitkan dengan pencegahan efek gas air mata nyatanya tidak efektif. Hal itu diungkapkan pakar kimia FMIPA UGM, Dra Ani Setyopratiwi, M.Si.

    “Semua pasta gigi khususnya pasta gigi yang baru bisa digunakan karena larutannya masih homogen. Kalau sudah lama dan tercampur air, larutannya cenderung pecah dan berair sehingga emulsinya sudah rusak dan kurang efektif,” papar Dra Ani dalam sebuah kesempatan.

    Pertolongan Pertama untuk Paparan di Kulit

    Paparan gas air mata juga dapat mengiritasi kulit dan memicu perih. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi paparan kulit perih akibat paparan gas air mata, misalnya penggunaan shampo bayi dan mencuci dengan air bersih atau dengan saline.

    “Baby shampoo untuk kulit, bukan mata atau lidokain topikal untuk mengurangi nyeri mata akibat iritasi. Efeknya hanya anestesi sementara, tidak menetralkan senyawa kimia. Tapi perlu pengawasan tenaga medis,” kata Prof Zullies ketika dihubungi detikcom, Jumat (29/8/2025).

    Obat sistemik seperti antihistamin, steroid, dan bronkodilator juga bisa digunakan apabila paparan memunculkan komplikasi. Perlu diingat, pengawasan tenaga medis diperlukan dalam penggunaan obat-obat tersebut.

    Belum lama ini, juga muncul narasi penggunaan campuran obat maag berupa antasida dan air dingin untuk meredakan kulit perih akibat gas air mata. Prof Zullies menuturkan campuran tersebut memang memiliki potensi demikian, tapi bukti klinis masih minimal.

    “Campuran antasida dengan air dingin menghasilkan larutan basa encer. Saat diaplikasikan ke kulit, cairan ini dapat menurunkan sensasi panas atau terbakar akibat iritasi dengan cara buffering terhadap senyawa iritan yang bersifat asam,” katanya.

    “Ini juga memberikan efek menyejukkan karena suhu dingin membantu mengurangi sensasi terbakar dan sedikit menurunkan peradangan lokal,” tandas Prof Zullies.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Tak Cuma Pedih di Mata, Gas Air Mata Bahaya untuk Pernapasan”
    [Gambas:Video 20detik]
    (avk/kna)

  • Pakar Ingatkan Efek Gas Air Mata ke Paru-paru Bisa Seserius Ini

    Pakar Ingatkan Efek Gas Air Mata ke Paru-paru Bisa Seserius Ini

    Jakarta

    Demo kembali digelar di Jakarta hari ini, Jumat (29/8/2025), sebagai respons atas insiden tewasnya pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan setelah dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob pada Kamis (28/8/2025) malam. Peristiwa ini memicu gelombang protes di berbagai titik ibu kota.

    Sisa gas air mata semalam juga masih terasa di sekitar lokasi. Gas air mata semula ditembakkan untuk memukul mundur massa. Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama ikut menyoroti risikonya saat tidak sengaja terhirup ke paru-paru.

    Pasalnya, ada berapa bahan kimia yang digunakan pada gas air mata, termasuk chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA) dan dibenzoxazepine (CR). Secara umum berdampak besar pada kulit, mata, dan paru serta saluran napas.

    Masyarakat diimbau waspada bila mengeluhkan sejumlah gejala termasuk dada berat, batuk, hingga tenggorokan seperti tercekik. Keluhan ini juga bisa diliputi dengan bising, mengi, juga sesak napas.

    Sebagai catatan, di kondisi tertentu paparan gas air mata bahkan bisa menyebabkan gawat napas atau respiratory distress.

    “Masih tentang dampak di paru, mereka yang sudah punya penyakit asma atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) maka kalau terkena gas air mata maka dapat terjadi serangan sesak napas akut yang bukan tidak mungkin berujung di gagal napas,” wanti-wanti Prof Tjandra yang juga sempat menjabat sebagai Direktur Jenderal WHO Asia Tenggara.

