Tag: Thomas Djamaluddin

  • Profesor BRIN Blak-blakan soal Jatuhnya Meteor & Bola Api di Laut Jawa

    Profesor BRIN Blak-blakan soal Jatuhnya Meteor & Bola Api di Laut Jawa

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan dentuman dan visual bola api yang disaksikan warga di sekitar Cirebon, Jawa Barat disebabkan jatuhnya meteor besar di Laut Jawa.

    “Saya menyimpulkan itu adalah meteor cukup besar yang melintas,” kata Profesor astronomi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin dilansir dari Antara, Senin (6/10/2025). 

    Menurutnya, meteor tersebut jatuh di wilayah Laut Jawa, setelah sebelumnya melintasi wilayah Kabupaten Kuningan dan Cirebon dari arah barat daya sekitar, Minggu (5/10), pukul 18.35-18.39 WIB.

    Suara dentuman yang besar, ujar dia, dihasilkan oleh proses masuknya meteor ke wilayah dengan atmosfer yang lebih rendah.

    “Ketika memasuki atmosfer yang lebih rendah, [maka] menimbulkan gelombang kejut berupa suara dentuman dan terdeteksi oleh BMKG Cirebon pukul 18.39.12 WIB,” katanya.

    Thomas juga menyebut dentuman dan cahaya yang disaksikan oleh masyarakat tidak menimbulkan bahaya apapun.

    Fenomena tersebut terlihat warga pada Minggu (5/10), sekitar pukul 18.30 WIB di beberapa kecamatan di Cirebon bagian timur, terutama di kawasan Lemahabang.

    Sensor seismik milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan kode ACJM mendeteksi adanya getaran yang signifikan pada pukul 18.39 WIB

    Di samping itu, terdapat pula kesaksian berupa bola api yang meluncur disertai rekaman kamera pengawas pada pukul 18.35 WIB. Sejumlah warga melaporkan melihat bola api melintas cepat sebelum menghilang di kejauhan serta mendengar suara dentuman keras.

  • Fenomena Gerhana Bulan Total Terlama di RI, Ini Penjelasan BRIN

    Fenomena Gerhana Bulan Total Terlama di RI, Ini Penjelasan BRIN

    Jakarta, CNBC Indonesia – Fenomena Gerhana Bulan Total yang menghiasi langit Indonesia pada 7-8 September 2025 merupakan peristiwa astronomi langka. Banyak yang menyebutnya sebagai ‘Blood Moon’ alias Bulan Merah Darah.

    Fenomena ini terjadi ketika Bumi tepat sejajar di antara Matahari dan Bulan saat purnama. Alhasil, bayangan Bumi sepenuhnya menutupi permukaan purnama dan memunculkan rona merah yang dramatis.

    Dalam laman resminya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan femonena Gerhana Bulan Total yang baru terjadi berlangsung sekitar 82 menit menurut data ilmiah. Hal ini menandai durasi Gerhana Bulan Total terlama dalam dekade ini.

    Menurut Peneliti Utama BRIN bidang Astronomi dan Astrofisika, Prof. Thomas Djamaluddin, menjelaskan bahwa fenomena Bulan Merah Darah disebabkan pembiasan cahaya Matahari melalui atmosfer Bumi, yang menyaring cahaya biru dan memungkinkan gelombang merah yang lebih panjang membias ke Bulan.

    “Alih-alih menjadi gelap saat Gerhana Bulan Total, purnama berubah warna menjadi memerah,” Thomas menjelaskan, dikutip dari BRIN, Senin (8/9/2025).

    “Hanya cahaya merah yang mencapai Bulan karena warna lain telah dihamburkan oleh atmosfer Bumi,” ia menambahkan.

    Gerhana tersebut dapat disaksikan secara langsung dari seluruh wilayah Indonesia. Thomas juga menyinggung soal fenomena tersebut yang bisa diamati tanpa alat bantu.

