Tag: Tedros Adhanom Ghebreyesus

  • WHO Peringatkan Wabah Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Vaksin Kembali Meningkat  – Halaman all

    WHO Peringatkan Wabah Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Vaksin Kembali Meningkat  – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA– Peningkatan wabah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin kini kembali mengancam. 

    Upaya imunisasi berada di bawah ancaman yang semakin besar karena misinformasi, pertumbuhan populasi, krisis kemanusiaan, dan pemotongan dana.

    Wabah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin seperti campak, meningitis, dan demam kuning meningkat di seluruh dunia.

    Penyakit seperti difteri, yang telah lama tertahan atau hampir menghilang di banyak negara, berisiko muncul kembali. 

    Sebagai tanggapan, lembaga-lembaga tersebut menyerukan perhatian dan investasi politik yang mendesak dan berkelanjutan untuk memperkuat program imunisasi.

    Seruan ini bertujuan untuk  melindungi kemajuan signifikan yang dicapai dalam mengurangi angka kematian anak selama 50 tahun terakhir.

    “Vaksin telah menyelamatkan lebih dari 150 juta jiwa selama lima dekade terakhir,” kata Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus pada keterangan resmi, Minggu (27/4/2024). 

    Menurutnya, pemotongan dana untuk kesehatan global telah membahayakan pencapaian yang telah susah payah dicapai selama ini. 

    Wabah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin meningkat di seluruh dunia.

    Kondisi ini sangat membahayakan nyawa dan membuat negara-negara menanggung biaya yang lebih besar dalam mengobati penyakit dan menanggapi wabah. 

    Menurutnya, negara-negara dengan sumber daya terbatas harus berinvestasi dalam intervensi yang berdampak paling tinggi. Salah satunya termasuk vaksin.

    *Meningkatnya wabah dan sistem kesehatan yang menegang*

    Campak kembali mewabah dengan sangat berbahaya. 

    Jumlah kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun sejak 2021, mengikuti penurunan cakupan imunisasi yang terjadi selama dan setelah pandemi COVID-19 di banyak komunitas. 

    Kasus campak diperkirakan mencapai 10,3 juta pada tahun 2023, meningkat 20 persen dibandingkan dengan tahun 2022.

    WHO memperingatkan bahwa tren peningkatan ini kemungkinan berlanjut hingga tahun 2024 dan 2025, karena wabah telah meningkat di seluruh dunia.

    Dalam 12 bulan terakhir, 138 negara telah melaporkan kasus campak, dengan 61 negara mengalami wabah besar atau mengganggu – jumlah tertinggi yang diamati dalam periode 12 bulan sejak 2019.

    Kasus meningitis di Afrika juga meningkat tajam pada tahun 2024, dan tren peningkatan ini terus berlanjut hingga tahun 2025. 

    Dalam tiga bulan pertama tahun ini saja, lebih dari 5.500 kasus yang diduga dan hampir 300 kematian dilaporkan di 22 negara. 

    Hal ini menyusul sekitar 26.000 kasus dan hampir 1.400 kematian di 24 negara tahun lalu.

    Kasus demam kuning di kawasan Afrika juga meningkat, dengan 124 kasus terkonfirmasi dilaporkan di 12 negara pada tahun 2024. 

    Hal ini terjadi setelah penurunan dramatis dalam penyakit tersebut selama dekade terakhir, berkat persediaan vaksin global dan penggunaan vaksin demam kuning dalam program imunisasi rutin. 

    Di kawasan Amerika milik WHO, wabah demam kuning telah terkonfirmasi sejak awal tahun ini, dengan total 131 kasus di 4 negara.

    Wabah ini terjadi di tengah pemotongan dana global. 

    Pada saat yang sama, jumlah anak yang tidak mendapatkan vaksinasi rutin telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

    Bahkan ketika negara-negara berupaya mengejar ketertinggalan anak-anak yang tidak mendapatkan vaksinasi selama pandemi. 

    Pada tahun 2023, diperkirakan 14,5 juta anak tidak mendapatkan semua dosis vaksin rutin mereka – naik dari 13,9 juta pada tahun 2022 dan 12,9 juta pada tahun 2019. 

    Lebih dari separuh anak-anak ini tinggal di negara-negara yang menghadapi konflik, kerapuhan, atau ketidakstabilan, di mana akses ke layanan kesehatan dasar sering kali terganggu.

    *Imunisasi mengatasi tantangan-tantangan ini*

    Setiap tahun, vaksin menyelamatkan hampir 4,2 juta jiwa dari 14 penyakit  dengan hampir setengah dari nyawa ini diselamatkan di Kawasan Afrika.

    Kampanye vaksinasi telah berhasil memberantas meningitis A di wilayah meningitis Afrika.

    Sementara vaksin baru yang melindungi terhadap lima jenis meningitis menjanjikan perlindungan yang lebih luas, dengan upaya yang sedang dilakukan untuk memperluas penggunaannya guna menanggulangi dan mencegah wabah.

