Tag: Tauhid Ahmad

  • Istilah Pinjol Dianggap Negatif, Kini Diganti Pindar

    Istilah Pinjol Dianggap Negatif, Kini Diganti Pindar

    Jakarta

    Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengenalkan kata baru untuk mengganti pinjol atau pinjaman online. Kata baru itu adalah pindar atau pinjaman daring.

    Ketua Umum AFPI Entjik S Djafar mengatakan, pihaknya ingin meningkatkan perhatian dari masyarakat melalui penggantian singkatan pinjol menjadi pindar.

    Menurutnya, sebutan pinjol selama ini terkait dengan citra negatif atau ilegal. Pindar akan membedakan antara pinjol ilegal dan legal di masyarakat.

    “Betul Kami bukan pinjol yang meresahkan masyarakat, kami adalah pindar atau pinjaman daring yang berizin OJK. Kami akan meningkatkan edukasi ke masyarakat, terutama ke masyarakat usaha kecil mikro menengah (UMKM) dan ultra mikro kecil, serta mengampanyekan manfaat yang telah diterima oleh para borrower UMKM dan ultra mikro kecil,” ucapnya kepada detikcom, saat dihubungi Sabtu (7/12/2024).

    Seperti diketahui, selama ini pinjol kerap menjadi istilah yang terasosiasikan dengan hal-hal negatif lantaran menjamurnya peredaran pinjol-pinjol ilegal di masyarakat. Bahkan jumlah pinjol legal jauh di bawah jumlah pinjol ilegal yang selama ini terus diblokir oleh otoritas.

    Mengutip data Satgas PASTI (sebelumnya satgas waspada investasi), sejak 2017 s.d. 30 September 2024, Satgas telah menghentikan 9.610 entitas pinjaman online ilegal/pinpri. Angka ini jauh di atas jumlah entitas pinjol legal atau berizin yang sampai saat ini menurut data OJK hanya berjumlah 97 perusahaan.

    Entjik menginginkan agar penggantian istilah pindar dapat dijadikan referensi untuk pinjol legal, meninggalkan istilah pinjol yang terasosiasikan dengan banyak hal negatif. Penggantian istilah ini juga telah didiskusikan dengan OJK.

    “Sudah didiskusikan dan diusulkan. OJK menyerahkan pada industri untuk penggantian nama ini,” ujar Entjik.

    Menurut catatan detikcom sebelumnya, Entjik menjelaskan saat ini pihaknya telah melakukan survei atau riset yang melibatkan masyarakat. Hasilnya, ada 3.972 istilah atau nama yang didapatkannya.

    Atas pergantian istilah pinjol tersebut, dia bilang seluruh industri sepakat untuk mengubahnya. Menurutnya, pinjol erat kaitannya dengan praktik ilegal. Dengan begitu, dia bilang nantinya masyarakat dapat membedakan antara pinjol dan fintech P2P lending yang berizin dari OJK.

    Dinilai Tidak Efektif

    Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai tidak mudah mengubah pandangan yang melekat pada pinjol, meskipun sebutannya kini diganti menjadi pindar.

    “Agak sulit, karena frasa dan kebiasaan masyarakat kita sejak pandemi, budaya online sudah begitu kuat. Jadi, apapun yang berbau online itu akan lebih mudah diterima dan diresapi oleh masyarakat. Kalau pun ada pindar, pasti orang akan mengasosiasikan dengan pinjaman online. Menurut saya tidak akan mengubah tingkat literasi, pengetahuan, maupun pemahaman dari pinjaman online,” terang Tauhid saat dihubungi detikcom pada Sabtu (7/12/2024) malam.

    Penggantian sebutan menjadi pindar, kata Tauhid, menjadi tidak efektif lantaran kondisi saat ini yang terjadi di masyarakat adalah menjadikan pinjaman online sebagai pintu utama untuk melakukan pinjaman, ketimbang melalui jalur pinjaman konvesional seperti ke bank.

    “Sehingga, karena pinjol paling mudah, persyaratan ringan dan cepat, maka otomatis tidak akan efektif. Selain itu, tidak ada sesuatu yang prinsip dari pinjaman daring. Dari segi beban biaya ‘kan sama saja, bunganya sama, tidak ada ada yang membedakan. Menurut saya, tidak akan efektif walaupun dengan istilah-istilah yang ada,” papar Tauhid.

    Dengan kondisi bunga pinjaman online yang terlalu tinggi, sementara kapasitas ekonomi masyarakat saat ini sedang terbatas, Tauhid bilang hal ini akan berbahaya bagi masyarakat.

    “Karena bunganya tinggi, (uang) yang lari ke konsumsi menjadi barang dan jasa itu jauh lebih sedikit. Ini mengurangi aktivitas perekonomian, karena sebagian besar yang dibayar untuk jadi barang dan jasa itu sedikit sekali, yang sisanya adalah bunga. Bunga pinjaman itu menjadi katalisator untuk pendanaan yang larinya bukan ke sektor ril, tapi ke sektor keuangan yang tidak membuat ekonomi bergerak karena bunganya terlalu tinggi,” terang Tauhid.

    (hns/hns)

  • Bukan Cuma di Hilir, Dukungan pada Industri Sawit Perlu Diberikan di Hulu untuk Dorong Produktivitas – Halaman all

    Bukan Cuma di Hilir, Dukungan pada Industri Sawit Perlu Diberikan di Hulu untuk Dorong Produktivitas – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Industri sawit harus terus mendapatkan perhatian serius dari semua kalangan agar dapat optimal dalam mendukung kemajuan perekonomian nasional. 

    Tidak saja di hilir, dukungan pada industri sawit perlu diberikan di sektor hulu terutama dalam meningkatkan produktivitasnya yang selama ini cederung menurun. 

    Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengungkapkan meski sudah cukup baik, huluisasi pada industri sawit belum berjalan optimal. Alasannya, produktivitas sawit terus mengalami penurunan. 

    ‘’Hulu ini kan menyangkut aspek produksi. Hulu itu sangat tergantung seberapa jauh kebutuhan demand untuk industrialisasi maupun kebutuhan yang lain. Kalau kita lihat demand itu sawit pertama kan untuk pangan, domestiknya untuk kebutuhan industri termasuk biodiesel, sisanya untuk ekspor,’’ ungkap Tauhid Ahmad dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (5/12/2024). 

    Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut sampai Agustus 2024 produksi sawit mencapai 34,7 juta ton. Dalam periode yang sama, ekspor termasuk biodiesel dan oleokimia, mencapai lebih dari 20,1 juta ton. Ekspor ini menyumbangkan devisa sekitar 17,349 juta dollar AS bagi Indonesia. Sedangkan, konsumsi domestik tercatat pada 15,6 juta ton. 

    Dibanding periode sebelumnya, produktivitas sawit mengalami penurunan. Selama periode yang sama tahun lalu, produksi sawit mencapai 36,2 juta ton, ekspor 21,9 juta ton, dan nilainya melebihi 20,597 juta dollar AS. 

    Lebih jauh, Tauhid menyebut ada sejumlah faktor yang membuat produktivitas sawit menurun. Pertama, usia pohon sawit yang sudah tidak produktif. Kedua, program replanting atau peremajaan kebon sawit yang bersumber dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak cukup untuk membiayai replanting termasuk yang untuk petani mandiri. Ketiga, masalah perubahan iklim yang mempengaruhi produktivitas sawit. Terakhir, permintaan kebutuhan biodiesel yang meningkat. 

    ‘’Tak cukup kalau kita ingin menambah biodiesel menjadi B 40, pasti ekspornya akan dikurangi. Ekspor berkurang, devisa berkurang. Karena itu hulunya memang harus ditambah produksinya,’’ papar mantan Direktur Eksekutif INDEF ini. 

    Sebagai salah satu solusinya adalah mempercepat replanting ketimbang menambah biodiesel. Kemudian, ekstensifikasi sawit melalui optimalisasi lahan-lahan terlantar yang dibenarkan perundangan. ‘’Jangan lahan lindung. Ada lahan-lahan terlantar sah secara perundangan yang belum dimanfaatkan untuk ekstensifikasi sawit. Mungkin tidak banyak. Tapi itu paling tidak, dioptimalkanlah,’’ paparnya. 

    Selain itu, optimalisasi terhadap lahan yang ada dengan melakukan perbaikan secara teknis. Mulai pembibitan, pemupukan, hingga pengairan yang baik sehingga meningkatkan produktivitas sawit termasuk di tingkat petani mandiri. 

    Yang tak kalah penting dilakukan adalah perbaikan berbagai regulasi yang tumpang tindih. Kejelasan status lahan yang penting untuk memenuhi standar sistem sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun standar Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). ‘’Di sini perbaikan tata kelola kelembagaan menjadi penting,’’ jelasnya.

    Tauhid sepakat bahwa penegakan aturan di industri sawit sangat penting termasuk penertiban para pengusaha sawit yang nakal. Namun, hal tersebut harus dilihat kasus per kasus. Tidak bisa disamaratakan secara industri. Sebab, kata dia, banyak petani maupun pengusaha sawit yang bagus mulai menerapkan teknologi hijau hingga taat membayar pajak. 

    Tauhid melihat perhatian pemerintah terhadap industri sudah baik, hanya  perlu dioptimalkan lagi. ‘’Karena sawit kan jadi backbone-nya ekonomi, pendapatan negara, devisa, banyak menyerap tenaga kerja dan sebagainya, itu harus dioptimalkan lagi,’’ paparnya. 

    Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah adalah perbaikan pada bidang pendanaan. 

    ‘’Saya kira mau tidak mau harus dilakukan relaokasi dana BPDPKS. Kembalikan ke sektor produksi bukan subsidi,’’ paparnya. 

    Selain itu, diperlukan dukungan pemerintah melalui supervisi dan monitoring untuk akses lahan termasuk bagaimana kepemilikan petani plasma juga diperhatikan. Di samping itu, perlu dilakukan perbaikan regulasi, kelembagaan serta perbaikan ekosistem investasi. 

    ‘’Usahakan petani plasma jauh lebih banyak untuk kemakmuran rakyat,’’ tandas Tauhid.   

    Senada, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono mengatakan yang harus mendapat perhatian utama di sektor hulu adalah peningkatan produktivitas. ‘’Sebab produksi 5 tahun terakhir stagnan dan konsumsi terus meningkat,’’ jelas Eddy 

    Dalam kesempatan itu, Eddy juga menyoroti agar tata kelola sawit segera diperbaiki. Alasannya, saat ini ada 37 kementerian dan lembaga yang terlibat dalam industri sawit. Hal ini meyebabkan adanya tumpang tindih kebijakan. 

    ‘’Untuk perbaikan ini sebaiknya dibentuk badan khusus sawit yang langsung di bawah Presiden,’’ ungkap Eddy. 

    Dia sepakat jika ada perusahaan atau pengusaha yang tidak taat aturan agar ditindak tegas. Tetapi jangan semuanya dianggap nakal, sehingga industrinya yang dikorbankan. ‘’Kembali lagi harus ada perbaikan tata kelola agar industri sawit ini bisa berkelanjutan. Kalau di hulu bermasalah sudah pasti di hilir akan bermasalah,’’ tegasnya.

  • Ini Sederet Dampak Naiknya PPN jadi 12% di 2025 – Page 3

    Ini Sederet Dampak Naiknya PPN jadi 12% di 2025 – Page 3

    Terkait dengan hal itu, INDEF merekomendasikan agar pemerintah untuk menunda terlebih dahulu kenaikan PPN sampai ekonomi dalam negeri cukup pulih dan hambatan dari ekonomi global masih bisa diantisipasi. Sebab di banyak negara PPN tidak juga harus sebesar 12 persen. Bahkan Sejumlah negara masih mengenakan tarif PPN hanya 10 persen, 

    “Upaya lain di antaranya, melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi agar diperluas bukan kepada kenaikan tarif PPN itu sendiri, namun upaya dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan intensifikasi kenaikan PPN tersebut. Apakah penggunaan perluasan basis wajib pajak atau penggunaan teknologi, sehingga PPN itu lebih besar tanpa harus menaikkan tarif dari 11 persen menjadi 12 persen,” katanya.

    Sementara itu, terkait dengan program makan siang bergizi, Tauhid Ahmad mengingatkan pemerintah agar mewaspadai risiko pembengkakan jumlah impor bahan pangan.

    Terlebih, lanjutnya, masih cukup banyak bahan pangan yang belum bisa dipenuhi di dalam negeri.

    “Rasanya kayaknya sebagian besar [bahan pangan] itu impor ya, misalnya beras. Tanpa ada makan siang gratis saja kita sudah impor, kemarin 2 juta ton, hampir 3 juta ton,” ungkap Tauhid.

    Untuk itu, dia menekankan pentingnya untuk melibatkan usaha mikro kecil menengah (UMKM) lokal untuk memperkuat suplai bagi program makan siang ini dan mengurangi impor bahan pangan.

    Dengan melibatkan UMKM lokal; petani, penyedia barang, sampai dengan pihak pelaksana lokal diharapkan dapat meningkatkan pendapatan usaha mereka, alih-alih harus bermitra dengan pengusaha besar.

    Dengan demikian, kata Tauhid, program makan siang gratis ini diharapnya tidak hanya akan memberikan dampak positif bagi kesehatan anak-anak, tetapi juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi pelaku usaha lokal.

    “Ketimbang harus bermitra dengan pengusaha-pengusaha besar, [libatkan] peternak mandiri untuk penyediaan telur atau daging ayam buras. Sehingga mereka bisa terlibat lebih banyak. Iya, itu adalah dampak ekonominya di situ. Saya kira itu yang paling besar sih, itu dampak yang paling terlihat nanti,” jelasnya.

     

  • Ekonom Kasih Ramalan Kondisi Ekonomi RI di Akhir Tahun, Ini Isinya

    Ekonom Kasih Ramalan Kondisi Ekonomi RI di Akhir Tahun, Ini Isinya

    Jakarta

    Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat di bawah 5% disebut-sebut hanya akan terjadi di kuartal III 2024. Pada periode berikutnya, yakni kuartal IV, Oktober-Desember, laju pertumbuhan ekonomi diperkirakan kembali meningkat.

    Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, mengatakan laju pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal IV 2024 dapat didorong sejumlah faktor seperti perayaan natal dan tahun baru.

    Kemudian di akhir tahun biasanya pemerintah juga akan menghabiskan sisa anggaran belanja yang pada akhirnya dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Hal ini sejalan dengan siklus perekonomian RI dari tahun ke tahun.

    “(Pertumbuhan ekonomi) masih bisa (di atas 5%). Kan biasanya di akhir tahun itu memang ada kenaikan ya, biasanya siklus pertumbuhan ekonomi memang biasa begitu,” ucap Piter saat dihubungi detikcom, ditulis Kamis (7/11/2024).

    “Di akhir tahun itu kan biasanya pemerintah genjot belanja, menghabiskan anggaran. Kedua di akhir tahun itu kan ada libur panjang dan perayaan keagamaan, ada natal dan tahun baru. Jadi konsumsi akan naik pada periode itu,” terangnya lagi.

    Belum lagi sepanjang kuartal IV ini ada agenda pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang juga dapat meningkatkan konsumsi masyarakat. Di mana peningkatan dari konsumsi masyarakat ini akan secara langsung mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

    “Ada lagi faktor ketiga yang di tahun ini kan ada pilkada pada akhir November. Berarti harusnya ada dongkrakan (pertumbuhan ekonomi) untuk di akhir tahun,” jelas Piter.

    Senada dengan Piter, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad juga berpendapat laju pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal IV akan kembali mengalami peningkatan karena sejumlah faktor seperti perayaan natal dan tahun baru tadi.

    Dalam hal ini, Tauhid memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia periode terakhir 2024 ini dapat mencapai 5,01-5,02%. Sehingga rata-rata pertumbuhan RI sepanjang tahun ini berada di kisaran 5%

    “Biasanya sih (laju pertumbuhan ekonomi RI kuartal IV) naik sih ya, tapi nggak besar ya. Paling perkiraan saya sekitar 5,01-5,02%. Nah secara agregat (sepanjang 2024) ya 5% lah,” ucapnya.

    Kemudian ada juga Kepala Ekonom Permata Institute for Economic Research (PIER), Josua Pardede, yang memprediksi pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal IV 2024 ini akan kembali ke atas 5%. Proyeksi ini didukung oleh kemungkinan peningkatan belanja pemerintah dan Pilkada jelang akhir tahun.

    “Proyeksi untuk akhir tahun menunjukkan kemungkinan pertumbuhan tahunan sekitar 5,04%, dengan dukungan dari peningkatan pengeluaran pemerintah dan belanja terkait pemilihan daerah pada kuartal IV,” jelas Josua.

    Kemudian ada juga perayaan natal dan tahun baru yang berpotensi meningkatkan konsumsi masyarakat menjadi faktor lain meningkatnya pertumbuhan ekonomi RI di akhir tahun.

    “Peningkatan konsumsi rumah tangga juga diperkirakan akan terjadi seiring dengan pengendalian inflasi yang relatif rendah, terutama menjelang musim liburan Natal dan Tahun Baru yang cenderung mendorong permintaan domestik,” pungkasnya.

    (fdl/fdl)

  • Lingkaran Setan Pertumbuhan di Bawah 5% Jadi Ancaman, Apa Jalan Keluarnya?

    Lingkaran Setan Pertumbuhan di Bawah 5% Jadi Ancaman, Apa Jalan Keluarnya?

    Jakarta

    Pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal III 2024 yang melambat di bawah 5% disebut-sebut dapat menjadi lingkaran setan jika tidak ditangani dengan baik. Sebab melambatnya pertumbuhan ini diperkirakan dapat terus menggerus perekonomian Indonesia. Lantas apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini?

    Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, mengatakan salah satu cara paling efektif mengatasi permasalahan ini adalah dengan memperbaiki iklim investasi dalam negeri. Dengan begitu

    Sebab menurutnya pertumbuhan investasi ini secara langsung dapat membuka lapangan pekerjaan baru. Di mana lapangan pekerjaan baru itu dapat menjadi sumber pemasukan masyarakat yang secara langsung dapat meningkatkan daya beli.

    Kemudian peningkatan daya beli ini akan meningkatkan konsumsi masyarakat, dan peningkatan konsumsi ini dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Hingga pada akhirnya roda ekonomi RI akan terus berputar dalam siklus perbaikan.

    “Pemerintah harus menjaga ketat ini lingkaran setan, kemiskinan bisa diputus. Ya itu dengan melalui investasi, harus ada upaya-upaya untuk mendorong peningkatan investasi yang pada akhirnya itu menciptakan lapangan kerja,” ucap Piter kepada detikcom, ditulis Kamis (7/11/2024).

    “Dari lapangan kerja itu mendorong pertumbuhan konsumsi dan ujung-ujungnya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu akan menjadi daya tarik investasi. Jadi memang pemerintah harus menciptakan iklim bagi investasi yang baik,” sambungnya.

    Piter berpendapat salah upaya yang bisa dilakukan adalah melalui penyempurnaan regulasi ketenagakerjaan. Sebab pada akhirnya sistem tenaga kerja ini merupakan salah satu faktor yang sangat diperhitungkan para investor saat ingin menanamkan investasinya di RI.

    “Makanya di zamannya pak Jokowi (masa pemerintahan Presiden Joko Widodo) itu, pak Jokowi ngotot banget mengeluarkan Undang-undang Cipta Kerja yang ujungnya itu sebenarnya di situ adalah di dalam rangka memperbaiki iklim investasi,” kata Piter.

    Terkait keberadaan UU Cipta Kerja sebagai salah satu upaya perbaikan iklim investasi RI, Piter mengatakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merevisi atau mencabut sebagian aturan merupakan hal yang baik dan bisa menjadi peluang bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan.

    “Memang UU Cipta Kerja itu penolakannya ada banyak ya, termasuk kemarin yang dikabulkankan sebagian besar itu terkait dengan ketenagakerjaan ya. Ini memang harus diperbaiki, justru ini momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki supaya UU Cipta Kerja itu benar-benar menjadi momentum untuk memperbaiki iklim investasinya kita,” terang Piter.

    “UU Cipta Kerja kita kan sudah disepakati, sudah disahkan sekian lama tapi kan dampaknya terhadap investasi kita kan masih minimal sekali, masih kecil. Dengan adanya keputusan MK pada saat tersebut ada momentum bagi pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja supaya aturan itu benar-benar bisa diterima dan kemudian bisa berdampak terhadap membaiknya iklim investasi di Indonesia,” pungkasnya.

    Senada dengan itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad juga menyarankan pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi dalam negeri guna memutus lingkaran setan pelemahan ekonomi RI.

    Sebab ia juga berpendapat dengan adanya investasi, lapangan pekerjaan baru bisa tercipta dan kondisi ini akan meningkatkan daya beli masyarakat. Peningkatan daya beli ini akan meningkatkan konsumsi, yang pada akhirnya akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan seterusnya.

    Adapun menurutnya salah satu uapaya yang bisa dilakukan untuk mendorong iklim investasi ini salah satunya adalah dengan memperbaiki ICOR (Incremental Capital Output Ratio) sebagai parameter ekonomi makro yang menunjukkan perbandingan antara tambahan modal (investasi) dengan tambahan output (hasil).

    “Saya kira memang harus banyak upaya untuk menambah investasi. Ya syarat investasi adalah menurunkan ICOR,” ucapnya.

    Lebih lanjut, menurutnya pemerintah juga perlu menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui faktor lain seperti infrastruktur dan peningkatan sumber daya manusia (SDM). Kemudian di luar itu Indonesia juga perlu meningkatkan kinerja ekspornya untuk menjaga produksi dalam negeri.

    “Kedua saya kira harus banyak upaya meningkatkan ekonomi melalui infrastruktur dan sebagainya. Karena kan kalau fokusnya SDM itu jangka panjang, Infrastruktur juga jangan ditinggal,” jelas Tauhid.

    “Nah yang ketiga memang mau tidak mau kita harus membuka ke ruang pasar ekspor jadi yang jauh lebih banyak dan lebih luas,” sambungnya.

    Sementara itu Kepala Ekonom Permata Institute for Economic Research (PIER), Josua Pardede, menyebut ada beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi.

    Misalkan saja pembangunan infrastruktur yang berfokus pada sektor produktif seperti energi dan transportasi. Sebab menurutnya langkah ini dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing RI.

    Kemudian menurutnya pemerintah juga bisa memberikan subsidi untuk sejumlah komoditas penting seperti pangan dan energi. Dengan begitu daya beli masyarakat khususnya mereka dari kelas menengah ke bawah dapat terjaga.

    “Pemberian subsidi pada komoditas kebutuhan pokok seperti pangan dan energi untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya bagi kelas menengah bawah yang mengalami tekanan daya beli,” terang Josua.

    Selain subsidi, Josua berpendapat pemerintah juga bisa memperkuat program bantuan sosial terhadap kelompok rentan untuk meningkatkan pendapatan atau pemberlakuan insentif tertentu yang dapat menjaga daya beli rumah tangga.

    “Misalnya pemerintah bisa mempertimbangkan pengurangan pajak atas pengeluaran tertentu untuk mendorong konsumsi pada sektor yang mengalami kontraksi, seperti peralatan rumah tangga dan pakaian,” paparnya.

    Di luar itu pemerintah juga bisa meningkatkan investasi di proyek-proyek infrastruktur strategis nasional yang dapat menggenjot laju pertumbuhan ekonomi secara nasional. Sebab langkah ini dapat secara langsung membuka lapangan kerja baru.

    “Pemerintah dapat meningkatkan investasi di proyek-proyek infrastruktur strategis, seperti pembangunan ibu kota negara baru (IKN) dan infrastruktur pendukung lainnya, yang akan berdampak langsung pada sektor konstruksi dan menciptakan lapangan kerja,” jelas Josua.

    Tonton Video: Potensi Pertumbuhan Ekonomi Awal Era Prabowo-Gibran

    (fdl/fdl)

  • MK Kabulkan Sebagian Gugatan UU Cipta Kerja, Ekonom: Angin Segar Buat Buruh – Page 3

    MK Kabulkan Sebagian Gugatan UU Cipta Kerja, Ekonom: Angin Segar Buat Buruh – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang diajukan Partai Buruh dan serikat buruh lainnya pada Jumat,1 November 2024.

    Pada amar putusannya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengujian isu konstitusionalitas 21 norma pasal dalam UU Ciptaker yang berkaitan dengan tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pekerjaan alih daya (outsourcing), cuti, upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan pesangon.

    Selain itu, MK juga memerintahkan pembentuk undang-undang untuk membentuk UU ketenagakerjaan yang baru dan memisahkannya dari UU Ciptaker. MK memberi waktu paling lambat dua tahun.

    Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan bahwa keputusan MK terkait UU Cipta Kerja menjadi angin segar bagi buruh, karena beberapa isu krusial yang menjadi hambatan mereka untuk hidup layak kembali menjadi perhatian

    “Keputusan ini juga memungkinkan adanya pemberian upah yang lebih besar, terutama sektoral,” kata Nailul Huda kepada Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (2/11/2024).

    “Jika upah di sektoral meningkat maka kesejahteraan mereka juga ikut meningkat,” sambungnya.

    Tetapi di sisi lain, kenaikan upah akan memberatkan sektor-sektor usaha yang sedang tidak prospektif.

    “Konsekuensinya akan membuat para pelaku usaha gamang/khawatir untuk menentukan kebijakan turunannya. Misalnya soal upah, harus memastikan unsur hidup layak pada buruh,” jelasnya.

    Nailul Huda menyebut, kenaikan upah sering kali lebih tinggi dari kemampuan/khawatir.

    “Kemudian terkait durasi, kalau kita lihat tentu saja dalam kontrak kerja ada pembatasan. Maksimum 5 tahun kan bagus bagi para buruh, tetapi bagi para pelaku usaha mereka jadi tidak punya ruang gerak untuk fleksibilitas,” lanjut Nailul.

    Maka dari itu, ia menyarankan, diperlukan adanya musyawarah lebih lanjut antara pembuat kebijakan dengan pelaku usaha terkait revisi UU Cipta Kerja. Hal ini guna menemukan jalan tengah yang terbaik antara pembuat kebijakan dan pengusaha terkait kesejahteraan buruh.

    “Saya kira perlu ada, karena konsekuensinya UU Cipta Kerja harus direvisi, sesuai dengan keputusan dari MK. Jadi memang perlu ada komunikasi antara berbagai pihak,” imbuhnya.

  • Ekonomi RI Semester I Tumbuh 5,08%, Target Jokowi 5,2% Tak Bakal Happy Ending?

    Ekonomi RI Semester I Tumbuh 5,08%, Target Jokowi 5,2% Tak Bakal Happy Ending?

    Jakarta

    Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I-2024 tumbuh di angka 5,08%, sementara untuk kuartal II 2024 berada di angka 5,05%. Apakah ini tanda target Presiden Joko Widodo agar perekonomian Indonesia tumbuh 5,2% sulit tercapai?

    Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad, mengatakan bahwa fakta yang dipaparkan BPS menunjukkan bahwa target Jokowi bakal sulit dicapai. Sebab, idealnya jika pemerintah ingin mencapai pertumbuhan ekonomi di angka 5,2%, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2024 dan kuartal II 2024 harus berada di atas angka 5,1%.

    Oleh sebab itu, Ahmad mengatakan bahwa paparan BPS yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi RI kini berada di bawah angka 5,1% menunjukkan bahwa situasi perekonomian saat ini tidak ideal untuk mencapai target 5,2%.

    “Menurut saya tidak ideal, harusnya bertahan karena targetnya kan 5,2%. Kalau 5,2% tapi dua kuartal sudah di bawah 5,1%. Berat untuk kuartal III 2024 dan kuartal IV-2024-nya. Biasanya, mengumpulkan poin itu di kuartal I dan kuartal II, jadi menurut saya tidak ideal karena jelas target 5,2% pemerintah Jokowi itu tidak happy ending,” kata Ahmad kepada detikcom, Senin (5/8/2024).

    Di sisi lain, Ahmad menilai sejatinya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2024 5,05% sejatinya ditopang oleh sejumlah hari raya. Tanpa hal tersebut, ia mengatakan perekonomian Indonesia bisa turun di bawah angka 5%.

    Ia pun mewanti-wanti pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2024 yang akan berjalan mulai Juli sampai September mendatang. Jika pemerintah tidak mendorong konsumsi, akan sulit bagi perekonomian Indonesia untuk bertahan di angka 5%.

    Menurutnya, ada berbagai faktor yang menyebabkan hal tersebut. Mulai dari tanda-tanda deflasi, sampai ketiadaan momentum yang mendorong masyarakat untuk berbelanja. “Tidak ada momentum lagi di kuartal III-2024 sebagai motor pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.

    Oleh sebab itu, untuk menjaga roda perekonomian Indonesia terus berputar pada kuartal III-2024, Ahmad mengatakan pemerintah harus menggenjot konsumsi konsumsi pemerintah meski kontribusinya hanya 8% terhadap perekonomian nasional. Upaya lainnya termasuk menjaga arus barang impor untuk menjaga geliat industri dalam negeri.