    “Gerhana ini bisa terlihat tanpa bantuan alat, hanya dengan mata telanjang kita sudah bisa menikmatinya. Tentu saja bila ada teleskop dan kamera akan lebih baik lagi untuk mengabadikannya,” ia menuturkan.

    Adapun fenomena Gerhana Bulan Total ini terbagi menjadi beberapa fase. Pertama, fase penumbral yang merupakan bayangan lembut dan tidak tampak jelas.

    Selanjutnya diikuti Gerhana sebagian, dan Gerhana Total. Lalu kembali ke fase Gerhana sebagian dan penumbral. Setiap tahapan menawarkan nuansa visual yang berbeda dan sangat memukau bagi pengamat langit.

    Selain keindahan visual, Gerhana Bulan Total juga memiliki dimensi edukatif. Thomas mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai bahan belajar astronomi. Keteraturan orbit Bulan mengitari Bumi dan Bumi bersama Bulan mengitari Matahari yang memungkinkan prakiraan waktu kejadian gerhana.

    “Ini bukan sekadar tontonan, tetapi momentum untuk mengenal mekanika benda langit, orbit Bulan, dan konfigurasi Bumi-Matahari-Bulan,” tuturnya.

    Selain itu, kelengkungan bayangan Bumi di Bulan membuktikan Bumi yg bulat. Bukan datar. Sejumlah daerah di Asia, Australia, Afrika, dan Eropa menyaksikan Gerhana Bulan Total ini.

    Hanya Indonesia dan negara-negara di Asia tenggara dan timur yang dapat menyasikan secara penuh rangkaian Gerhana Bulan Total. Lainnya hanya menyaksikan Gerhana Bulan Total saat proses awal atau proses akhir. Sementara benua Amerika tidak dapat mengamatinya karena di benua Amerika saat itu siang hari.

    Dengan keindahan visual sekaligus kekayaan ilmiah yang dimilikinya, Gerhana Bulan Total 2025 adalah ajakan bagi masyarakat untuk melihat langit bukan sekadar untuk dilihat, tapi juga untuk dipahami.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Menyaksikan “blood moon” dari langit Jakarta

    Menyaksikan “blood moon” dari langit Jakarta

    Jakarta (ANTARA) – Langit Jakarta, utamanya kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM), pada Minggu (7/9) malam hingga Senin (8/9) dini hari, cerah seperti prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

    Kondisi ini disambut gembira oleh para pemburu panorama gerhana bulan merah darah (blood moon). Mereka bisa menikmati fenomena gerhana bulan total dari berbagai penjuru kota, bahkan di wilayah penyangga Jakarta.

    Irena (25) asal Bogor, Jawa Barat, misalnya. Dia menatap langit dengan wajah semringah. Ada harapan blood moon dapat terpotret cantik melalui lensa kamera yang dia bawa.

    Selain Irena, masih ada ratusan orang lainnya yang ikut meramaikan kegiatan “Piknik Malam Bersama Gerhana Bulan Total 2025” yang diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Awalnya, peserta dibatasi hanya 300 orang saja. Namun karena peminat yang membeludak, maka dibuka kembali pendaftaran dengan kuota lebih banyak.

    Tikar hingga tenda pun berjejer di bagian depan Teater Jakarta, TIM. Anak-anak hingga dewasa duduk berkumpul untuk mengamati kejadian alam mahakarya Sang Pencipta.

    Cuaca cerah memungkinkan pengamatan gerhana bulan sepanjang malam dapat dilakukan dengan mata telanjang tanpa teleskop, demikian diungkapkan para pakar termasuk Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin serta Ketua Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ), Muhammad Rezky.

    Jenis ponsel tertentu dapat memotret proses gerhana bulan dengan jelas. Namun, untuk melihat lebih jelas kondisi bulan beserta fitur-fitur permukaannya, maka teleskop tetap dibutuhkan.

    Kepala Sub Bagian Tata Usaha melalui Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (UP PKJ TIM), Eko Wibowo menyediakan delapan teleskop untuk digunakan secara bergantian oleh ratusan orang yang hadir malam itu.