    Kemajuan juga telah dicapai dalam mengurangi kasus dan kematian akibat demam kuning melalui peningkatan cakupan imunisasi rutin dan persediaan vaksin darurat

    Tonggak sejarah lainnya adalah pengenalan vaksin malaria di tingkat sub nasional di hampir 20 negara Afrika.

    Menjadi dasar untuk menyelamatkan setengah juta jiwa tambahan pada tahun 2035, karena semakin banyak negara yang mengadopsi vaksin tersebut dan percepatan peningkatan skala sebagai bagian dari upaya untuk memerangi malaria.

     

  • Penyakit yang Bisa Dicegah dengan Vaksin Kian Merebak

    Penyakit yang Bisa Dicegah dengan Vaksin Kian Merebak

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), badan PBB yang mengurusi masalah anak-anak (UNICEF), dan aliansi vaksin Gavi mengeluarkan peringatan bahwa dunia kini menghadapi peningkatan jumlah wabah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, seperti campak, meningitis, dan demam kunir atau demam kuning.

    Pernyataan bersama ini dikeluarkan pada awal Pekan Imunisasi Dunia yang berlangsung dari tanggal 24 hingga 30 April 2025.

    “Vaksin telah menyelamatkan lebih dari 150 juta nyawa dalam lima dekade terakhir. Namun, pemotongan dana untuk kesehatan global kini mengancam pencapaian yang telah diperjuangkan dengan susah payah ini,” ungkap Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam sebuah pernyataan.

    Campak yang kembali jadi ancaman

    Pernyataan tersebut juga menyoroti kembalinya campak yang berbahaya, dengan kasus yang meningkat 20% dalam setahun, mencapai 10,3 juta pada tahun 2023. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut pada tahun 2024 dan 2025.

    Selama tahun lalu, 138 negara melaporkan kasus campak, dengan 61 di antaranya melaporkan wabah. Ini merupakan angka tertinggi yang tercatat sejak 2019.

    “Krisis pendanaan global secara serius membatasi kemampuan kami untuk memvaksinasi lebih dari 15 juta anak rentan di negara-negara yang rapuh dan terdampak konflik dari penyakit campak,” tambah Kepala UNICEF, Catherine Russell.

    Meningitis dan demam kuning: Ancaman yang semakin besar

    Pada tiga bulan pertama tahun 2025, lebih dari 5.500 kasus meningitis dan sekitar 300 kematian dilaporkan di 22 negara Afrika. Pada tahun 2024, tercatat 26.000 kasus dan hampir 1.400 kematian di 24 negara.

    Apakah anak-anak cukup mendapatkan vaksinasi?

    Terdapat pula kenaikan jumlah anak yang terlewat dari dosis vaksin rutin mereka, meskipun upaya pemulihan dilakukan setelah pandemi. Sekitar 14,5 juta anak tidak menerima satu pun dosis vaksin rutin mereka pada tahun 2023.

    Gavi menyerukan dana sebesar USD9 miliar menjelang konferensi tingkat tinggi pada tanggal 25 Juni nanti, “untuk melindungi 500 juta anak, menyelamatkan setidaknya 8 juta nyawa antara tahun 2026 hingga 2030.”

    Seruan ini datang di tengah pemotongan besar-besaran dana vaksin, misinformasi, serta krisis kemanusiaan lainnya seperti perang di Gaza.

    Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah secara drastis mengurangi dana bantuan kemanusiaan kepada berbagai lembaga sejak menjabat lagi jadi presiden.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris.

    Diadaptasi oleh: Ayu Purwaningsih

    Editor: Hendra Pasuhuk

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Bos WHO Umumkan PHK Imbas Pemotongan Dana dari AS

    Bos WHO Umumkan PHK Imbas Pemotongan Dana dari AS

    Jakarta

    Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa operasi dan pekerjaan akan dipangkas. Hal ini merupakan imbas pemotongan dana dari Amerika Serikat (AS) yang membuat organisasi tersebut mengalami defisit anggaran beberapa ratus juta dolar.

    “Penurunan pendapatan yang tiba-tiba telah membuat kita mengalami kesenjangan gaji yang besar dan tidak ada pilihan, selain mengurangi skala pekerjaan dan tenaga kerja kita,” jelas Tedros dalam pidatonya, dikutip dari CNA.

    Organisasi tersebut telah bersiap menghadapi rencana penarikan penuh oleh Presiden AS Donald Trump, yang sejauh ini menjadi penyumbang terbesar, pada Januari mendatang.

    Amerika Serikat memberikan WHO 1,3 miliar dollar AS atau sekitar 21,8 triliun rupiah untuk anggaran 2022 hingga 2023. Terutama melalui proyek kontribusi sukarela untuk proyek-proyek tertentu, daripada biaya keanggotaan tetap.

    Namun, AS tidak pernah membayar iurannya untuk tahun 2024, dan diperkirakan tidak akan membayar iurannya untuk 2025. Hal ini membuat WHO mempersiapkan struktur terbaru.

