Tag: Tjandra Yoga Aditama

  • Pakar Soroti Potensi Lonjakan Penyakit di Aceh-Sumut Pasca Bencana Banjir

    Pakar Soroti Potensi Lonjakan Penyakit di Aceh-Sumut Pasca Bencana Banjir

    Jakarta

    Bencana banjir dan longsor yang terjadi di wilayah Aceh dan Sumatera Utara beberapa hari ke belakang menyita perhatian banyak pihak. Korban bencana kini harus bersiap menghadapi potensi penyakit menular dan memburuknya kondisi pasien penyakit tidak menular (PTM) di wilayah terdampak.

    Pakar kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama menjelaskan ada beberapa kelompok penyakit menular yang perlu menjadi perhatian, sehingga bisa diantisipasi oleh mereka yang ada di wilayah bencana, seperti:

    Penyakit yang ditularkan melalui air (water-borne diseases) seperti diare, hepatitis A, dan penyakit kulit.Penyakit yang ditularkan lewat makanan (foodborne diseases) akibat higienitas yang buruk, termasuk keracunan makanan.Penyakit paru dan pernapasan, misalnya ISPA dan pneumonia, yang mudah menular di lokasi pengungsian.Penyakit yang menular melalui kontak langsung antar-manusia, seperti infeksi kulit atau penyakit mata.

    “Keempat kelompok penyakit ini saling berkaitan. Dalam situasi bencana, penurunan kualitas air, sanitasi buruk, dan padatnya pengungsian membuat risiko penularan meningkat tajam,” beber pria yang sempat menjadi Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu, saat dihubungi detikcom Jumat (28/11/2025).

    Pada kondisi pasca-bencana, definisi kelompok rentan menurut Prof Tjandra tidak hanya para anak-anak, lansia, serta mereka dengan komorbid atau imunitas lemah.

    “Masyarakat umum yang rumah atau desanya terdampak dapat menjadi rentan pula terhadap berbagai penyakit,” jelasnya.

    Populasi Sehat Mudah Terinfeksi

    Perubahan lingkungan yang drastis, stres, kurang tidur, air bersih terbatas, hingga paparan dingin membuat populasi sehat sekalipun menjadi lebih mudah terinfeksi penyakit pasca-bencana.

    Ketersediaan air bersih menjadi faktor paling krusial dalam mencegah penyakit pascabencana.

    Pakar menegaskan risiko yang muncul tidak hanya penyakit yang secara klasik dikategorikan sebagai water-borne disease, tetapi juga penyakit lain yang mekanisme penularannya dipengaruhi sanitasi yang buruk.

    “Keempat jenis penyakit menular tadi perlu diantisipasi bersamaan. Krisis air bersih memperburuk banyak aspek, dari kebersihan makanan, higiene pribadi, hingga kualitas lingkungan,” kata Prof Tjandra.

    Bencana juga berpotensi memperparah kondisi mereka yang mengidap penyakit tidak menula, seperti:

    Diabetes, akibat pola makan dan minum yang tidak teraturPenyakit paru kronik (PPOK), yang dapat mengalami eksaserbasi akut karena lembap atau paparan debu serta hipertensi.Penyakit jantung, yang bisa kambuh akibat stres dan kurangnya obat rutin.

    “Situasi bencana dapat membuat pasien PTM tidak bisa mengakses obat atau kontrol rutin, sehingga risiko komplikasi meningkat,” ujar Prof Tjandra.

    Untuk mencegah kejadian luar biasa pasca-bencana, beberapa langkah prioritas bisa segera dilakukan, seperti penyediaan air bersih, sarana mandi-cuci-kakus, dan fasilitas cuci tangan memadai.

    Pengawasan ketat pada kebersihan dapur umum juga harus dilakukan, sejalan dengan pemberian ventilasi yang baik dan mengatur kepadatan korban di ruang pengungsian, serta tersedianya obat-obatan rutin pasien dengan penyakit kronik.

    “Upaya ini harus berjalan paralel dengan penanganan bencana. Dalam hitungan hari, penyakit bisa meningkat jika tidak segera diantisipasi,” tutup Prof Tjandra.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video: Kasus Penyakit Kusta Indonesia Masuk 3 Besar Dunia”
    [Gambas:Video 20detik]
    (dpy/kna)

  • Pakar Ingatkan Risiko Penyakit Pascabencana di Aceh-Sumut

    Pakar Ingatkan Risiko Penyakit Pascabencana di Aceh-Sumut

    Jakarta

    Di tengah proses evakuasi dan penanganan darurat bencana banjir dan longsor di Aceh serta Sumatera Utara, para ahli kesehatan mengingatkan adanya potensi lonjakan penyakit menular dan memburuknya kondisi pasien penyakit tidak menular (PTM) di wilayah terdampak.

    Polda Sumatera Utara mencatat sedikitnya 34 orang meninggal dunia akibat bencana alam yang melanda sejumlah daerah sejak 24 hingga 26 November 2025. Korban jiwa terbanyak berada di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), yakni 17 orang, disusul Sibolga (8 orang), Tapanuli Tengah (4 orang), Pakpak Bharat (2 orang), Humbang Hasundutan (2 orang), dan Nias Selatan (1 orang).

    “Data ini masih bersifat sementara dan terus diperbarui,” kata Kabid Humas Polda Sumut Kombes Ferry Walintukan, Jumat (28/11/2025).