    Dia mencatat, penyelenggara acara membuka kuota untuk sekitar 2.000 orang pendaftar dan semuanya terisi penuh.

    Sebagian orang bahkan bisa memasuki Planetarium, sementara sisanya menunggu gerhana bulan total sembari mendengarkan penjelasan pakar astronomi dari Tim Falakiyah Kementerian Agama, Cecep Nurwendaya.

    Masyarakat mengamati fase gerhana bulan di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat pada Minggu (7/9/2025) malam hingga Senin (8/9/2025) dini hari. (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)Peserta kegiatan “Piknik Malam Bersama Gerhana Bulan Total 2025” mengamati fase gerhana bulan di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat pada Minggu (7/9/2025) malam hingga Senin (8/9/2025) dini hari. (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)

    Fenomena gerhana bulan total terjadi ketika bulan berada di balik bayangan bumi. Bayangan ini dihasilkan cahaya matahari, sehingga saat bulan mulai masuk ke area bayangan, maka cahaya yang diterima, yang dipantulkan bulan dari matahari akan mulai berkurang secara perlahan.

    Proses ini dimulai sekitar pukul 22.28 WIB, atau disebut gerhana penumbra. Saat itu, bulan tampak mulai sedikit meredup namun masih tampak bulat.

    Lalu, sekitar pukul 23.27 WIB, gerhana parsial dimulai. Di sini ada perbedaan kontras. Warna bulan masih hitam dan putih. Warna bulan bisa sampai 500 kali lebih gelap daripada biasanya sehingga tampak sangat gelap. Fase ini semakin menguatkan pendapat bahwa bumi itu bulan

    Selanjutnya, pukul 00.31 WIB, awal fase gerhana bulan total dimulai, ditandai bulan mulai terlihat seperti bulan sabit.

    Pada fase ini sudah muncul warna merah pada bulan, namun tidak benar-benar tampak seperti blood moon karena ada pengaruh awan tipis.

    Menurut Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, warna merah muncul karena ada cahaya merah yang dibiaskan bumi dan mengenai bulan.

    Karenanya, bulan tampak merah darah dan inilah sebabnya fenomena gerhana bulan total yang dilihat malam hari ini hingga dini hari berwarna merah darah atau blood moon.

    Fenomena gerhana bulan menarik untuk diamati. Kelengkungan bayangan bumi saat gerhana sebagian membuktikan bentuk bumi yang bulat.

    Puncak gerhana bulan total terjadi sekitar pukul 01.11 WIB. Saat itu, cahaya tidak betul-betul merata, dengan warna merah yang tampak tidak terlalu tajam.

    Sementara Cecep menambahkan, hal ini disebabkan kemampuan mata manusia dan ada awan tipis merata sebagai filter bulan yang sedang mengalami gerhana total.

    Lalu, pukul 01.54 WIB, merupakan akhir gerhana bulan total dan memasuki gerhana bulan parsial, ditandai langit sudah mulai cerah dan awan tipis semakin memudar.

    Sekitar pukul 02.56 WIB, gerhana parsial berakhir, dan hampir satu jam kemudian gerhana penumbra berakhir.

    Durasi seluruh proses gerhana berlangsung sekitar 5 jam 29 menit, sementara durasi totalitas gerhana bulan total berlangsung sekitar 1 jam 23 menit.

    Berbeda dengan gerhana matahari, fase gerhana bulan berlangsung lebih lama sehingga lebih leluasa untuk diamati dan dinikmati. Gerhana matahari pada tahun 2016 misalnya, totalitasnya hanya terjadi beberapa menit saja.

    Warga Jakarta dan mereka yang berada di Ibu Kota beruntung karena dapat menyaksikan gerhana bulan sejak awal hingga akhir. Negara di Eropa dan Afrika hanya dapat menyaksikan sebagian fase gerhana saja. Begitu juga dengan Jepang yang hanya dapat melihat gerhana di awal.

    Sementara negara di Amerika selain dari pantai timur Brasil dan Alaska, bahkan tidak melihat gerhana sama sekali.