    “Penolakan AS untuk membayar kontribusi yang dinilai untuk tahun 2024 dan 2025, dikombinasikan dengan pengurangan bantuan pembangunan resmi oleh beberapa negara lain. Berarti kita menghadapi kesenjangan gaji untuk tahun 2026 hingga 2027 antara 560 juta dollar AS (943 miliar rupiah) atau 650 juta dollar AS (1 triliun rupiah),” terang Tedros.

    Tedros mengungkapkan bagian bawah spektrum mewakili sekitar 25 persen dari gaji staf. Meskipun ia menekankan bahwa itu tidak berarti pemotongan 25 persen pada jumlah posisi.

    Meski begitu, Tedros tidak mengatakan berapa banyak pekerjaan yang akan hilang di WHO, yang saat ini mempekerjakan lebih dari 8 ribu orang di seluruh dunia.

    Namun, ia mengakui bahwa telah mengucapkan salam perpisahan kepada sejumlah besar kolega dan berjanji akan melakukan pengurangan pekerja secara manusiawi.

    Tedros menegaskan bahwa dampak paling signifikan kemungkinan besar akan terasa di kantor pusat WHO di Jenewa,

    “Kami memulai dengan pengurangan manajemen senior. Kami mengurangi tim kepemimpinan senior di kantor pusat dari 12 menjadi 7,” tutur Tedros.

    “Dan jumlah departemen akan dikurangi (lebih dari) setengahnya, dari 76 menjadi 34,” sambungnya.

    Selain itu, kantor regional WHO juga akan terdampak dalam berbagai tingkatan. Tedros juga menambahkan bahwa beberapa kantor di sejumlah negara kemungkinan akan ditutup.

    “Ini adalah keputusan yang sangat menyakitkan bagi kita semua,” katanya.

    Negara-negara anggota WHO sepakat pada tahun 2022 untuk secara signifikan meningkatkan biaya keanggotaan, dan mengurangi porsi anggaran WHO yang ditanggung oleh kontribusi sukarela yang kurang dapat diandalkan dan sering kali dialokasikan.

    “Tanpa peningkatan tersebut, kontribusi yang dinilai untuk dua tahun ini akan menjadi 746 juta dollar AS (1,2 triliun),” lanjut Tedros.

    Namun, WHO berharap untuk menerima 1,07 miliar dollar AS atau sekitar 18 triliun rupiah dalam bentuk iuran keanggotaan untuk tahun 2026 hingga 2027, bahkan tanpa kontribusi AS.

    Untuk saat ini, WHO perlu mengurangi kegiatannya dan memusatkan kembali pada fungsi intinya. Bahkan, Tedros mengakui saat ini banyak negara yang membutuhkan dukungan kita sekarang lebih dari sebelumnya.

    “Keputusan pemerintah AS untuk membubarkan lembaga bantuan luar negeri AS, USAID, dan membekukan hampir semua bantuan, termasuk untuk proyek kesehatan di seluruh dunia, telah membuat dampak sangat parah di negara-negara berkembang khususnya,” beber Tedros.

    Meski begitu, WHO sekarang perlu fokus untuk membantu negara-negara dan beralih dari ketergantungan bantuan ke kemandirian yang lebih besar.

    (sao/kna)

  • Negara Anggota WHO Rampungkan Perjanjian Atasi Pandemi Masa Depan

    Negara Anggota WHO Rampungkan Perjanjian Atasi Pandemi Masa Depan

    Jenewa

    Setelah tiga tahun bernegosiasi, pada Rabu (16/4), 194 negara-negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyelesaikan draf perjanjian bersejarah untuk menangani pandemi di masa depan.

    Draf perjanjian ini kemudian akan diajukan kepada World Health Assembly atau Majelis Kesehatan Dunia – untuk proses pengambilan keputusan di bulan Mei 2025.

    Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan selesainya draf perjanjian tersebut menunjukkan, “multilateralisme masih hidup dan dapat terus berjalan”, dan bahwa di dunia yang kian terpolarisasi ini, negara-negara masih dapat bekerja sama untuk mencari kesamaan, dan bersama-sama menanggapi ancaman besar.”

    Apa saja yang ada di dalam rancangan perjanjian pandemi WHO?

    Perjanjian Pandemi memetakan langkah-langkah untuk mencegah pandemi dan meningkatkan kolaborasi global, merujuk situasi kaos saat wabah COVID-19 melanda.

    Salah satu poin yang diperdebatkan selama negosiasi adalah Pasal 11, yang berkaitan dengan transfer teknologi medis ke negara-negara berkembang.

    Selama pandemi Covid-19 negara-negara berkembang menuduh negara-negara kaya menimbun vaksin dan alat tes. Negara-negara yang memiliki industri farmasi besar, menentang keras gagasan atas kewajiban transfer teknologi.

    Perjanjian yang rampung di hari Rabu(16/5) ini menyerukan, agar transfer teknologi diberi insentif melalui peraturan, kesepakatan lisensi, dan dukungan pembiayaan yang menguntungkan. Perjanjian juga turut menekankan bahwa kompromi dalam transfer teknologi ini haruslah didasarkan pada “kesepakatan bersama”.

