Tag: Tauhid Ahmad

  • Kerja Keras Tak Cukup, Gimana Cara Orang Miskin Bisa Naik Kelas?

    Kerja Keras Tak Cukup, Gimana Cara Orang Miskin Bisa Naik Kelas?

    Jakarta

    Ketimpangan ekonomi masih menjadi masalah yang membelit banyak masyarakat di Indonesia. Akses terhadap pendidikan dan upah yang memadai menjadi salah satu penyebab struktural dari kalangan ekonomi rendah tetap kesulitan meningkatkan taraf hidup.

    Meski begitu, Direktur Eksekutif, CELIOS, Bhima Yudhistira menilai bukan hal yang mustahil untuk meningkatkan taraf hidup orang miskin di Indonesia agar mereka bisa ‘naik kelas’, setidaknya menjadi warga kelas menengah.

    Tentu dalam hal ini, menurutnya campur tangan pemerintah menjadi sangat penting. Salah satunya menyediakan fasilitas dan sarana pendidikan agar masyarakat miskin bisa mendapatkan pekerjaan dengan upah layak, serta ketersediaan fasilitas dasar seperti tempat tinggal dan air bersih jadi terjangkau.

    “Mendesak reformasi struktural, kebijakan pajak harus tajam ke atas, anggaran pendidikan jangan dipangkas untuk MBG, memastikan fasilitas dasar seperti air dan perumahan terjangkau,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (2/12/2025).

    Sementara itu, mereka yang miskin dinilai perlu untuk membatasi diri agar tidak konsumtif untuk hal-hal yang tidak perlu atau masih di luar kemampuan. Apalagi jika harus berutang dari peer to peer lending alias pinjaman online (pinjol).

    Parahnya lagi, menurut Bhima jangan sampai kelas menengah bahwa atau miskin terlibat dalam judi online (judol) jika tidak ingin hidup berkekurangan terus menerus.

    “Orang miskin jika mendapat bansos jangan untuk judol dan ketagihan pinjol,” tegas Bhima.

    Sementara itu, Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad juga berpendapat bukan hal yang tidak mungkin bagi masyarakat miskin untuk naik kelas. Meski tentu mereka dari kalangan berpenghasilan rendah ini harus bekerja ekstra untuk bisa terbebas dari permasalahan struktural yang ada.

    Tauhid berpendapat salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kemampuan atau skill di bidang tertentu. Sehingga mereka setidak-tidaknya bisa memulai usaha ‘naik kelas’ dari memiliki pekerjaan layak terlebih dulu.

    “Pertama ya tentu saja adalah penguatan skill mereka ya Kemampuan skill mereka, baik itu hardskill atau softskill mereka. Pendidikan minimum harus dicapai, misal semua minimal lulusan SMA/SMK ke atas,” ucapnya.

    “Kedua adalah bidang pekerjaan yang bisa mereka punya pendapatan yang cukup. Jadi terutama masuk ke lapangan pekerja formal, jangan ke informal,” sambung Tauhid.

    Di luar itu, pemerintah harus turut aktif membantu masyarakat kelas bawah ini agar bisa terbebas dari ‘lingkaran setan’ kemiskinan. Misalkan saja penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau.

    “Pemerintah harus siapkan jaminan sosial Ya, baik untuk pendidikan, kesehatan, kemudian layanan perumahan Air bersih dan sebagainya. Bahkan pembagian untuk katakanlah subsidi upah dan sebagainya itu diberlakukan,” tegas Tauhid.

    Lihat juga Video: Orang Miskin di Jatim Terbanyak, Tapi Pertumbuhan Ekonominya Naik

    (igo/eds)

  • Biang Kerok Orang Miskin Terus Miskin, yang Kaya Malah Makin Tajir

    Biang Kerok Orang Miskin Terus Miskin, yang Kaya Malah Makin Tajir

    Jakarta

    Orang miskin di Indonesia tetap miskin merupakan salah satu fenomena sosial tak terbantahkan. Kondisi ini terlihat dari social mobility index (indeks mobilitas sosial) masyarakat yang masih sangat rendah, terlebih jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga.

    Untuk diketahui, social mobility index adalah ukuran yang menilai sejauh mana seseorang atau suatu kelompok dapat mengubah status sosialnya, seperti pendapatan, pekerjaan, atau pendidikan, dibandingkan dengan orang tuanya.