    “Jadi untuk kali ini bisa dibilang giliran kita (Jakarta) yang bisa merasakan gerhana dari awal sampai akhir,” kata Rezky yang lulusan astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB).

    Adapun fenomena gerhana bulan total yang bisa disaksikan fase-fasenya secara utuh seperti 7-8 September ini diperkirakan akan terjadi kembali pada 31 Desember 2027.

    Sedangkan pada 3 Maret 2026, wilayah Indonesia diperkirakan hanya bisa melihat bagian akhir gerhana, yakni saat gerhana bulan total sudah terjadi.

    Editor: Slamet Hadi Purnomo
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Besok Ada Gerhana Bulan Total, Catat Jadwalnya

    Besok Ada Gerhana Bulan Total, Catat Jadwalnya

    Jakarta, CNBC Indonesia Fenomena Gerhana Bulan Total atau yang dikenal dengan sebutan Blood Moon diperkirakan akan menghiasi langit pada 7 hingga 8 September 2025. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan, masyarakat di seluruh wilayah Indonesia berkesempatan menyaksikan langsung peristiwa langit langka tersebut.

    Gerhana diperkirakan mulai terjadi pukul 23.27 WIB dan akan berlangsung hingga 02.56 WIB. Rinciannya adalah sebagai berikut:

    23.27 WIB – Awal gerhana sebagian

    00.31 WIB – Awal gerhana total

    01.53 WIB – Akhir gerhana total

    02.56 WIB – Akhir gerhana sebagian.

    Bukti Bumi Bulat

    BRIN menjelaskan, gerhana bulan terjadi saat Bumi berada sejajar dengan Matahari dan Bulan,. Namun tidak setiap purnama terjadi gerhana, karena orbit bulan miring terhadap bidang orbit Bumi mengelilingi Matahari. Pada saat gerhana, bulan memasuki bayangan Bumi sehingga purnama tampak gelap.

    Saat memasuki bayangan penuh Bumi, fenomena ini disebut Gerhana Bulan Total. Kemudian bayangan Bumi mulai meninggalkan purnama, kembali ke fase gerhana sebagai yang menandai proses akhir gerhana.

    Menariknya, purnama tidak akan tampak gelap total. Ada cahaya merah yang dibiaskan atmosfer Bumi sehingga Bulan tampak berwarna merah darah. Karena itu, fenomena ini juga disebut “Blood Moon”.

    Prof. Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika BRIN mengatakan, gerhana bulan penting diamati karena kelengkungan bayangan Bumi saat gerhana membuktikan bentuk Bumi yang bulat.

    “Gerhana bulan menarik untuk diamati. Kelengkungan bayangan bumi saat gerhana sebagian membuktikan bentuk bumi yang bulat,” ujar Thomas.

    Pengamatan gerhana bisa dilakukan dengan mata telanjang tanpa teleskop. Bahkan, beberapa jenis ponsel dapat merekam proses gerhana dengan jelas.

    BRIN memastikan gerhana bulan total berikutnya setelah peristiwa ini akan terjadi pada 3 Maret 2026, meski wilayah Indonesia hanya bisa menyaksikan bagian akhir gerhana.

    Sementara menurut informasi dari BMKG, pengamatan gerhana bulan total dapat disaksikan untuk umum di Stasiun Meteorologi Komodo Labuan Bajo, Manggarai Barat. Selain itu ada di Lapangan dr. Murdhani, Banjarbaru pada 7 Sepmber 2025 pukul 19.00-21.30WIB.

    Masyarakat juga bisa memantau dari live streaming melalui ink beriktu https://gerhana.bmkg.go.id

    (hsy/hsy)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Hore! Gerhana Bulan Total Bisa Disaksikan di Seluruh Langit Sultra, Cek Jadwalnya

    Hore! Gerhana Bulan Total Bisa Disaksikan di Seluruh Langit Sultra, Cek Jadwalnya

    Fenomena gerhana bulan berwarna merah darah atau blood moond diprediksi terjadi pada Minggu (07/09/2025), mulai pukul 23.27 WIB hingga 8 September 2025 pukul 02.56 WIB.

