Tag: Tedros Adhanom Ghebreyesus

  • Fix! WHO Rilis Panduan Penggunaan Obat GLP-1 untuk Orang Obesitas

    Fix! WHO Rilis Panduan Penggunaan Obat GLP-1 untuk Orang Obesitas

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis panduan pertamanya tentang penggunaan terapi Glucagon-Like Peptide-1 (GLP-1) untuk mengobati obesitas sebagai penyakit kronis yang kambuh.

    Langkah ini diambil untuk mengatasi tantangan kesehatan global yang berkembang, dengan obesitas memengaruhi lebih dari 1 miliar orang di dunia.

    Pada September 2025, WHO telah menambahkan terapi GLP-1 ke dalam Daftar Obat Esensial (Essential Medicines List) untuk mengelola diabetes tipe 2 pada kelompok berisiko tinggi.

    Dengan panduan baru ini, WHO mengeluarkan rekomendasi bersyarat untuk menggunakan terapi GLP-1 termasuk liraglutide, semaglutide, dan tirzepatide guna mendukung orang yang hidup dengan obesitas.

    “Panduan baru kami mengakui bahwa obesitas adalah penyakit kronis yang dapat diobati dengan perawatan komprehensif dan seumur hidup,” kata Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO dikutip dari laman resmi WHO, Selasa (2/12/2025).

    Rekomendasi WHO terkait obat GLP-1

    Panduan baru WHO ini berisi dua rekomendasi bersyarat utama:

    Terapi GLP-1 dapat digunakan oleh orang dewasa, kecuali wanita hamil, untuk pengobatan obesitas jangka panjang. Meskipun efektivitas obat ini jelas, rekomendasinya bersifat bersyarat karena keterbatasan data tentang efikasi dan keamanan jangka panjang, biaya saat ini, kesiapan sistem kesehatan yang tidak memadai, dan potensi implikasi kesetaraan akses.

    Intervensi perilaku intensif, termasuk diet sehat dan aktivitas fisik terstruktur, dapat ditawarkan kepada orang dewasa dengan obesitas yang diresepkan terapi GLP-1, karena bukti menunjukkan hal ini dapat meningkatkan hasil pengobatan.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/kna)

  • WHO Ungkap 840 Juta Wanita di Dunia Menghadapi Kekerasan Seksual

    WHO Ungkap 840 Juta Wanita di Dunia Menghadapi Kekerasan Seksual

    JAKARTA – Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi salah satu krisis hak asasi manusia yang paling persisten di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap bahwa hampir 1 dari 3 wanita atau diperkirakan 840 juta wanita telah mengalami kekerasan seksual selama hidup mereka.

    Angka tersebut hampir tak berubah sejak tahun 2000. Dalam 12 bulan terakhir saja, 316 juta wanita, 11 persen dari mereka berusia 15 tahun, menjadi sasaran kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan intim.

    “Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu ketidakadilan tertua dan paling meluas di antara umat manusia, namun, masih menjadi salah satu yang paling tidak ditindaklanjuti,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dikutip dari laman resmi WHO, Jumat, 21 November 2025.

    Laporan WHO bersama mitra PBB tersebut juga mencakup perkiraan nasional dan regional tentang kekerasan seksual pada perempuan, selain dari pasangan. Ditemukan 263 juta wanita telah mengalami kekerasan seksual non-pasangan sejak usia 15 tahun.

    Wanita yang mengalami kekerasan seksual akan menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, risiko lebih tinggi terkena infeksi menular seksual, dan mengalami depresi. Oleh karena itu, masalah ini harus segera diatasi dengan baik.

    “Mengakhiri kekerasan ini bukan hanya masalah kebijakan, ini adalah masalah martabat, kesetaraan, dan hak asasi manusia,” tuturnya.

    Layanan kesehatan seksual dan reproduksi adalah titik masuk penting bagi penyintas, untuk menerima perawatan berkualitas tinggi yang mereka butuhkan. Untuk itu, bagi pemerintah tiap negara diharapkan melakukan penanganan kekerasan seksual pada wanita mengikuti anjuran WHO berikut ini.

    – Meningkatkan program pencegahan berbasis bukti

    – Memperkuat layanan kesehatan, hukum, dan sosial yang berpusat pada penyintas

    – Berinvestasi dalam sistem data untuk melacak kemajuan dan menjangkau kelompok yang paling berisiko

    – Menegakkan hukum dan kebijakan yang memberdayakan perempuan dan anak perempuan

    “Memberdayakan perempuan dan anak perempuan bukanlah pilihan, itu adalah prasyarat untuk perdamaian, perkembangan, dan kesehatan. Dunia yang lebih aman untuk wanita adalah dunia yang lebih baik untuk semua orang,” pungkas Tedros.