    Ancaman Penyakit Menular Pascabencana

    Kondisi lapangan yang masih rentan, bantuan logistik belum merata, sejumlah titik masih terdampak longsor dan banjir, membuat potensi penularan penyakit cukup tinggi.

    Pakar kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama menjelaskan setidaknya empat kelompok penyakit menular yang perlu diantisipasi di wilayah bencana, seperti

    Penyakit yang ditularkan melalui air (water-borne diseases) seperti diare, hepatitis A, dan penyakit kulit.Penyakit yang ditularkan lewat makanan (foodborne diseases) akibat higienitas yang buruk, termasuk keracunan makanan.Penyakit paru dan pernapasan, misalnya ISPA dan pneumonia, yang mudah menular di lokasi pengungsian.Penyakit yang menular melalui kontak langsung antar-manusia, seperti infeksi kulit atau penyakit mata.

    “Keempat kelompok penyakit ini saling berkaitan. Dalam situasi bencana, penurunan kualitas air, sanitasi buruk, dan padatnya pengungsian membuat risiko penularan meningkat tajam,” beber pria yang sempat menjadi Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu, saat dihubungi detikcom Jumat (28/11/2025).

    Ia menambahkan kelompok rentan pada kondisi pascabencana tidak hanya terbatas pada lansia, anak-anak, pengidap komorbid dan gangguan imunitas.

    “Biasanya kita sebut rentan adalah lansia, anak-anak, dan mereka dengan komorbid atau imunitas lemah. Tetapi pada keadaan bencana, masyarakat umum yang rumah atau desanya terdampak dapat menjadi rentan pula terhadap berbagai penyakit,” jelasnya.

    Perubahan lingkungan yang drastis, stres, kurang tidur, air bersih terbatas, hingga paparan dingin membuat populasi sehat sekalipun menjadi lebih mudah terinfeksi.

    Ketersediaan air bersih menjadi faktor paling krusial dalam mencegah penyakit pascabencana.

    Pakar menegaskan risiko yang muncul tidak hanya penyakit yang secara klasik dikategorikan sebagai water-borne disease, tetapi juga penyakit lain yang mekanisme penularannya dipengaruhi sanitasi yang buruk.

    “Keempat jenis penyakit menular tadi perlu diantisipasi bersamaan. Krisis air bersih memperburuk banyak aspek, dari kebersihan makanan, higiene pribadi, hingga kualitas lingkungan,” katanya.

    Bencana juga berpotensi memperparah kondisi mereka yang mengidap penyakit tidak menular. Diabetes, akibat pola makan dan minum yang tidak teratur. Penyakit paru kronik (PPOK), yang dapat mengalami eksaserbasi akut karena lembap atau paparan debu serta hipertensi dan penyakit jantung, yang bisa kambuh akibat stres dan kurangnya obat rutin.

    “Situasi bencana dapat membuat pasien PTM tidak bisa mengakses obat atau kontrol rutin, sehingga risiko komplikasi meningkat,” ujarnya.

    Simak Video “Video: Menkes Pastikan Korban Longsor dan Banjir Sumut Dapat Layanan Kesehatan “
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

  • Fakta-fakta ‘Flu Babi’ H1pdm09, Tewaskan 5 Anak di Riau

    Fakta-fakta ‘Flu Babi’ H1pdm09, Tewaskan 5 Anak di Riau

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI melaporkan lima anak meninggal dunia akibat infeksi Influenza A/H1pdm09, yang sebelumnya dikenal sebagai flu babi, serta Haemophilus influenzae. Kasus tersebut terjadi di Dusun Datai, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

    Hasil penyelidikan epidemiologi menunjukkan minimnya fasilitas kesehatan dasar di wilayah tersebut. Dusun Datai tidak memiliki MCK, tidak ada tempat pembuangan sampah, ventilasi rumah buruk, dan aktivitas memasak dengan kayu bakar dilakukan di ruangan yang sama dengan tempat tidur. Kondisi ini meningkatkan risiko penularan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), terutama pada anak-anak.

    Selain masalah lingkungan, ditemukan pula banyak warga dengan gizi kurang dan cakupan imunisasi dasar yang rendah.

    Hasil laboratorium menunjukkan adanya kombinasi infeksi Influenza A/H1pdm09, pertusis, adenovirus, dan bocavirus. Temuan ini memperkuat analisis bahwa status gizi dan rendahnya kekebalan tubuh membuat warga rentan terhadap penyakit.

    Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, Sumarjaya, menyampaikan bahwa kondisi lingkungan di Dusun Datai menjadi penyebab penyakit mudah menyebar.

    “Kami menemukan rumah padat, ventilasi minim, nyamuk banyak, dan warga hidup dalam paparan asap kayu bakar setiap hari. Situasi seperti ini membuat penyakit pernapasan lebih mudah menular, terutama pada balita,” ujarnya.

    Ia menegaskan bahwa krisis ISPA ini bukan sekadar persoalan medis, tetapi terkait erat dengan sanitasi, perilaku hidup, dan akses layanan kesehatan.

    “Jika kondisi sanitasi, gizi, dan kebiasaan sehari-hari tidak diperbaiki, penularan akan terus berulang,” kata Sumarjaya.

    Wanti-wanti Kemenkes RI

    Untuk merespons kondisi tersebut, Kemenkes bersama pemerintah daerah melakukan pengobatan massal, memperkuat intervensi gizi, dan memberikan perhatian khusus kepada balita dan ibu hamil melalui pemberian makanan tambahan (PMT), vitamin, dan pemantauan kesehatan. Edukasi terkait etika batuk, penggunaan masker, dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) juga diperluas.