    “Ketika seluruh purnama masuk dalam bayangan bumi, itulah yang disebut gerhana bulan total. Kemudian bayangan bumi mulai meninggalkan purnama, kembali ke fase gerhana sebagian yang menandai proses akhir gerhana,” kata Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin.

     Thomas melanjutkan, saat gerhana bulan total, purnama tidak gelap total. Ada cahaya merah yang dibiaskan atmosfer bumi yang mengenai bulan sehingga bulan tampak merah darah.

    “Itu sebabnya gerhana bulan total sering disebut blood moon (bulan merah darah),” paparnya.Thomas mengungkapkan gerhana bulan total yang terjadi pada 7-8 September 2025 dapat disaksikan di seluruh wilayah Indonesia. Fenomena ini berlangsung dari pukul 23.27 sampai 02.56 WIB, dengan rincian:

    23.27 WIB – Awal gerhana sebagian

    00.31 WIB – Awal gerhana total

    01.53 WIB – Akhir gerhana total

    02.56 WIB – Akhir gerhana sebagian.

    Adapun gerhana bulan total berikutnya akan terjadi pada 3 Maret 2026. Tetapi wilayah Indonesia hanya bisa melihat bagian akhir gerhana. Saat purnama terbit, gerhana bulan total sudah terjadi.

    Sementara, pengamatan gerhana bulan bisa dilakukan dengan mata telanjang tanpa teleskop. Jenis ponsel tertentu dapat memotret proses gerhana bulan dengan jelas.

    “Gerhana bulan menarik untuk diamati. Kelengkungan bayangan bumi saat gerhana sebagian membuktikan bentuk bumi yang bulat,” tutur Thomas Djamaluddin.

  • Jadwal Gerhana Bulan Total Malam Ini, Cek Waktu Puncaknya

    Jadwal Gerhana Bulan Total Malam Ini, Cek Waktu Puncaknya

    Bisnis.com, JAKARTA – Penampakan gerhana bulan total alias Blood Moon akan terlihat pada 7-8 September 2025. Fenomena ini dapat disaksikan di langit Indonesia dengan mata telanjang alias tanpa teleskop.

    Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan bahwa gerhana bulan terjadi saat purnama, ketika matahari, bumi dan bulan berada dalam satu garis lurus.

    “Gerhana bulan menarik untuk diamati. Kelengkungan bayangan bumi saat gerhana sebagian membuktikan bentuk bumi yang bulat,” ujar Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Pusat Riset Antariksa BRIN, Thomas Djamaluddin melalui akun Instagram @brin_indonesia dikutip Minggu (7/9/2025).

    Namun, tidak setiap purnama terjadi gerhana, karena orbit bulan miring terhadap bidang orbit bumi mengelilingi matahari. Pada saat gerhana, bulan memasuki bayangan bumi sehingga purnama tampak gelap.

    Saat bulan memasuki bayangan bumi, dimulai fase gerhana sebagian. Ketika seluruh purnama masuk dalam bayangan bumi, itulah yang disebut gerhana bulan total. 

    Kemudian, bayangan bumi mulai meninggalkan purnama, kembali ke fase gerhana sebagian yang menandai proses akhir gerhana.

    Adapun, saat gerhana bulan total, purnama tidak gelap total. Ada cahaya merah yang mengenai bulan sehingga bulan tampak merah darah. Itulah sebabnya, gerhana bulan total sering disebut Blood Moon atau bulan merah darah.

    Gerhana bulan total berikutnya akan terjadi pada 3 Maret 2026. Namun, wilayah Indonesia hanya bisa melihat bagian akhir gerhana. Saat purnama terbit, gerhana bulan total sudah terjadi.

    Selain bisa dilihat dengan mata telanjang alias tanpa bantuan teleskop, jenis ponsel tertentu juga dapat memotret fenomena gerhana bulan dengan jelas.

