Tag: Thomas Trikasih Lembong

  • Kesal ke Jokowi, Asli Jahat Banget

    Kesal ke Jokowi, Asli Jahat Banget

    GELORA.CO -Joko Widodo atau Jokowi jadi sasaran kekesalan dunia maya yang protes terhadap proses hukum yang sempat menjerat Thomas Trikasih Lembong. Warganet mengkel lantaran Jokowi membuat pengakuan saat Tom Lembong akan menerima abolisi dari presiden.

    Kamis pekan lalu, Jokowi sebagai presiden mengakui memerintahkan impor gula kepada Lembong saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Jokowi menyampaikan bahwa seluruh kebijakan berasal dari presiden.

    Namun warganet gregetan Jokowi baru menyampaikan pengkuan setelah kasus dugaan korupsi impor gula selesai diperiksa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam putusannya majelis hakim menjatuhkan hukuman 4,5 tahun penjara meski dianggap tidak ada mensrea atau niat jahat, dan tidak ada penerimaan uang korupsi oleh Lembong.

    Warganet tambah gondok karena Jokowi tidak bersedia memberikan kesaksian di pengadilan padahal sudah diminta tim kuasa hukum Lembong.

    “Asli jahat banget nih orang. Tom Lembong udah dipenjara beberapa bulan minta dihadirkan di sidang dia nggak mau. Pas Tom Lembong mau dapat abolisi dia baru ngomong,” kesal @tonyAJ90616729 dikutip redaksi, Senin 4 Agustus 2025.

    Akun @ferizandra juga kesal. “Tom Lembong diperiksa sejak tahun 2023 sampai kemudian ditahan, diadili dan divonis penjara meskipun gak ada niat jahat. Selama itu Mulyono cuman diam, baru sekarang mengaku memberikan perintah impor gula. Jahat! tulisnya.

    “Cemen bisanya ngomong di media di persidangan nggak berani. Orang jahat nanti pasti kena karmanya, tinggal tunggu waktu saja. Tuanya sengsara akibat perilaku jahat,” timpal @andrieyans72 dengan emoji muntah.

    Warganet lain gregetan jika Kejaksaan Agung tidak memproses Jokowi secara hukum. “@KejaksaanRI nih pak pengakuan langsung dari si pemberi perintah,” tulis @evi_sufiani.

    “Dua alat bukti sudah cukup jerat Mulyono: pengakuan dia dan para saksi (minimal dua saksi). Pasal 184 KUHAP,” sahut @HermanBudiSant4. “Artinya, yang harus dihukum adalah Mulyono,” tambahnya.

  • Demi Keadilan, Tom Lembong Tetap Proses Laporannya terhadap Hakim ke MA dan KY
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        4 Agustus 2025

    Demi Keadilan, Tom Lembong Tetap Proses Laporannya terhadap Hakim ke MA dan KY Nasional 4 Agustus 2025