    Menghormati kedaulatan negara

    Masing-masing negara memiliki kedaulatan penuh dalam menangani masalah kesehatan di wilayahnya. Hal ini kembali ditegaskan dalam draf perjanjian tersebut, setelah menyebarnya rentetan disinformasi yang mengklaim bahwa WHO akan mencampuri kedaulatan negara dengan pemberlakuan karantina wilayah dan mandat vaksin.

    Dalam draf tersebut turut disebutkan bahwa “tidak ada satu pun poin dalam draf perjanjian ini yang dapat ditafsirkan sebagai pemberian wewenang kepada WHO untuk mengarahkan, memerintahkan, mengubah, atau menetapkan hukum atau kebijakan nasional, atau memberikan mandat kepada negara-negara angora WHO untuk mengambil tindakan tertentu, seperti melarang atau menerima wisatawan, memberlakukan mandat vaksinasi atau tindakan kuratif atau diagnostik atau menerapkan karantina wilayah.”

    Perjanjian ini hanya akan mengikat bagi negara-negara yang memilih untuk meratifikasinya.

    “Pada saat multilateralisme terancam, negara-negara anggota WHO bersatu untuk mengalahkan ancaman pandemi berikutnya dengan satu-satunya cara yang mungkin: dengan bekerja sama,” kata mantan perdana menteri Selandia Baru Helen Clark, salah satu ketua Panel Independen WHO untuk Kesiagaan dan Respons Pandemi.

    Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh: Sorta Lidia Caroline

    Editor: Agus Setiawan

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • WHO Ungkap Situasi Terbaru Rumah Sakit Al-Ahli Gaza Pasca Serangan Israel

    WHO Ungkap Situasi Terbaru Rumah Sakit Al-Ahli Gaza Pasca Serangan Israel

    JAKARTA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap kondisi terkini Rumah Sakit al-Ahli di Gaza yang mengalami kerusakan parah akibat serangan udara Israel. WHO menyebut situasi di rumah sakit tersebut sudah berada dalam kondisi tak terlukiskan.

    “Hari demi hari kami menyaksikan serangan terhadap rumah sakit, petugas medis, dan fasilitas kesehatan. Ini tidak dapat diterima,” ujar Dr. Margaret Harris, juru bicara WHO, kepada BBC.

    Menurut laporan, serangan rudal yang terjadi pada Minggu, 13 April tengah malam menghancurkan laboratorium genetika dua lantai dan merusak bangunan apotek serta ruang gawat darurat. Serangan itu merupakan yang kelima terhadap rumah sakit al-Ahli sejak konflik Gaza kembali memanas pada Oktober 2023.

    Keuskupan Anglikan Yerusalem, yang mengelola rumah sakit al-Ahli, menyatakan  militer Israel hanya memberikan waktu 20 menit bagi staf dan pasien untuk mengevakuasi diri sebelum serangan dilakukan. Meski tidak ada korban jiwa langsung dari serangan itu, seorang anak yang sebelumnya mengalami cedera kepala dilaporkan meninggal karena proses evakuasi yang terburu-buru.

    Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengonfirmasi bahwa ruang gawat darurat, laboratorium, mesin X-ray, dan apotek di rumah sakit itu telah dihancurkan. Sebanyak 50 pasien terpaksa dipindahkan ke rumah sakit lain, namun 40 pasien dalam kondisi kritis tidak bisa dipindahkan.

    “Rumah sakit dilindungi berdasarkan hukum humaniter internasional. Serangan terhadap layanan kesehatan harus dihentikan. Sekali lagi kami tegaskan bahwa pasien, petugas kesehatan, dan rumah sakit harus dilindungi,” tegas Dr. Tedros.

    Sementara itu, militer Israel mengklaim serangan itu menargetkan pusat komando dan kendali teror milik Hamas, dan menyatakan bahwa tidak ada aktivitas medis yang berlangsung di gedung yang diserang. Mereka juga menyebut telah memberikan peringatan awal sebelum Israel melancarkan serangan yang disebut sebagai serangan presisi.

    Namun, klaim tersebut ditanggapi keras oleh pihak Gereja Inggris. Dalam pernyataan resmi, para uskup menyampaikan rasa kesedihan, kemarahan, dan keprihatinan atas serangan terhadap rumah sakit tersebut.

    “Israel belum memberikan bukti yang jelas dan meyakinkan bahwa rumah sakit digunakan untuk kepentingan militer,” tulis pernyataan resmi tersebut.

    Mereka juga mengecam pendeknya waktu evakuasi yang diberikan.

    “Waktu yang sangat terbatas bagi staf dan pasien untuk meninggalkan rumah sakit adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan martabat dasar manusia,” tambah pernyataan itu.

    Dr. Rik Peeperkorn, perwakilan WHO di Gaza, memperingatkan bahwa rumah sakit al-Ahli kini tidak mampu menerima pasien baru.