    Perlu dicatat, gerhana bulan total yang terjadi pada 7-8 September 2025 dapat disaksikan di seluruh wilayah Indonesia, mulai pukul 23.27 WIB hingga 02.56 WIB.

    Berikut Jadwal Penampakan Gerhana Bulan Total:

    -23.27 WIB: Awal gerhana sebagian

    -00:31 WIB: Awal gerhana total

    -01.53 WIB: Akhir gerhana total

    -02.56 WIB: Akhir gerhana sebagian

  • Gerhana Bulan Bukti Bumi Bulat, Ini Link Streaming-Jadwal 7 September

    Gerhana Bulan Bukti Bumi Bulat, Ini Link Streaming-Jadwal 7 September

    Jakarta, CNBC Indonesia – Fenomena langit Gerhana Bulan Total atau Blood Moon akan kembali terjadi pada 7-8 September 2025. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyampaikan bahwa peristiwa langit ini bisa diamati dari seluruh wilayah Indonesia.

    Gerhana akan berlangsung mulai pukul 23.27 WIB hingga 02.56 WIB, dengan rincian:

    23.27 WIB – Awal gerhana sebagian

    00.31 WIB – Awal gerhana total

    01.53 WIB – Akhir gerhana total

    02.56 WIB – Akhir gerhana sebagian.

    Bukti Bumi Bulat

    BRIN menjelaskan, gerhana bulan terjadi saat Bumi berada sejajar dengan Matahari dan Bulan,. Namun tidak setiap purnama terjadi gerhana, karena orbit bulan miring terhadap bidang orbit Bumi mengelilingi Matahari. Pada saat gerhana, bulan memasuki bayangan Bumi sehingga purnama tampak gelap.

    Saat memasuki bayangan penuh Bumi, fenomena ini disebut Gerhana Bulan Total. Kemudian bayangan Bumi mulai meninggalkan purnama, kembali ke fase gerhana sebagai yang menandai proses akhir gerhana.

    Menariknya, purnama tidak akan tampak gelap total. Ada cahaya merah yang dibiaskan atmosfer Bumi sehingga Bulan tampak berwarna merah darah. Karena itu, fenomena ini juga disebut “Blood Moon”.

    Prof. Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika BRIN mengatakan, gerhana bulan penting diamati karena kelengkungan bayangan Bumi saat gerhana membuktikan bentuk Bumi yang bulat.

    “Gerhana bulan menarik untuk diamati. Kelengkungan bayangan bumi saat gerhana sebagian membuktikan bentuk bumi yang bulat,” ujar Thomas.

    Pengamatan gerhana bisa dilakukan dengan mata telanjang tanpa teleskop. Bahkan, beberapa jenis ponsel dapat merekam proses gerhana dengan jelas.

    BRIN memastikan gerhana bulan total berikutnya setelah peristiwa ini akan terjadi pada 3 Maret 2026, meski wilayah Indonesia hanya bisa menyaksikan bagian akhir gerhana.

    Sementara menurut informasi dari BMKG, pengamatan gerhana bulan total dapat disaksikan untuk umum di Stasiun Meteorologi Komodo Labuan Bajo, Manggarai Barat. Selain itu ada di Lapangan dr. Murdhani, Banjarbaru pada 7 Sepmber 2025 pukul 19.00-21.30WIB.

    Masyarakat juga bisa memantau dari live streaming melalui ink beriktu https://gerhana.bmkg.go.id

    [Gambas:Instagram]

    (dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ada Gerhana Bulan Total 7 September di RI, Awas Banjir di Lokasi Ini

    Ada Gerhana Bulan Total 7 September di RI, Awas Banjir di Lokasi Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Fenomena langit bakal menyapa Indonesia akhir pekan ini. Pada 7 September 2025 malam, masyarakat Indonesia bakal bisa melihat Gerhana Bulan Total (GBT).