    Direktur Eksekutif, CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan tingkat perbaikan status atau social mobility index Indonesia masih lebih rendah dari Vietnam, Thailand, dan Filipina. Menunjukkan bagaimana peluang orang miskin di Tanah Air masih lebih kecil jika dibandingkan negara lain.

    “Data menunjukkan bahwa mobilitas sosial di Indonesia rendah, Social Mobility Index menempatkan Indonesia di urutan ke-67 lebih rendah dibanding Vietnam, Thailand, Filipina. Artinya kerja keras tidak menjamin status sosial akan naik,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (2/12/2025).

    Menurutnya terdapat sejumlah masalah struktural yang membuat kemampuan masyarakat miskin di Indonesia menjadi sangat rendah. Salah satunya korupsi dan monopoli sumber daya alam, hingga tingkat pendidikan keluarga miskin yang rendah membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan layak.

    “Ini akarnya ada pada korupsi sumber daya alam di segelintir orang, kualitas pendidikan yang timpang terutama di daerah kantong kemiskinan, dan ketersediaan lapangan kerja di sektor formal yang makin terbatas,” jelasnya.

    Selain itu menurutnya kebijakan pajak yang saat ini bersifat regresif menjadi faktor lain yang menggerus pendapatan masyarakat kelas bawah, membuat mereka semakin sulit untuk naik kelas. Sementara kalangan kelas atas malah mendapatkan fasilitas berupa insentif hingga tax amnesty yang membuat pengeluaran mereka untuk pajak menjadi lebih rendah.

    “Contohnya kebijakan PPN makin rendah pendapatan makin tinggi porsi pembayaran pajak pertambahan nilai. Design kebijakan untuk orang kaya diberi tax amnesty berkali kali. Itu baru dari sisi kebijakan pajak, belum terkait ketimpangan infrastruktur dan layanan dasar,” jelasnya.

    Hal senada juga disampaikan oleh Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad yang menilai orang miskin di Indonesia sulit untuk naik kelas. Menurutnya terdapat hambatan struktural yang membuat orang miskin akan tetap miskin, misalkan saja terkait tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat kelas bawah.

    “Kalau orang kelompok bawah mengakses pendidikan yang baik, kesehatan yang baik, pekerjaan yang baik relatif lebih sulit, lebih susah dibandingkan orang yang kaya atau yang kelompok menengah,” paparnya.

    “Ada lingkaran setan kemiskinan. Pendidikan rendah akan menyebabkan lapangan pekerjaan dengan pendapatan yang rendah serta pendapatan rendah akan mengeluarkan biaya pendidikan rendah,” ucap Tauhid lagi.

    Tak hanya akses dana untuk pendidikan, menurut Tauhid lemahnya pendapatan orang miskin ini menjadi masalah struktural lain di mana mereka sulit untuk membuka usaha sendiri. Sebab mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk membuka usahanya sendiri, atau skala usaha yang bisa digeluti tergolong mikro.

    “Ya kan gampang kalau orang kaya punya modal, mereka bikin usaha. Punya modal, bisa menghasilkan, bisa mempekerjakan orang, kan gitu. Tapi kalau orang miskin kan benar-benar mereka hanya bisa jadi kelas pekerja. Pendidikan SMP-SMA ke bawah, bekerja sebagai buruh, tani di pedesaan, atau buruh industri,” terangnya.

    (igo/eds)

  • Orang Miskin di RI Sulit Naik Kelas Meski Sudah Kerja Keras, Ini Buktinya

    Orang Miskin di RI Sulit Naik Kelas Meski Sudah Kerja Keras, Ini Buktinya

    Jakarta

    Ketimpangan ekonomi masih menjadi masalah yang membelit banyak masyarakat di Indonesia, memunculkan anggapan yang kaya makin kaya dan yang miskin malah makin miskin.

    Namun kenapa orang miskin susah jadi orang kaya? Apakah kerja keras saja tidak cukup?

    Direktur Eksekutif, CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan sulitnya orang miskin untuk naik kelas di Indonesia dapat terlihat dari social mobility index (indeks mobilitas sosial) masyarakat.

    Untuk diketahui, social mobility index adalah ukuran yang menilai sejauh mana seseorang atau suatu kelompok dapat mengubah status sosialnya, seperti pendapatan, pekerjaan, atau pendidikan, dibandingkan dengan orang tuanya.

    Dalam hal ini, menurutnya tingkat perbaikan status masyarakat miskin di Indonesia masih lebih rendah dari negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina. Menunjukkan bagaimana peluang orang miskin di Tanah Air masih lebih kecil jika dibandingkan negara lain.