    Demi Keadilan, Tom Lembong Tetap Proses Laporannya terhadap Hakim ke MA dan KY
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Meski telah bebas dari tahanan usai menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto, mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau
    Tom Lembong
    tidak menghentikan upaya hukumnya.
    Ia tetap melanjutkan laporan terhadap majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkaranya ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung (
    Bawas MA
    ) dan
    Komisi Yudisial
    (KY).
    Bagi Tom, pembebasan melalui abolisi bukan akhir perjuangan. Ia tetap ingin memastikan proses peradilan dijalankan secara adil dan profesional.
    “Sebelum dan setelah abolisi, kami tetap melaporkannya, karena Pak Tom komitmen harus ada perbaikan proses penegakan hukum Indonesia,” ujar kuasa hukum Tom, Zaid Mushafi, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (3/8/2025).
    Zaid menyebut, selama persidangan kasus dugaan korupsi impor gula, terdapat sejumlah kejanggalan sikap majelis hakim, terutama menyangkut prinsip-prinsip dasar peradilan seperti praduga tak bersalah (
    presumption of innocence
    ).
    Menurut dia, salah satu hakim anggota dalam perkara tersebut,
    Alfis Setyawan
    , kerap menunjukkan sikap tidak imparsial dan terkesan telah menyimpulkan kesalahan kliennya sejak awal.
    “Kami melanjutkan laporan-laporan kami sebelumnya mengenai dugaan tindakan hakim yang imparsial dan secara jelas Hakim Anggota Alfis terlihat ingin menghukum Tom Lembong selama pemeriksaan saksi di persidangan,” kata Zaid.
    “Bahkan tidak jarang hakim anggota bernama Alfis menyimpulkan dengan tidak mengedepankan sikap presumption of innocence, melainkan dengan sikap presumption of guilty,” tambahnya.
    Dalam perkara yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Tom Lembong diadili oleh majelis yang diketuai oleh Dennie Arsan Fatrika, dengan anggota Purwanto S. Abdullah dan Alfis Setyawan.
    Meski laporan ditujukan kepada seluruh anggota majelis, Zaid menegaskan bahwa sikap Alfis menjadi salah satu poin penting dalam aduan mereka ke lembaga pengawas yudisial.
    “Kami melaporkan semua hakim majelis pemeriksa, tetapi salah satu poin pentingnya adalah sikap hakim Alfis,” ucapnya.
    Adapun Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Tom Lembong dengan hukuman 4 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi tata niaga impor gula.
    Namun, pada 1 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Keputusan Presiden tentang abolisi, yang menghentikan seluruh proses hukum terhadap Tom.
    Ia pun langsung dibebaskan dari Rutan Cipinang malam harinya.
    Terkait laporan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan belum mendapatkan informasi resmi mengenai pengaduan terhadap hakim yang menangani perkara Tom Lembong.
     
    “Hingga saat ini kita belum menerima atas laporan tersebut, sehingga belum dapat meresponsnya,” kata juru bicara PN Jakarta Pusat, Andi Saputra, saat dikonfirmasi, Senin (4/8/2025).
    “Nanti kita akan cek lagi dan memastikan apakah benar adanya laporan tersebut,” imbuhnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prof. Didik J. Rachbini Soroti Abolisi Tom Lembong, Nama Jokowi Ikut Disebut

    Prof. Didik J. Rachbini Soroti Abolisi Tom Lembong, Nama Jokowi Ikut Disebut

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Dampak hukum yang lemah, tidak adil, dan mudah diintervensi terhadap perekonomian Indonesia menuai sorotan. Pandangan ini disampaikan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, terkait kasus hukum yang menimpa mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.

    “Saya sebagai ekonom ingin memberi kontribusi (semoga bermakna) terhadap praktek kriminalisasi hukum dan kasus Tom Lembong, bagaimana Pengaruh Hukum yang buruk terhadap Ekonomi Indonesia?” ujar Prof. Didik dalam keterangan resminya dikutip pada Senin (4/8/2025).

    Menurutnya, hukum yang lemah, tidak adil, tidak konsisten, atau mudah diintervensi kekuasaan serta dipolitisasi dapat memberikan dampak negatif serius terhadap perekonomian nasional. Hukum adalah faktor kepastian dan ketidakpastian di dalam ekonomi, khususnya investasi.

    Lebih lanjut Prof Ddik menjelaskan, kepastian hukum adalah syarat mutlak bagi dunia usaha. Negara dengan kepastian hukum yang labil dan buruk muka akan dihindari oleh investor.

    “Kalangan bisnis dan semua investor, baik domestik maupun asing, pasti sangat memerlukan kepastian hukum,” jelas Prof. Didik.

    Ia menegaskan bahwa jika sistem hukum tidak mampu menjamin kontrak, menyelesaikan sengketa secara adil, dan bebas dari intervensi politik, maka investor akan enggan menanamkan modal karena risiko kerugian bahkan kebangkrutan.

    Prof. Didik juga mengingatkan bahwa hukum yang buruk berimplikasi langsung pada peningkatan biaya transaksi. “Biaya transaksi adalah biang kerok atau bahkan setan buruk di dalam ekonomi dan dunia bisnis, yang sering muncul dari sistem hukum yang buruk,” tegasnya.