    Gerhana Bulan bisa diamati mulai pukul 23:27:02 WIB tanggal 7 September 2025 mendatang. Sementara fase total bakal terjadi antara tengah malam 8 September 2025.

    “GBT (Gerhana Bulan Total) bisa teramati di Indonesia pada 7 Sep 2025 malam sampai dini hari 8 Sep 2025, mulai pukul 23.27.02 WIB sampai pk 02.56.26 WIB,” kata Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin kepada CNBC Indonesia, Kamis (4/9/2025).

    “Fase total terjadi pukul 00.30.31 sampai 01.52.47,” dia menambahkan.

    Dia menjelaskan tidak perlu alat khusus untuk melihat Gerhana Bulan Total. Jadi masyarakat bisa mengamatinya secara langsung.

    GBT sendiri kerap disebut sebagai blood moon atau bulan merah darah. Ini karena Bulan menjadi gelap karena bayangan Bumi.

    “Gerhana bulan total (GBT) sering disebut sbg blood moon atau bulan merah darah. Hal tersebut terjadi karena bulan tergelapi bayangan bumi. Namun bulan tdk gelap total, karena ada pembiasan matahari oleh atmosfer bumi. Hanya cahaya merah yg diteruskan karena cahaya biru dihamburkan oleh atmosfer bumi,” jelasnya.

    Thomas mengatakan dampak fenomena ini sama seperti saat fase Bulan purnama, yakni bakal ada pasang maksimum air laut. Dampak tersebut bisa berpotensi menyebabkan banjir rob pada daerah pesisir.

    “Dampaknya sama dengan dampak purnama umumnya, yaitu pasang maksimum yang berpotensi banjir rob,” ungkap Thomas.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Viral Penampakan UFO di Langit Depok, Begini Penjelasan BRIN

    Viral Penampakan UFO di Langit Depok, Begini Penjelasan BRIN

    Jakarta, CNBC Indonesia – Profesor Riset Astronomi-Astrofisika di Pusat Riset Antariksa BRIN, Thomas Djamaluddin, menanggapi fenomena penampakan objek misterius di Depok, Jawa Barat.

    Banyak orang yang menduga objek misterius yang muncul di langit malam Depok tersebut tak lain adalah UFO. Thomas mengatakan belum bisa mengidentifikasi objek tersebut.

    “Dari laporan-laporan sebelumnya yang mirip di media, saya menduga itu suar (flare),” kata Thomas kepada CNBC Indonesia, Rabu (13/8/2025).

    Lebih lanjut, Thomas mengatakan sebenarnya istilah UFO (unidentified flying object) tak semata-mata berarti pesawat luar angkasa yang kerap dikaitkan dengan alien.

    “UFO mencakup semua benda terbang yang tidak dikenal, termasuk suar (flare), lampion, atau balon udara bercahaya yg tidak dikenal warga,” kata Thomas.

    “UFO dalam makna wahana makhluk luar Bumi (alien) tidak ada pada dunia nyata,” ia menegaskan.

    Sebagai informasi, sebelumnya jagat maya dihebohkan dengan video yang beredar di media sosial. Dalam video tersebut, tampak benda bulat berwarna biru yang melayang di langit area Pitara, Pancoran Mas, Depok.

    Objek bulat berwarna biru tersebut memancarkan cahaya putih. Cahaya tersebut tampak timbul tenggelam, sehingga memicu kecurigaan bahwa itu benda tak biasa. Peristiwa itu dilaporkan terjadi pada Senin (5/8) pukul 22.10 WIB malam.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • BRIN Bantah Heatwave Sebagai Penyebab Cuaca Panas di RI

    BRIN Bantah Heatwave Sebagai Penyebab Cuaca Panas di RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan cuaca panas ekstrem yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia bukanlah fenomena gelombang panas atau heatwave, melainkan hot spell. 

    Hal ini disampaikan oleh Peneliti Bidang Klimatologi dan Perubahan Iklim BRIN, Erma Yulihastin, berdasarkan hasil kajian selama satu dekade terakhir.