    Tim kesehatan juga melakukan pengambilan sampel tambahan untuk memastikan tidak ada patogen lain yang beredar, mengingat variasi gejala dan temuan multipatogen sebelumnya.

    Sebagai langkah jangka panjang, Kemenkes bersama pemerintah daerah mulai menyusun perbaikan lingkungan, termasuk pembuatan tempat pembuangan sampah, kerja bakti pembersihan area rawan nyamuk, hingga pemisahan area memasak dan area tidur di rumah warga. Media KIE untuk sekolah terpencil juga disiapkan untuk edukasi berkelanjutan.

    Apa Itu ‘Flu Babi’?

    Dikutip dari Cleveland Clinic, flu babi atau swine flu (H1N1) adalah infeksi yang disebabkan oleh salah satu jenis virus influenza. Disebut ‘flu babi’ atau swine flu karena virus ini mirip dengan virus flu yang menginfeksi babi. Pada babi, virus ini menyebabkan penyakit pernapasan yang menyerang paru-paru. Flu babi (H1N1) pada manusia juga merupakan infeksi saluran pernapasan.

    Pada April 2009, para peneliti menemukan strain baru virus H1N1. Virus ini pertama kali terdeteksi di Amerika Serikat. Dalam waktu singkat, virus tersebut menyebar dengan cepat ke seluruh AS dan ke berbagai negara di dunia karena merupakan tipe virus flu yang benar-benar baru.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) setelah menghadapi tekanan dari para produsen industri daging dan sejumlah pemerintah yang khawatir, pada hari Kamis (30/4/2009) menyatakan bahwa mereka akan menyebut strain virus baru yang mematikan itu sebagai influenza A (H1N1), bukan swine flu.

    “Mulai hari ini, WHO akan menyebut virus influenza baru ini sebagai ‘influenza A (H1N1)’,” tulis WHO di situs resminya, dikutip berita Reuters 2009.

    Dikutip dari WHO, sebelum pandemi H1N1 pada tahun 2009, virus influenza A (H1N1) ini belum pernah diidentifikasi sebagai penyebab infeksi pada manusia. Analisis genetik menunjukkan virus tersebut berasal dari virus influenza hewan dan tidak berkaitan dengan virus influenza musiman H1N1 yang sudah beredar di masyarakat sejak tahun 1977.

    Setelah laporan awal mengenai wabah influenza di Amerika Utara pada April 2009, virus influenza baru ini menyebar dengan sangat cepat ke seluruh dunia. Ketika WHO menetapkan status pandemi pada Juni 2009, sebanyak 74 negara dan wilayah telah melaporkan infeksi yang terkonfirmasi melalui laboratorium.

    Berbeda dari pola flu musiman pada umumnya, virus baru ini menyebabkan lonjakan kasus yang tinggi selama musim panas di belahan Bumi utara, dan bahkan lebih tinggi lagi saat memasuki cuaca yang lebih dingin. Virus tersebut juga menimbulkan pola kesakitan dan kematian yang tidak biasa untuk infeksi influenza.

    WHO kemudian menyatakan pandemi telah berakhir pada Agustus 2010. Namun, H1N1 tetap dapat menginfeksi dan menulari orang. Saat ini H1N1 menjadi salah satu virus flu musiman yang masih dapat menyebabkan penyakit, rawat inap, bahkan kematian.

    Senada, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan H1N1pdm09 adalah virus penyebab pandemi 2009 dan menjadi pandemi pertama yang dinyatakan WHO setelah pemberlakuan International Health Regulations (IHR) 2005.

    “Awalnya disebut swine flu atau flu babi, tetapi kemudian diketahui penularannya tidak terbatas, sehingga istilah flu babi sebaiknya tidak digunakan lagi,” beber Prof Tjandra kepada detikcom Selasa (26/11/2025).

    Ia menambahkan, sebagian besar virus H1N1 yang beredar saat ini merupakan H1N1pdm09 dan sudah tergolong influenza musiman. Selain itu, virus H3N2 juga tengah memicu peningkatan kasus flu di berbagai negara.

    Mengapa ‘ Flu Babi’ Bisa Picu Kematian?

    Dihubungi terpisah, Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, menjelaskan virus tersebut kini telah berubah menjadi bagian dari influenza musiman dan terus bersirkulasi secara global. Aktivitas influenza, kata Dicky, berubah-ubah setiap musim sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara rutin memantau pergerakannya dan menentukan komposisi vaksin flu tahunan. H1N1 sendiri sering masuk dalam komposisi vaksin.

    Adapun infeksi ini dapat berujung fatal karena dipengaruhi oleh faktor host, yaitu kondisi tubuh anak. Menurut Dicky, anak kecil memiliki sistem imun yang masih berkembang. Bila disertai malnutrisi atau imunisasi yang tidak lengkap, kerentanan mereka terhadap infeksi berat akan semakin meningkat.

    Faktor lingkungan juga berperan besar, seperti paparan asap kayu bakar, ventilasi rumah yang buruk, kepadatan hunian, hingga sanitasi yang tidak memadai.

    “Ini kalau di epidemiologi itu ya faktor host, faktor agentnya, faktor lingkungan. Dan terutama ada koinfeksi bakteri atau virus yang meningkatkan risiko pneumonia berat dan kematian,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Rabu (26/11/2025).