  • Revenge! Tom Lembong Laporkan Hakim yang Vonis Dirinya 4,5 Tahun Penjara ke MA dan KY

    Revenge! Tom Lembong Laporkan Hakim yang Vonis Dirinya 4,5 Tahun Penjara ke MA dan KY

    GELORA.CO – Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong melaporkan sejumlah hakim yang memvonis dirinya 4,5 Tahun Penjara dalam kasus korupsi impor gula Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. 

    Pelaporan ini dilakukan usai Tom mendapatkan Abolisi dari Presiden Prabowo Subianto sehingga ia dibebaskan dari seluruh tuntutan hukum.

    Pelaporan itu dibenarkan oleh pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir.

    “Iya kami sudah melakukan, bukan akan kemungkinan, kami sudah melaporkan ini dan surat-surat ini ya,” kata Ari saat menjemput Tom keluar dari Rutan Cipinang, Jumat, 1 Agustus 2025.

    Amir berharap, Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) menindaklanjuti laporan tersebut dengan memeriksa majelis hakim tersebut.

    Tim kuasa hukum Tom, menilai Hakim yang memutus perkara ini tak profesional sehingga perlu pemeriksaan oleh MA. 

    “Kami harapkan yang berkepentingan dalam hal ini baik itu Komisi Yudisial maupun Mahkamah Agung memprosesnya. Kita bukan bicara tentang materi putusannya tapi profesionalitas dari penegakan-penegakan hukum itu yang kita utamakan,” ujar dia.

    Adapun hakim-hakim yang dilaporkan yakni Adapun Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika, dengan dua hakim anggota Purwanto S. Abdullah dan Alfis Setyawan. 

    Tom sebelumnya divonis bersalah dan divonis 4,5 tahun penjara serta denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara.

    Namun, kini Tom mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto. Penghapusan pidana itu didapatkan Tom setelah DPR menyetujui usulan Presiden.

    “Dan hasil rapat konsultasi tersebut DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap surat presiden tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI atas pemberian abolisi terhadap Tom Lembong,” kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/7/2025) malam

  • Beri Amnesti dan Abolisi, Prabowo Lolos Perangkap Jokowi

    Beri Amnesti dan Abolisi, Prabowo Lolos Perangkap Jokowi

    GELORA.CO –  Keputusan pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dianggap langkah yang tepat agar Presiden Prabowo Subianto tidak masuk dalam perangkap Presiden ke-7 Joko Widodo alias Jokowi.

    Begitu yang disampaikan Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), Hari Purwanto merespons telah bebasnya Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong setelah menerima amnesti dan abolisi dari Presiden Prabowo pada Jumat, 1 Agustus 2025.

    “Keputusan amnesti dan abolisi yang dilakukan oleh PS (Prabowo Subianto) adalah langkah tepat agar PS tidak masuk dalam perangkap Jokowi,” kata Hari kepada RMOL, Minggu, 3 Agustus 2025.

    Bahkan kata Hari, keputusan Prabowo tersebut juga dapat menghindari agar tidak dijadikan budak catur orang perorang atau kelompok kepentingan.

    “Jokowi sendiri sedangkan melampiaskan dendamnya saat ini dan bisa diandaikan seperti peribahasa jawa ‘Nabok Nyilih Tangan’,” pungkas Hari.

    Dengan pemberian abolisi, maka dakwaan terhadap Tom Lembong ditiadakan. Sementara dengan amnesti terhadap Hasto, semua akibat hukum pidana terhadap Hasto dihapuskan

    Diketahui, DPR telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R43/Pres/30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR atas pemberian abolisi atas nama saudara Tom Lembong.

    Sementara pertimbangan amnesti kepada Hasto tertuang dalam Surpres Nomor 42/Pres/07/2025 tertanggal 30 Juli 2025.

    Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sebelumnya menyatakan Tom Lembong tidak menikmati hasil korupsi dari kebijakan importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015-2016.

    Namun, Tom tetap dinyatakan bersalah dengan vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider enam bulan kurungan.

    Sementara Hasto dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan suap dengan menyediakan Rp400 juta dari total Rp1,25 miliar untuk operasional suap mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan dalam rangka pergantian anggota DPR periode 2019-2024.

