Anggota DPR: Kalau Negara Ikuti Aturan, Tak Ada Polisi Aktif Boleh Duduki Jabatan Sipil
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Anggota Fraksi PDI-P DPR RI TB Hasanuddin mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait larangan polisi aktif menduduki jabatan sipil, hanya mempertegas aturan yang telah tertuang di Undang-Undang Polri.
Atas dasar itu, pemerintah semestinya ejak awal harus sudah mematuhi ketentuan tersebut dengan tidak menempatkan anggota
Polri
aktif di jabatan sipil.
“Putusan MK hanya mengulang dan mempertegas apa yang sudah ada dalam UU Kepolisian. Artinya, pemerintah sejak awal wajib menaati larangan tersebut,” ujar Hasanuddin, Minggu (16/11/2025).
“Namun kenyataannya, pemerintah tidak menjalankan ketentuan Pasal 28 UU 2/2002,” sambungnya.
Anggota Komisi I DPR RI itu menerangkan bahwa Pasal 28 ayat 3 pada UU Nomor 2 2002 tentang Polri, mengatur
polisi
dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Di bagian penjelasan Pasal 28 Ayat 3, lanjut Hasanuddin, tertulis bahwa maksud kata jabatan di luar kepolisian adalah tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.
“Frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ itulah yang dinyatakan MK bertentangan dengan UUD Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Hasanuddin.
“Sebetulnya tanpa putusan MK pun, kalau negara mengikuti aturan yang dibuatnya sendiri, tidak ada anggota Polri aktif yang boleh menjabat di ranah sipil. Hal ini sangat tegas diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002,” sambungnya.
Atas dasar itu, Hasanuddin berpandangan bahwa putusan MK terbaru ini sudah seharusnya dijalankan oleh pemerintah. Sebab, dengan adanya putusan tersebut tidak lagi ditafsirkan secara bebas.
“Ini soal kepatuhan terhadap hukum. Kalau undang-undang sudah tegas, ya harus dipatuhi. Putusan MK menegaskan kembali bahwa aturan itu wajib dijalankan dan tidak bisa ditafsirkan secara bebas,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh lagi menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, termasuk jika penugasan itu berdasarkan arahan atau perintah Kapolri semata.
Putusan itu dibacakan dalam sidang pleno dengan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
“Amar putusan, mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam pembacaan putusan.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menegaskan, frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” merupakan syarat mutlak bagi anggota Polri yang ingin menduduki jabatan sipil.
Menurut MK, rumusan tersebut sudah jelas dan tidak memerlukan penafsiran tambahan karena bersifat expressis verbis atau disebut secara tegas dalam norma hukum.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: TB Hasanuddin
-
/data/photo/2025/05/16/682693d74c0aa.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Anggota DPR: Kalau Negara Ikuti Aturan, Tak Ada Polisi Aktif Boleh Duduki Jabatan Sipil
-
/data/photo/2025/03/15/67d523df21c95.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Pemerintah Diminta Kaji Rencana Kirim Pasukan Perdamaian ke Gaza Tanpa Izin PBB Nasional
Pemerintah Diminta Kaji Rencana Kirim Pasukan Perdamaian ke Gaza Tanpa Izin PBB
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mengimbau pemerintah mengkaji terlebih dahulu rencana pengiriman pasukan perdamaian ke Gaza, Palestina, tanpa payung hukum dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Hal itu disampaikan Hasanuddin sebagai respons atas pernyataan Menteri Pertahanan
Sjafrie Sjamsoeddin
soal pengiriman
pasukan perdamaian
, dengan persetujuan organisasi internasional yang diinisiasi Amerika Serikat.
“Jika ada opsi alternatif di luar payung PBB, Kemenlu harus benar-benar mengkajinya secara hati-hati. Perlu dipelajari ruang lingkup misi tersebut, tujuan dan targetnya, serta bagaimana penerimaan internasionalnya,” ujar Hasanuddin dalam keterangan tertulisnya kepada
Kompas.com
, Minggu (16/11/2025).
Politikus PDI-P itu juga menyoroti mekanisme pendanaan untuk pengiriman pasukan perdamaian ke
Gaza
yang disebut mencapai 20.000 prajurit.
Hasanuddin mengingatkan bahwa pemerintah harus menghitung secara cermat beban anggaran terhadap rencana kebijakan tersebut.
