Tag: Tedros Adhanom Ghebreyesus

  • Israel Akan Izinkan Negara Asing Kirim Bantuan ke Gaza via Udara

    Israel Akan Izinkan Negara Asing Kirim Bantuan ke Gaza via Udara

    Gaza City

    Israel akan mengizinkan negara-negara asing untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza via udara atau airdrop mulai Jumat (25/7) waktu setempat.

    Hal tersebut, seperti dilansir Reuters, Sabtu (26/7/2025), diungkapkan oleh radio militer Israel yang mengutip seorang pejabat militer Tel Aviv, yang enggan disebut namanya. Namun juru bicara militer Israel belum menanggapi secara resmi laporan tersebut.

    Laporan Jerusalem Post, yang dikutip The Hill, menyebut Israel akan mengizinkan negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Yordania untuk melanjutkan pengiriman paket bantuan melalui udara, seperti yang dilakukan pada tahun 2024 lalu.

    Langkah Israel ini diambil setelah Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan lebih dari 100 orang tewas akibat kelaparan di Jalur Gaza sejak Tel Aviv memblokade total akses bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut pada Maret lalu.

    Israel, yang berperang melawan Hamas sejak Oktober 2023, telah mencabut blokade pada Mei lalu, tetapi tetap memberlakukan pembatasan yang mereka klaim diperlukan untuk mencegah jatuhnya bantuan ke tangan Hamas dan sekutunya di Jalur Gaza.

    Dalam dua pekan pertama bulan Juli, badan anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau UNICEF melaporkan bahwa 5.000 anak mendapatkan perawatan karena mengalami malnutrisi akut di Jalur Gaza.

    Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan pada Rabu (23/7) bahwa sebagian besar penduduk Gaza mengalami kelaparan massal. Dia bahkan menyebut kelaparan massal itu merupakan “buatan manusia”, namun tanpa menyebut nama Israel.

    Sementara badan bantuan pangan PBB, Program Pangan Dunia (WFP), melaporkan bahwa nyaris sepertiga warga Gaza “tidak makan selama berhari-hari” saat kelaparan massal menyelimuti wilayah tersebut. Krisis kemanusiaan di Gaza, sebut WFP, telah mencapai “tingkat keputusasaan yang baru dan mencengangkan”.

    Disebutkan oleh WFP bahwa sekitar 470.000 orang di Jalur Gaza diperkirakan akan menghadapi “bencana kelaparan” atau “catastrophic hunger” — kategori paling parah dalam klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu PBB — antara Mei dan September tahun ini.

    Israel sebelumnya membantah sebagai penyebab kelaparan massal di Jalur Gaza. Bantahan itu disampaikan setelah kritikan internasional semakin meningkat yang menuduh Tel Aviv berada di balik kekurangan pangan kronis yang memicu kelaparan massal yang kini menyelimuti berbagai wilayah Jalur Gaza.

    “Tidak ada kelaparan yang disebabkan oleh Israel. Ada kekurangan (pasokan) buatan manusia yang diatur oleh Hamas,” tegas juru bicara pemerintah Israel, David Mencer, dalam pernyataannya.

    Lihat juga Video WHO: 1.026 Orang Tewas Saat Berusaha Cari Makan di Gaza

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/dhn)

  • PBB Sebut Sepertiga Warga Gaza Tak Makan Berhari-hari

    PBB Sebut Sepertiga Warga Gaza Tak Makan Berhari-hari

    Roma

    Badan bantuan pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa nyaris sepertiga warga Gaza “tidak makan selama berhari-hari” saat kelaparan massal menyelimuti daerah kantong Palestina yang dilanda perang sejak Oktober 2023 lalu.

    Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza, sebut badan bantuan pangan PBB Program Pangan Dunia (WFP), seperti dilansir AFP, Sabtu (26/7/2025), telah mencapai “tingkat keputusasaan yang baru dan mencengangkan”.

    WFP yang berbasis di Roma, Italia, sebelumnya telah memperingatkan “risiko kelaparan kritis” di Jalur Gaza yang dilanda perang tanpa henti. Israel telah menuai kecaman internasional atas situasi terkini di wilayah tersebut.