    “Nah ini yang laporan lapangan kan menunjukkan kombinasi faktor risiko ini. Selain itu pada anak kecil cadangan fisiologisnya rendah sehingga cepat sekali dekompensasi,” lanjutnya.

    Sementara itu, Dicky juga menjelaskan gejala yang perlu diwaspadai pada kasus influenza meliputi demam mendadak, batuk, sakit tenggorokan, nyeri otot, dan rasa lemas.

    Pada anak-anak, gejala tambahan seperti mual dan muntah dapat muncul. Pada bayi dan balita, tanda-tandanya kadang tidak khas, tetapi dapat terlihat dari menurunnya nafsu makan, menjadi lebih rewel, atau munculnya gejala sesak napas.

    “Dan komplikasi yang menyebabkan kematian pada anak biasanya adalah Pneumonia Virus Primer atau Super Infeksi Bakteri, misalnya Streptococcus Pneumonia ataupun Haemophilus Influenza yang Non-typeable (NTHi),” tuturnya.

    Halaman 2 dari 4

    (suc/up)

  • 5 Anak Meninggal di Riau Kena ‘Flu Babi’, Ini Kata Pakar soal Penularan-Pencegahannya

    5 Anak Meninggal di Riau Kena ‘Flu Babi’, Ini Kata Pakar soal Penularan-Pencegahannya

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI melaporkan lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Dusun Datai, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Berdasarkan data hingga 23 November 2025, sebanyak 224 warga mengalami gangguan pernapasan. Seluruh pasien kini dilaporkan dalam kondisi membaik.

    Namun, Kemenkes menyebut terdapat lima kasus kematian pada anak. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan kelima anak tersebut positif terinfeksi Influenza A/H1pdm09 serta Haemophilus influenzae. Virus H1pdm09 merupakan jenis influenza yang pernah memicu wabah global pada 2009 dan sebelumnya dikenal sebagai flu babi.

    Menanggapi temuan tersebut, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan H1N1pdm09 adalah virus penyebab pandemi 2009 dan menjadi pandemi pertama yang dinyatakan WHO setelah pemberlakuan International Health Regulations (IHR) 2005.

    “Awalnya disebut swine flu atau flu babi, tetapi kemudian diketahui penularannya tidak terbatas, sehingga istilah flu babi sebaiknya tidak digunakan lagi,” beber Prof Tjandra kepada detikcom Selasa (26/11/2025).

    Ia menambahkan, sebagian besar virus H1N1 yang beredar saat ini merupakan H1N1pdm09 dan sudah tergolong influenza musiman. Selain itu, virus H3N2 juga tengah memicu peningkatan kasus flu di berbagai negara.

    Prof Tjandra menjelaskan langkah pengendalian H1N1pdm09 mencakup tiga hal utama. Pertama, pencegahan melalui pola hidup sehat, menjaga daya tahan tubuh, etika batuk, dan penggunaan masker bagi yang sakit.

    Kedua, pencegahan melalui vaksinasi influenza. Ketiga, pemberian obat antivirus pada pasien dengan gejala berat karena sebagian besar kasus bersifat ringan.

    Ia juga menekankan perlunya kewaspadaan bersama.

    “Dunia, termasuk kita, harus terus memantau berbagai strain virus influenza untuk melihat kecenderungan, peningkatan kasus, maupun potensi wabah,” ujarnya.

    Hingga kini, investigasi epidemiologis di wilayah terdampak masih berlangsung, termasuk penelusuran faktor risiko, pola penularan, dan upaya pencegahan lanjutan. Kemenkes mengimbau masyarakat tetap waspada terhadap gejala gangguan pernapasan, khususnya pada anak.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Pemerintah Akan Bikin Satgas Penanganan Demam Babi Afrika”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/naf)

  • DKI Kemarin, tarif Transjakarta hingga banjir di Jaksel

    DKI Kemarin, tarif Transjakarta hingga banjir di Jaksel

    Jakarta (ANTARA) – Sejumlah peristiwa terjadi di Jakarta pada Rabu (29/10), mulai dari pertimbangan kenaikan tarif Transjakarta hingga banjir yang melanda Jakarta Selatan (Jaksel) setelah hujan deras.

    Berikut lima berita pilihan yang menarik untuk disimak kembali:

    1. Ini kata Pramono terkait kenaikan tarif Transjakarta

    Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo juga mempertimbangkan usulan warganet atau netizen terkait perkiraan kenaikan tarif Transjakarta mulai dari Rp5000 hingga Rp7000.

    “Saya juga mendengar rata-rata mereka (masyarakat) mengusulkan, di media (sosial) saya itu, antara Rp5000 sampai Rp7000. Tetapi kami akan memutuskan sesuai dengan nanti apa yang menjadi kemampuan masyarakat,” ujar Pramono di Balai Kota, Rabu.

    Selengkapnya

    2. Kepulauan Seribu panen ribuan ikan kerapu cantang

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu memanen 1.500 ekor ikan kerapu cantang dan wilayah tersebut akan menjadi lumbung pangan bagi Provinsi DKI Jakarta, terutama pangan yang berbasis hasil laut.

    Selanjutnya

    3. Layanan kesehatan hewan gratis tersedia di Sentra Fauna Lenteng Agung

    Jakarta (ANTARA) – Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (Sudin KPKP) Jakarta Selatan menyediakan layanan kesehatan untuk hewan secara gratis di area Sentra Fauna dan Kuliner Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa.