    Selain itu, konsumsi yang dilakukan oleh para calon di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) juga diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. “Konsumsi pemerintah juga berkaitan dengan Pilkada, nah Pilkada ini diharapkan ada akumulasi belanja pemerintah maupun para calon kandidat untuk bisa menambah daya gebrak, terutama dari belanja pemerintah, untuk mendorong konsumsi masyarakat,” jelas dia.

    (kil/kil)

  • Faisal Basri soal Rencana Prabowo Naikkan Rasio Utang: Stabilitas Makro Goyang

    Faisal Basri soal Rencana Prabowo Naikkan Rasio Utang: Stabilitas Makro Goyang

    Jakarta

    Ekonom Senior Faisal Basri menilai rencana presiden terpilih Prabowo Subianto yang dikabarkan akan menaikkan rasio utang hingga 50% terhadap produk domestik bruto (PDB) berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi makro Indonesia.

    Faisal Basri mengatakan peningkatan rasio utang hingga pelebaran defisit di atas batas 3% dari PDB membutuhkan ongkos yang sangat mahal. Terlebih jika tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan negara.

    “Kalau dipaksakan, ya siap-siap saja makro stability-nya goyang. Ongkosnya mahal,” kata Faisal Basri kepada wartawan dikutip Kamis (11/7/2024).

    Faisal Basri juga bicara desas-desus yang menyebut batas rasio utang 60% dan batas defisit 3% dari PDB akan dihapus di pemerintahan Prabowo. Jika benar, hal itu disebut tidak ada disiplin fiskal bagi pemerintah dalam mengelola keuangan negara.

    “Artinya arogan sekali generasi sekarang, ingin mewujudkan keinginan mereka sekarang, tapi yang membiayai melalui utang,” ucapnya.

    Faisal Basri tidak yakin target Prabowo meningkatkan rasio pajak (tax ratio) hingga 23% dari PDB akan terealisasi. Hal itu dinilai sulit tercapai, melihat rasio perpajakan Indonesia yang masih berada di level 10,21% pada 2023.

    “Mana ada sih di dunia (tax ratio) yang naik dua kali lipat lebih? Nggak ada. Artinya yang akan dinaikkan apa? PPN biasanya yang dinaikkan, kan (rencana tahun 2025) akan jadi 12% dan efeknya ke rakyat,” tutur Faisal Basri.

    Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad meyebut defisit fiskal maksimal 3% dari PDB yang berlaku saat ini merupakan batas yang paling ideal bagi negara berkembang seperti Indonesia.

    “UU itu bisa diubah oleh pemerintah, tetapi untuk negara berkembang seperti kita, bukan negara maju, itu batas yang paling rasional dengan kemampuan ekonomi untuk membayar utang,” ujar Tauhid.

    Dengan defisit APBN yang diperlebar, pemerintah ke depan dikhawatirkan akan membayar pokok dan bunga utang dengan cara menambah utang lagi. Pelebaran defisit fiskal yang tidak diiringi dengan peningkatan tax ratio akan menyebabkan terjadinya lonjakan penarikan utang pemerintah.

    “Boleh (defisit) nambah di atas 3%, tapi tax ratio bisa nambah tidak? Jangan sampai tax ratio-nya tetap, defisit ditambah, ya jebol lah (APBN). Mungkin 1-2 tahun (rasio utang) sudah di atas 40% PDB, 60% dalam 5 tahun bisa lewat karena tax ratio nggak ada upaya (ditingkatkan),” ucapnya.

    Rencana Prabowo Naikkan Rasio Utang 50%

    Adik kandung Prabowo, Hashim Djojohadikusumo mengatakan peningkatan rasio utang hingga 50% PDB akan dibarengi dengan peningkatan penerimaan negara. Kebijakan ini dilakukan untuk mendanai program-program yang menjadi janji kampanye, salah satunya makan bergizi gratis.

    “Idenya adalah untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan tingkat utang. Saya sudah berbicara dengan Bank Dunia dan menurut mereka 50% adalah tindakan yang bijaksana,” kata Hashim dalam wawancara di London kepada Financial Times, dikutip Kamis (11/7/2024).

    Jika benar, jumlah itu naik dari posisi rasio utang 38,64% saat ini dan mendekati batas aman yang telah ditetapkan yakni 60% PDB sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

    (aid/das)