    “Hampir satu dari tiga orang tidak makan selama berhari-hari. Malnutrisi meningkat dengan 90.000 perempuan dan anak-anak sangat membutuhkan perawatan,” sebut WFP dalam pernyataannya pada Jumat (25/7).

    Disebutkan oleh WFP bahwa sekitar 470.000 orang di Jalur Gaza diperkirakan akan menghadapi “bencana kelaparan” atau “catastrophic hunger” — kategori paling parah dalam klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu PBB — antara Mei dan September tahun ini.

    “Bantuan pangan adalah satu-satunya cara bagi masyarakat untuk mengakses makanan karena harga pangan sedang melambung tinggi,” kata WFP dalam pernyataannya.

    “Banyak orang sekarat karena kurangnya bantuan kemanusiaan,” imbuh pernyataan WFP tersebut.

    Kelompok-kelompok bantuan kemanusiaan telah memperingatkan akan melonjaknya jumlah anak-anak yang mengalami kekurangan gizi di Jalur Gaza, yang diblokade Israel pada Maret lalu di tengah perangnya melawan kelompok Hamas.

    Israel sebelumnya membantah sebagai penyebab kelaparan massal di Jalur Gaza. Bantahan itu disampaikan setelah kritikan internasional semakin meningkat yang menuduh Tel Aviv berada di balik kekurangan pangan kronis yang memicu kelaparan massal yang kini menyelimuti berbagai wilayah Jalur Gaza.

    Sebanyak 111 organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM), dalam pernyataan bersama pada Rabu (23/7), menyatakan bahwa “kelaparan massal” sedang menyebar di Jalur Gaza.

    Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, juga turut berkomentar mengatakan bahwa “sebagian besar penduduk Gaza mengalami kelaparan”. Dia bahkan menyebut kelaparan massal itu merupakan “buatan manusia”, namun tanpa menyebut nama Israel.

    Reaksi keras diberikan Israel, dengan juru bicara pemerintah Israel, David Mencer, menegaskan Israel tidak memicu kelaparan massal di Jalur Gaza. Tel Aviv justru menyalahkan kelompok Hamas yang dituding secara sengaja menciptakan krisis kemanusiaan di wilayah Jalur Gaza.

    “Tidak ada kelaparan yang disebabkan oleh Israel. Ada kekurangan (pasokan) buatan manusia yang diatur oleh Hamas,” tegas Mencer dalam pernyataannya.

    Lihat juga Video WHO: 1.026 Orang Tewas Saat Berusaha Cari Makan di Gaza

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/dhn)

  • Bos WHO Sebut Blokade Bantuan Israel Picu Kelaparan Massal di Gaza

    Bos WHO Sebut Blokade Bantuan Israel Picu Kelaparan Massal di Gaza

    Jakarta

    Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pada Rabu (23/7/2025) bahwa Gaza tengah menghadapi kelaparan massal buatan manusia. Hal ini merujuk pada blokade Israel yang masih berlangsung dan pembatasan ketat terhadap pengiriman bantuan kemanusiaan.

    “Saya tidak tahu apa yang akan Anda sebut selain kelaparan massal, itu perbuatan manusia dan itu sangat jelas,” tegas Tedros dalam konferensi pers virtual.

    “Ini karena blokade,” sambungnya yang dikutip dari Channel News Asia, Jumat (25/7).

    Komentar Tedros ini menyusul seruan lebih dari 100 lembaga bantuan yang memperingatkan krisis kelaparan yang semakin para di Gaza. Di mana berton-ton makanan, air bersih, dan pasokan medis masih tertahan di luar wilayah kantong tersebut.

    Lembaga-lembaga bantuan mengungkapkan persediaan makanan Gaza telah habis sejak Israel memberlakukan blokade penuh pada Maret 2025. Ini dilakukan sebagai bagian dari perangnya melawan kelompok militan Palestina, Hamas.