“Pendanaan misi perdamaian harus diperhitungkan matang. Kita perlu melihat seberapa besar kontribusi yang dibebankan kepada Indonesia karena nantinya menggunakan APBN dan harus dapat dipertanggungjawabkan,” jelas Hasanuddin.
Pensiun perwira tinggi
TNI
itu mengakui bahwa rencana pengiriman pasukan perdamaian tersebut sesuai koridor yang diatur Undang-Undang (UU) TNI.
Dalam beleid tersebut, kata Hasanuddin, terdapat ketentuan soal Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang menyebutkan bahwa TNI juga memiliki tugas melaksanakan misi perdamaian dunia sesuai kebijakan politik luar negeri Indonesia.
“Secara historis, Indonesia sudah terlibat aktif dalam pengiriman pasukan perdamaian sejak tahun 1950-an. Jadi kontribusi kita pada misi perdamaian bukan hal baru dan merupakan bagian dari komitmen diplomasi Indonesia.
Meski begitu, Hasanuddin menegaskan bahwa pelaksanaan misi perdamaian tersebut tetap harus berpijak dan sesuai dengan hukum Internasional yang berlaku.
“Indonesia selalu menempatkan pasukan dalam kerangka misi perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diakui dan diterima oleh seluruh negara anggota,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyebutkan, Presiden Prabowo berencana mengirim pasukan perdamaian ke Gaza, Palestina, melalui Yordania.
Hal tersebut diungkapkan Sjafrie usai bertemu Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Yordania, Mayor Jenderal Pilot Yousef Ahmed Al-Hunaity, di Kementerian Pertahanan, Jumat (14/11/2025).
“Presiden Prabowo menyiapkan pasukan cukup besar karena, sebagaimana teman-teman tahu, kita sedang menyiapkan juga pembangunan kekuatan kita di Indonesia yang juga sedang kita tingkatkan,” ujar Sjafrie.
“Jadi, pemikiran beliau, kita maksimalkan 20.000 prajurit yang kita siapkan, tetapi spesifikasinya kepada kesehatan dan juga konstruksi,” tambah dia.
Pengiriman pasukan ini dilakukan setelah pemerintah melihat adanya upaya perdamaian antara Palestina dan Israel, seperti gencatan senjata dan pelucutan senjata yang telah berlangsung.
Dengan demikian, pasukan yang dikirim nantinya bertugas menjaga situasi damai agar dapat bertahan lebih lama hingga tercapai perundingan politik.
Namun, untuk mengirim pasukan perdamaian ke Gaza, Indonesia menunggu persetujuan beberapa pihak. Salah satu dari dua alternatif adalah mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Yang kedua adalah di bawah persetujuan organisasi internasional yang diinisiasikan oleh Presiden Amerika Serikat,” kata dia.
“Nah, ini yang memerlukan pembicaraan yang tentunya tidak dalam waktu singkat, tapi memerlukan satu kesepakatan bersama. Bagi Indonesia, kita akan semua terlibat mendukung apabila semua negara-negara yang punya kompetensi itu setuju atas keterlibatan Indonesia,” ujar dia.
Kelima negara itu adalah Arab Saudi, Yordania, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat Arab.
Apabila kelima negara tersebut memberi persetujuan, Indonesia dengan senang hati akan terlibat mengirimkan pasukan perdamaian.
“Tentu saja Israel, karena Israel adalah bagian yang sangat kompeten di dalam persoalan ini,” ungkap Sjafrie.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
melalui donasi.
Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama
akun kamu. -
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5163629/original/058837200_1742024202-25f9fce3-01a2-4995-8015-ee20285dd90a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
TB Hasanuddin: Tanpa Putusan MK, Sebetulnya Polisi Tak Bisa Duduki Jabatan Sipil Kalau Negara Ikut Aturan
Liputan6.com, Jakarta- Anggota Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin, menilai polemik penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil seharusnya tidak berlarut jika pemerintah konsisten menjalankan aturan. Dia menegaskan, larangan itu sudah jelas tertulis dalam Pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
“Sebetulnya tanpa putusan MK pun, kalau negara mengikuti aturan yang dibuatnya sendiri, tidak ada anggota Polri aktif yang boleh menjabat di ranah sipil. Hal ini sangat tegas diatur dalam UU Nomor 2/2002,” ujar TB Hasanuddin dalam keterangannya, Jumat (14/11/2025).
Menurutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi terbaru mempertegas kembali larangan bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil.
“Putusan MK hanya mengulang dan mempertegas apa yang sudah ada dalam UU Kepolisian. Artinya, pemerintah sejak awal wajib menaati larangan tersebut. Namun kenyataannya, pemerintah tidak menjalankan ketentuan Pasal 28 UU 2/2002,” tegasnya.
Menurut TB Hasanuddin, ketidakpatuhan pemerintah terhadap aturan yang dibuatnya sendiri memicu kerancuan di publik dan berpotensi merusak prinsip dasar profesionalisme kepolisian serta batas yang jelas antara lembaga penegak hukum dan birokrasi sipil.
“Ini soal kepatuhan terhadap hukum. Kalau undang-undang sudah tegas, ya harus dipatuhi. Putusan MK menegaskan kembali bahwa aturan itu wajib dijalankan dan tidak bisa ditafsirkan secara bebas,” tutupnya.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4740283/original/060805600_1707660459-567y7u8i9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Masuk Daftar PSN, Proyek Pusat Data Nasional Harus Segera Rampung
Liputan6.com, Jakarta Komisi I DPR mendukung penyelesaian proyek Pusat Data Nasional (PDN). Komisi I menilai, proyek yang masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut perlu dieksekusi secara serius demi kepentingan publik.
Pasalnya, berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Komunikasi dan Digitalisasi (Komdigi) periode 2020-2024, pembangunan dua PDN seharusnya sudah selesai dan beroperasi pada tahun 2024.
Namun, hingga saat ini PDN belum juga beroperasi dan pembangunannya baru 97% untuk PDN 1, dan PDN 2 baru 2,4%. Dalam Renstra terbaru yang saat ini dalam tahap konsultasi publik, Komdigi Kembali menargetkan tiga PDN dapat beroperasi seluruhnya pada tahun 2029 atau hingga akhir periode pemerintah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menilai pembangunan PDN merupakan hal urgen untuk diselesaikan sesegera mungkin. Jika target operasional semakin menjauh dari batas ambang waktu, maka akan menimbulkan beberapa dampak yang signifikan, terutama terganggunya layanan publik seperti imigrasi dan perekonomian. Contoh nyata adalah serangan ransomware yang terjadi pada Juni 2024 lalu.
Harapannya, dengan PDN yang tengah dibangun ini, dapat lebih kuat dan meminimalisir dampak serangan sejenis jika terjadi lagi.
“PDN yang saat ini sedang dibangun direncanakan akan memiliki standar keamanan Tier IV, yang mana satu kegagalan tunggal tidak akan menyebabkan kegagalan pada keseluruhan sistem, sehingga PDN ini sangat penting untuk segera beroperasi. Molornya operasional PDN akan menghambat konsolidasi data untuk mewujudkan Satu Data Indonesia,” kata Hasanuddin, Kamis (6/11).
Apabila kian berlarut, Hasanuddin meneruskan, anggaran pembangunan PDN juga akan semakin membengkak. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan Komdigi untuk memastikan operasional Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) tetap berjalan lancar di saat PDN belum bisa beroperasi. Sebab, anggaran operasional PDNS menjadi tanggung jawab pemerintah dan harus diselesaikan sesuai dengan kontraknya.
-

Setjen DPR Sebut Aksi Joget Uya Kuya Cs di Sidang Tahunan Bukan Soal Kenaikan Gaji
Bisnis.com, JAKARTA — Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR menegaskan aksi joget anggota parlemen saat rangkaian acara sidang tahunan MPR pada Agustus lalu merupakan spontanitas.
Pernyataan itu diungkap Suprihatini selaku Deputi Bidang Persidangan Sekretariat Jenderal DPR saat sidang terkait lima anggota DPR yang dinonaktifkan pada Senin (3/11/2025).
Kelima anggota DPR itu yakni Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi Nasdem, Adies Kadir dari Fraksi Golkar, serta Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Surya Utama (Uya Kuya) dari Fraksi PAN.
Mulanya, anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MHK) Habiburokhman menanyakan kepada saksi Suprihartini soal pemutaran musik dalam sidang tahunan itu.
“Lagu yang dipilih itu lagu daerah ya? Bukan Pop, bukan ya? Pertimbangannya apa?” ujar Habiburokhman dalam sidang MKD.