    Tidak hanya itu, selain dampak di saluran napas, gejala lain yang mungkin timbul adalah rasa terbakar di mata, mulut dan hidung. Pandangan juga bisa mendadak kabur dan kesulitan menelan. Belum lagi, potensi luka bakar kimiawi dan reaksi alergi.

    “Walaupun dampak utama gas air mata adalah dampak akut yang segera timbul, ternyata pada keadaan tertentu dapat terjadi dampak kronik berkepanjangan. Hal ini terutama kalau paparan berkepanjangan, dalam dosis tinggi dan apalagi kalau di ruangan tertutup,” sebutnya saat dihubungi detikcom Jumat (29/8/2025).

    Perlu diingat, tidak ada cara mengurangi efek gas air mata yang lebih efektif selain dengan menghindari paparannya. Jika berada di dalam ruangan, sebisa mungkin segera keluar untuk mendapatkan udara.

    Apabila berada di luar ruangan, segera menjauh dari titik pelepasan gas air mata. Carilah lokasi juga yang lebih tinggi karena uap atau asap gas air mata dapat menyebar.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • Pakar Ingatkan Efek Gas Air Mata ke Paru-paru Bisa Seserius Ini

    Efek Gas Air Mata Tak Cuma ke Penglihatan, Bisa Juga Pengaruhi Pernapasan

    Jakarta

    Sejumlah aksi demonstrasi terjadi di berbagai titik di Jakarta dengan membawa berbagai tuntutan. Hingga Kamis, (28/8/2025) malam, aparat memukul mundur demonstran dengan menggunakan gas air mata.

    Terkait gas air mata, efeknya tidak hanya mempengaruhi penglihatan tetapi juga berdampak ke pernapasan. Dokter spesialis paru sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof dr Tjandra Yoga Aditama, SpP pernah menjelaskan bahwa secara umum, gas air mata dapat menimbulkan dampak pada kulit, mata dan paru serta saluran napas.

    Terpapar gas air mata menyebabkan iritasi pada sistem pernapasan, mata, dan kulit. Tingkat keparahan gejala yang dialami setelah terpapar gas air mata dapat bergantung pada seberapa banyak gas air mata yang digunakan dan jarak dengan paparan gas air mata.

    “Gejala akutnya di paru dan saluran napas dapat berupa dada berat, batuk, tenggorokan seperti tercekik, batuk, bising mengi, dan sesak napas,” jelas Prof Tjandra dalam keterangannya terkait gas air mata saat tragedi Kanjuruhan, Minggu (21/10/2022).

    BACA JUGA

    Pada keadaan tertentu, gas air mata bisa memicu efek gawat napas atau respiratory distress. Pada mereka yang memiliki riwayat asma atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), terkena gas air bisa menimbulkan serangan sesak napas akut.

    “Dapat terjadi serangan sesak napas akut yang bukan tidak mungkin berujung di gagal napas,” beber dia.

    Selain di saluran napas, sensasi lain yang muncul adalah rasa terbakar di mata, mulut dan hidung. Dapat juga berupa pandangan kabur dan kesulitan menelan.

    Gas air mata juga bisa memicu luka bakar dan reaksi alergi.

    “Walaupun dampak utama gas air mata adalah dampak akut yang segera timbul, ternyata pada keadaan tertentu dapat terjadi dampak kronik berkepanjangan. Hal ini terutama kalau paparan berkepanjangan, dalam dosis tinggi dan apalagi kalau di ruangan tertutup,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/up)

    Ragam Cara Tangkal Gas Air Mata

    10 Konten

    Gas air mata menyebabkan iritasi di permukaan tubuh, termasuk mata. Bukan hanya demonstran dan aparat yang merasakannya, warga sekitar yang turut menghirupnya turut mengalami mata perih dan berair. Bagaimana meredakannya?

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Stop BABS dan jaga sanitasi cegah infeksi cacing pada tubuh

    Stop BABS dan jaga sanitasi cegah infeksi cacing pada tubuh

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Penyakit Menular WHO Kantor Regional Asia Tenggara 2018-2020 Prof. Tjandra Yoga Aditama mengingatkan masyarakat agar berhenti buang air besar sembarangan dan menjaga sanitasi guna mencegah infeksi cacing pada tubuh.