    “Data menunjukkan bahwa mobilitas sosial di Indonesia rendah, Social Mobility Index menempatkan Indonesia di urutan ke-67 lebih rendah dibanding Vietnam, Thailand, Filipina. Artinya kerja keras tidak menjamin status sosial akan naik,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (2/12/2025).

    Bahkan menurutnya, saat ini memiliki pekerjaan saja tak cukup untuk membuat orang miskin kemudian bisa langsung naik kelas menjadi setidaknya kelas menengah atau menengah ke bawah.

    Sebab mayoritas pekerjaan yang digeluti orang miskin bersifat informal yang tidak bisa memberikan kesejahteraan cukup untuk kemudian mereka bisa naik kelas. Atau kalau tidak pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan sebatas cukup untuk keperluan hidup sehari-hari.

    Dengan kondisi seperti ini, tak heran jika Bhima kemudian beranggapan bahwa ungkapan rajin pangkal kaya benar adanya. Karena si miskin akan tetap miskin, dan si kaya akan tetap kaya.

    “Orang miskin, mendapat pekerjaan, tidak langsung bisa jadi kelas menengah. Cuma mitos rajin kerja pangkal kaya. Ada masalah struktural yang buat orang miskin melahirkan kemiskinan baru,” tegas Bhima.

    Hal senada juga disampaikan oleh Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad yang menilai orang miskin di Indonesia sulit untuk naik kelas. Menurutnya terdapat hambatan struktural yang membuat orang miskin akan tetap miskin, misalkan saja terkait tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat kelas bawah.

    “Ada lingkaran setan kemiskinan. Pendidikan rendah akan menyebabkan lapangan pekerjaan dengan pendapatan yang rendah serta pendapatan rendah akan mengeluarkan biaya pendidikan rendah,” ucap Tauhid.

    Sementara itu, si kaya akan semakin kaya karena mereka dari awal memiliki sumber daya cukup untuk menempuh pendidikan yang baik, membuat mereka bisa mendapat pekerjaan dengan pendapatan yang tinggi juga.

    Menciptakan kesenjangan sosial antara si miskin dengan si kaya yang dapat dengan mudah terlihat dari dua indikator, yakni jumlah tabungan atau simpanan dana di bank dan gini rasio.

    Terkait jumlah tabungan atau simpanan, menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pertumbuhan tabungan masyarakat atau individu yang kurang dari Rp 100 juta mengalami perlambatan. Sementara yang memiliki tabungan di atas Rp 5 miliar justru cenderung mengalami laju peningkatan signifikan.

    Kemudian terkait data yang menjadi indikator ketimpangan pendapatan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa gini rasio nasional berada di angka 0,375. Dalam hal ini terdapat tujuh provinsi dengan angka gini rasio lebih tinggi dari rata-rata nasional, dengan angka tertinggi adalah Jakarta dengan nilai 0,441.

    Gini rasio berada di antara 0-1. Jika mendekati 0, artinya setiap orang atau kelompok menerima pendapatan yang sama dengan yang lainnya. Jika mendekati 1, artinya pendapatan itu hanya diterima oleh satu orang atau satu kelompok saja dan lainnya tidak sama sekali.

    “Artinya kesenjangan pendapatan kita itu masih relatif tinggi. Saya kira faktanya itu, dua indikator kesenjangan. Saya kira dua itu sih yang paling kuat ya data menunjukkan ketimpangan antar pendapatan,” jelasnya.

    (igo/eds)

  • Gaya Hidup Tak Sesuai Isi Dompet

    Gaya Hidup Tak Sesuai Isi Dompet

    Jakarta

    Jumlah utang Peer to Peer (P2P) Lending atau pinjaman online (pinjol) di Indonesia semakin membludak. Terakhir, Otoritas Jasa Keuangan melaporkan outstanding pinjaman masyarakat per September 2025 tembus Rp 90,99 triliun, naik 22,16% secara tahunan (year-on-year/YoY).

    Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira memperkirakan peningkatan jumlah utang pinjol ini didorong oleh pelemahan daya beli masyarakat imbas terbatasnya penciptaan lapangan kerja formal baru hingga biaya hidup yang semakin besar, terutama di wilayah perkotaan.

    “Daya beli masyarakat sedang melemah, konsumsi rumah tangga secara agregat tumbuh tapi dibawah 5% pada kuartal III 2025. Sulitnya cari pekerjaan formal, dan biaya hidup yang naik terutama di perkotaan akibatkan masyarakat cari pinjaman online,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (11/11/2025).

