Tag: Tauhid Ahmad

  • Ekonomi RI Semester I Tumbuh 5,08%, Target Jokowi 5,2% Tak Bakal Happy Ending?

    Ekonomi RI Semester I Tumbuh 5,08%, Target Jokowi 5,2% Tak Bakal Happy Ending?

    Jakarta

    Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I-2024 tumbuh di angka 5,08%, sementara untuk kuartal II 2024 berada di angka 5,05%. Apakah ini tanda target Presiden Joko Widodo agar perekonomian Indonesia tumbuh 5,2% sulit tercapai?

    Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad, mengatakan bahwa fakta yang dipaparkan BPS menunjukkan bahwa target Jokowi bakal sulit dicapai. Sebab, idealnya jika pemerintah ingin mencapai pertumbuhan ekonomi di angka 5,2%, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2024 dan kuartal II 2024 harus berada di atas angka 5,1%.

    Oleh sebab itu, Ahmad mengatakan bahwa paparan BPS yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi RI kini berada di bawah angka 5,1% menunjukkan bahwa situasi perekonomian saat ini tidak ideal untuk mencapai target 5,2%.

    “Menurut saya tidak ideal, harusnya bertahan karena targetnya kan 5,2%. Kalau 5,2% tapi dua kuartal sudah di bawah 5,1%. Berat untuk kuartal III 2024 dan kuartal IV-2024-nya. Biasanya, mengumpulkan poin itu di kuartal I dan kuartal II, jadi menurut saya tidak ideal karena jelas target 5,2% pemerintah Jokowi itu tidak happy ending,” kata Ahmad kepada detikcom, Senin (5/8/2024).

    Di sisi lain, Ahmad menilai sejatinya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2024 5,05% sejatinya ditopang oleh sejumlah hari raya. Tanpa hal tersebut, ia mengatakan perekonomian Indonesia bisa turun di bawah angka 5%.

    Ia pun mewanti-wanti pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2024 yang akan berjalan mulai Juli sampai September mendatang. Jika pemerintah tidak mendorong konsumsi, akan sulit bagi perekonomian Indonesia untuk bertahan di angka 5%.

    Menurutnya, ada berbagai faktor yang menyebabkan hal tersebut. Mulai dari tanda-tanda deflasi, sampai ketiadaan momentum yang mendorong masyarakat untuk berbelanja. “Tidak ada momentum lagi di kuartal III-2024 sebagai motor pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.

    Oleh sebab itu, untuk menjaga roda perekonomian Indonesia terus berputar pada kuartal III-2024, Ahmad mengatakan pemerintah harus menggenjot konsumsi konsumsi pemerintah meski kontribusinya hanya 8% terhadap perekonomian nasional. Upaya lainnya termasuk menjaga arus barang impor untuk menjaga geliat industri dalam negeri.

    Selain itu, konsumsi yang dilakukan oleh para calon di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) juga diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. “Konsumsi pemerintah juga berkaitan dengan Pilkada, nah Pilkada ini diharapkan ada akumulasi belanja pemerintah maupun para calon kandidat untuk bisa menambah daya gebrak, terutama dari belanja pemerintah, untuk mendorong konsumsi masyarakat,” jelas dia.

    (kil/kil)

  • Faisal Basri soal Rencana Prabowo Naikkan Rasio Utang: Stabilitas Makro Goyang

    Faisal Basri soal Rencana Prabowo Naikkan Rasio Utang: Stabilitas Makro Goyang

    Jakarta

    Ekonom Senior Faisal Basri menilai rencana presiden terpilih Prabowo Subianto yang dikabarkan akan menaikkan rasio utang hingga 50% terhadap produk domestik bruto (PDB) berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi makro Indonesia.

    Faisal Basri mengatakan peningkatan rasio utang hingga pelebaran defisit di atas batas 3% dari PDB membutuhkan ongkos yang sangat mahal. Terlebih jika tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan negara.

    “Kalau dipaksakan, ya siap-siap saja makro stability-nya goyang. Ongkosnya mahal,” kata Faisal Basri kepada wartawan dikutip Kamis (11/7/2024).

    Faisal Basri juga bicara desas-desus yang menyebut batas rasio utang 60% dan batas defisit 3% dari PDB akan dihapus di pemerintahan Prabowo. Jika benar, hal itu disebut tidak ada disiplin fiskal bagi pemerintah dalam mengelola keuangan negara.

    “Artinya arogan sekali generasi sekarang, ingin mewujudkan keinginan mereka sekarang, tapi yang membiayai melalui utang,” ucapnya.

    Faisal Basri tidak yakin target Prabowo meningkatkan rasio pajak (tax ratio) hingga 23% dari PDB akan terealisasi. Hal itu dinilai sulit tercapai, melihat rasio perpajakan Indonesia yang masih berada di level 10,21% pada 2023.

    “Mana ada sih di dunia (tax ratio) yang naik dua kali lipat lebih? Nggak ada. Artinya yang akan dinaikkan apa? PPN biasanya yang dinaikkan, kan (rencana tahun 2025) akan jadi 12% dan efeknya ke rakyat,” tutur Faisal Basri.

    Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad meyebut defisit fiskal maksimal 3% dari PDB yang berlaku saat ini merupakan batas yang paling ideal bagi negara berkembang seperti Indonesia.

    “UU itu bisa diubah oleh pemerintah, tetapi untuk negara berkembang seperti kita, bukan negara maju, itu batas yang paling rasional dengan kemampuan ekonomi untuk membayar utang,” ujar Tauhid.

    Dengan defisit APBN yang diperlebar, pemerintah ke depan dikhawatirkan akan membayar pokok dan bunga utang dengan cara menambah utang lagi. Pelebaran defisit fiskal yang tidak diiringi dengan peningkatan tax ratio akan menyebabkan terjadinya lonjakan penarikan utang pemerintah.

    “Boleh (defisit) nambah di atas 3%, tapi tax ratio bisa nambah tidak? Jangan sampai tax ratio-nya tetap, defisit ditambah, ya jebol lah (APBN). Mungkin 1-2 tahun (rasio utang) sudah di atas 40% PDB, 60% dalam 5 tahun bisa lewat karena tax ratio nggak ada upaya (ditingkatkan),” ucapnya.

    Rencana Prabowo Naikkan Rasio Utang 50%

    Adik kandung Prabowo, Hashim Djojohadikusumo mengatakan peningkatan rasio utang hingga 50% PDB akan dibarengi dengan peningkatan penerimaan negara. Kebijakan ini dilakukan untuk mendanai program-program yang menjadi janji kampanye, salah satunya makan bergizi gratis.

    “Idenya adalah untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan tingkat utang. Saya sudah berbicara dengan Bank Dunia dan menurut mereka 50% adalah tindakan yang bijaksana,” kata Hashim dalam wawancara di London kepada Financial Times, dikutip Kamis (11/7/2024).

    Jika benar, jumlah itu naik dari posisi rasio utang 38,64% saat ini dan mendekati batas aman yang telah ditetapkan yakni 60% PDB sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

    (aid/das)