    “Pelayanan kesehatan hewan gratis ini merupakan kerja sama kita dengan Sudin PPKUKM Jakarta Selatan,” kata Kepala Seksi Peternakan dan Kesehatan Hewan Sudin KPKP Jakarta Selatan, Irawati Harry Artharini di Jakarta, Rabu.

    Selengkapnya

    4. Pemprov DKI harus jaga sanitasi kota terutama saat musim hujan

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Penyakit Menular WHO Kantor Regional Asia Tenggara 2018-2020, Prof Tjandra Yoga Aditama mengingatkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menjaga sanitasi dan kebersihan kota agar tidak menjadi sumber penularan penyakit, khususnya saat musim hujan.

    “Terutama saat curah hujan yang tinggi dan terjadi banjir,” kata dia saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

    Selanjutnya

    5. Banjir terjang 35 RT di Jaksel akibat curah hujan tinggi

    Jakarta (ANTARA) – Banjir menerjang 35 rukun tetangga di Jakarta Selatan (Jaksel) dengan ketinggian air mulai dari 30-70 sentimeter (cm) akibat curah hujan tinggi di DKI Jakarta dan sekitarnya.

    “Kami mengerahkan personel untuk memonitor kondisi genangan di setiap wilayah,” kata Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, Mohamad Yohan di Jakarta, Rabu.

    Selengkapnya

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Foto SPPG Polri Pejaten yang Sudah Terapkan Rapid Test, Jaga Kualitas Makanan

    Foto SPPG Polri Pejaten yang Sudah Terapkan Rapid Test, Jaga Kualitas Makanan

    Jakarta

    Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Polri di Pejaten menjadi salah satu contoh penerapan pelaksanaan makan bergizi gratis (MBG).

    SPPG Pejaten sedikitnya melayani sekitar 3.000 penerima manfaat yang terdiri atas siswa-siswi tingkat TK, PAUD, SD, SMP, hingga SMK. Distribusi makanan dilakukan secara bertahap dalam beberapa kloter.

    Kloter pertama mulai siap dikirim pada pukul 07.45 WIB untuk siswa TK, PAUD, serta SD kelas 1 hingga 2. Kloter kedua dikirim pada pukul 09.00 WIB untuk siswa SD kelas 3 hingga 5, sementara distribusi terakhir dilakukan menjelang jam makan siang bagi siswa SMA dan SMK.

    Pihak SPPG memastikan proses memasak hingga pendistribusian tidak melampaui enam jam demi menjaga kualitas dan keamanan pangan.

    Sudah Terapkan Rapid Test Kualitas Pangan

    Potret rapid test untuk MBG Foto: Nafilah Sri Sagita/detikHealth

    SPPG Pejaten menjadi salah satu unit yang sudah menerapkan kebijakan baru Badan Gizi Nasional (BGN), yakni pelaksanaan rapid test makanan. Pemerintah mewajibkan seluruh SPPG di Indonesia untuk menjalani pemeriksaan cepat semacam ini, sebagai upaya memastikan keamanan makanan sebelum dikonsumsi, belajar dari pengalaman panjang Jepang.

    Sebagai negara dengan pengalaman lebih dari 100 tahun dalam menjalankan program mirip MBG, Jepang pernah mencatat insiden keracunan makanan akibat masalah pada kualitas bahan baku.

    Pembelajaran ini yang kemudian diterapkan di Indonesia melalui peningkatan standar keamanan MBG.

    Tiga Hal yang Jadi Teladan

    Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Prof Tjandra Yoga Aditama, menilai SPPG Pejaten bisa menjadi percontohan bagi wilayah lain, terutama setelah munculnya sejumlah laporan kasus keracunan makanan di beberapa daerah.

    “Menurut saya ada tiga hal penting. Pertama, SOP harus ditetapkan dengan sangat rinci. Kedua, pelaksanaannya harus disiplin, karena SOP yang bagus tapi tidak dijalankan dengan baik tentu jadi catatan. Ketiga, perlu disebarkan dan dibuka agar pihak lain bisa melihat langsung bahwa SPPG yang baik itu seperti apa,” kata Prof Tjandra saat ditemui detikcom Selasa (21/10/2025).

    Ia juga menekankan pentingnya pengawalan mutu secara konsisten, mulai dari fasilitas penyimpanan bahan makanan, proses pengolahan, hingga distribusi.

    Peran Sanitarian dan Pengawasan Rutin

    Prof Tjandra Yoga Aditama, pengamat kesehatan yang tengah mengunjungi dapur makanan bergizi gratis SPPG Pejaten Polri. Foto: Nafilah Sri Sagita/detikHealth

    Untuk menjaga keamanan pangan, Prof Tjandra menyarankan agar pengawasan rutin melibatkan tenaga sanitarian, yang juga bisa diperbantukan puskesmas setempat. Menurutnya, keberadaan sanitarian juga diperlukan untuk memastikan aspek sanitasi dan higiene di setiap tahap produksi makanan.

    “Di sini juga sudah dilakukan pemeriksaan, apakah ada kandungan seperti arsen, formalin, dan nitrit, yang bisa terdeteksi sejak dini,” ujarnya.

    Selain itu, SPPG Pejaten juga telah menerapkan sistem penyimpanan bahan makanan yang terpisah antara bahan kering dan basah, dengan pengaturan suhu ruang yang disesuaikan. Langkah ini menjadi bagian penting dalam menjaga keamanan dan kualitas pangan.