  • WHO Kejar Target Vaksinasi 40 Ribu Anak di Gaza

    WHO Kejar Target Vaksinasi 40 Ribu Anak di Gaza

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa mereka berencana untuk memvaksinasi lebih dari 40.000 anak di Gaza sebagai perlindungan terhadap berbagai penyakit. Ini akan dilakukan dengan memanfaatkan gencatan senjata yang baru-baru ini berlaku.

    WHO dan mitra-mitranya telah memvaksinasi lebih dari 10.000 anak di bawah usia tiga tahun dalam delapan hari pertama dari fase awal kampanye yang diluncurkan pada 9 November.

    Dilansir kantor berita AFP, Kamis (20/11/2025), kepala WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan fase pertama program telah diperpanjang hingga Sabtu mendatang, dan berharap dapat melindungi anak-anak dari campak, gondongan, rubela, difteri, tetanus, batuk rejan, hepatitis B, tuberkulosis, polio, rotavirus, dan pneumonia.

    Fase kedua dan ketiga dari kampanye ini, yang dilaksanakan bekerja sama dengan UNICEF, badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA), dan kementerian kesehatan di Gaza yang berada di bawah kendali Hamas, direncanakan berlangsung pada bulan Desember dan Januari mendatang.

    Tedros mengatakan ia “terdorong untuk memastikan gencatan senjata terus berlanjut, karena memungkinkan WHO dan mitra-mitranya untuk mengintensifkan layanan kesehatan esensial di seluruh Gaza dan mendukung upaya melengkapi kembali peralatan serta rekonstruksi yang diperlukan untuk sistem kesehatannya yang hancur”.

    Sebelumnya, Dewan Keamanan PBB pada hari Senin lalu memberikan suara untuk mendukung rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang memfasilitasi tercapainya gencatan senjata pada 10 Oktober antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza.

    Gencatan senjata tersebut telah ditandai dengan beberapa pecahnya kekerasan di Gaza, yang hancur akibat perang selama lebih dari dua tahun, yang pecah setelah serangan Hamas di Israel pada 7 Oktober 2023.

    Serangan itu telah mengakibatkan kematian 1.221 orang di pihak Israel, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP dari data resmi.

    Lebih dari 69.500 warga Palestina juga telah tewas akibat serangan militer Israel, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

    Tonton juga video “WHO Ungkap Hampir 15 Juta Remaja di Dunia Ngevape”

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Atur Ketat Penjualan Rokok Elektrik Dkk

    Atur Ketat Penjualan Rokok Elektrik Dkk

    Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan perokok dua kali lebih berisiko terkena Tuberkulosis (TBC). Dan untuk melawan penyakit tersebut, kita harus melawan tembakau.

    Namun, kini produk tembakau muncul beragam jenis, termasuk rokok elektrik dan nicotine pouch. Tedros bilang produk-produk kayak gitu terbukti sama bahayanya kayak produk tembakau konvensional. Karena itu, Tedros mengingatkan semua negara untuk memperketat aturan rokok elektrik dkk seketat produk konvensional.

  • Kelaparan Tidak Berkurang di Gaza Sejak Gencatan Senjata

    Kelaparan Tidak Berkurang di Gaza Sejak Gencatan Senjata

    Geneva

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut hanya ada sedikit peningkatan jumlah bantuan yang masuk ke Gaza, Palestina, sejak gencatan senjata diberlakukan. WHO menilai situasi di Gaza masih darurat karena tidak ada pengurangan kelaparan yang signifikan.

    “Situasinya masih sangat buruk karena bantuan yang masuk tidak cukup,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, kepada wartawan di kantor pusat badan kesehatan PBB di Jenewa, dilansir AFP, Kamis (23/10/2025).

    “Sejak gencatan senjata yang ditengahi AS antara Israel dan Hamas mulai berlaku pada 10 Oktober, tidak ada pengurangan kelaparan, karena tidak ada cukup makanan,” tambahnya.

    Diketahui, Israel berulang kali menghentikan bantuan ke Jalur Gaza selama perang. Hal itu memperburuk kondisi kemanusiaan yang memprihatinkan, karena menyebabkan kelaparan di beberapa bagian wilayah Palestina.