    “Sanitasi dijaga dan Stop BABS (buang air besar sembarangan) jadi aspek penting kesehatan masyarakat, termasuk mencegah kecacingan,” kata Tjandra saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

    Merujuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dia mengatakan penyakit akibat cacing adalah infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis parasit cacing, seperti cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang yang dapat berupa Necator americanus dan Ancylostoma duodenale, serta Strongyloides stercoralis.

    Infeksi pada tubuh manusia, sambung dia, terjadi akibat penularan melalui telur cacing yang terdapat pada tinja, kemudian mengkontaminasi tanah, terutama di daerah yang buruk sanitasinya.

    “Telur cacing tersebut dapat tertelan oleh anak-anak yang bermain di tanah yang terkontaminasi, lalu memasukkan tangan mereka ke dalam mulut tanpa mencucinya. Tentu saja ada cara penularan lain, seperti melalui air yang tercemar,” jelas Tjandra.

    Salah satu bagian tubuh yang dapat mengalami akibat buruk dari infeksi cacing itu adalah paru-paru. Namun infeksi tersebut secara umum lebih sering terjadi pada saluran pencernaan.

    Jika infeksi itu menyerang paru-paru, maka ada berbagai kemungkinan gejala, seperti batuk, sesak napas dan suara mengi. Pada kondisi lebih berat, dapat terjadi nyeri dada, batuk darah bahkan batuk keluar cacing.

    Apabila seorang anak terkena infeksi cacing, maka harus ditangani dengan konsumsi obat cacing secara berkala, penyuluhan kesehatan, dan perbaikan sanitasi.

    “Kalau sudah terjadi penyakit, maka sebenarnya sudah tersedia obat yang aman dan efektif untuk mengobatinya,” ujar Tjandra.

    Sementara itu, terkait BABS, per Juli 2025 tercatat sekitar 850 kepala keluarga (KK) dari sembilan kelurahan di Jakarta masih menerapkan perilaku tersebut.

    Tjandra menegaskan penanganan BABS harus menjadi salah satu prioritas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya dengan membantu membangun fasilitas mandi cuci kakus (MCK) dan tangki septik komunal di lahan yang tersedia.

    “Jadi caranya akan tergantung dari masalah di lapangan yang mungkin berbeda-beda satu dengan lainnya, tapi jelas perlu jadi prioritas penanganan,” ucap Tjandra.

    Sebelumnya, Raya (4), bocah asal Kampung Padangenyang, Sukabumi, Jawa Barat, meninggal dunia dengan kondisi tubuh dipenuhi cacing.

    Dia diketahui tinggal di rumah bilik panggung dengan bagian bawahnya yang dipenuhi kotoran ayam sehingga diduga menjadi sumber infeksi cacing.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pilu Balita di Sukabumi Meninggal, Ini Bahaya Cacingan yang Kerap Dianggap Sepele

    Pilu Balita di Sukabumi Meninggal, Ini Bahaya Cacingan yang Kerap Dianggap Sepele

    Jakarta

    Raya, balita di Sukabumi, Jawa Barat meninggal dunia pasca dokter menemukan lebih dari 1 kilogram cacing di tubuhnya. Dilaporkan keluar dari hidung hingga anus.

    Meski pemicu kematiannya diyakini tidak hanya disebabkan infeksi cacing, kasus semacam ini bila tidak ditangani akan memicu gejala berat. Dokter spesialis penyakit dalam yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Prof Ari Fahrial Syam menjelaskan bagaimana cacing terus berkembang biak dan hidup di tubuh.

    “Pada kasus ini cacing gelang, ascaris, kalau tidak diobati memang itu akan bertelur dan memperbanyak diri di dalam tubuh, dalam usus seseorang,” sorotnya, saat dihubungi detikcom Rabu (20/8/2025).

    “Makanya sering kan ditemukan BAB-nya ada cacing, ini sebenarnya harus dilihat history-nya, sudah pernah demikian atau pernah muntah cacing. Itu harus segera diberikan obat,” kata dia.

    Sebagai catatan, penyebaran cacing saat berkembang biak memang bisa ‘bermigrasi’ ke organ lain, alias tidak hanya di usus.