    Prof Tjandra berharap model seperti SPPG Pejaten dapat diadopsi oleh daerah lain, termasuk wilayah terluar dan tertinggal, agar seluruh anak Indonesia mendapat akses makanan bergizi dan aman dengan standar yang sama.

    Dalam kesempatan yang sama, Wakasatgas MBG Polri Irjen Nurwono Danang menyebut pihaknya telah membangun 645 SPPG. Polri menargetkan 1.500 SPPG dibangun di seluruh daerah Indonesia.

    “Kita wajibkan untuk seluruh polres-polres yang awalnya satu Polres membangun satu SPPG, saat ini kita wajibkan bisa membangun satu Polres tiga SPPG. Sehingga diharapkan Polri bisa membangun sampai 1.500 SPPG di seluruh Indonesia,” kata Danang.

    (naf/kna)

  • Efek Keracunan Gas CO di Balik Viral Suami Kritis-Istri Meninggal saat Honeymoon

    Efek Keracunan Gas CO di Balik Viral Suami Kritis-Istri Meninggal saat Honeymoon

    Jakarta

    Viral kejadian nahas menimpa pasutri yang tengah ‘honeymoon’ di kawasan pinggir Danau Diateh, Alahan Panjang Solok, Sumatera Barat. Keduanya diduga mengalami keracunan akibat kebocoran tabung gas.

    Istri CDN (28) dinyatakan meninggal sementara suaminya, GK (28) sempat pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.

    Kapolsek Lembah Gumanti AKP Barata Rahmat Sukarsih menyebutkan peristiwa berawal saat pasutri itu masuk ke penginapan pada Rabu (8/10/2025) siang. Pasutri asal Padang itu kemudian menginap hingga Kamis (9/10/2025) pagi datang pelayan mengantarkan sarapan pagi.

    “Saat pelayanan mau mengantarkan sarapan pagi pasutri itu masih merespons atau menyahut kedatangan pelayan,” kata Barata kepada wartawan Sabtu (11/10/2025).

    Namun saat itu sarapan belum sempat diberikan karena pasutri tersebut sedang mandi. Setelah pelayan itu kembali dan mau mengantarkan sarapan, pasutri tersebut tidak lagi merespons.

    Kemudian pelayan memberitahu ke rekannya lain lalu mereka masuk dengan dibuka paksa. “Mereka menemukan kedua pasutri sedang tergeletak di lantai kamar mandi,” kata Barata.

    Terlepas dari kejadian tersebut, mengapa kasus fatal bisa terjadi karena keracunan tabung gas?

    Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama menjelaskan karbon monoksida adalah gas tidak berbau, tidak berasa, juga tidak berwarna. Gas ini dinilai 200 kali lipat lebih kuat daripada O2 dalam kawanan dengan hemoglobin.

    Artinya, bila seseorang tidak sengaja terhirup gas CO, ikana HB O2 yang berfungsi membawa oksigen ke seluruh tubuh akan terganti dengan HB CO.

    “Jadi berbagai organ tubuh mendadak tidak akan mendapat oksigen dan jadi rusak, yang mungkin dapat menimbulkan kematian,” jelasnya dalam keterangan yang diterima detikcom Senin (13/10/2025).

    Menurutnya, setiap tahun ada sekitar 28 ribu kematian di dunia akibat keracunan gas CO atau karbon monoksida. Sementara di AS, dilaporkan sekitar 400 kematian dalam setahun.

    “Kita belum punya data total kematian akibat gas CO di negara kita,” beber Prof Tjandra.

    Mengutip laman CDC, prof Tjandra menekankan dalam kondisi tertentu seseorang bisa meninggal akibat keracunan karbon monoksida, bahkan sebelum gejala muncul.

    Meski begitu, tidak semua kasus keracunan monoksida menimbulkan kematian. Ia menekankan hal ini bergantung dari seberapa besar dosis yang terhirup dan apakah orang tersebut bisa langsung menghindar dari paparan gas CO.

  • PDPI Siap Bantu Wamenkes Baru Percepat Penanganan TBC

    PDPI Siap Bantu Wamenkes Baru Percepat Penanganan TBC

    Jakarta

    Dilantiknya Benjamin Paulus sebagai wakil menteri kesehatan tambahan disambut baik Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama. Terlebih, ia ditugaskan untuk fokus penanganan penyakit tuberkulosis (TBC).

    Melihat sepak terjangnya sebagai dokter spesialis paru, Prof Tjandra optimistis pria yang akrab disapa Beni itu mengetahui betul upaya dan strategi penanganan TBC.

    Ia menekankan TBC memang perlu mendapatkan prioritas penanganan lantaran Indonesia menjadi penyumbang kasus terbesar kedua di dunia. Mengutip laporan global WHO Report 2025, Prof Tjandra mempertegas 10 persen pasien TBC di dunia datang dari Indonesia.

    “Jadi satu dari 10 pasien tuberkulosis dunia adalah orang Indonesia,” sebutnya, dalam keterangan yang diterima detikcom Kamis (9/10/2025).

    Pemerintah disebutnya perlu fokus pada target eliminasi kasus TBC di 2030 mengacu Peraturan Presiden 67 tahun 2021, juga target Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau Quick Win Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran.

    “Ditambah lagi, juga ada target ‘Sustainable Development Goals (SDG)’ untuk menghentikan epidemi tuberkulosis dunia di 2030 pula, saat Indonesia sebagai bagian dari dunia tentu perlu berpartisipasi aktif untuk pencapaian SDG ini,” kata dia.

