Bisnis.com, SURABAYA — Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Otto Hasibuan angkat suara mengenai desakan Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada Presiden Prabowo Subianto untuk tidak mengintervensi putusan pengadilan tindak pidana korupsi karena dikhawatirkan dapat merusak tatanan sistem peradilan pidana.
Otto menegaskan bahwa pernyataan ICW tersebut tidaklah tepat karena presiden memiliki hak prerogatif yang telah diatur dalam undang-undang dasar. Menurutnya, presiden memiliki kewenangan untuk menggunakan hak prerogatif tersebut, termasuk dalam melakukan rehabilitasi, yang telah diamanatkan konstitusi.
“Ada suatu rehabilitasi yang dilakukan secara yuridis, tetapi kalau soal hak apa untuk memberikan rehabilitasi itu adalah kewenangan yang dimiliki oleh presiden yang diberikan oleh konstitusi, khususnya dalam pasal 14 undang-undang dasar,” ucap Otto kepada Bisnis usai diskusi publik dan penyampaian aspirasi agenda reformasi kepolisian di Universitas Airlangga, Surabaya, Kamis (27/11/2025).
Otto juga menuding bahwa pernyataan ICW yang menyebutkan hak prerogatif tersebut dapat berpotensi mengacaukan sistem peradilan pidana, bersifat terlalu subjektif. Ia menegaskan kembali bahwa hak prerogatif tersebut melekat pada diri presiden, sebagaimana telah diamanatkan oleh undang-undang dasar.
“Jadi, bagaimana kita bisa mengatakan seorang presiden itu merusak tatanan hukum karena dia melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar, kan enggak mungkin. Jadi, itu saya kira pendapat yang terlalu subjektif ya,” tegasnya.
Otto yang juga dikenal sebagai pengacara kondang ini menyatakan bahwa hak prerogatif yang dijalankan presiden terhadap peradilan tindak pidana korupsi tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk kepentingan umum. Maka, pemberian rehabilitasi, abolisi, ataupun amnesti seyogyanya sah di mata hukum karena berlandaskan konstitusi negara.
“Percayalah, bahwa presiden menggunakan kewenangannya itu dengan sebaik-baiknya dan pasti untuk kepentingan umum dan kepentingan yang lebih besar. Begitu kira-kira. [Hak prerogatif presiden] sah karena dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, ICW mendesak Presiden Prabowo Subianto tidak mengintervensi hasil putusan pengadilan tindak pidana korupsi.
Hal ini buntut dari pemberian rehabilitasi bagi Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry tahun 2017–2024 Ira Puspadewi, Direktur Komersial dan Pelayaran tahun 2019–2024 Muhammad Yusuf Hadi, dan Direktur Perencanaan dan Pengembangan tahun 2020–2024 Harry Muhammad Adhi Caksono.
Mereka sebelumnya dinyatakan bersalah korupsi oleh pengadilan Tipikor dalam kasus akuisisi kapal PT Jembatan Nusantara oleh PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP). Terlebih, sebelumnya Prabowo juga memberikan abolisi bagi Thomas Trikasih Lembong dan amnesti bagi Hasto Kristiyanto. ICW menilai, intervensi presiden memperlemah putusan pengadilan.
“Intervensi Presiden terhadap putusan pengadilan merupakan bentuk pelemahan terhadap lembaga yudikatif dan pengabaian terhadap prinsip pemisahan cabang kekuasaan. Terlebih, kasus ini masih belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap,” tulis ICW melalui laman resminya, Kamis (27/11/2025).
Apalagi pemberian rehabilitasi sebelum putusan berstatus tetap atau inkrah. Diketahui, Ira dijatuhi vonis pada 20 November 2025 dan diberikan waktu tujuh hari untuk mengajukan banding yang dalam hal ini tenggat waktu sampai 27 November 2025.
Menurut, ICW lembaga yudikatif harus bersifat transparan dan independen, serta bebas dari intervensi politik. Pemberian rehabilitasi maupun amnesti tanpa pertimbangan yang jelas dapat mencederai prinsip tersebut.
“Dalam institusi peradilan seharusnya Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung diposisikan sebagai ruang koreksi yuridis untuk menguji ketepatan pertimbangan hukum pengadilan yang berada di bawahnya,” lanjut rilis tersebut.
ICW khawatir pemberian rehabilitasi maupun amnesti dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi dengan membangun narasi-narasi belas kasih sehingga memperoleh hak prerogatif presiden.
Selain itu, mudahnya menggunakan hak prerogatif berpotensi mengacaukan sistem peradilan pidana yang patutnya bersifat objektif.
Selain menuntut batasan pemberian rehabilitasi hingga amnesti, ICW juga mendesak DPR segera mengatur pemberian hak prerogatif presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.



/data/photo/2025/11/20/691eb975deb0d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/10/14/68edd920b925e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/13/6915d0cc8a39a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

/data/photo/2025/08/01/688cb3806b389.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/09/26/68d6607165774.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)