    Namun, meskipun perjanjian yang ditengahi oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatur masuknya 600 truk per hari, Tedros menyebut saat ini hanya antara 200 hingga 300 truk yang masuk setiap hari.

    Tedros tetap memuji gencatan senjata yang tetap berlaku di Gaza meskipun ada pelanggaran. Namun, ia memperingatkan bahwa krisis di Gaza masih jauh dari selesai, dan kebutuhan pasokan makanan sangat besar.

    “Meskipun aliran bantuan telah meningkat, itu masih hanya sebagian kecil dari yang dibutuhkan,” ucapnya.

    “Tidak ada rumah sakit yang berfungsi penuh di Gaza, dan hanya 14 dari 36 rumah sakit yang berfungsi. Ada kekurangan obat-obatan esensial, peralatan, dan tenaga kesehatan yang kritis,” kata Tedros.

    Sejak gencatan senjata berlaku, WHO telah mengirimkan lebih banyak pasokan medis ke rumah sakit, dan mengerahkan tim medis darurat tambahan serta berupaya meningkatkan evakuasi medis.

    (fas/rfs)

  • Maldives Jadi Negara Pertama Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari Ibu ke Anak

    Maldives Jadi Negara Pertama Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari Ibu ke Anak

    JAKARTA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memvalidasi Maldives dalam upaya mengeliminasi penularan hepatitis B dari ibu ke anak. Negara tersebut juga mempertahankan capaian dari 2019, yakni untuk eliminasi penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak.

    Dengan demikian, Maldives menjadi negara pertama di dunia yang berhasil melakukan ‘eliminasi tiga kali lipat’, untuk penularan HIV, sifilis, dan hepatitis B dari ibu ke anak. WHO mengaku sangat mengapresiasi hal yang dilakukan Maldives tersebut untuk semakin mensejahterakan kesehatan masyarakat, terutama ibu dan anak.

    “Maldives telah menunjukkan bahwa dengan kemauan politik yang kuat dan investasi berkelanjutan dalam kesehatan ibu dan anak, eliminasi penularan penyakit mematikan ini dari ibu ke anak, beserta penderitaan yang ditimbulkannya adalah mungkin,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dikutip dari laman WHO, pada Rabu, 15 Oktober 2025.

    Tedros mengatakan bahwa capaian Maldives tersebut memberikan harapan untuk negara lainnya untuk bekerja keras mencapai tujuan yang sama.

    “Tonggak bersejarah ini memberikan harapan dan inspirasi bagi negara-negara di seluruh dunia yang bekerja menuju tujuan yang sama,” tambahnya.

    Selama bertahun-tahun, Maldives telah membangun pendekatan terpadu dan komprehensif terkait kesehatan ibu dan anak. Lebih dari 95% ibu hamil menerima perawatan antenatal, dengan tes HIV, sifilis, dan hepatitis B yang hampir universal.

    Negara ini juga memiliki sistem imunisasi yang kuat, dengan lebih dari 95 persen bayi baru lahir secara konsisten menerima dosis hepatitis B tepat waktu dan cakupan vaksin penuh, melindungi bayi dari infeksi seumur hidup. Hasilnya, tidak ada bayi yang lahir dengan HIV atau sifilis pada tahun 2022 dan 2023, sementara survei nasional tahun 2023 mengonfirmasi nol hepatitis B di antara anak-anak (kelas satu sekolah), yang mana angka ini melampaui target eliminasi.

    Pencapaian Maldives tersebut didukung oleh cakupan kesehatan universal, yang menjamin perawatan antenatal, vaksin, dan layanan diagnostik gratis bagi semua penduduk. Hal ini juga mencerminkan kemitraan yang kuat antara pemerintah, penyedia layanan kesehatan swasta, masyarakat sipil, dan mitra internasional, yang bekerja sama dalam penyaringan, layanan, penjangkauan, dan dukungan teknis.

    “Tercapainya eliminasi tiga penyakit bukan hanya sebuah tonggak sejarah bagi sektor kesehatan kita, tetapi juga sebuah janji pemerintah kepada rakyat kita bahwa kita akan terus berinvestasi dalam layanan kesehatan yang tangguh, adil dan berkualitas tinggi yang tidak meninggalkan siapa pun,” pungkas Menteri Kesehatan Maldives, Y.M. Abdulla Nazim Ibrahim.

  • Pilu 42.000 Warga Gaza Alami Luka yang Mengubah Hidup, Termasuk Amputasi

    Pilu 42.000 Warga Gaza Alami Luka yang Mengubah Hidup, Termasuk Amputasi

    Jakarta

    Memilukan! Hampir 42.000 orang, seperempatnya anak-anak, telah menderita “luka-luka yang mengubah hidup” termasuk amputasi, serta luka kepala dan tulang belakang dalam perang Israel di Gaza. Demikian diungkap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada hari Kamis (2/10) waktu setempat.

    Analisis terbaru dari badan kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut menemukan bahwa seperempat dari mereka yang terluka selama konflik dua tahun tersebut, mengalami cedera yang akan berdampak serius pada sisa hidup mereka.

    “Rehabilitasi seumur hidup akan diperlukan,” ujar Richard Peeperkorn, perwakilan WHO di wilayah Palestina, dalam konferensi pers, dilansir kantor berita AFP, Jumat (3/10/2025).

    Sejak perang dimulai usai serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, serangan balasan Israel telah menewaskan lebih dari 66.000 warga Palestina, menurut data Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas.

    Sementara itu, hampir 170.000 orang lainnya terluka, menurut sumber yang sama.

    Berdasarkan data dari 22 Tim Medis Darurat yang didukung WHO, Kementerian Kesehatan Gaza, dan mitra kesehatan lainnya, laporan hari Kamis tersebut memperkirakan 41.844 orang mengalami cedera yang mengubah hidup.

    Lebih dari 5.000 orang menghadapi amputasi, menurut laporan tersebut, memperingatkan bahwa angka tersebut mungkin “kurang” karena tidak termasuk amputasi traumatis yang terjadi pada saat cedera, di luar fasilitas kesehatan.

    “Anak-anak tampaknya sangat rentan terhadap amputasi,” ujar Pete Skelton, penulis utama laporan tersebut, kepada para wartawan.

    Kepala WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan “cedera paling umum yang membutuhkan rehabilitasi adalah cedera akibat ledakan pada kaki dan lengan”.

    Cedera lain yang mengubah hidup termasuk cedera tulang belakang, cedera otak traumatis, dan luka bakar parah. Tedros menambahkan bahwa “cedera wajah dan mata yang parah juga umum terjadi, yang mengakibatkan gangguan dan kerusakan yang signifikan”.

    Direktur WHO tersebut memperingatkan bahwa seiring bertambahnya jumlah cedera baru dan meningkatnya kebutuhan kesehatan di Gaza yang dilanda kelaparan, “sistem kesehatan kini berada di ambang kehancuran”.

    Ia menunjukkan bahwa hanya 14 dari 36 rumah sakit di Gaza yang masih berfungsi, bahkan sebagian.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Tank-Jet Tempur Israel Bombardir Kota Gaza, Warga Ramai-ramai Ngungsi

    Tank-Jet Tempur Israel Bombardir Kota Gaza, Warga Ramai-ramai Ngungsi

    Gaza City

    Tank-tank dan jet tempur Israel menggempur Kota Gaza, kota terbesar di Jalur Gaza, pada Kamis (18/9) waktu setempat, saat militer Tel Aviv semakin mengintensifkan serangan terhadap militan Hamas yang diyakini bersembunyi di pusat kota tersebut.

    Seorang pejabat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti dilansir AFP, Kamis (18/9/2025), mengecam serangan Israel, yang disebut telah memicu “gelombang baru pengungsian” di daerah kantong Palestina tersebut.

    Para wartawan AFP dan saksi mata di lokasi menyaksikan arus warga Gaza yang terus-menerus bergerak ke arah selatan dengan berjalan kaki, naik kendaraan, dan menaiki gerobak keledai. Tampak barang-barang ditumpuk tinggi di atas transportasi yang mereka gunakan.

    “Ada tembakan artileri, serangan udara, tembakan quadcopter, dan serangan drone. Pengeboman tidak pernah berhenti,” tutur Aya Ahmed (32) yang berlindung bersama 13 kerabatnya di Kota Gaza.

    “Dunia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Mereka (Israel) ingin kami mengungsi ke selatan — tetapi di mana kami akan tinggal? Tidak ada tenda, tidak ada transportasi, tidak ada uang,” katanya.

    Sejumlah warga Palestina menurutkan bahwa biaya perjalanan ke wilayah selatan Jalur Gaza melonjak drastis, dalam beberapa kasus mencapai lebih dari US$ 1.000 (sekitar Rp 16,5 juta).

    Israel mengumumkan pada Selasa (16/9) bahwa pasukannya melancarkan serangan darat ke Kota Gaza, untuk menghancurkan Hamas. Kemudian pada Rabu (17/9), militer Tel Aviv mengumumkan pembukaan “rute transportasi sementara melalui Jalan Salah al-Din” bagi warga yang meninggalkan Kota Gaza.

    Juru bicara militer Israel, Kolonel Avichay Adraee, menyebut koridor itu hanya akan dibuka selama 48 jam.

    Serangan terus-menerus ke Jalur Gaza, terutama Kota Gaza, telah memicu kemarahan di kalangan internasional.

    “Serangan militer dan perintah evakuasi di Gaza bagian utara memicu gelombang pengungsian baru, memaksa keluarga-keluarga yang trauma mengungsi ke wilayah yang semakin menyempit dan tidak layak huni,” ujar Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam kritikannya.

    “Rumah sakit, yang sudah kewalahan, berada di ambang kehancuran karena meningkatnya kekerasan yang menghalangi akses dan mencegah WHO mengirimkan pasokan penyelamat nyawa,” sebutnya.

    Beberapa rumah sakit di Gaza melaporkan ada tiga anak di antara 12 korban tewas dalam serangan Israel di Kota Gaza semalam. Sementara badan pertahanan sipil Gaza melaporkan serangan Israel telah menewaskan sedikitnya 64 orang sepanjang Rabu (17/9), termasuk 41 orang di Kota Gaza.

    Militer Israel juga mengatakan pasukannya terus menargetkan “infrastruktur teror Hamas” dan juga beroperasi di wilayah selatan di Rafah dan Khan Younis.

    Lihat juga Video: Korban Tewas di Gaza Tembus 65.000 Orang

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Video: WHO Cabut Status Darurat Cacar Monyet

    Video: WHO Cabut Status Darurat Cacar Monyet

    JakartaOrganisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut status penyakit Mpox atau cacar monyet sebagai darurat kesehatan internasional. Pencabutan status darurat Mpox itu disampaikan Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.

    Meski demikian, pencabutan status darurat Mpox tak serta merta penyakit tersebut berakhir.

    (/)

  • WHO Cabut Status Darurat Global Penyakit Mpox, Ini Alasannya

    WHO Cabut Status Darurat Global Penyakit Mpox, Ini Alasannya

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan mencabut status darurat global atau public health emergency of international concern terkait Mpox. Pengumuman ini menyusul pertemuan kelima Komite Darurat IHR mengenai lonjakan mpox.

    “Tentu saja, mencabut deklarasi darurat tidak berarti ancaman telah berakhir, atau respons kita akan berhenti,” tutur Dirjen WHO Tedros Adhanom dikutip dari akun X pribadinya, Minggu (7/9/2025).

    Keputusan ini didasarkan pada penurunan kasus dan kematian yang berkelanjutan di Republik Demokratik Kongo dan di negara-negara lain yang terdampak, termasuk Burundi, Sierra Leone, dan Uganda. Kini terdapat pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor pendorong penularan dan risiko keparahan, dan negara-negara yang paling terdampak telah mengembangkan kapasitas respons berkelanjutan.

    WHO menyatakan mpox sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional, tingkat kewaspadaan tertingginya pada bulan Agustus tahun lalu, ketika wabah jenis baru mpox mulai menyebar dari DRC ke negara-negara tetangga.

    Menyoal Mpox

    Mpox, atau yang dulu dikenal sebagai penyakit cacar monyet dapat menyebar melalui kontak dekat. Biasanya ringan, namun fatal dalam kasus yang jarang terjadi. Penyakit ini menyebabkan gejala seperti flu dan lesi bernanah pada tubuh.

    Anak-anak, ibu hamil, dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti penderita HIV, semuanya berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi.

    Meskipun mpox masih menjadi masalah kesehatan, WHO memutuskan untuk menurunkan status PHEIC berdasarkan saran dari Komite Darurat, yang bertemu setiap tiga bulan untuk mengevaluasi wabah tersebut.

    “Sementara kita mencabut status darurat, kita perlu mempertahankan urgensinya,” kata Dimie Ogoina dari Komite Darurat.

    Dari kasus-kasus yang tercatat, terdapat tingkat kematian yang mengkhawatirkan di antara orang yang hidup dengan HIV/AIDS, khususnya di Uganda dan Sierra Leone, serta tanda-tanda kerentanan di antara bayi dan anak-anak di Republik Demokratik Kongo, kata Ogoina.

    Bentuk baru mpox, klade Ib, masih dominan menyerang Afrika sub-Sahara. Kasus-kasus terkait perjalanan juga telah ditemukan di Thailand, Inggris, dan negara-negara lain.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/kna)