    “Kalau kita ikuti guideline WHO maka setidaknya ada lima kegiatan program yaitu pencegahan, skrining, diagnosis, pengobatan dan keadaan khusus. Dalam hal ini dapat saya sampaikan juga bahwa hanya beberapa hari yang lalu WHO baru mengeluarkan publikasi tentang pentingnya gizi dalam pengendalian TBC, dan ini mungkin dapat dikaitkan dengan dua program penting Presiden kita, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG) dan penanggulangan tuberkulosis,” lanjutnya.

    Program tersebut menurutnya perlu berjalan dengan bekerja sama antar lintas sektor, termasuk keterlibatan organisasi profesi.

    “Untuk ini jelas perlu kerja amat keras dan perlu dukungan dari masyarakat dan organisasi profesi, dan tentu Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) siap mendukungnya dengan penuh,” pungkasnya.

    (naf/naf)

  • Apa Itu Cesium-137? Ditemukan FDA di Udang dan Cengkeh Asal Indonesia

    Apa Itu Cesium-137? Ditemukan FDA di Udang dan Cengkeh Asal Indonesia

    Jakarta

    Food and Drug Administration (FDA) atau badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat baru-baru ini memblokir impor semua rempah-rempah dari PT Natural Java Spice minggu lalu. Ini dilakukan setelah mendeteksi adanya zat Cesium-137 dalam pengiriman cengkeh ke California.

    Apa Itu Cesium-137?

    Cesium merupakan unsur kimia golongan logam alkali yang pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Jerman Robert Bunsen dan Gustav Kirchhoff pada 1860. Dikutip dari laman Britannica, Cesium berasal dari bahasa Latin ‘caesius’ yang berarti ‘biru langit’, karena garis spektrum biru yang unik saat unsur tersebut diamati secara stetoskopi.

    Dalam bentuk alaminya, Cesium adalah logam berwarna perak keemasan, sangat reaktif, dan meleleh pada suhu hanya 28,4 derajat Celsius, yang hampir setara dengan suhu ruangan. Tetapi, dalam temuan di udang, cengkeh, dan di daerah Cikande, Banten, bukan cesium stabil, melainkan radioaktif seperti Cesium-137.

    Cesium-137 adalah isotop radioaktif yang dihasilkan sebagai produk sampingan dari reaksi nuklir, termasuk bom nuklir, pengujian, operasi reaktor, dan kecelakaan. Isotop ini memancarkan radiasi beta dan gamma, dan digunakan dalam pengobatan medis serta alat ukur industri.

    Cesium tersebar luas di seluruh dunia, dengan jumlah jejak yang ditemukan di lingkungan, termasuk tanah, makanan, dan udara. Tetapi, bisa berbahaya jika tertelan karena menumpuk di jaringan lunak.

    Apa Saja Risiko dari Paparan Cesium-137?

    “Tidak ada makanan yang memicu peringatan atau hasil tes positif yang telah dirilis untuk dijual di AS,” kata pejabat FDA, dikutip dari Independent UK.

    “Namun, ratusan ribu kemasan udang beku impor yang dijual di Kroger dan toko kelontong lainnya di seluruh AS ditarik karena mungkin diproduksi dalam kondisi yang memungkinkan kontaminasi,” sambung badan tersebut.

    Meskipun risikonya tampak kecil, makanan tersebut dapat menimbulkan potensi masalah kesehatan. Terutama bagi orang yang terpapar Cesium-137 tingkat rendah dalam jangka panjang.

    Tingkat kontaminasi yang terdeteksi jauh di bawah tingkat yang dapat memicu perlunya perlindungan kesehatan. Tetapi, paparan jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker tertentu.

    Selain itu, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama juga menyoroti dampak dari paparan radioaktif Cesium-137 (Cs-137). Dampak buruk dari paparan jangka panjang dan berulang dari Cs-137 mungkin akan meningkatkan risiko terjadinya kanker melalui mekanisme kerusakan DNA dalam sel hidup tubuh manusia.

    “Dalam hal ini, perlu disampaikan bahwa memang masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengetahui kejelasan dampak yang mungkin terjadi,” terang Prof Tjandra dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Kamis (2/10/2025).

    Apa yang Ditemukan FDA?

    Petugas Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS mendeteksi cesium 137 dalam kontainer pengiriman udang yang dikirim oleh PT Bahari Makmuri Sejati ke beberapa pelabuhan AS.

    Petugas CBP melaporkan potensi kontaminasi tersebut pada FDA, yang kemudian menguji sampel udang dan mendeteksi Cesium-137 dalam satu sampel udang yang dilapisi tepung roti. FDA kembali mendeteksi paparan Cesium-137 dalam satu sampel cengkeh yang diekspor oleh PT Natural Java Spice, yang mengirimkan rempah-rempah ke AS dan negara-negara lain.

    Dari Mana Asal Kontaminasi Itu?

    Sampai saat ini, masih belum jelas apakah sumber kontaminasi yang sama pada udang dan rempah-rempah tersebut. Pejabat FDA dan CBP mengatakan penyelidikan mereka masih berlanjut.

    Kedua fasilitas pemrosesan tersebut tampaknya berjarak sekitar 800 kilometer di Indonesia.

    “Besi tua yang terkontaminasi atau logam cair di lokasi industri dekat pabrik pengolahan udang di Indonesia kemungkinan merupakan sumber bahan radioaktif,” menurut Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).