    “Al-Ahli adalah rumah sakit trauma utama di utara Wadi Gaza dan satu-satunya yang memiliki CT scan yang berfungsi di wilayah itu,” katanya.

    Ia juga menyoroti kelangkaan pasokan medis yang semakin parah akibat blokade Israel. WHO memiliki persediaan di gudang Deir al-Balah, Gaza selatan, namun distribusinya terhambat.

    “Kami punya sarung tangan dan gaun bedah di gudang, tapi tidak bisa kami kirim karena tidak difasilitasi,” ujar Dr. Peeperkorn.

    Seorang dokter ortopedi di al-Ahli, Dr. Ahmed al-Shurafa, mengatakan kondisi perawatan bagi pasien yang tersisa sudah jauh dari standar medis.

    “Kami tidak bisa melakukan operasi karena tidak ada lagi dukungan laboratorium, apotek, atau rujukan darurat. Pelayanan kami kini lebih mirip seperti penginapan,” ungkapnya.

    Serangan terhadap fasilitas kesehatan di Gaza mendapat kecaman internasional, terlebih setelah insiden sebelumnya yang juga menarget rumah sakit dan tenaga medis.

    WHO dan lembaga-lembaga kemanusiaan menyerukan penghentian serangan terhadap fasilitas kesehatan dan perlindungan terhadap warga sipil serta tenaga medis di wilayah konflik.

  • WHO Beberkan Kondisi Terkini Rumah Sakit Al-Ahli di Gaza usai Diserang Israel

    WHO Beberkan Kondisi Terkini Rumah Sakit Al-Ahli di Gaza usai Diserang Israel

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan kondisi rumah sakit Al-Ahli di Gaza sudah sangat parah. Fasilitas-fasilitas tersebut tidak lagi dapat digunakan akibat serangan udara Israel.

    Juru bicara WHO, Dr Margaret Harris, mengatakan kepada BBC bahwa pihaknya menyaksikan serangan demi serangan dari Israel yang dilancarkan ke rumah sakit dan petugas kesehatan. Akibatnya, persediaan medis menjadi sangat terbatas karena blokade Israel terhadap wilayah tersebut.

    Pada Minggu (13/4), staf di Rumah Sakit al-Ahli di Gaza melaporkan serangan Israel telah menghancurkan laboratorium dan merusak ruang gawat darurat. Mereka tidak melaporkan adanya korban jiwa, tetapi satu anak dilaporkan meninggal dunia akibat gangguan dalam perawatannya.

    Militer Israel mengklaim bahwa rumah sakit tersebut merupakan “pusat komando dan kendali” Hamas untuk merencanakan serangan. Rumah sakit itu dikelola oleh Gereja Inggris, yang para uskupnya menyampaikan rasa duka yang mendalam.

    Mereka menyatakan duka, kesedihan, dan kemarahan bersama warga Palestina atas serangan tersebut. Selain itu, mereka juga mendesak Israel untuk memberikan bukti atas klaim tersebut.

    Rumah Sakit al-Ahli diserang oleh dua rudal sekitar tengah malam pada Minggu (13/4), yang merupakan serangan kelima sejak dimulainya perang.

    “Laboratorium genetika dua lantai dihancurkan dan gedung apotek serta unit gawat darurat rusak. Bangunan-bangunan di sekitarnya juga rusak, termasuk Gereja St Philip,” kata Keuskupan Anglikan Yerusalem, dikutip dari BBC.

    Keuskupan mengatakan militer Israel memberikan peringatan 20 menit kepada staf rumah sakit dan pasien untuk mengungsi sebelum serangan.

    “Tidak ada korban jiwa akibat serangan itu, tetapi seorang anak yang sebelumnya menderita cedera kepala meninggal karena proses evakuasi yang terburu-buru,” tambahnya.

    Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa pihaknya telah diberitahu oleh direktur al-Ahli soal kerusakan tersebut. Rumah sakit terpaksa memindahkan 50 pasien ke rumah sakit lain, tetapi 40 pasien dalam kondisi kritis tidak dapat dipindahkan.

    “Rumah sakit dilindungi berdasarkan hukum humaniter internasional. Serangan terhadap perawatan kesehatan harus dihentikan. Sekali lagi kami tegaskan: pasien, petugas kesehatan, dan rumah sakit harus dilindungi,” tegas Tedros.

    NEXT: Rumah sakit Al-Ahli tidak bisa menerima pasien

    Rumah Sakit Al-Ahli Tak Bisa Terima Pasien

    Perwakilan WHO Dr Rik Peeperkorn mengatakan Rumah Sakit Al-Ahli saat ini tidak bisa menerima pasien baru, sambil menunggu perbaikan. Kondisi ini akan sangat berdampak pada pasien trauma.

    “Al-Ahli adalah rumah sakit trauma utama di utawa Wadi Gaza. Rumah sakit itu satu-satunya rumah sakit dengan pemindaian CT yang berfungsi di utara Wadi Gaza,” tuturnya.