    Larva cacing disebutnya memungkinkan mengalir ke paru-paru yang menyebabkan masalah di bagian tersebut. Dalam beberapa kasus, cacing juga ditemukan mampu naik ke saluran empedu.

    Bila hanya di usus halus, pasien umumnya kerap merasakan tidak nyaman di bagian perut, disertai kembung dan begah. Ciri-ciri yang bisa dikenali pada anak sebenarnya cukup mudah, yakni mendadak rewel.

    “Kalau anaknya rewel kita harus periksa jangan-jangan cacingan,” kata dia.

    Pemberian obat cacing bisa menekan kemungkinan berkembang biak bahkan mati di dalam tubuh.

    Komplikasi akibat kecacingan relatif beragam.

    “Dia bisa menyumbat atau makin banyak, bisa saja penyumbatan di usus saluran empedu atau larva-nya bisa masuk ke paru-paru, apalagi basic-nya ada TBC paru kondisinya agak lebih berat, kalau tidak ditangani dengan baik, tentu bisa memicu kematian,” sambung dia.

    Hal senada juga diutarakan Prof Tjandra Yoga Aditama. Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia itu menyebut dampak kecacingan bahkan bisa terasa hingga ke paru.

    Dalam kondisi tersebut, pasien mengeluhkan gejala batuk, sesak napas, hingga suara mengi. Bahkan, pada kasus lebih berat, kemungkinan besar mereka mengalami nyeri dada, batuk darah, hingga risiko lebih serius yakni batuk keluar cacing.

    “Walaupun jarang, maka memang dapat timbul penyakit yang lebih berat, antara lain dalam bentuk pneumonia, cairan di paru (efusi pleura), paru yang kolaps (pneumotoraks). Lebih jarang lagi dapat terjadi keadaan yang disebut sindrom “Loeffler”, hipertensi paru dan bahkan gagal napas dalam bentuk ARDS dan lain-lain,” wanti-wantinya saat dihubungi terpisah.

    Pemeriksaan untuk mengidentifikasi kondisi tersebut biasanya melalui tes dahak, bronkoskopi dengan tehnik bronchoalveolar Lavage (BAL) dan pemeriksaan radiologi dalam bentuk ronsen toraks dan atau pemerikaan CT scan.

    “Pengobatannya adalah dengan obat antihelmintik, seperti albendazole, mebendazole, dan atau ivermectin, tentu selain pengobatan simtomatik dan suportif lainnya,” kata dia.

    Dalam kesempatan berbeda, pendiri dan Ketua Health Collaborative Center Dr dr Ray Wagiu, MKK, FRSPH menggambarkan kejadian balita di Sukabumi meninggal pasca kecacingan adalah pengingat belum terpenuhinya kesehatan sebagai hak ideologis setiap warga negara tanpa terbatas syarat administratif.

    Seperti diberitakan sebelumnya, Raya sempat kesulitan berobat dan tidak langsung mendapatkan penanganan yang tercover BPJS Kesehatan lantaran nihil kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat kepesertaan.

    Dr Ray menilai perlu adanya penguatan aspek keadilan, proteksi pembiayaan, dan semakin banyaknya solidaritas komunitas.

    “Artinya, negara dan masyarakat perlu terus bergerak agar sistem jaminan dan pelayanan kesehatan makin inklusif, terutama untuk kelompok yang rentan,” beber dia.

    Dalam kasus Raya, bantuan lebih banyak terjadi saat solidaritas dari komunitas berperan. Namun, lebih banyak di daerah, dan belum menyasar secara nasional.

    “Dimensi solidaritas dan komunitas juga diingatkan lewat kejadian ini, Artinya solidaritas nasional belum inklusif. Kesehatan sebagai gotong royong masih banyak yang parsial belum merangkul yang paling pinggiran,” tuturnya.

    Mencegah kejadian yang sama, Dr Ray uang juga tergabung dalam Indonesia Health Development Center (IHDC) bersama eks Menteri Kesehatan RI Prof Nila Moeloek menilai perlu adanya penguatan layanan primer seperti di posyandu. Hal ini tidak lain demi bisa mendeteksi kasus-kasus tersebut lebih dini, agar lagi-lagi tidak terlambat ditangani.