    “Kalau ditanya tentang heatwave di Indonesia, dari hasil BRIN, itu kami mendeteksi bukan heatwave, tapi namanya hot spell ya,” kata Erma saat dihubungi Bisnis pada Kamis (5/6/2025). 

    Dia menuturkan bahwa hot spell adalah kondisi suhu panas yang melampaui ambang batas ekstrem, namun belum memenuhi kriteria heatwave yang umumnya terjadi pada suhu di atas 40 derajat Celcius secara konsisten.

    Lebih lanjut, Erma menjelaskan bahwa fenomena hot spell berkaitan dengan posisi matahari terhadap ekuator. Wilayah Indonesia yang berada di garis ekuator akan mengalami suhu yang lebih panas dibandingkan yang jauh dari garis ekuator. 

    Sejumlah wilayah yang rentan mengalami kondisi ini antara lain Sumatra (seperti Pekanbaru, Riau, Jambi), serta beberapa kawasan di Pulau Jawa seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

    “Jadi wilayah yang terkena itu adalah yang di dekat ekuator, tetapi termasuk juga pantura yang ada di Jawa,” kata Erma.

    Data BRIN mencatat suhu di beberapa wilayah telah melampaui angka 37 derajat Celsius. Namun, kondisi tersebut belum mencapai ambang heatwave. Fenomena ini kerap terjadi pada Maret, April, Mei, September, Oktober, dan November. 

    Selain menjelaskan soal hot spell, Erma juga mengungkap tren kemarau basah yang terdeteksi secara reguler sejak 2018 hingga 2022. 

    Fenomena ini terjadi selama musim kemarau, terutama pada Mei hingga September, dan dipicu oleh anomali kelembaban serta gangguan atmosfer seperti pusaran siklonik di Samudera Hindia.

    “Soal kemarau basah sendiri sebenarnya sudah secara general atau reguler terjadi sejak tahun 2018 sampai 2022. Kami mendeteksi bahwa ada fenomena yang bisa memicu kondisi dari kemarau basah itu,” jelasnya.

    Erma menjelaskan bahwa selama periode 2018 hingga 2022, BRIN mendeteksi adanya anomali basah yang terjadi di Indonesia pada musim kemarau. 

    Dia menyebut gangguan cuaca berskala sinoptik berperan dalam mengubah karakter musim kemarau menjadi lebih basah dibandingkan kondisi normal.

    “Sehingga kemungkinannya kita akan menghadapi lebih sering kondisi basah pada musim kemarau itu lebih tinggi probabilitasnya dibanding dengan kondisi yang normal atau musim kemarau yang kering,” pungka Erma.

    Penjelasan BRIN ini sejalan dengan pernyataan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, yang menyebut cuaca panas saat ini merupakan bagian dari masa pancaroba, bukan gelombang panas.

    “Benar penjelasan BMKG. Suhu panas di Indonesia bukan karena heat wave. Saat masa pancaroba [April—Mei dan Oktober—November] suhu udara di banyak kota di Indonesia lebih tinggi daripada saat musim hujan [Desember—Maret] atau musim kemarau [Juni—September],” kata Thomas kepada Bisnis pada Selasa (3/6/2025).

    Thomas juga menyoroti dampak urban heat island yang menyebabkan suhu di kota-kota besar meningkat akibat emisi kendaraan, industri, dan aktivitas rumah tangga.

    “Efek pemanasan kota [urban heat island] akibat emisi karbon dioksida dari kendaraan bermotor, industri, dan kegiatan rumah tangga menyebabkan suhu udara di kota-kota besar makin tinggi, termasuk malam hari,” ujarnya.

    Sementara itu, BMKG memprediksi bahwa sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami kemarau basah tahun ini. 

    Sekitar 84% wilayah diperkirakan masih menerima curah hujan tinggi hingga puncak musim kemarau di Agustus 2025, didorong oleh suhu muka laut yang hangat, monsun aktif, serta pengaruh La Nina dan Indian Ocean Dipole (IOD) negatif.