  • Demi Keadilan, Tom Lembong Tetap Proses Laporannya terhadap Hakim ke MA dan KY
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        4 Agustus 2025

    Kubu Tom Lembong Laporkan Majelis Hakim PN Tipikor ke Bawas MA dan KY Nasional 3 Agustus 2025

    Kubu Tom Lembong Laporkan Majelis Hakim PN Tipikor ke Bawas MA dan KY
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Tim hukum eks Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong melaporkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY).
    “Betul, kami melanjutkan laporan-laporan kami sebelumnya mengenai dugaan tindakan hakim yang imparsial dan secara jelas Hakim Anggota Alfis terlihat ingin menghukum Tom Lembong selama pemeriksaan saksi di persidangan,” kata kuasa hukum Tom, Zaid Mushafi, kepada
    Kompas.com
    , Minggu (3/8/2025).
    Adapun perkara dugaan importasi gula di Kementerian Perdagangan yang menjerat Tom Lembong dipimpin oleh Hakim Ketua: Dennie Arsan Fatrika didampingi dua Hakim Anggota yakni Purwanto S Abdullah dan Alfis Setyawan.
    Laporan tersebut merupakan kelanjutan dari keberatan tim hukum atas dugaan pelanggaran etik dan sikap tidak imparsial yang ditunjukkan hakim selama persidangan.
    “Bahkan tidak jarang hakim anggota bernama Alfis menyimpulkan dengan tidak mengedepankan sikap
    presumption of innocence
    melainkan dgn sikap
    presumption of guilty
    ,” ucapnya.
    Meski laporan ditujukan kepada seluruh anggota majelis hakim, Zaid menyebut sikap hakim Alfis menjadi salah satu poin penting dalam laporan mereka ke lembaga pengawas yudisial.
    “Kami melaporkan semua hakim majelis pemeriksa, tetapi salah satu point pentingnya adalah sikap hakim Alfis,” ucapnya.
     
    Sebelumnya, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dalam perkara korupsi impor gula oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
    Namun, Presiden Prabowo Subianto kemudian menerbitkan Keputusan Presiden tentang abolisi pada 1 Agustus 2025 yang menghentikan seluruh proses hukum terhadap Tom.
    Ia pun langsung dibebaskan dari Rutan Cipinang, Jakarta Timur, pada malam hari itu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Muzani sebut pemberian abolisi-amnesti telah lewat pertimbangan matang

    Muzani sebut pemberian abolisi-amnesti telah lewat pertimbangan matang

    Jakarta (ANTARA) – Ketua MPR RI Ahmad Muzani mengatakan keputusan pemberian abolisi kepada terpidana kasus importasi gula Tom Lembong dan pemberian amnesti kepada terpidana kasus suap Hasto Kristiyanto oleh Presiden RI Prabowo Subianto, telah melalui pertimbangan matang.

    “Saya kira Presiden telah melalui pertimbangan yang matang tentang hal itu,” kata dia saat ditemui di Gedung MPR RI, Jakarta, Minggu.

    Muzani mengatakan, pemberian abolisi dan amnesti merupakan hak prerogatif Presiden Prabowo sebagaimana yang telah diatur dalam UUD 1945.

    Dirinya pun menyambut baik adanya keputusan pemberian abolisi dan amnesti sebagai upaya untuk menjaga kerukunan dan persatuan.

    “Saya kira kita sambut baik sebagai bagian dari upaya untuk meneguhkan persatuan, kebersamaan, dan kegotongroyongan,” ucapnya.

    Sebelumnya, Kamis (31/7), DPR RI memberikan persetujuan permohonan pemberian abolisi terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015–2016.

    DPR RI juga memberikan persetujuan permohonan pemberian amnesti terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai terpidana kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) untuk anggota DPR Harun Masiku dan perintangan penyidikan.

    Tom Lembong divonis empat tahun dan enam bulan penjara dalam kasus korupsi importasi gula, sedangkan Hasto Kristiyanto divonis tiga tahun dan enam bulan karena terbukti terlibat dalam pemberian suap terkait dengan penggantian antar-waktu Harun Masiku.