    Sejauh ini, Plt Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Murti Utami memastikan seluruh pasien yang tercemar zat radioaktif cesium-137 (Cs-137) diarahkan menjalani perawatan di rumah sakit vertikal.

    “9 orang itu kita kirim ke rumah sakit Fatmawati,” beber dia saat ditemui di Gedung Kemenkes RI, Kamis (2/10/2025).

    Pasien diberi pill prussian blue untuk membantu meluruhkan cemaran zat radioaktif cesium-137, meski belum bisa dipastikan apakah zat tersebut sepenuhnya luruh 100 persen.

    Namun, pihaknya memastikan akan terus memantau kondisi pasien hingga dinyatakan sehat.

    Ia berpesan untuk masyarakat di daerah zona merah segera melakukan pemeriksaan untuk melihat kemungkinan ikut terpapar zat radioaktif serupa. Kini, sudah dipetakan area berdasarkan zonanya.

    “Yang penting mereka pemeriksaan dulu karena kan di area situ (Cikande, Banten) sama Bapeten sudah dipetakan mana area merah kuning hijau,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 3

    (sao/kna)

  • Fakta-fakta Cemaran Radioaktif Cs-137 di Cikande, 9 Korban Dirawat di RS

    Fakta-fakta Cemaran Radioaktif Cs-137 di Cikande, 9 Korban Dirawat di RS

    Jakarta

    Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang, Banten, resmi ditetapkan sebagai daerah yang tercemar radioaktif Cesium-137 (Cs-137). Cemaran ini diduga berasal dari reaktor nuklir yang masuk dari luar negeri.

    Imbas kondisi ini, setidaknya ada 9 orang pasien yang terpapar zat radioaktif tersebut, hingga mendapatkan perawatan di rumah sakit vertikal.

    “9 orang itu kita kirim ke rumah sakit Fatmawati,” kata Plt Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, Murti Utami saat ditemui di Gedung Kemenkes RI, Kamis (2/10/2025).

    Pasien diberi pill prussian blue untuk membantu meluruhkan cemaran zat radioaktif cesium-137, meski belum bisa dipastikan apakah zat tersebut sepenuhnya luruh 100 persen.

    Tahap-tahap Pemeriksaan

    Ada beberapa tahap pemeriksaan yang harus dijalani oleh para pasien yang terpapar Cs-137.

    Pertama, pasien menjalani pemeriksaan surveymeter. Tes tersebut untuk menunjukkan apakah ada paparan eksternal radiasi pada tubuh maupun pakaian. Bila hasilnya positif, langsung dilakukan dekontaminasi, dengan mengganti pakaian dan mandi, lalu diperiksa ulang.

    Tahapan selanjutnya adalah pemeriksaan darah. Hal ini dikarenakan penurunan limfosit bisa menjadi indikasi awal seseorang terpapar cemaran zat radioaktif cesium-137.

    Penetapan akhir dengan Whole Body Counter (WBC), saat orang tersebut ditemukan mengalami penurunan limfosit. WBC bisa mendeteksi paparan radiasi internal atau cesium yang masuk ke tubuh.

    Kemenkes menegaskan bahwa 9 pasien tersebut dalam kondisi yang stabil. Namun, pihak rumah sakit masih terus memberikan perawatan intensif.

    Bagaimana Cara Cs-137 Masuk ke Tubuh?

    Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara sekaligus guru besar pulmonologi, Prof Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan beberapa ‘jalur masuk’ Cs-137 ke dalam tubuh.

    “Dapat terjadi paparan terhadap cesium yang stabil atau radioaktif melalui makanan atau air yang terkontaminasi, atau juga menghirup udara yang terkontaminasi,” terang Prof Tjandra dalam keterangan tertulis, Kamis(2/10/2025).

    Dalam penjelasannya, ia menyebutkan empat kemungkinan cara masuk zat Cesium ke dalam tubuh dari Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR) yang berada di bawah Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS.

    Mengonsumsi makanan yang ditanam di tanah yang terkontaminasi Cesium.Saat seseorang mendekati daerah yang merupakan sumber radioaktif Cesium.Mereka yang bekerja di industri yang memproses ‘natural Cesium’ atau ‘Cesium Compounds’.Tinggal di daerah yang terdapat limbah radioaktif tidak terkontrol yang mengandung Cesium.

    Kemenkes Minta Lapor Bila Ada Gejala

    Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, Aji Muhawarman, menyebut orang yang terpapar radioaktif Cs-137 bisa mengalami sindrom radiasi akut (ARS).

    Keluhannya bisa ditandai dengan mual, muntah, diare, kelelahan, hingga hasil pemeriksaan yang menunjukkan adanya penurunan sel darah putih. Selain itu, kerusakan kulit atau jaringan juga bisa terjadi.

    “Pasien bisa melaporkan kemerahan, lepuh, luka bakar radiasi,” beber Aji dalam keterangannya, Kamis (2/10/2025).

    Paparan dalam level yang tinggi dapat menyebabkan perdarahan, infeksi berat di organ, kanker, hingga kematian.

    Halaman 2 dari 3

    (dpy/up)

    Cemaran Radioaktif

    13 Konten

    Jejak cemaran radioaktif Cessium 137 (Cs-137) ditemukan di wilayah Cikande, Serang. Risiko paparan serta dampaknya bagi kesehatan, jadi sorotan.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya