Tag: Timboel Siregar

  • Pengamat Sebut Tenggat Penetapan UMP 2025 Perlu Diubah, Jadi Lebih Cepat?

    Pengamat Sebut Tenggat Penetapan UMP 2025 Perlu Diubah, Jadi Lebih Cepat?

    Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar menilai perlu adanya perubahan tenggat waktu untuk penetapan upah minimum tahun 2025.

    Hal ini dilakukan agar pembahasan di Dewan Pengupahan Daerah tidak dilakukan terburu-buru.

    Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 (PP 36/2021), seluruh Gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Propinsi (UMP) paling lambat tanggal 21 November dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) paling lambat tanggal 30 November setiap tahunnya. 

    “Saya kira ketentuan tenggat waktu penetapan tersebut dapat diatur kembali untuk penetapan UM 2025 yang diatur di Permenaker [Peraturan Menteri Ketenagkerjaan] baru, sehingga waktu pelaksanaan survei dan pembahasan di Dewan Pengupahan Daerah tidak terburu-buru,” kata Timboel dalam keterangan tertulis, Jumat (8/11/2024).

    Di samping itu, Timboel juga menyampaikan bahwa Dewan Pengupahan Nasional dan LKS Tripartit harus menentukan industri tertentu yang dapat memberlakukan upah minimum sektoral.

    Tentunya, kata dia, sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) sudah ada daftar industri yang menetapkan upah minimum sektoral.

    “Ketentuan upah minimum sektoral ini dapat diatur sementara di Permenaker baru tentang kenaikan upah minimum 2025 yang akan dibuat,” tuturnya.

    Begitu pula dengan kenaikan upah di atas upah minimum yang wajib dinegosiasikan, yaitu menegosiasikan isi struktur skala upah (SSU), menurutnya, juga dapat sementara diatur pada Permenaker kenaikan upah minimum 2025 yang akan dibuat.

    Adapun, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) merevisi beberapa pasal terkait upah. Pertama, upah minimum harus didasari pada kebutuhan hidup layak (KHL) yang sudah dieksplisitkan oleh Putusan MK sehingga kenaikan upah minimum 2025 harus didasari pada harga harga kebutuhan hidup layak seperti pangan, sandang, papan, transportasi, hingga jaminan hari tua.

    Dalam hal ini, Dewan Pengupahan Nasional dan Dewan Pengupahan Daerah harus menghitung dan merundingkannya.

    Kedua, kenaikan upah minimum yang didasari pada formula pada Pasa 26 dan 26A PP 35 Tahun 2021 dengan nilai alpa 0,1-0,3 tidak lagi menjadi acuan. Ini karena sudah direvisi oleh putusan MK tentang kontribusi pekerja pada pertumbuhan ekonomi daerah.

    Ketiga, gubernur harus menetapkan upah minimum sektoral pada industri tertentu yang nilainya di atas upah minimum kabipaten kota.

    Keempat, kenaikan upah di atas upah minimum harus dinegosiasikan oleh pengusaha dan SP SB.

    “Ini artinya struktur skala upah [SSU] menjadi obyek negosiasi antara pengusaha dan SP SB karena SSU mengatur upah di atas upah minimum,” tuturnya.

    Untuk menindaklanjuti putusan MK, Timboel menyampaikan bahwa dasar hukum kenaikan upah tidak lagi mengacu pada PP 51 tahun 2023.

    Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan dengan melibatkan Dewan Pengupahan Nasional dan LKS Tripartit harus membuat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang kenaikan upah minimum 2025, dengan menetapkan 64 item KHL yang pernah diberlakukan pada saat pelaksaan PP 78 Tahun 2015.

    “Lalu Dewan Pengupahan daerah melakukan survei pasar untuk menghitung nilai 64 item KHL tersebut, yang nanti disepakati di Dewan Pengupahan daerah untuk direkomendasi ke Gubernur untuk ditetapkan,” tandasnya.

  • Kemendagri dukung pekerja ad hoc Pilkada Serentak 2024 dapat jamsos

    Kemendagri dukung pekerja ad hoc Pilkada Serentak 2024 dapat jamsos

    Ini merupakan bagian upaya dari Kemendagri untuk memberi dukungan kesuksesan pelaksanaan pilkada serentakJakarta (ANTARA) – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mendukung seluruh anggota badan ad hoc Pilkada Serentak 2024 mendapatkan perlindungan jaminan sosial berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).

    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengatakan dukungan tersebut sejalan dengan perintah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 400.5.7/4295/SJ.

    “Mendagri sudah mengeluarkan surat edaran tentang jaminan sosial bagi pekerja ad hoc 3 September. (Kami) sangat mendukung,” kata Bima saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.

    Ia mengaku saat ini Kemendagri tengah mengoordinasikan hal itu dengan Kementerian Keuangan.

    Hal ini disebabkan adanya laporan dalam hal administrasi hingga kesulitan untuk memasukkan dalam penganggaran, karena tidak ada nomenklatur-nya.

    Sementara itu, Staf Khusus Mendagri Kastorius Sinaga mengungkapkan bahwa Tito telah mengarahkan dan memerintahkan Plh. Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah (Keuda) Horas Maurits Panjaitan dan jajaran untuk mengawal pelaksanaan SE Mendagri tentang JKK dan JKM bagi badan ad hoc KPU dan Bawaslu di seluruh Indonesia.

    Ia menyebut Ditjen Keuda pun telah berkoordinasi dengan KPU dan Bawaslu dalam rangka pelaksanaan SE Mendagri tersebut.

    Adapun saat ini mereka sedang memfasilitasi dan memonitor pelaksanaan JKK dan JKM di daerah.

    Baca juga: Mendagri minta Bima Arya bentuk “Desk Monitoring Pilkada”

    Baca juga: Wamendagri tekankan pentingnya mengaktifkan desk pilkada di daerah

    “Ini merupakan bagian upaya dari Kemendagri untuk memberi dukungan kesuksesan pelaksanaan pilkada serentak,” ujar Kastorius.

    Sebelumnya, Sabtu (21/9), Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengingatkan para kepala daerah untuk memberikan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan kepada seluruh anggota badan ad hoc pemilihan kepala daerah (pilkada), sejalan dengan perintah Menteri Dalam Negeri yang tertuang dalam surat nomor 400.5.7/4295/SJ.

    “Tidak boleh ada gubernur dan bupati/wali kota yang mengabaikan Surat Menteri Dalam Negeri ini dengan alasan apa pun. Surat ini sudah dengan tegas dan jelas mengatur penggunaan APBD untuk pembayaran iuran program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi seluruh pekerja penyelenggara Pilkada serentak di November 2024,” kata Timboel melalui keterangan resminya Sabtu.

    Lebih lanjut Timboel mengatakan bahwa Mendagri sudah secara tegas memerintahkan seluruh gubernur dan wali kota/bupati untuk berkoordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang berada di wilayahnya untuk menetapkan dan mendaftarkan anggota Badan Adhoc sebagai peserta aktif dalam program JKK dan JKM di BPJS Ketenagakerjaan.

    Mengenai hal anggaran, menurut dia semua sudah jelas dalam aturan yang termaktub di dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Jika anggaran yang tersedia tidak mencukupi, pemerintah daerah dapat menggunakan alokasi anggaran belanja tidak terduga (BTT).

    Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024, merinci yang dimaksud badan Ad Hoc mencakup Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih), Panitia Pengawas (Panwaslu) Kecamatan, serta Panitia Pengawas Lapangan (PPL).

    Sebagai informasi, pada Pemilihan Umum (Pemilu) presiden dan anggota legislatif lalu, tercatat hanya 1,1 juta orang petugas KPU dan Bawaslu yang didaftarkan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.

    Dari jumlah tersebut terdapat 44 petugas yang meninggal dunia dan mengalami kecelakaan kerja saat melaksanakan tugasnya. BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan seluruh manfaat kepada peserta dan ahli warisnya dengan total nominal mencapai Rp2,57 miliar.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Chandra Hamdani Noor
    Copyright © ANTARA 2024

  • Apindo Minta Penghitungan UMP 2025 Sesuai PP Pengupahan

    Apindo Minta Penghitungan UMP 2025 Sesuai PP Pengupahan

    Jakarta, Beritasatu.com – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk tetap menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan sebagai dasar penyusunan upah minimum provinsi (UMP) 2025. Regulasi tersebut dinilai sudah memiliki komponen yang tepat dalam penyusunan UMP.

    Hal ini sebagai respons Apindo terhadap permintaan serikat pekerja yang meminta kenaikan upah minimum hingga 10% pada 2025. Kalangan pengusaha menilai setiap daerah memiliki standar yang berbeda untuk menentukan UMP.

    “Jadi tidak bisa disamaratakan semua daerah di Indonesia. Provinsi, kabupaten, dan kota itu semua sudah ada formulanya. Jadi kami harapkan dan mengimbau bahwa kita tetap ada konsisten kepada formula yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” ucap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani dalam konferensi pers di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Rabu (30/10/2024).

    Dalam PP 51/2023 disebutkan, kenaikan upah minimum dengan rumus inflasi ditambahkan pertumbuhan ekonomi dan dikalikan dengan indeks. Koefisien merupakan variabel yang berada dalam rentang nilai 0,1 sampai dengan 0,3.

    “Karena kalau kita setiap kali harus mengubah aturan kan jadi susah. Ini kan yang penting buat pengusaha itu kepastian. Formula itu ada kan untuk kita ikuti,” tutur Shinta.

    Sementara, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, dengan deflasi yang terjadi selama 5 bulan terakhir menunjukkan bahwa daya beli masyarakat turun.

    Menurut dia, untuk mengembalikan daya beli masyarakat, khususnya untuk segmen pekerja, seharusnya pemerintah memberikan perlakuan khusus terhadap kenaikan upah minimum pada 2025.

    “Permintaan serikat pekerja dengan kenaikan hingga 10% cukup rasional,” kata Timboel.

    Dia mengatakan, apabila kenaikan upah minimum 2025 menggunakan formula dalam PP 51/2023, maka daya beli buruh belum mampu untuk pulih sehingga penurunan daya beli buruh masih berlanjut.

    “Oleh karenanya penting adanya kebijakan khusus dengan menetapkan indeks menjadi 0,8-1, sehingga kenaikan upah minimum bisa di atas 6%. Dengan asumsi inflasi 2,5 % dan pertumbuhan ekonomi 5%,” terang Timboel.

    Kemudian, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta, kenaikan upah minimum 2025 sebesar 8% hingga 10%. Adapun dasar perhitungan kenaikan tersebut, yakni pertama, inflasi 2025 yang diperkirakan sebesar 2,5% dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,2%. Jika dijumlahkan, maka inflasi dan pertumbuhan ekonomi menghasilkan angka 7,7%.

    Selain itu, di kawasan industri, pada 2024, buruh  memiliki tambahan biaya hidup yang belum diakomodasi dari kenaikan gaji. Sebagai contoh, inflasi di kawasan industri, terutama di Jabotabek, tercatat 2,8%, sementara kenaikan upah hanya 1,58%.

    “Artinya, buruh harus nombok sekitar 1,3% dari selisih antara inflasi 2,8% dan kenaikan upah 1,58%. Berdasarkan perhitungan tersebut angka 8%  berasal dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi ditambah faktor tambahan biaya hidup sebesar 1,3%,” tutur Said.

    Kedua, ada faktor disparitas upah yang juga menjadi perhatian. Di wilayah-wilayah yang berbatasan, kesenjangan upah atau disparitas masih tinggi. Misalnya, upah di Karawang lebih tinggi dibandingkan di Purwakarta, dan upah di Purwakarta lebih tinggi dibandingkan di Subang. Untuk mengatasi kesenjangan ini, ditambahkan angka disparitas sebesar 2%.

    “Berdasarkan analisis litbang Partai Buruh dan KSPI, tambahan ini menghasilkan kenaikan 10%, untuk mencegah kesenjangan yang semakin melebar,” ujar Said.

    Sementara itu, Wakil Ketua Umum Apindo Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam mengatakan, perusahaan tidak hanya memperhatikan UMP tetapi juga harus memperhatikan struktur dan skala upah. Upaya kenaikan upah diperhitungkan berdasarkan produktivitas. Lantaran perhitungan berdasarkan UMP hanya untuk masa kerja sampai dengan satu tahun.

    “Kita mendorong dengan perhitungan struktur dan skala upah, jadi jangan setiap tahun kita ribut upah minimum tetapi lupa untuk bicara mengenai upah yang di atas upah minimum yang sesuai dengan produktivitas,” kata Bob.

    Dia mengatakan, apabila produktivitas karyawan tinggi dan kinerja perusahaan bagus, maka perusahaan bisa memberikan kenaikan gaji berdasarkan struktur dan skala upah. Namun, hal itu harus berdasarkan kesepakatan antara perusahaan dan pekerja.

    “Jadi demokratisasi itu harus dimulai dari level perusahaan. Upah minimum tetap ada tetapi lebih dari itu sebaiknya diakomodasi melalui struktur upah masing-masing perusahaan karena yang paling tahu maju mundurnya perusahaan itu adalah bipartit perusahaan,” terang Bob.

  • Bank Commonwealth Buka Suara soal Kabar PHK 1.146 Karyawan

    Bank Commonwealth Buka Suara soal Kabar PHK 1.146 Karyawan

    Jakarta

    PT Bank Commonwealth (PTBC) buka suara atas kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan karyawannya usai diakuisisi PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP). Adapun PHK dari unit usaha Commonwealth Bank of Australia (CBA) itu dikabarkan akan berdampak pada 1.146 karyawannya.

    Corporate Communications PTBC mengatakan, pihaknya memastikan bahwa karyawan yang terkena PHK akan mendapatkan hak sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

    “Sehubungan dengan rencana penggabungan PT Bank Commonwealth (PTBC) ke dalam PT Bank OCBC NISP Tbk (OCBC), manajemen memastikan karyawan yang di-PHK memperoleh hak mereka sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku,” katanya, kepada detikcom, Rabu (24/7/2024).

    Selain itu, manajemen juga menyatakan bahwa OCBC Indonesia secara aktif memberikan kesempatan kepada para karyawan Commonwealth untuk bergabung dengan perusahaan.

    “OCBC secara aktif memberikan kesempatan bagi karyawan PTBC untuk dapat bergabung bersama OCBC sesuai dengan kompentensi dan kapabilitas setiap individu,” ujarnya.

    Sebagai tambahan informasi, OCBC tengah dalam proses akuisis 99% saham PTBC. Proses akuisisi senilai Rp 2,2 triliun itu telah berlangsung sejak 1 Mei 2024. Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) mengungkapkan, aktivitas ini akan menyebabkan langkah PHK terhadap 1.146 karyawan PTBC.

    Sekretaris Jenderal OPSI Timboel Siregar mengatakan, pihaknya menilai bahwa sejak awal proses akuisisi dilakukan, tidak ada transparansi. Dalam hal ini, tidak melibatkan Serikat Karyawan Bank Commonwealth yang berafiliasi ke OPSI.

    “Para karyawan secara tiba-tiba diberi tahu pada tanggal 16 November 2023 bahwa Bank Commonwealth akan diakuisisi oleh PT Bank OCBC NISP. Ketidaktransparanan tersebut menimbulkan kekagetan dan keresahan di kalangan karyawan. Terlebih ketika itu tidak ada kejelasan dan penjelasan mengenai kelangsungan kerja, nasib dan masa depan karyawan,” kata Timboel dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (24/7/2024).

    Barulah kemudian Manajemen Bank Commonwealth menyatakan akan mem-PHK seluruh karyawan dan menawarkan nilai kompensasi berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, uang pisah dan kebijakan tambahan untuk masa kerja tertentu.

    “Dalam perkembangannya, manajemen Bank Commonwealth ternyata menetapkan bahwa DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan), yang sesungguhnya sudah menjadi hak karyawan sejak lama, sebelum akuisisi, akan diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran uang pesangon,” ujarnya.

    Padahal, menurutnya ketentuan tentang DPLK sebagai bagian dari uang pesangon tersebut baru lahir melalui Peraturan Pemerintah No 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Menurut Timboel, aturan ini tidak berlaku surut.