    “Atau juga puskesmas agar bisa memastikan kasus-kasus klinis sederhana segera ditangani,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 3

    (naf/avk)

  • Eks Pejabat WHO Ikut Soroti Kasus Cacingan di Balita Sukabumi, Wanti-wanti Ini

    Eks Pejabat WHO Ikut Soroti Kasus Cacingan di Balita Sukabumi, Wanti-wanti Ini

    Jakarta

    Belum lama ini balita di Sukabumi, Jawa Barat, dilaporkan terkena infeksi cacing nyaris di seluruh tubuhnya. Ia dalam kondisi kekurangan cairan berat saat mendatangi IGD RSUD Syamsudin.

    dr Irfan yang menangani balita bernama Raya tersebut, semula bahkan menemukan cacing keluar dari hidungnya. Endah (30), ibu Raya mengaku tidak pernah mengetahui riwayat infeksi cacing yang dialami anaknya, sebelum meninggal dunia.

    Raya kala itu diduga memiliki riwayat penyakit tuberkulosis (TBC).

    “Iya ada cacing, katanya ada yang ukuran sekilo, berarti udah besar dalam perut. Nggak tahu dari makanan atau dari mana itu cacingnya,” cerita Endah, kepada detikJabar, dikutip Rabu (20/8/2025).

    Pemeriksaan menunjukkan adanya cacing gelang atau ascaris lumbricoides di tubuh Raya, memicu kondisi tak stabil hingga meninggal.

    Menurut dr Irfan, infeksi bisa terjadi ketika telur cacing tertelan, baik melalui makanan, minuman, ataupun tangan yang kotor. “Telur akan menetas di usus, lalu berkembang menjadi larva yang bisa menyebar lewat aliran darah ke organ-organ, bahkan otak. Itu sebabnya pasien bisa tidak sadar,” jelas dr Irfan.

    Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama ikut menyoroti kasus terkait. Menurutnya, perlu ada pemantauan atau tindak lanjut pada sekitar pemukiman tempat raya tinggal.

    Terlebih, saat mengetahui adanya infeksi cacing. “Ini melihat kemungkinan cacing di lingkungan sekitarnya dan penanganan segera supaya tidak ada kasus yang menyedihkan lagi,” tandas dia, dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom Rabu (20/8).

    Mengacu penjelasan WHO, Prof Tjandra menekankan penyakit cacing merupakan infeksi yang dipicu berbagai jenis parasit cacing. Salah satunya seperti yang dilaporkan pada kasus Raya, yakni cacing gelang ‘Ascaris lumbricoides.

    Adapula cacing cambuk Trichuris trichiura dan cacing tambang yang dapat berupa “Necator americanus” serta “Ancylostoma duodenale”.

    Ia mewanti-wanti penularan bisa terjadi melalui telur cacing yang ada dalam tinja kemudian mengkontaminasi tanah, utamanya saat sanitasi di daerah setempat relatif buruk.

    “Telur cacing tersebut dapat tertelan oleh anak-anak yang bermain di tanah yang terkontaminasi, lalu memasukkan tangan mereka ke dalam mulut tanpa mencucinya. Tentu saja ada cara penularan lain seperti melalui air yang tercemar dan lain-lain,” wanti-wantinya.

    Gangguan nutrisi anak yang cacingan

    Anak-anak yang terpapar infeksi cacing disebut Prof Tjandra bisa mengalami gangguan fisik dan nutrisi. Artinya, gizi tidak bisa diserap dengan baik.

    “Untuk penanganan kecacingan ini maka WHO menyampaikan setidaknya ada empat pendekatan, yaitu konsumsi obat cacing secara berkala, penyuluhan kesehatan, memperbaiki sanitasi dan kalau sudah terjadi penyakit maka sebenarnya sudah tersedia obat yang aman dan efektif untuk mengobatinya,” saran dia.

    WHO sudah mencanangkan target global pengendalian kecacingan pada 2030, ia juga berharap Indonesia memberikan target eliminasi kasus yang jelas atas laporan kecacingan.

    “Apalagi kalau kita akan menyongsong Indonesia Emas 2045 yang tentu tidak elok kalau masih ada masalah kecacingan di masa itu nantinya,” pungkas dia.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • Dokter Dipaksa Lepas Masker di RSUD Sekayu, Ini Seruan Profesor Pulmonologi

    Dokter Dipaksa Lepas Masker di RSUD Sekayu, Ini Seruan Profesor Pulmonologi

    Jakarta

    Belakangan viral dokter RSUD Sekayu dipaksa membuka masker oleh keluarga pasien. Dokter yang bersangkutan bahkan dipaksa untuk melepas maskernya saat melakukan visit. Dokter tersebut diketahui bernama dr Syahpri Putra Wangsa, SpPD-KGH, konsultan ginjal hipertensi di RSUD Sekayu yang menangani pasien tersebut.

    Kronologinya berawal saat keluarga pasien marah-marah lantaran tidak terima adanya pemeriksaan dahak. Dokter kemudian menjelaskan bahwa didapatkan gambaran infiltrat atau gambaran bercak di paru-paru kanan yang mengindikasikan gejala khas dari tuberkulosis (TBC/TB).

    “Jadi ibunya masuk rumah sakit dengan kondisi tidak sadar dengan hipoglikemia, dengan gula darah rendah. Kemudian tekanan darah yang tidak terkontrol. Kemudian kita melakukan pemeriksaan, dilakukan dan didapatkan gambaran infiltrat atau gambaran pecah di paru-paru kanan. Gambaran dari khas dari TBC,” ucap dr Syahpri dalam video tersebut.

    Video tersebut lantas mendapatkan kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama, SpP(K).

    “Dokter bertugas menangani kesehatan pasiennya, dan dia akan berupaya maksimal agar penanganannya memberi hasil terbaik. Tentu jelas salah besar kalau ada tindakan kekerasan (verbal atau fisik) pada orang yang sedang menangani kesehatan kita atau keluarga kita,” ucapnya kepada detikcom, Kamis (14/8/2025).

    Prof Tjandra yang juga pernah menjabat direktur penyakit menular di WHO Asia Tenggara menjelaskan, penggunaan pemeriksaan dahak untuk diagnosis TB adalah berdasar penelitian ilmiah internasional yang bereputasi tinggi. Tata cara mendiagnosis TB dengan dahak ada dalam panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang diikuti seluruh negara di dunia, bahkan ada juga dalam panduan Kementerian Kesehatan RI dan organisasi profesi seperti PDPI.

    “Jadi ini prosedur berdasar ilmiah, juga berdasar rekomendasi internasional dan nasional, dan yang lebih penting lagi adalah bhw pemeriksaan dahak itu adalah demi kepentingan pasiennya. Jadi amat salah kalau dokter sampai harus di kata-katai kasar karena melakukan pemeriksaan dahak untuk diagnosis tuberkulosis,” ucap guru besar pulmonologi yang mengajar di sejumlah kampus kedokteran tersebut.

    Tak hanya itu, Prof Tjandra juga menyoroti risiko kekerasan yang dihadapi dokter dan tenaga kesehatan saat menjalankan tugas. Menurutnya, ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu tindakan tegas dari aparat kepolisian serta langkah nyata dari pemerintah dan pembuat kebijakan publik untuk melindungi dokter dalam menjalankan profesinya.

    “Kata-kata klise adalah semoga kejadian kekerasan pada dokter (dan tenaga kesehatan lain) dalam menjalankan profesinya jangan berulang lagi. Perlu tindakan nyata, Stop Kekerasan !!!,” sambungnya.

    Sebelumnya, pasca kejadian tersebut, Pemkab Muba melakukan mediasi antara keluarga pasien dan dokter. Sekda Muba Apriyadi langsung mendatangi RSUD Sekayu untuk memediasi permasalahan intimidasi dan pengancaman keluarga pasien terhadap dokter. Pihaknya meminta keterangan dari kedua belah pihak.

    Berdasarkan keterangan, dr Syahpri mengaku sudah melaksanakan tugas sesuai dengan prosedur. Begitu juga penggunaan masker saat berada di rumah sakit, khususnya di dalam ruangan merupakan kewajiban. Dia juga mengaku dipaksa untuk membuka masker oleh keluarga pasien.

    “Saya sudah melaksanakan pelayanan sesuai prosedur dan memberikan pelayanan terbaik kepada pasien,” ujarnya saat mediasi yang dilakukan Pemkab Muba, Rabu (13/8/2025).

    “Pada kejadian tersebut saya dipaksa untuk membuka masker, tetapi di dalam ruangan perawatan tersebut tidak diperbolehkan,” ujarnya lagi.

    Sementara keluarga pasien RSUD Sekayu Putra mengaku setelah kejadian tersebut pihaknya sudah dimediasi pihak RSUD Sekayu. Dia mengaku terkejut video tersebut dipotong dan diviralkan di media sosial.

    “Kami setelah kejadian langsung dimediasi, dan saya selaku keluarga pasien sudah meminta maaf. Saya akui pada saat itu emosi, tetapi kami terkejut mengapa video itu diviralkan di media sosial seolah-olah melakukan kekerasan kepada dokter,” ungkapnya.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/up)

  • Gejala COVID Varian Stratus dan Cara Pencegahannya

    Gejala COVID Varian Stratus dan Cara Pencegahannya

    Jakarta

    COVID varian Stratus atau disebut XFG telah menjadi varian yang merebak di dunia, termasuk di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI beberapa waktu lalu melaporkan COVID varian Stratus sudah mendominasi setidaknya 75 persen dari total kasus COVID di Indonesia pada Mei 2025. Bahkan meningkat menjadi 100 persen di Juni 2025.

    Laporan tersebut mencakup hasil pemantauan rutin terhadap penyakit pernapasan, termasuk influenza dan COVID-19, yang dilakukan di 39 Puskesmas, 35 rumah sakit, dan 14 Balai Karantina Kesehatan yang berfungsi sebagai sentinel site.

    Meski demikian, Kemenkes menyebutkan varian dominan COVID-19 yang merebak di Indonesia tergolong dalam kategori risiko rendah (low risk). Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak panik, namun tetap menjaga protokol kesehatan, terutama bagi kelompok rentan.

    “XFG menjadi variant nomor 1 dalam hal Spread di mana per 13 Juni sudah terdeteksi di 130 negara, paling banyak dari Eropa dan Asia per Juni 2025,” demikian laporan Kemenkes beberapa waktu lalu.

    “Pada Bulan Juni Varian dominan di Indonesia adalah XFG (75 persen pada Mei, dan 100 persen pada Juni), dan XEN (25 persen pada Mei),” lanjut Kemenkes.

    Stratus atau XFG adalah varian SARS-CoV-2 yang merupakan hasil rekombinasi dari garis keturunan LF.7 dan LP.8.1.2, dengan sampel pertama dikumpulkan pada 27 Januari 2025. Laporan WHO mengatakan XFG telah ditetapkan sebagai variant under monitoring (VUM) karena proporsinya yang terus meningkat secara global.

    Adapun COVID-19 varian Stratus memiliki dua strain, yakni XFG dan XFG.3. Menurut seorang ahli virologi dari Universitas Warwick, Professor Lawrence Young, kedua strain Stratus, yaitu XFG dan XFG.3, disebut menyebar dengan cepat.

    Meski begitu, hanya varian XFG yang masuk ke dalam daftar VUM oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

    Istilah VUM digunakan untuk memberi sinyal kepada otoritas kesehatan masyarakat bahwa suatu varian SARS-CoV-2 berpotensi memerlukan perhatian dan pemantauan lebih lanjut.

    Gejala COVID Varian Stratus

    Pada dasarnya, gejala COVID varian Stratus mirip dengan varian lainnya. Centers for Disease Control and Prevention AS (CDC) membeberkan gejala COVID yang umum seperti:

    Demam atau menggigilBatukKelelahanSakit tenggorokanKehilangan rasa atau penciumanPenyumbatanNyeri ototSesak napasSakit kepalaMual atau muntah

    COVID varian Stratus juga memiliki gejala khas. Beberapa laporan menunjukkan bahwa individu yang terinfeksi juga melaporkan suara serak atau suara yang kasar dan parau. Gejala khas ini dapat membantu membedakan XFG dari varian maupun subvarian lainnya.