Suprihartini menjelaskan bahwa pemilihan lagu ini merupakan bentuk apresiasi kepada budaya daerah untuk acara kenegaraan. Setelahnya, Habiburokhman kembali bertanya soal kaitan anggota parlemen yang berjoget dengan pemutaran lagu daerah itu.
“Jadi ada anggota DPR menikmati lagu tersebut ikut berjoget itupun apresiasi terhadap budaya daerah?” tanya Habiburokhman.
“Memberikan apresiasi Betul, terhadap budaya daerah,” jawab Suprihatini.
Selanjutnya, anggota MKD lainnya yakni TB Hasanuddin ikut bertanya kepada Suprihartini. Pertanyaannya masih seputar pemutaran lagu daerah dan diiringi aksi joget anggota parlemen.
Hasanuddin pun bertanya bagaimana tanggapan Suprihatini terkait kondisi kebatinan anggota parlemen yang berjoget dalam sidang tahunan itu.
“Ketika ada orang merespons dengan baik dalam suasana yang tadi disampaikan kebatinan gembira kemudian selesai bekerja keras, menurut saksi kira kira bagaimana kondisi situasi saat itu?” tanya TB Hasanuddin.
“Baik yang mulia, menurut pandangan kami itu bentuk apresiasi peserta sidang terhadap persembahan lagu daerah dan dilakukan spontanitas tanpa kami ada arahan dan sebagainya,” jawab Suprihatini.
Lebih lanjut, Suprihatini menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah membahas soal kenaikan gaji atau tunjangan lainnya sebelum para anggota Parlemen berjoget di ruang sidang.
“Tidak ada pembahasan kenaikan gaji atau tunjangan lainnya,” pungkasnya.
-

PDIP perkuat kapasitas kader beri pendampingan bagi pekerja migran
Jakarta (ANTARA) – Ketua DPP PDIP Bidang Tenaga Kerja dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Mercy Barends mengatakan PDIP telah menyusun sejumlah rekomendasi dan akan pembekalan kepada kadernya dalam memberikan perlindungan kepada pekerja Indonesia baik domestik maupun migran.
Mercy menyebut PDIP perlu menegaskan posisi ideologinya dan hadir sebagai partai pro-pekerja serta menyiapkan Sistem Manajemen Kasus Tenaga Kerja dan Perlindungan Migran Indonesia (TKP2MI) terpadu berbasis struktural partai dengan membentuk sayap partai.
“Melakukan penguatan kapasitas kader dan relawan partai sebagai pendamping dan paralegal TKP2MI serta melakukan fungsi integrasi secara secara kolaboratif lintas multi-pihak untuk fungsi advokasi, pendampingan dan pemulihan fisik, psikososial, hukum, pemberdayaan ekonomi dan administrasi secara holistik dan terpadu,” kata Mercy dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Hal itu disampaikan Mercy dalam lokakarya bertajuk Kajian Kritis: Regulasi, Layanan dan Diplomasi Tenaga Kerja Domestik dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Sekolah Partai Lenteng Agung.
Dalam kesempatan itu Mercy juga mendorong kampanye publik dan reformasi kebijakan yang pro pekerja.
Oleh karena itu, dia menambahkan kerja sama multi pihak sangat diharapkan dalam perlindungan pekerja, antara lain pemerintah, dunia usaha, serikat buruh termasuk partai politik.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Eva Trisiana memaparkan sejumlah tantangan utama dalam ketenagakerjaan domestik.
Dimana, ada soal pengangguran dan mismatch pendidikan-industri; dominasi sektor informal dan lemahnya jaminan sosial serta belum adanya UU khusus pekerja domestik karena RUU Pekerja Rumah Tangga belum disahkan, akibatnya perlindungan melemah.
Tak hanya itu, dampak otomasi dan digitalisasi dunia kerja yang membuat kebutuhan tenaga kerja menjadi berkurang.
“Layanan publik ketenagakerjaan dan mekanisme pengaduan belum optimal, sistem layanan belum terintegrasi untuk sektor informal,” ujarnya.
Tak sampai di situ, Eva juga mengungkapkan arah transformasi kebijakan ketenagakerjaan nasional. Salah satunya, reformasi regulasi dan perlindungan pekerja domestik mulai dari penyusunan regulasi, perluasan jaminan sosial dan layanan publik ketenagakerjaan.