    Pada Jumat (1/8) malam, Tom Lembong resmi dibebaskan dari Rutan Cipinang, Jakarta Timur. Sementara itu, Hasto Kristiyanto resmi dibebaskan dari Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Pewarta: Nadia Putri Rahmani
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Soal Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong dari Prabowo, MPR: Itu Hak Prerogatif Presiden

    Soal Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong dari Prabowo, MPR: Itu Hak Prerogatif Presiden

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Ahmad Muzani menyebut pemberian amnesti dan abolisi yang dilakukan Presiden RI Prabowo Subianto adalah hak prerogatif yang dijamin UUD 1945.

    Muzani berkata demikian kala merespons soal Prabowo yang memberikan amnesti kepada Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.

    “Ya itu adalah hak prerogatif presiden seperti yang dijamin UUD 1945 sebagai Kepala Negara,” tuturnya di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (3/8/2025).

    Muzani yakin bahwa Prabowo pastinya memiliki pertimbangan yang matang untuk memberikan amnesti ke Hasto dan abolisi ke Tom Lembong. MPR, katanya, menyambut baik keputusan Prabowo itu.

    “Saya kira presiden telah melalui pertimbangan yang matang tentang hal itu, dan ini saya kira kita sambut baik sebagai bagian dari upaya untuk meneguhkan, persatuan, kebersamaan, dan kegotongroyongan,” ucap dia.

    Sementara itu di sisi DPR, Ketua Komisi III Habiburokhman menilai keputusan Prabowo adalah hal yang tepat. Menurutnya juga, keputusan itu sudah sesuai dengan konstitusi dan hukum yang ada di Indonesia.

    Selain itu, legislator Gerindra ini menegaskan bahwa Prabowo tidak mengintervensi aparat penegak hukum dalam pemberian amnesti dan abolisi. Prabowo dianggap menyelesaikan persoalan hukum dan politik dengan cara konstitusional. 

    “Terkait kasus Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, kami memaknai bahwa Presiden Prabowo sama sekali tidak mengintervensi kerja aparat penegak hukum, tetapi mengambil alih penyelesaian persoalan hukum maupun politik dengan cara konstitusional,” katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (2/8/2025).

  • Amnesti, Abolisi, dan Tebang Pilih Hukum
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 Agustus 2025

    Amnesti, Abolisi, dan Tebang Pilih Hukum Nasional 3 Agustus 2025

    Amnesti, Abolisi, dan Tebang Pilih Hukum
    Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024, Gubernur DKI Jakarta (2017), Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) dan Walikota Blitar (2000-2010). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Periode 2024-2029.
    DALAM
    panggung sejarah kekuasaan, keputusan politik kerap menjadi penentu arah nasib individu, bahkan bangsa.
    Ketika Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, publik terbelah antara lega dan gusar, antara optimisme dan skeptisisme.
    Di satu sisi, tindakan ini dibaca sebagai bentuk keberanian politik untuk memutus lingkaran balas dendam kekuasaan. Di sisi lain, keputusan ini diselubungi tanda tanya: mengapa mereka yang terkena hukuman? Mengapa bukan yang lain?
    Amnesti dan abolisi bukan sekadar tindakan administratif, melainkan simbol kebijakan negara dalam memaknai keadilan.
    Dalam pengertian hukum positif, amnesti adalah pengampunan yang diberikan kepada individu atau kelompok atas tindakan pidana tertentu, biasanya bermuatan politik, yang menghapuskan segala akibat hukum.
    Abolisi, sebaliknya, adalah penghapusan proses hukum terhadap seseorang dan diberikan atas dasar pertimbangan politik tertentu.
    Keduanya diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi.
    Dalam kasus Hasto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan yang terjerat tuduhan
    obstruction of justice
    dan suap dalam perkara Harun Masiku dengan vonis 3,5 tahun penjara; amnesti menjadi pilihan untuk memulihkan martabat seorang politikus yang dianggap menjadi korban kriminalisasi.
    Sementara itu, Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan (2015-2016) terdakwa kasus impor gula dengan vonis hukuman 4,5 tahun penjara, mendapat abolisi yang menghapus semua proses dan putusan hukum.
    Kedua tindakan ini, secara hukum sah, tapi secara moral dan politik memanggil renungan lebih dalam.
    Apresiasi atas amnesti dan abolisi tak boleh membutakan kita dari ketimpangan hukum yang telah lama menjadi borok tak tersembuhkan dalam demokrasi Indonesia.
    Ketika keputusan hakim tampak seperti salinan naskah kekuasaan, dan ketika tuntutan jaksa mencerminkan atmosfer politik ketimbang asas legalitas, maka kita sedang menyaksikan bagaimana keadilan kehilangan sakralitasnya.
    Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diam pada kasus-kasus korupsi yang nilainya jauh lebih besar, bahkan seukuran gajah?
    Mengapa kejaksaan lamban dalam mengusut skandal-skandal besar yang menguapkan triliunan rupiah uang rakyat?
    Di saat yang sama, aparat penegak hukum tampak sangat aktif ketika berhadapan dengan figur-figur yang berada di luar lingkar kekuasaan.
    Pola ini mengulangi siklus gelap dalam sejarah penegakan hukum di negeri ini: selektif, transaksional, dan sarat kepentingan.
    Buku Daniel S. Lev berjudul “Legal Evolution and Political Authority in Indonesia” (Equinox Publishing, 2000) menjadi titik awal refleksi penting.
    Lev menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak pernah menjadi entitas otonom, melainkan selalu dibentuk dan dibelokkan oleh agenda kekuasaan.
    Hal ini masih relevan hingga hari ini. Ketika figur seperti Hasto dan Tom Lembong dijerat atau dibebaskan berdasarkan kalkulasi politik, bukan semata prosedur hukum, maka jelas bahwa supremasi hukum masih menjadi ideal yang jauh dari kenyataan.
    Penegakan hukum di Indonesia semakin diragukan setelah KPK dilemahkan melalui revisi Undang-Undang No. 19 Tahun 2019. KPK yang dahulu independen dan progresif, kini berada di bawah kendali dewan pengawas yang berafiliasi dengan pemerintah.
    Hukum menjadi sunyi ketika pelakunya adalah kroni atau bagian dari sistem kekuasaan. Padahal, dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jelas bahwa setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok wajib dihukum berat.
    Namun, teks hukum kehilangan makna jika aparatnya tunduk pada perintah kekuasaan.
    Hal ini dipertegas oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan” (Kompas, 2008), bahwa hukum di Indonesia terlalu kaku pada prosedur tetapi gagal pada substansi keadilan.
    Ia menyerukan agar aparat hukum lebih berpihak kepada nilai keadilan sosial daripada sekadar teks hukum.
    Dalam konteks Prabowo, pemberian amnesti dan abolisi bisa dibaca sebagai upaya koreksi terhadap praktik hukum yang telah kehilangan arah moral.
    Sebastian Pompe (2012) juga mencatat bahwa hukum di Indonesia sangat rentan digunakan sebagai alat politik.
    Dari Mahkamah Konstitusi hingga Mahkamah Agung, Pompe menunjukkan bahwa tekanan kekuasaan menjadi bagian inheren dalam pengambilan keputusan.
    Dengan itu, maka yang dibutuhkan bukan hanya pemimpin yang berani memberikan pengampunan, tetapi sistem hukum yang berani berdiri sendiri.
    Apa arti keadilan dalam sistem hukum yang telah dibajak oleh logika kekuasaan? Ketika hukum tidak memberi perlindungan kepada yang lemah, dan justru menjadi senjata untuk menundukkan lawan politik, maka legitimasi hukum pun runtuh.
    Rakyat melihat bahwa keadilan hanyalah milik mereka yang dekat dengan kekuasaan, dan hukum adalah panggung sandiwara tanpa penonton yang percaya.
    Keputusan Presiden Prabowo memberikan amnesti dan abolisi dapat dipandang sebagai gestur moral yang melampaui prosedur teknis hukum.
    Namun, hal ini tak cukup jika tidak diikuti reformasi institusional. KPK harus dikembalikan kepada independensinya.
    Jaksa Agung harus benar-benar bebas dari kendali partai politik. Hakim harus memperoleh jaminan keamanan politik dan kesejahteraan agar tidak mudah dibeli atau ditekan. Dan yang terpenting, semua proses hukum harus terbuka untuk diawasi rakyat.
    Konstitusi memberikan ruang untuk koreksi politik terhadap kesewenang-wenangan hukum, sebagaimana Pasal 14 UUD 1945 yang menjadi dasar pemberian amnesti dan abolisi.
    Namun, koreksi itu tidak boleh menjadi pengganti dari sistem hukum yang rusak. Ia hanya boleh menjadi intervensi moral ketika hukum telah dibajak oleh tirani prosedural.
    Di sinilah refleksi penting kita: bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tidak gagal karena kekurangan undang-undang, melainkan karena lemahnya komitmen politik dan keberanian moral para penyelenggara negara.
    Hukum dipakai bukan untuk membangun keadilan, tetapi untuk mempertahankan kekuasaan dan mengamankan jejaring ekonomi politik para elite. Inilah yang melahirkan krisis sistem penegakan hukum kita.
    Apresiasi terhadap keputusan Presiden Prabowo mesti diikuti oleh dorongan publik untuk terus memperjuangkan sistem hukum yang rasional, independen, dan berpihak kepada rakyat.
    Jika tidak, maka amnesti dan abolisi hanya akan dipahami sebagai strategi kompromi politik, bukan jalan menuju keadilan sejati.
    Dan selama hukum masih berpihak pada mereka yang kuat, bukan pada kebenaran, maka keadilan akan tetap menjadi angan yang dituliskan dalam pasal-pasal undang-undang, tetapi tak pernah benar-benar hidup dalam kenyataan.
    Hal ini tentu bertentangan dengan sifat dasar Indonesia yang merupakan negara hukum, bukan negara kekuasaan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tom Lembong Korban Peradilan Sesat, Wajar Terima Abolisi