    “Lagi pula, dari kepanjangannya saja, DPLK adalah uang pensiun, bukan uang pesangon. Sehingga tidak bisa dicampuradukkan dengan uang pesangon. Mencampuradukkan DPLK dengan uang pesangon jelas-jelas sangat merugikan karyawan. Kalaupun DPLK mau dijadikan bagian dari pembayaran uang pesangon, maka penghitungannya harus dimulai dari tahun 2021,” kata dia.

    (shc/rrd)

  • Dicaplok OCBC NISP, Bank Commonwealth Dikabarkan Bakal PHK Ribuan Karyawan

    Dicaplok OCBC NISP, Bank Commonwealth Dikabarkan Bakal PHK Ribuan Karyawan

    Jakarta

    Proses akuisisi PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP) terhadap 99% saham PT Bank Commonwealth (PTBC) disebut-sebut akan membuat terjadinya pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 1.146 karyawan. Diketahui proses akuisisi senilai Rp 2,2 triliun itu telah berlangsung sejak 1 Mei 2024.

    Informasi ini diungkapkan oleh Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI). OPSI menilai bahwa sejak awal proses akuisisi dilakukan, tidak ada transparansi. Dalam hal ini, tidak melibatkan Serikat Karyawan Bank Commonwealth yang berafiliasi ke OPSI.

    “Para karyawan secara tiba-tiba diberi tahu pada tanggal 16 November 2023 bahwa Bank Commonwealth akan diakuisisi oleh PT Bank OCBC NISP. Ketidaktransparanan tersebut menimbulkan kekagetan dan keresahan di kalangan karyawan. Terlebih ketika itu tidak ada kejelasan dan penjelasan mengenai kelangsungan kerja, nasib dan masa depan karyawan,” kata Jenderal OPSI Timboel Siregar dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (24/7/2024).

    Barulah kemudian Manajemen Bank Commonwealth menyatakan akan mem-PHK seluruh karyawan dan menawarkan nilai kompensasi berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, uang pisah dan kebijakan tambahan untuk masa kerja tertentu.

    “Dalam perkembangannya, manajemen Bank Commonwealth ternyata menetapkan bahwa DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan), yang sesungguhnya sudah menjadi hak karyawan sejak lama, sebelum akuisisi, akan diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran uang pesangon,” ujarnya.

    Padahal, menurutnya ketentuan tentang DPLK sebagai bagian dari uang pesangon tersebut baru lahir melalui Peraturan Pemerintah No 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Menurut Timboel, aturan ini tidak berlaku surut.

    “Lagi pula, dari kepanjangannya saja, DPLK adalah uang pensiun, bukan uang pesangon. Sehingga tidak bisa dicampuradukkan dengan uang pesangon. Mencampuradukkan DPLK dengan uang pesangon jelas-jelas sangat merugikan karyawan. Kalaupun DPLK mau dijadikan bagian dari pembayaran uang pesangon, maka penghitungannya harus dimulai dari tahun 2021,” kata dia.

    Oleh karena itu, OPSI mendesak manajemen PTBC untuk memisahkan DPLK (sebagai uang pensiun yang sudah menjadi hak karyawan sejak sebelum terjadi akuisisi) dari perhitungan paket pesangon dan hak-hak lainnya, setidak-tidaknya dari tahun 2021 ke belakang (sebelum berlaku PP No.35 tahun 2021).

    OPSI juga mendesak kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk turun tangan. Dalam hal ini, agar tidak begitu saja memberikan izin dan kemudahan dalam proses akuisisi ini selama permasalahan ketenagakerjaan di atas belum memiliki titik temu/solusi.

    Selain itu, pihaknya juga mendesak Kementerian Ketenagakerjaan RI c/q. Direktorat Jenderal Pengawasan untuk melakukan pemantauan dan pengawasan guna memastikan tidak adanya pelanggaran terhadap hak-hak hukum pekerja di Bank tersebut.

    Terakhir, OPSI mendesak kepada PT Bank OCBC NISP untuk mensyaratkan adanya penyelesaian yang tuntas atas permasalahan di atas sebelum benar-benar melakukan akuisisi terhadap PT Bank Commonwealth.

    (shc/rrd)