“Peningkatan kualitas, keterampilan, dan martabat pekerja domestik,” jelasnya.
Dalam menjawab tantangan pekerja domestik, Eva mengatakan strategi dan kolaborasi yang harus dilakukan baik pemerintah dan masyarakat diantaranya koordinasi lintas sektor dan pemerintahan daerah; partisipasi organisasi pekerja domestik dan LSM; integrasi data dan digitalisasi layanan dan tentunya peningkatan kapasitas fungsional pengantar kerja, pengawas dan mediator.
Maka dari itu, dalam menjawab permasalahan pekerja domestik diperlukan transformasi kebijakan ketenagakerjaan nasional adalah langkah menuju keadilan sosial.
“Kemnaker berkomitmen menyediakan pekerjaan layak, menjamin perlindungan sosial, dan meningkatkan martabat serta kesejahteraan tenaga kerja domestik,” kata Eva.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas HAM Anis Hidayat mengatakan bahwa hak setiap orang dengan bebas dan tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan yang menghormati hak fundamental dan martabat sebagai manusia.
Serta, memberi pemasukan yang layak untuk diri dan keluarga, serta menjamin keamanan, kesehatan fisik dan mental, dan keselamatan.
“Termasuk di dalamnya hak kolektif untuk berserikat, berunding, dan mendorong perlindungan sosial,” jelas Anis.
Turut hadir dalam acara ini, Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto yang memberi sambutan serta anggota DPR RI TB Hasanuddin, Nico Siahaan, Wayan Sudirta, Pulung Agustanto dan Edy Wuryanto. Lalu, Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning dan Sri Rahayu.
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

PDIP: Megawati minta pemulangan pekerja migran tak ditunda-tunda
Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menegaskan komitmennya dalam perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang mendapat perlakukan tidak adil di luar negeri.
Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan Presiden Kelima RI itu juga terus mempertegas mekanisme pemulangan PMI harus dilaksanakan dengan cepat. Pasalnya, perlindungan terhadap PMI yang menghadapi persoalan, tidak boleh ditunda-tunda dalam proses pemulangan.
“Ibu Megawati mempertegas jika ada persoalan, proses pemulangan jangan ditunda-tunda,” kata Hasto dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Hal itu diceritakan Hasto oleh saat membuka lokakarya bertajuk Kajian Kritis: Regulasi, Layanan dan Diplomasi Tenaga Kerja Domestik dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Sekolah Partai Lenteng Agung.
Megawati juga mempertegas komitmennya terhadap aspek perlindungan PMI dengan menghadirkan Bidang Tenaga Kerja dan Perlindungan Pekeria Migran Indonesia dalam struktur Partai pada periode 2025-2030.
Megawati bahkan rela turun langsung untuk memberikan perlindungan kepada PMI. Dimana, salah satunya kasus PMI di Rusia yang ditanganinya secara langsung demi memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia.
“Berkaitan dengan seringnya persoalan yang dihadapi Buruh Migran Indonesia, Ibu Mega langsung turun tangan. Contoh terakhir di Rusia, Ibu Mega langsung menghubungi Wakil Dubes Rusia untuk Indonesia Veronika Novoselteva berkaitan dengan pemulangan warga Indonesia,” kata Hasto.
Hasto juga menyampaikan pesan yang selalu disampaikan Megawati kepada seluruh kader PDI Perjuangan di seluruh Indonesia dan Dewan Pimpinan Luar Negeri (DPPN) bahwa jalankan terus ideologi Pancasila sebagai pegangan dalam melindungi Pekerja Migran Indonesia.
“Jalankan ideologi Pancasila dengan sebaik-baiknya dalam melindungi pekerja Indonesia. Karena sesuai ideologi Pancasila, dalam Konstitusi kita telah mengatakan dan sudah diatur bahwa setiap warga negara punya hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan,” jelas Hasto menyampaikan pesan Megawati.
Lokakarya ini juga menghadirkan sejumlah nara sumber diantaranya, Sekretaris Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Eva Trisiana; Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayat; Ketua DPP PDIP Bidang Tenaga Kerja dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Mercy Barends serta perwakilan organisasi buruh.