    Tom Lembong Korban Peradilan Sesat, Wajar Terima Abolisi

    GELORA.CO -Keputusan Presiden (Keppres) Prabowo Subianto soal pemberian abolisi Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong sangat wajar.

    “Karena Tom Lembong korban peradilan sesat,” kata Presidium Forum Alumni Kampus Seluruh Indonesia (Aksi) Nurmadi H. Sumarta kepada RMOL, Minggu 3 Agustus 2025.

    “Filsafat hukum berbunyi, jika lembaga pengadilan tidak mampu memutuskan perkara secara benar (ontologis, epistemologis, dan axiologis), maka kebenaran yang berkeadilan akan menemukan sendiri jalannya dalam kehidupan masyarakat,” sambungnya.

    Apabila melihat dan mencermati jalannya persidangan, bukti dan saksi atas Tom Lembong, menurut Nurmadi, publik bisa menilai putusan sesat peradilan. 

    “Sudah semestinya Tom Lembong diputus bebas,” kata Nurmadi.

    Kata Nurmadi, publik sudah mengenal Tom Lembong atas profesionalisme, dedikasi, loyalitas dan integritas saat menjabat. 

    “Bahkan Tom terbukti tidak memperkaya diri dan keluarga. Tom tanpa bukti cukup saat ditetapkan tersangka,” kata Nurmadi.

    Dalam persidangan, lanjut Nurmadi, juga tidak ditemukan kerugian negara. Namun dicari-cari bukti, kemudian BPKP dengan perhitungan dan dasar yang salah hitung. 

    “Sedangkan Menteri Perdagangan lain yang impornya lebih besar sama sekali bebas tuntutan,” kata Nurmadi.

    Publik dan pengamat banyak yang meyakini kasus Tom Lembong bersifat kriminalisasi. Sampai setiap sidang banyak dukungan dari emak-emak, simpatisan dan para pejuang kebenaran demi tegaknya hukum. 

    Dengan putusan peradilan sesat tersebut, adanya abolisi merupakan langkah tepat untuk koreksi peradilan dan sudah semestinya. 

    “Berarti ada pengakuan secara politik dan hukum, nama Tom Lembong tidak bersalah dan dipulihkan,” kata Nurmadi.