    Meskipun blokade telah dilonggarkan pada bulan Mei, organisasi internasional mengatakan hanya aliran bantuan terbatas yang mencapai populasi Gaza yang berjumlah 2,2 juta jiwa.

    Israel menegaskan bahwa pembatasan diperlukan untuk mencegah pengalihan bantuan kepada militan, dan mengatakan telah memfasilitasi pengiriman makanan yang cukup. Israel telah berulang kali menyalahkan Hamas atas penderitaan di Gaza.

    Kematian Meningkat Akibat Kelaparan

    Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan sekitar 10 orang lagi telah meninggal dalam semalam akibat kelaparan, sehingga totalnya menjadi 111 sejak konflik dimulai. Sebagian besar terjadi dalam beberapa minggu terakhir seiring meluasnya kelaparan.

    WHO mengatakan setidaknya 21 kematian anak akibat malnutrisi telah dilaporkan sepanjang tahun ini. Tetapi, mereka menekankan bahwa jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi.

    “Pusat-pusat perawatan malnutrisi penuh dan kekurangan pasokan darurat,” kata para pejabat.

    Tedros menambahkan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mitra kemanusiaannya tidak dapat mengirimkan makanan apapun antara bulan Maret dan Mei selama hampir 80 hari, dan bahwa pengiriman bantuan sejak saat itu masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan.

    Menurut WHO, hasil skrining menunjukkan bahwa sekitar 10 persen penduduk Gaza menderita malnutrisi sedang atau berat, termasuk hingga 20 persen ibu hamil.

    “Pada bulan Juli saja, 5.100 anak telah dimasukkan ke dalam program malnutrisi, termasuk 800 anak yang sangat kurus,” kata Rik Peeperkorn, perwakilan WHO untuk wilayah Palestina.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/kna)

  • Israel Bantah Picu Kelaparan Massal di Gaza, Salahkan Hamas

    Israel Bantah Picu Kelaparan Massal di Gaza, Salahkan Hamas

    Tel Aviv

    Israel menolak kritikan internasional yang semakin meningkat, yang menuduh Tel Aviv berada di balik kekurangan pangan kronis yang memicu kelaparan massal yang kini menyelimuti berbagai wilayah Jalur Gaza. Israel membantah sebagai penyebab kelaparan massal di daerah kantong Palestina tersebut.

    Tel Aviv, seperti dilansir AFP, Kamis (24/7/2025), justru menyalahkan kelompok Hamas yang dituding secara sengaja menciptakan krisis kemanusiaan di wilayah Jalur Gaza.

    Sebanyak 111 organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM), dalam pernyataan bersama pada Rabu (23/7), menyatakan bahwa “kelaparan massal” sedang menyebar di Jalur Gaza.

    Prancis, secara terpisah, memperingatkan tentang meningkatnya “risiko kelaparan” yang disebabkan oleh “blokade yang diberlakukan oleh Israel” terhadap wilayah yang dilanda perang selama 21 bulan terakhir.

    Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, juga turut berkomentar mengatakan bahwa “sebagian besar penduduk Gaza mengalami kelaparan”. Dia bahkan menyebut kelaparan massal itu merupakan “buatan manusia”, namun tanpa menyebut nama Israel..

    “Saya tidak tahu sebagai apa Anda menyebutnya selain kelaparan massal — dan itu buatan manusia,” cetusnya saat berbicara kepada wartawan.

    Reaksi keras diberikan Israel atas pernyataan-pernyataan itu, dengan juru bicara pemerintah Israel, David Mencer, menegaskan Israel tidak memicu kelaparan massal di Jalur Gaza.

    “Tidak ada kelaparan yang disebabkan oleh Israel. Ada kekurangan (pasokan) buatan manusia yang diatur oleh Hamas,” tegas Mencer dalam pernyataannya.

    Lihat juga Video WHO: 1.026 Orang Tewas Saat Berusaha Cari Makan di Gaza

    Mencer menuduh Hamas, yang serangan mengejutkan pada 7 Oktober 2023 memicu perang berkepanjangan di Jalur Gaza, telah mencegah distribusi pasokan bantuan kemanusiaan dan menjarah bantuan untuk diri mereka sendiri, atau menjualnya dengan harga yang melambung.