Turut hadir dalam acara ini, anggota DPR RI TB Hasanuddin, Nico Siahaan, Wayan Sudirta, Pulung Agustanto dan Edy Wuryanto. Lalu, Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning dan Sri Rahayu.
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

PDIP tekankan pendekatan ideologis dalam Perlindungan Pekerja
Kami bisa membantu pemerintah untuk mengaktifasi kader-kader PDI Perjuangan yang juga berada di seluruh dunia. Bahkan kita bisa mendirikan semacam komite kerja atau semacam task force untuk melindungi buruh-buruh migran
Jakarta (ANTARA) – Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa partainya menekankan masalah perlindungan pekerja lebih dari sekadar persoalan teknis, pelanggaran hukum atau hak asasi manusia (HAM) semata, melainkan sebagai persoalan ideologis.
Hal itu disampaikannya menyoroti berbagai persoalan serius yang dihadapi oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI), baik domestik maupun migran.
“Kita melihat berbagai persoalan yang terjadi, seperti penempatan ilegal dan perdagangan orang, kekerasan fisik dan psikis, tidak digaji sesuai dengan kontrak, dokumen kerja palsu atau disiksa oleh majikan,” kata Hasto dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Hal itu disampaikan Hasto dalam workshop bertajuk Kajian Kritis: Regulasi, Layanan dan Diplomasi Tenaga Kerja Domestik dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Acara yang digelar di Sekolah Partai PDIP Lenteng Agung, Jakarta ini turut diikuti oleh Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, kader partai hingga perwakilan dari pemerintah yakni Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) serta Komnas HAM.
Hasto menambahkan berbagai tragedi kemanusiaan terkait pekerja menggugah perasaan semua pihak untuk melindungi pekerja Indonesia. Oleh karena itu, Hasto menegaskan bahwa PDIP memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi seluruh bangsa Indonesia.
Pria kelahiran Yogyakarta itu menyebut peran Dewan Pimpinan Luar Negeri (DPLN) PDIP yang dapat membantu pemerintah dalam melindungi buruh migran yang berada di berbagai negara.
Untuk memperkuat perlindungan, Hasto mengusulkan pembentukan satuan tugas khusus.
“Kami bisa membantu pemerintah untuk mengaktifasi kader-kader PDI Perjuangan yang juga berada di seluruh dunia. Bahkan kita bisa mendirikan semacam komite kerja atau semacam task force untuk melindungi buruh-buruh migran,” jelas Hasto.
Hasto pun mengingatkan kembali pada cita-cita pendirian Republik Indonesia, bahwa negara hadir untuk menjamin bekerjanya kemanusiaan dan keadilan sosial dan kehidupan yang layak bagi semua warga negaranya.
“Ini yang harus kita sentuh dengan mengingatkan kembali bahwa pada dasarnya Republik ini dibangun dengan suatu cita-cita besar, cita-cita keadilan sosial. Cita-cita di mana dalam demokratisasi ekonomi harus memastikan setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan penghidupan yang layak secara kemanusiaan atas pekerjaannya,” kata Hasto.
Langkah pembentukan taskforce perlindungan pekerja migran ini diharapkan dapat menjadi aksi nyata PDIP dalam menyelesaikan masalah-masalah aktual yang dihadapi pekerja migran Indonesia, terutama di wilayah-wilayah rawan seperti perbatasan Thailand dan Kamboja, sekaligus mengingatkan pemerintah akan mandat konstitusionalnya.
Workshop ini juga menghadirkan sejumlah nara sumber diantaranya, Sekretaris Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Eva Trisiana; Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayat; Ketua DPP PDIP Bidang Tenaga Kerja dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Mercy Barends serta perwakilan organisasi buruh.
Turut hadir dalam acara ini, anggota DPR RI TB Hasanuddin, Nico Siahaan, Wayan Sudirta, Pulung Agustanto dan Edy Wuryanto. Lalu, Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning dan Sri Rahayu.
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
/data/photo/2025/10/01/68dd2a3e312b4.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Sikap Hormat Puan di Dua Momentum Kenegaraan Jadi Sorotan, Begini Aturannya Nasional 1 Oktober 2025
Sikap Hormat Puan di Dua Momentum Kenegaraan Jadi Sorotan, Begini Aturannya
Tim Redaksi
KOMPAS.com
– Sikap Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani dalam dua momentum kenegaraan menjadi sorotan publik.