    Ahli bedah ortopedi di Al-Ahli, Dr Ahmed al-Shurafa, mengatakan bahwa tingkat perawatan yang dapat diberikan di rumah sakit hanya tersisa 40 pasien.

    “Kami tidak dapat melakukan prosedur pembedahan apapun karena pasien-pasien ini memerlukan diagnostik laboratoriu, dukungan farmasi, dan rujukan darurat jika terjadi komplikasi. Semuanya telah berhenti sepenuhnya karena serangan baru-baru ini,” kata Dr Ahmed.

    Dr Peeperkorn juga mengatakan persediaan medis mereka hampir habis karena Israel tidak mengizinkan pengiriman bantuan kemanusiaan selama lebih dari enam minggu. Ia menambahkan bahwa WHO telah menimbun sejumlah persediaan di gudangnya selama gencatan senjata baru-baru ini.

    Namun, militer Israel tidak memfasilitasi pemindahan antara Gaza utara dan selatan.

    “Minggu lalu, kami berdiskusi dengan salah satu spesialis medis di al-Ahli. Ia memberi tahu kami bahwa mereka harus menggunakan gaun bedah dan sarung tangan bedah yang sama untuk berbagai operasi, sementara kami memiliki sarung tangan dan gaun bedah di gudang kami di Deir al-Balah (selatan Wadi Gaza),” kenangnya.

    “Kami ingin membawanya, tetapi kami tidak difasilitasi,” pungkasnya.

  • Pakar Ungkap Manfaat Indonesia Ikut Pandemic Treaty – Halaman all

    Pakar Ungkap Manfaat Indonesia Ikut Pandemic Treaty – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA — Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan tentang pandemi baru yang tak terelakkan yang akan melanda dunia di masa mendatang.

    Direktur Jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus menekankan bahwa pandemi pasti akan terjadi dan membutuhkan kesiapan penuh.

    Tedros menyoroti konsekuensi yang menghancurkan dari penyebaran global Covid-19.

    Menurut data resmi, ia mencatat, tujuh juta orang meninggal akibat pandemi virus corona, tetapi jumlah kematian aktual diperkirakan sekitar 20 juta.

    “Selain korban manusia, pandemi ini merugikan ekonomi global lebih dari $10 triliun,” imbuhnya.

    Merujuk data terbaru WHO hingga 23 Maret 2025, jumlah total kasus COVID-19 yang dikonfirmasi di seluruh dunia mencapai 777.684.506, dengan 7.092.720 kematian yang dilaporkan.

    Angka resmi ini hanya mewakili sebagian dari dampak sebenarnya dari pandemi, karena WHO memperkirakan jumlah kematian sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi.

    Menyikapi kondisi ini, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dr. Dicky Budiman menyebut, diperlukan pandemic treaty atau perjanjian pandemi yang disepakati oleh anggota WHO.

    Kesepakatan ini bertujuan utama untuk menciptakan sistem kesehatan global yang adil dan siap dalam menghadapi pandemi masa depan.

    “Belajar dari pandemi Covid-19 lalu, banyak negara tidak siap, mengalami krisis sistem kesehatan serta ketimpangan akses terhadap vaksin serta alat kesehatan,” kata Dicky.

    Diketahui sejak tahun 2021, WHO bersama negara anggota sudah menginisiasi pembentukan Pandemic Treaty.

    Pandemic Treaty berfokus pada tiga aspek utama: pencegahan (prevention), kesiapsiagaan (preparation), dan respons (response).

    Banyak manfaat yang strategis yang bisa didapat Indonesia dengan adanya perjanjian ini. 

    Misalkan dapat akses lebih banyak terhadap teknologi dan vaksin, dukungan finansial hingga kepastian hukum terkait data dan patogen maupun kapasitas tenaga kesehatan dan laboratorium.

    “Untuk  masyarakat manfaatnya perlindungan lebih dini dari wabah, akses cepat untum vaksin dan obat-obatan, serta penguatan pelayanan kesehatan di desa atau kota,” ungkap dia.

  • Keji Serangan Udara Israel Hantam RS Gaza, 1 Anak Tewas

    Keji Serangan Udara Israel Hantam RS Gaza, 1 Anak Tewas

    Gaza City

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa seorang anak tewas akibat serangan udara Israel yang menghantam salah satu dari sedikit rumah sakit (RS) yang masih beroperasi di Jalur Gaza. Israel memperingatkan akan memperluas serangannya jika Hamas tidak membebaskan sandera yang tersisa.

    Sejak perang berkecamuk pada Oktober 2024 lalu, puluhan ribu warga Gaza terpaksa mengungsi di kompleks rumah sakit setempat, dengan banyak rumah sakit yang mengalami kerusakan parah akibat pertempuran yang berlangsung.

    Salah satu serangan udara Israel menghantam RS Al-Ahli di Jalur Gaza bagian utara pada Minggu (13/4) waktu setempat. Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, seperti dilansir AFP, Senin (14/4/2025), menyebut serangan itu memakan korban jiwa.