    “Bantuan telah mengalir ke Gaza,” ucapnya.

    Dia juga menyalahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan rekan-rekannya karena gagal mengangkut truk-truk berisi bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya yang telah mendapatkan izin dan menunggu di seberang perbatasan Gaza.

    Namun, pernyataan 111 organisasi kemanusiaan dan HAM menyebut bahwa izin yang diberikan Israel masih terbatas, dan koordinasi untuk memindahkan truk-truk dengan aman ke lokasi yang dibutuhkan menjadi tantangan besar di zona perang yang aktif.

    Menurut organisasi-organisasi kemanusiaan itu, dalam pernyataan bersama, banyak gudang berisi berton-ton pasokan terbengkalai, dengan orang-orang “terjebak dalam siklus harapan dan putus asa, menunggu bantuan dan gencatan senjata”.

    Sebanyak 111 organisasi kemanusiaan dan HAM, termasuk Dokter Lintas Batas (MSF), Save the Children, dan Oxfam, yang menandatangani pernyataan bersama itu menyerukan gencatan senjata yang dinegosiasikan segera, pembukaan semua perlintasan perbatasan darat, dan aliran bantuan bebas melalui mekanisme PBB.

    Lihat juga Video WHO: 1.026 Orang Tewas Saat Berusaha Cari Makan di Gaza

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/zap)

  • WHO Nyatakan Suriname Bebas dari Malaria, Bagaimana dengan Indonesia?

    WHO Nyatakan Suriname Bebas dari Malaria, Bagaimana dengan Indonesia?

    JAKARTA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) resmi menyatakan bahwa Suriname menjadi negara yang bebas dari penyakit malaria. Keputusan ini menjadikan Suriname sebagai negara pertama di kawasan Amazon yang berhasil mengatasi secara tuntas penyakit tersebut.

    Dengan pengakuan tersebut, Suriname menjadi negara ke-46 di dunia yang memperoleh sertifikasi bebas malaria dari WHO. Status bebas malaria ini diperoleh Suriname setelah upaya panjang selama lebih dari 70 tahun.

    Seperti diketahui, Suriname terletak di pesisir utara Amerika Serikat, yang menghadapi tantangan besar terhadap malaria karena kondisi geografisnya lembap dan banyak area tambang rakyat maupun industri, yang menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk.

    “Sertifikasi ini mencerminkan upaya berkelanjutan selama bertahun-tahun, terutama dalam menjangkau wilayah terpencil. Ini berarti generasi mendatang dapat tumbuh bebas dari penyakit yang berpotensi mematikan ini,” kata Direktur Organisasi Kesehatan Pan Amerika (PAHO), Jarbas Barbosa, dikutip dari laman resmi WHO, pada Minggu, 6 Juni 2025.

    Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus sangat mengapresiasi atas pencapaian Suriname mengatasi malaria. Ia menilai keberhasilan tersebut sebagai wujud komitmen pemerintah terhadap kesehatan yang merata.

    “Komitmen teguh Suriname terhadap pemerataan kesehatan menjadi inspirasi bagi semua negara yang berjuang untuk masa depan bebas malaria,” tutur Tedros.

    Sampai saat ini, masih banyak negara di dunia yang berjuang mengatasi malaria, salah satunya Indonesia. Dikutip dari laman resmi Kemenkes RI, malaria masih menjadi salah satu tantangan kesehatan masyarakat Indonesia, terutama di wilayah timur seperti Papua.

    Lebih dari 93 persen bebas kasus malaria Indonesia masih terkonsentrasi di Papua. Wilayah Papua memiliki tantangan tersendiri yang membuat penanggulangan malaria menjadi lebih rumit.

    Faktor geografis yang merupakan daerah pegunungan, hutam lebat, dan keterpencilan menyulitkan distribusi layanan kesehatan. Selain itu, faktor sosial dan budaya, serta kertebatasan akses terhadap fasilitas kesehatan modern juga berdampak memperburuk penanganan malaria.

    Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mengimbau masyarakat untuk turut melakukan pencegahan penyebaran malaria yang ditularkan nyamuk Anopheles betina, yang biasa berkembang biak di lingkungan lembap dan tergenang air.

    Beberapa langkah pencegahan yang dapat dilakukan adalah seperti menggunakan kelambu untuk tidur demi mencegah gigitan nyamuk, menguras dan menutup tempat penampungan air, penggunaan obat pencegah, hingga edukasi yang lebih baik ke masyarakat.

  • Lima Tahun Berlalu, Tim Investigasi WHO Belum Pecahkan Misteri Asal-Usul COVID-19

    Lima Tahun Berlalu, Tim Investigasi WHO Belum Pecahkan Misteri Asal-Usul COVID-19

    Jakarta

    Kelompok Penasihat Ilmiah WHO untuk Asal-usul Patogen Baru atau The WHO Scientific Advisory Group for the Origins of Novel Pathogens (SAGO), sebuah panel yang terdiri dari 27 pakar independen, internasional, dan multidisiplin, menerbitkan laporannya tentang asal-usul SARS-CoV-2, virus yang bertanggung jawab atas pandemi COVID-19.

    SAGO telah memajukan pemahaman tentang asal-usul COVID-19, tetapi dalam laporannya, banyak informasi yang dibutuhkan untuk mengevaluasi sepenuhnya semua hipotesis belum tersedia.

    “Saat ini, semua hipotesis harus tetap dipertimbangkan, termasuk penularan zoonosis dan kebocoran laboratorium. Kami terus mengimbau China dan negara lain mana pun yang memiliki informasi tentang asal-usul COVID-19 untuk membagikan informasi tersebut secara terbuka, demi melindungi dunia dari pandemi di masa mendatang,” kata Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO dalam keterangannya dikutip dari laman resmi WHO, Senin (30/6/2025).

    Marietjie Venter, ketua kelompok tersebut, mengatakan bahwa sebagian besar data ilmiah mendukung hipotesis bahwa virus corona baru berpindah ke manusia dari hewan.

    Namun, ia menambahkan bahwa setelah lebih dari tiga tahun bekerja, SAGO tidak dapat memperoleh data yang diperlukan untuk mengevaluasi apakah COVID merupakan hasil dari kecelakaan laboratorium, meskipun telah berulang kali meminta informasi terperinci kepada pemerintah China.

    “Oleh karena itu, hipotesis ini tidak dapat diselidiki atau dikecualikan,” katanya, namun menambahkan, “Hipotesis ini dianggap sangat spekulatif, berdasarkan opini politik dan tidak didukung oleh sains.”

    Venter juga mengatakan tidak ada bukti yang membuktikan bahwa COVID telah dimanipulasi di laboratorium, juga tidak ada indikasi bahwa virus tersebut telah menyebar sebelum Desember 2019 di mana pun di luar China.

    Pekerjaan untuk memahami asal-usul SARS-CoV-2 masih belum selesai. WHO menyambut baik bukti lebih lanjut tentang asal-usul COVID-19, dan SAGO tetap berkomitmen untuk meninjau informasi baru jika tersedia.

    (kna/kna)

  • Lima Tahun Berlalu, Tim Investigasi WHO Belum Pecahkan Misteri Asal-Usul COVID-19

    WHO Bicara Lagi soal Asal Usul COVID-19, Teori Kebocoran Lab Wuhan Menguat?

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa semua kemungkinan asal usul pandemi COVID-19 masih terbuka, termasuk teori kebocoran laboratorium. Hal ini disampaikan setelah penyelidikan selama empat tahun belum juga membuahkan kesimpulan, akibat keterbatasan akses data penting.

    Dalam konferensi pers, Jumat (27/6/2025), Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menegaskan belum ada satu pun teori yang bisa dipastikan.

    “Semua hipotesis masih harus berada di atas meja, termasuk penularan dari hewan dan kebocoran laboratorium,” ujar Tedros, dikutip dari CNA.