    “Gejala Stratus adalah suara parau, atau bahasa Inggrisnya hoarseness, scratchy, raspy voice,” tutur Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama beberapa waktu lalu.

    Cara Pencegahan

    Sebagai kewaspadaan, Kemenkes mengimbau masyarakat untuk menerapkan sejumlah hal berikut.

    Menerapkan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS).Menerapkan etika batuk/bersin untuk menghindari penularan kepada orang lain.Cuci tangan dengan air mengalir dan menggunakan sabun (CTPS) atau menggunakan hand sanitizer.Menggunakan masker bagi masyarakat jika jika berada di kerumunan atau sedang sakit seperti batuk, pilek, atau demam.Segera ke fasilitas kesehatan apabila mengalami gejala infeksi saluran pernapasan dan ada riwayat kontak dengan faktor risiko.Bagi pelaku perjalanan jika mengalami sakit selama perjalanan agar menyampaikan kepada awak atau personel alat angkut maupun kepada petugas kesehatan di pelabuhan/ bandar udara/ PLBN setempat.

    (suc/suc)

  • Pakar sebut perlu ada survei pelaksanaan MBG di Jakarta

    Pakar sebut perlu ada survei pelaksanaan MBG di Jakarta

    Jakarta (ANTARA) – Pakar kesehatan yang pernah menjabat sebagai Direktur Penyakit Menular WHO Kantor Regional Asia Tenggara 2018-2020, Prof. Tjandra Yoga Aditama berpendapat perlu adanya survei terkait pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) di Jakarta sebagai bagian evaluasi pemerintah.

    “Baik kalau di Jakarta dari waktu ke waktu dilakukan survei kepuasan konsumen, baik yang terima MBG, orang tua, guru, dan bahkan penyedianya juga,” ujar dia saat dihubungi di Jakarta, Minggu.

    Selain survei, studi kohort atau penelitian observasional dari waktu ke waktu untuk melihat perkembangan terkait dampak MBG sejak pertama kali dilaksanakan hingga beberapa tahun ke depan juga diperlukan.

    Tjandra mengatakan, studi ini harus meliputi empat hal yakni gizi, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.

    “Memang studi kohort ini harus beberapa tahun supaya dampaknya tidak bias, tapi proses pengumpulan data dari waktu ke waktu harus dikerjakan dengan cermat sesuai kaidah ilmiah yang sahih,” kata dia.

    Dia mencatat, per Juli 2025, program MBG sudah berjalan selama enam bulan mencakup hampir 7 juta penerima manfaat, artinya melebihi total penduduk Singapura yang berjumlah 5,9 juta orang.

    Karena sudah berjalan setengah tahun, maka Tjandra mengatakan pelaksanaannya memerlukan evaluasi, salah satunya untuk melihat bagaimana pentingnya melihat program ini yang oleh World Food Program atau Program Pangan Dunia disebut sebagai School Nutrition Package Framework atau Standar dan Pedoman Minimum untuk Paket Gizi Sekolah.

    “Ada lima kegiatan utama di dalamnya, yaitu makanan bergizi, literasi tentang gizi, suplementasi, aktivitas fisik dan suasana lingkungan makanan sekolah yang baik,” kata Tjandra.

    Dia menyampaikan terdapat dua aspek pokok kesehatan terkait MBG yaitu jaminan mutu gizi makanan dan keamanan pangan.

    Untuk jaminan mutu gizi, maka perlu diperhatikan gizi seimbang sesuai konsep “Isi Piringku”, sementara untuk keamanan pangan maka semua pengelola MBG harus berpegang teguh pada prinsip keamanan pangan sejak mulai ketersediaan bahan pangan sampai masakan tersaji di depan anak-anak.

    Adapun per awal Agustus 2025, penerima MBG tercatat sudah menembus kurang lebih 8 juta orang.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.