    Di sisi lain, kemudahan dalam mengakses pinjaman juga menjadi faktor lain yang membuat pinjaman online masyarakat kian membengkak. Padahal menurutnya di balik kemudahan itu terdapat risiko yang cukup besar berupa beban bunga dan denda jika tak sanggup membayar.

    “Di satu sisi edukasi masih kurang soal risiko pinjol. Masyarakat tahunya cuma akses cepat, tinggal klik dan foto selfie dengan KTP, tapi konsekuensi besarnya beban bunga, denda administratif kadang dikesampingkan,” paparnya.

    Karenanya untuk mengatasi permasalahan ini, Bhima berpendapat pemerintah harus memiliki solusi untuk memperbaiki daya beli masyarakat sekaligus dorong edukasi keuangan. Di mana untuk peningkatan daya beli masyarakat ini menurutnya dapat didorong dengan peningkatan upah minimum hingga perluasan penerima bantuan sosial (bansos) tunai.

    “Menyelamatkan industri padat karya terutama garmen dan alas kaki, naikkan upah minimum 8,5-10% tahun depan, perluas bansos tunai ke desil 5 kelompok menengah, Tindak korupsi dan praktik orang dalam yang buat macet mobilitas sosial,” terang Bhima.

    Sementara itu, Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad juga berpendapat faktor pendorong peningkatan jumlah utang pinjol ini adalah penurunan daya beli. Namun menurutnya faktor ini berlaku untuk kelas menengah ke bawah.

    Di luar itu, menurut Tauhid ada kelompok peminjam yang secara ekonomi sebenarnya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari tanpa harus berutang di pinjol. Namun karena gaya hidup, pada akhirnya mereka mengajukan pinjaman.

    “Pinjaman online bisa disebabkan oleh daya beli. Karena mereka kurang, mereka pinjam begitu ya, itu terdapat pada kelompok yang bawah. Tapi yang menengah ke atas bukan karena daya beli, tapi karena gaya hidup,” ucapnya.

    “Untuk beberapa produk itu sangat konsumtif. Misalnya kebutuhan buat beli pulsa, kemudian beli kebutuhan perawatan kesehatan, alat rumah tangga dan sebagainya ketimbang untuk kebutuhan hidup,” sambung Tauhid.

    Faktor daya beli rendah dan gaya hidup yang tak sesuai isi dompet ini kemudian didorong oleh kemudahan masyarakat dalam mengajukan pinjaman online. Pada akhirnya mereka tergiur untuk meminjam, padahal cicilan dan bunga utang sudah menanti di bulan berikutnya.

    “Jadi dari sisi online, pinjaman online itu memang gecar melakukan promosi dengan beragam kemudahan-kemudahan pembayaran, dianggap bunga cicilan murah, gampang untuk mendapatkan, persyaratan mudah, kemudian jangka waktu relatif tidak dibatasi. Dari sisi demand ada, dari sisi supply tadi juga ada,” terang Tauhid.

    “Dengan sistem pinjaman yang mudah, nah ini kan bunganya ternyata mahal, bisa di atas 100% per tahun. Sehingga pada bulan berikutnya mereka harus melunasi kewajiban atau utangnya tersebut. Nah itu yang kemudian menggerus daya beli,” tegasnya.

    Tonton juga video “Bocah SMP di Kulon Progo Bolos Sekolah Sebulan gegara Terjerat Judol-Pinjol”

    (igo/fdl)

  • Karena Pinjol, Gaji Warga RI Habis Cuma buat Bayar Cicilan

    Karena Pinjol, Gaji Warga RI Habis Cuma buat Bayar Cicilan

    Jakarta

    Utang masyarakat di layanan Peer to Peer (P2P) Lending atau pinjaman online (pinjol) yang terus membengkak hingga Rp 90,99 triliun merupakan sinyal buruk untuk perekonomian nasional. Sebab kondisi ini menunjukkan banyaknya warga RI yang sudah tak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mendesak.

    “Bukan sinyal pinjaman untuk menggerakkan sisi produktivitas ekonomi, tapi lebih ke survival mode atau bertahan hidup,” kata Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira kepada detikcom, Selasa (11/11/2025).

    Masalahnya jika kondisi ini terus berlanjut, Bhima mengatakan daya beli masyarakat yang sudah rendah dapat semakin tergerus karena gaji atau pendapatan mereka habis hanya untuk membayar bunga dan cicilan pinjol.