    Sebuah laporan dari Scientific Advisory Group for the Origins of Novel Pathogens (SAGO) menyebutkan, berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia, penularan dari hewan ke manusia masih menjadi teori yang paling kuat. Namun, ketua SAGO Marietjie Venter menekankan bahwa asal usul virus belum bisa dipastikan tanpa data tambahan.

    “Selama belum ada informasi tambahan atau bukti baru, asal-usul SARS-CoV-2 dan bagaimana virus ini menjangkiti manusia akan tetap belum bisa disimpulkan,” katanya.

    Teori kebocoran laboratorium, lanjut Venter, juga belum bisa ditelusuri lebih jauh karena kurangnya data penting. Tedros secara terbuka menyebut kurangnya kerja sama dari pihak China, sebagai hambatan besar dalam penyelidikan ini.

    “China belum memberikan ratusan urutan genetik dari pasien awal, data detail tentang hewan di pasar Wuhan, maupun informasi soal penelitian dan keamanan laboratorium di Wuhan,” tegasnya.

    WHO juga telah meminta akses ke laporan intelijen dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, yang pada masa pemerintahan Donald Trump sempat mendukung teori kebocoran lab sebagai sumber pandemi.

    Tedros menyebut mengungkap asal usul COVID-19 adalah kewajiban moral untuk menghormati jutaan korban jiwa dan mencegah wabah di masa depan.

    “Virus ini terus bermutasi, mengambil nyawa, dan meninggalkan beban panjang seperti long COVID,” ujar Tedros.

    SAGO sendiri berkomitmen untuk terus mengevaluasi bukti ilmiah terbaru. Namun, laporan menyebut permintaan data ke negara lain seperti Jerman dan AS juga belum membuahkan hasil.

    Menariknya, laporan SAGO kali ini juga diwarnai dinamika internal. Satu anggota mengundurkan diri dan tiga lainnya meminta namanya dihapus dari laporan.

    (naf/up)

  • WHO Kirim Bantuan Medis Pertama ke Gaza Sejak 2 Maret

    WHO Kirim Bantuan Medis Pertama ke Gaza Sejak 2 Maret

    Gaza

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan telah mengirimkan bantuan medis pertamanya ke Gaza sejak 2 Maret. WHO mengibaratkan sembilan truk yang membawa bantuan medis itu adalah ‘setetes air di lautan’.

    Dilansir AFP, Kamis (26/6/2025), Sekjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengungkap pengiriman bantuan itu pada akun X-nya. Dia mengatakan pengiriman pasokan, plasma, dan darah pada hari Rabu waktu setempat itu akan didistribusikan ke rumah sakit di wilayah Palestina dalam beberapa hari mendatang.

    Sebagai informasi, Israel memberlakukan blokade total di Jalur Gaza pada tanggal 2 Maret. Lebih dari dua bulan kemudian, Israel mulai mengizinkan masuknya sejumlah makanan, tetapi tidak ada barang bantuan lainnya hingga saat ini.

    Tedros mengatakan sembilan truk yang membawa pasokan medis penting, 2.000 unit darah, dan 1.500 unit plasma dikirim via penyeberangan Kerem Shalom dengan Israel, “tanpa insiden penjarahan, meskipun kondisi berisiko tinggi di sepanjang rute”.

    “Pasokan ini akan didistribusikan ke rumah sakit prioritas dalam beberapa hari mendatang,” kata Tedros.

    “Darah dan plasma dikirim ke fasilitas penyimpanan Kompleks Medis Nasser untuk didistribusikan ke rumah sakit yang menghadapi kekurangan kritis, di tengah meningkatnya jumlah korban luka, banyak yang terkait dengan insiden di lokasi distribusi makanan,” jelasnya.

    Minggu lalu, WHO mengatakan hanya 17 dari 36 rumah sakit di Gaza yang berfungsi minimal hingga sebagian. Sementara sisanya tidak dapat berfungsi sama sekali.

    “Namun, pasokan medis ini hanya setetes air di lautan. Bantuan dalam skala besar sangat penting untuk menyelamatkan nyawa,” katanya.