Pada dasarnya, sikap seseorang saat upacara kenegaraan kerap menjadi perhatian, khususnya ketika menyangkut momen simbolik, seperti pengibaran bendera atau lagu kebangsaan sedang dinyanyikan.
Salah satunya terlihat saat upacara Hari Kesaktian Pancasila yang digelar di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Rabu (1/10/2025). Dalam kesempatan itu, Puan tampak memberi hormat kepada Bendera Merah Putih yang dikibarkan.
Gestur Puan tersebut sesuai dengan Pasal 15 ayat 1 dan 2 Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam pasal itu disebutkan:
(1) Pada waktu penaikan atau penurunan Bendera Negara, semua orang yang hadir memberi hormat dengan berdiri tegak dan khidmat sambil menghadapkan muka pada Bendera Negara sampai penaikan atau penurunan Bendera Negara selesai.
(2) Penaikan atau penurunan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Momentum lain yang juga jadi perbincangan publik adalah saat pelantikan menteri dan wakil menteri pada 17 September 2025. Prosesi ini dilaksanakan tanpa pengibaran Bendera Merah Putih.
Tayangan di kanal YouTube Sekretariat Presiden memperlihatkan Puan berdiri tegak dengan sikap hormat, namun tanpa gerakan tangan, ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan.
Gestur tersebut menuai beragam tanggapan warganet. Ada yang mempertanyakan, bahkan sebagian melontarkan komentar negatif.
Namun, mengacu pada Pasal 62 UU Nomor 24 Tahun 2009, sikap Puan tetap sesuai aturan. Pasal tersebut menyebutkan, setiap orang yang hadir saat lagu kebangsaan dinyanyikan wajib berdiri tegak dengan sikap hormat.
Makna “sikap hormat” dalam konteks sipil bukanlah hormat tangan seperti gaya militer, melainkan berdiri tegak dengan sikap sempurna, yakni meluruskan lengan ke bawah, mengepalkan tangan, ibu jari menghadap ke depan dan merapat pada paha, serta pandangan lurus ke depan.
Tidak ada ketentuan dalam UU yang mewajibkan seseorang untuk mengangkat tangan sebagai gestur hormat saat lagu kebangsaan dinyanyikan, tanpa adanya pengibaran atau penurunan Bendera Merah Putih.
Anggota Komisi I DPR, Mayjen (Purn) TNI AD TB Hasanuddin, menegaskan sikap Puan sudah benar.
“Penghormatan harus angkat tangan kalau pakai penutup kepala,” ujarnya, dalam keterangan resminya, Rabu (1/10/2025).
Senada dengan Hasanuddin, dosen Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Budi Mulyono menyebut sikap hormat tanpa gerakan tangan juga kerap dilakukan Presiden RI Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Pada masa awal kemerdekaan, dokumentasi sejarah menunjukkan keduanya berdiri tegak saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan, meski tidak selalu memberi hormat tangan secara militer.
Kedua tokoh tampak berdiri dengan sikap penuh hormat, meski tidak selalu melakukan hormat tangan secara militer.
Budi menjelaskan, terkadang Presiden Soekarno memberi hormat dengan gaya militer, sementara Bung Hatta menunjukkan sikap hormat tegak berdiri tanpa mengangkat tangan.
“Soekarno dengan gaya militernya, meskipun ia bukan dari kalangan militer, tetapi dia suka dengan
style
seperti itu. Sementara Hatta cukup diam berdiri tegak, bersikap hikmat dan hormat,” jelasnya seperti dikutip dalam artikel Deutsche Welle (DW) Indonesia.
Lebih lanjut, Budi memaparkan, pemberian hormat dengan menempatkan tangan kanan di pelipis merupakan gestur yang dipakai oleh personel militer yang kemudian diadopsi sebagai kebiasaan oleh unsur sipil, terutama saat lagu kebangsaan dinyanyikan atau diperdengarkan.
Namun, dalam konteks sipil, sikap berdiri tegak sesuai UU sudah cukup.
“Ada yang mengatakan kalau hormat militer itu dalam posisi yang lebih tinggi karena instansi militer menempatkan gestur tersebut sebagai kehormatan yang lebih tinggi. Tetapi untuk kegiatan-kegiatan sipil, saya kira tidak ada yang lebih tinggi di antara keduanya,” ucap Budi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.