    “Seorang anak meninggal karena terganggunya perawatan,” ucap Ghebreyesus dalam pernyataan via media sosial X.

    “Ruang gawat darurat, laboratorium, mesin sinar-X di ruang gawat darurat, dan apotek hancur,” tuturnya.

    “Rumah sakit terpaksa memindahkan 50 pasien ke rumah sakit lainnya, sebanyak 40 pasien kritis tidak bisa dipindahkan,” kata Ghebreyesus.

    Militer Israel, dalam pernyataannya, menyebut pasukannya menargetkan “pusat komando dan kendali” yang digunakan Hamas di area rumah sakit tersebut. Tuduhan itu dibantah mentah-mentah oleh Hamas.

    Lihat Video ‘Korban Tewas Akibat Serangan Israel Bertambah, Tembus 50.933 Orang’:

    Badan pertahanan sipil Gaza mengatakan serangan udara Israel itu terjadi “beberapa menit setelah peringatan militer (Israel) untuk mengungsi” dirilis terhadap penduduk area tersebut.

    Kementerian Luar Negeri Israel, secara terpisah, mengklaim “tidak ada aktivitas medis yang berlangsung” di dalam gedung rumah sakit yang dilanda “serangan presisi”.

    “Tidak ada korban sipil akibat serangan tersebut,” tegas Kementerian Luar Negeri Israel dalam pernyataannya.

    Sejumlah foto yang dipublikasikan AFP menunjukkan lempengan beton besar dan logam bengkok berserakan di lokasi usai gempuran Israel. Ledakan yang dipicu serangan udara itu meninggalkan lubang menganga di salah satu gedung rumah sakit, dengan pintu besi terkoyak dari engselnya.

    Serangan udara Israel lainnya menghantam sebuah kendaraan di area Deir el-Balah pada Minggu (13/4), dengan badan pertahanan sipil Gaza melaporkan sedikitnya tujuh orang tewas, termasuk enam bersaudara.

    Lihat Video ‘Korban Tewas Akibat Serangan Israel Bertambah, Tembus 50.933 Orang’:

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Jumlah Kematian Ibu Hamil Diperkirakan Bakal ‘Ngegas’, Ini Kemungkinan Pemicunya

    Jumlah Kematian Ibu Hamil Diperkirakan Bakal ‘Ngegas’, Ini Kemungkinan Pemicunya

    Jakarta

    Tren kematian ibu secara global menurun sebesar 40 persen dalam periode 2000 dan 2023, sebagian besar disebabkan oleh peningkatan akses ke layanan kesehatan esensial.

    Namun, laporan tersebut mengungkapkan laju peningkatan telah melambat secara signifikan sejak 2016, dan diperkirakan 260.000 wanita meninggal pada 2023 akibat komplikasi dari kehamilan atau persalinan. Kira-kira setara dengan satu kematian ibu setiap dua menit.

    Laporan tersebut muncul ketika pemotongan dana kemanusiaan dari Amerika Serikat yang berdampak parah pada perawatan kesehatan esensial di banyak bagian dunia, memaksa negara-negara untuk menghentikan layanan vital kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak.

    Pemotongan ini telah menyebabkan penutupan fasilitas dan hilangnya tenaga kesehatan, juga mengganggu rantai pasokan untuk persediaan dan obat-obatan yang menyelamatkan nyawa seperti perawatan untuk pendarahan, preeklamsia, dan malaria, semuanya merupakan penyebab utama kematian ibu.

    Tanpa tindakan yang cepat, ibu hamil di banyak negara akan menghadapi dampak buruk, khususnya mereka yang berada di lingkungan bencana saat angka kematian ibu sudah sangat tinggi.

    “Meskipun laporan ini menunjukkan secercah harapan, data tersebut juga menyoroti betapa berbahayanya kehamilan di sebagian besar dunia saat ini, terlepas dari kenyataan bahwa ada solusi untuk mencegah dan mengobati komplikasi yang menyebabkan sebagian besar kematian ibu,” kata Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

    “Selain memastikan akses ke perawatan bersalin yang berkualitas, penting untuk memperkuat hak kesehatan dan reproduksi dasar perempuan dan anak perempuan – faktor-faktor yang mendukung prospek mereka untuk mendapatkan hasil yang sehat selama kehamilan dan setelahnya.”

    Laporan tersebut juga memberikan laporan global pertama tentang dampak pandemi COVID-19 terhadap kelangsungan hidup ibu. Pada 2021, diperkirakan 40.000 lebih perempuan meninggal karena kehamilan atau persalinan, meningkat menjadi 322.000 dari 282.000 pada tahun sebelumnya. Peningkatan ini tidak hanya terkait dengan komplikasi langsung yang disebabkan COVID-19 tetapi juga gangguan yang meluas pada layanan bersalin.

    Hal ini menyoroti pentingnya memastikan perawatan tersebut selama pandemi dan keadaan darurat lainnya, mengingat ibu hamil memerlukan akses yang andal ke layanan dan pemeriksaan rutin serta perawatan darurat 24 jam.

    “Ketika seorang ibu meninggal saat hamil atau melahirkan, nyawa bayinya juga terancam. Terlalu sering, keduanya hilang karena penyebab yang kita tahu cara mencegahnya,” kata Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell.

    “Pemotongan dana global untuk layanan kesehatan menempatkan lebih banyak ibu hamil pada risiko, terutama di lingkungan yang paling rapuh, dengan membatasi akses mereka ke perawatan penting selama kehamilan dan dukungan yang mereka butuhkan saat melahirkan. Dunia harus segera berinvestasi pada bidan, perawat, dan petugas kesehatan masyarakat untuk memastikan setiap ibu dan bayi memiliki kesempatan untuk bertahan hidup dan berkembang.”

    Laporan tersebut menyoroti ketimpangan yang terus-menerus terjadi antara wilayah dan negara, serta kemajuan yang tidak merata. Dengan angka kematian ibu yang menurun sekitar 40 persen pada 2000 dan 2023, Afrika sub-Sahara mencapai kemajuan yang signifikan, menjadi salah satu dari tiga kawasan PBB bersama Australia dan Selandia Baru, serta Asia Tengah dan Selatan, yang mengalami penurunan signifikan setelah 2015.

    Namun, menghadapi tingkat kemiskinan yang tinggi dan berbagai konflik, kawasan Afrika sub-Sahara masih menyumbang sekitar 70 persen dari beban kematian ibu global pada 2023.

    Hal ini menunjukkan kemajuan yang melambat, angka kematian ibu mengalami stagnasi di lima kawasan setelah 2015, yakni di Afrika Utara dan Asia Barat, Asia Timur dan Tenggara, Oseania (tidak termasuk Australia dan Selandia Baru), Eropa dan Amerika Utara, serta Amerika Latin dan Karibia.

    “Akses ke layanan kesehatan ibu yang berkualitas adalah hak, bukan hak istimewa, dan kita semua berbagi tanggung jawab mendesak untuk membangun sistem kesehatan yang memiliki sumber daya yang baik yang melindungi kehidupan setiap orang,” kata Russell.

    (naf/kna)

  • WHO Berencana Pangkas Anggaran hingga 20 Persen usai AS Cabut dari Anggota

    WHO Berencana Pangkas Anggaran hingga 20 Persen usai AS Cabut dari Anggota

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusulkan pengurangan jumlah staf dan skala pekerjaannya dengan memangkas anggaran hingga lebih dari seperlima akibat pemotongan dana dari Amerika Serikat, menurut memo internal yang dilihat oleh Reuters.

    Pemerintahan Presiden AS Donald Trump menarik diri dari WHO setelah menjabat pada Januari, dengan alasan badan kesehatan global tersebut telah salah menangani pandemi COVID-19 dan krisis kesehatan internasional lainnya.

    Amerika Serikat selama ini merupakan penyumbang keuangan terbesar bagi badan kesehatan PBB tersebut, dengan kontribusi sekitar 18 persen dari total pendanaannya.

    “Pengumuman Amerika Serikat, dikombinasikan dengan pengurangan baru-baru ini dalam bantuan pembangunan resmi oleh beberapa negara untuk mendanai peningkatan pengeluaran pertahanan, telah membuat situasi kita jauh lebih parah,” demikian pernyataan memo WHO, yang bertanggal 28 Maret dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, dikutip dari Reuters.

    baca juga

    Penarikan diri Amerika Serikat telah memperburuk krisis pendanaan karena negara-negara anggota mengurangi pengeluaran untuk pembangunan. Menghadapi kesenjangan pendapatan hampir US$600 juta tahun ini, WHO mengusulkan pemangkasan anggarannya untuk periode 2026-2027 sebesar 21 persen, dari 5,3 miliar dollar USD atau sekitar Rp 87,7 triliun menjadi 4,2 miliar dollar USD atau sekitar Rp 69,5 triliun, menurut memo tersebut.

    “Meskipun telah berupaya sebaik-baiknya, kami kini berada pada titik di mana kami tidak punya pilihan selain mengurangi skala pekerjaan dan tenaga kerja kami,” kata memo itu.

    Selain itu, WHO disebut akan mengurangi pekerjaan di tingkat pimpinan senior di kantor pusatnya di Jenewa, Swiss, meskipun semua level dan wilayah akan terdampak, tambah memo tersebut. WHO akan memutuskan cara memprioritaskan pekerjaan dan sumber dayanya pada akhir April.

    Dokumen WHO menunjukkan bahwa badan PBB tersebut memiliki lebih dari seperempat dari 9.473 stafnya di Jenewa.

    Memo internal tertanggal 10 Maret, yang juga dilihat oleh Reuters, menyebutkan WHO telah mulai menetapkan prioritas dan mengumumkan pembatasan satu tahun untuk kontrak staf. Memo itu juga menyatakan staf sedang berupaya mengamankan pendanaan tambahan dari negara-negara, donor swasta, dan filantropis.

    baca juga

    (suc/suc)