    “WHO menyerukan pengiriman bantuan kesehatan dengan segera, tanpa hambatan, dan berkelanjutan ke Gaza melalui semua rute yang memungkinkan,” tambahnya.

    Israel mulai mengizinkan pasokan masuk pada akhir Mei setelah blokade total selama lebih dari dua bulan. Akan tetapi distribusi telah dirusak oleh laporan hampir setiap hari pasukan Israel menembaki orang-orang yang menunggu jatah makanan.

    Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), sistem distribusi makanan baru yang didukung AS dan Israel, mulai membagikan makanan di Gaza pada 26 Mei.

    Tetapi PBB dan kelompok-kelompok bantuan utama telah menolak untuk bekerja sama dengan GHF, karena kekhawatiran bahwa hal itu dirancang untuk memenuhi tujuan militer Israel.

    Tonton juga “WHO Minta Israel Setop Bombardir Rumah Sakit di Gaza” di sini:

    (lir/jbr)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • 280.000 Liter BBM Akhirnya Masuk Gaza, Krisis dan Gempuran Bom Masih Mengancam

    280.000 Liter BBM Akhirnya Masuk Gaza, Krisis dan Gempuran Bom Masih Mengancam

    PIKIRAN RAKYAT – Di tengah gempuran serangan udara dan penembakan yang tak henti, sebanyak 280.000 liter bahan bakar akhirnya berhasil disalurkan ke wilayah Gaza, Kamis, 19 Juni 2025.

    Bahan bakar ini sangat krusial untuk menyokong layanan-layanan penting, termasuk rumah sakit, instalasi air bersih, dan jaringan komunikasi.

    Pasokan tersebut diangkut dari Stasiun Al Tahreer di Rafah ke Deir al Balah oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui koordinasi Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).  Ini merupakan pengiriman pertama setelah 110 hari tanpa bahan bakar masuk ke Gaza.

    “Meski hal ini memberi sedikit waktu tambahan, jumlahnya masih jauh dari cukup. Untuk menjaga agar operasi penyelamatan nyawa dapat terus dilakukan, bahan bakar yang dibeli dari luar harus diizinkan masuk ke Gaza. Jika hal ini tidak segera dilakukan, rumah sakit, ambulans, instalasi desalinasi air laut, jaringan telepon, dan layanan penting penunjang kelangsungan hidup lainnya akan terhenti,” ujar OCHA, dikutip dari Xinhua, Jumat, 30 Juni 2025.

    Kekerasan yang terus terjadi juga berdampak pada korban sipil. OCHA melaporkan banyak warga sipil tewas atau terluka, termasuk mereka yang sedang mencari bantuan.

    Akses terhadap informasi dan koordinasi bantuan pun terganggu akibat putusnya kabel serat optik, yang menyebabkan tiga hari gangguan komunikasi besar-besaran.

    Upaya perbaikan terhambat karena otoritas Israel Penjajah menghalangi pergerakan tim perbaikan.

    “Otoritas Israel awalnya menyetujui tetapi kemudian menghalangi pergerakan tim yang ditugaskan untuk mengidentifikasi lokasi putusnya kabel tersebut. Hal ini berdampak pada wilayah Gaza tengah dan selatan,” ucap OCHA.

    RS Krisis, Warga Gaza Terpaksa Tinggal di Reruntuhan

    Kondisi penampungan warga sipil kian memburuk. Menurut OCHA, sejak 1 Maret 2025 tidak ada bahan-bahan penampungan seperti tenda, kayu, dan terpal yang diizinkan masuk ke Gaza. Sementara itu, satu dari tiga warga Gaza terpaksa mengungsi kembali sejak gencatan senjata terakhir gagal dipertahankan.

    “Akomodasi darurat terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang hancur akibat bom, lahan-lahan publik, dan puing-puing perkotaan, sering kali melebihi kapasitas lokasi itu dan tanpa infrastruktur dasar,” kata OCHA.

    Sebanyak 980.000 barang kebutuhan penampungan, termasuk hampir 50.000 tenda, telah disiapkan PBB dan mitra kemanusiaan, tetapi pengirimannya belum memungkinkan karena masih terganjal akses.

    Tim PBB, bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga mengunjungi Kompleks Medis Nasser di Khan Younis yang kini dalam kondisi sangat kritis. Ratusan pasien memenuhi rumah sakit tersebut, melebihi kapasitas ganda dari jumlah ideal.

    Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Ghebreyesus mengatakan, “Kompleks Medis Nasser menampung jumlah pasien dua kali lipat dari kapasitas yang seharusnya.”

    Sebuah tenda bantuan WHO, yang semula dirancang untuk layanan anak dan bedah, kini berubah fungsi menjadi bangsal trauma dengan 100 tempat tidur dijejalkan ke dalam ruangan yang hanya mampu menampung 88 unit.

    Rumah sakit ini tak bisa memperluas kapasitas karena kekurangan ventilator, monitor, tempat tidur, serta tenaga medis.

    WHO sempat berhasil mengirimkan sejumlah minimum bahan bakar ke rumah sakit itu pada Rabu, 18 Juni 2025 untuk menghidupkan generator cadangan. Namun, letaknya yang berada di wilayah dengan perintah evakuasi dari otoritas Israel Penjajah membuat akses ke rumah sakit makin sulit.

    Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tinggi di kalangan tenaga medis dan pasien terkait keselamatan mereka. ****

  • WHO Desak Israel Izinkan Bantuan Obat-obatan dan Bahan Bakar Masuki Gaza tanpa Hambatan

    WHO Desak Israel Izinkan Bantuan Obat-obatan dan Bahan Bakar Masuki Gaza tanpa Hambatan

    PIKIRAN RAKYAT – Dunia internasional telah berulang kali mendesak Israel agar menghentikan genosida di Gaza. Selain itu, Israel juga didesak untuk membuka blokade bantuan yang berlangsung sejak 2 Maret 2025.

    Blokade bantuan yang dilakukan Israel tersebut telah menyebabkan krisis parah. Saat ini, jutaan warga di Gaza mengalami kelaparan dan membutuhkan obat-obatan serta kebutuhan dasar lainnya.

    Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus telah menyatakan keprihatinannya atas memburuknya situasi fasilitas perawatan kesehatan di Jalur Gaza.

    Dia mendesak agar Israel mengizinkan masuknya bantuan seperti obat-obatan dan bahan bakar ke Gaza tanpa hambatan.

    “Kompleks Medis Nasser di Khan Younis, #Gaza, tengah berjuang untuk tetap beroperasi di tengah tekanan yang tiada henti dan kurangnya pasokan,” katanya dalam sebuah posting di X pada Rabu malam.

    Pada Selasa pekan ini, rumah sakit Nasser menerima lebih dari 300 orang yang terluka. Para korban terkait dengan dua insiden di dekat lokasi distribusi makanan militer non-PBB. Dalam dua serangan ini, 75 orang tewas, termasuk 11 anak-anak.

    Saat ini sekitar 590 pasien dirawat di rumah sakit Nasser, yang mana jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari kapasitas rumah sakit tersebut.

    “Rumah sakit tidak dapat meningkatkan kapasitasnya karena kekurangan ventilator, monitor, tempat tidur, dan staf,” ujarnya.

    Rumah sakit Nasser telah ditetapkan berada di zona evakuasi, namun banyak petugas kesehatan tidak dapat mencapai rumah sakit karena khawatir akan keselamatan atau kekurangan bahan bakar untuk transportasi.

    Pada Rabu WHO telah mengirimkan bahan bakar dalam jumlah minimum yang cukup untuk mempertahankan operasi selama lima hari lagi. Namun, jika bahan bakar tersebut tidak sampai, layanan akan mulai ditutup.

    “WHO sekali lagi menyerukan perlindungan terhadap rumah sakit; agar bantuan kesehatan dan bahan bakar dapat masuk dan melintasi Gaza tanpa hambatan melalui semua rute yang memungkinkan,” katanya.

    “Waktu terus berjalan untuk menyelamatkan nyawa. Gencatan senjata!” tuturnya lagi.***