    Belum lagi jika ternyata mereka terjebak dalam siklus utang ke utang, di mana untuk bisa membayar utang sebelumnya mereka perlu menambah utang di pinjol lain. Alhasil jarak kemampuan ekonomi antara mereka yang terpaksa berutang di pinjol dengan mereka yang tidak akan semakin lebar.

    “Pendapatan dari gaji atau penghasilan lain akan terkuras buat bayar cicilan dan bunga pinjol,” tegasnya.

    “Ekonomi jauh lebih berat, yang rentan ketagihan pinjol, yang kaya beli emas batangan. Indikator ekonomi sedang hadapi perfect storm. Makin lebar ketimpangan,” jelas Bhima lagi.

    Senada, Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad turut memperingatkan bagaimana peningkatan utang pinjol dapat menggerus daya beli masyarakat karena penghasilan mereka habis hanya untuk bayar cicilan dan bunga.

    “Mereka akan cenderung konsumtif, bukan produktif. Tentu saja daya belinya turun. Sehingga bisa jadi ketika utang mereka berlebih atau over leverage, itu akhirnya menyebabkan gagal bayar massal. Nah itu yang dikhawatirkan bagi rumah tangga tersebut,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Tauhid mengatakan secara makro tingginya utang masyarakat di pinjol ini dapat menyebabkan distorsi keuangan. Di mana karena kemudahan saat meminjam dana serta persyaratan yang lebih ringan, banyak orang malah akan lari ke pinjaman konsumtif berbunga tinggi.

    Sebab untuk mengajukan pinjaman dengan bunga yang lebih terjangkau seperti di bank mereka sudah tak memenuhi syarat imbas kepemilikan utang pinjol tadi. Masalahnya jika kondisi ini terus berlanjut, baik dari sisi peminjam maupun pemberi pinjaman akan menghadapi risiko gagal bayar utang yang semakin tinggi.

    “Nah itu akan membuat stabilitas sistem keuangan juga berisiko tinggi. Apalagi kalau Nilai pinjamannya di atas Rp 90 triliun ya ini yang tercatat dan tidak ada agunan, tidak ada jaminan dan sebagainya otomatis itu meningkatkan risiko gagal bayar jauh lebih besar,” terangnya.

    “Nah sehingga bukan ke investasi yang produktif. Kan kalau orang pinjamnya ke produktif itu akan baik buat perekonomian. Tapi kalau kelamaan buat konsumtif ya bisa buat ekonomi nggak berkembang,” jelas Tauhid lagi.

    Tonton juga video “Bocah SMP di Kulon Progo Bolos Sekolah Sebulan gegara Terjerat Judol-Pinjol”

    (igo/fdl)

  • Utang Pinjol Makin Menggunung, Gejala Buruk buat Ekonomi RI

    Utang Pinjol Makin Menggunung, Gejala Buruk buat Ekonomi RI

    Jakarta

    Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan outstanding utang masyarakat Indonesia di Peer to Peer (P2P) Lending atau pinjaman online (pinjol) per September 2025 tembus Rp 90,99 triliun. Jumlah ini tercatat naik hingga 22,16% secara tahunan (year-on-year/YoY).

    Secara bulanan, angka itu juga tercatat naik sekitar 3,86% dari bulan Agustus 2025 yang mencapai Rp 87,61 triliun. Parahnya lagi, pertumbuhan pembiayaan itu juga diiringi dengan peningkatan kredit macet atau tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP90) mencapai 2,82% pada September 2025.

    Jumlah wanprestasi ini lebih tinggi sedikit dibandingkan Agustus 2025 di level 2,60%. Menunjukkan bagaimana jumlah orang yang gagal bayar utang pinjol semakin bertambah.

    Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan jumlah utang pinjol masyarakat ini bukan sinyal positif untuk perekonomian nasional. Karena secara umum peningkatan jumlah utang tersebut menunjukkan bagaimana pendapatan masyarakat tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mendesak.

    Masalahnya, menurut Bhima mayoritas utang pinjol digunakan untuk pendanaan konsumtif, sehingga dana tersebut habis begitu saja dan menyisakan bunga yang terus berlipat ganda. Jika tidak diatasi dengan baik, utang-utang ini malah akan menjadi beban yang semakin hari semakin berat.

    “Masyarakat makin butuh dana cepat, pinjol jadi jawabannya, dan ini bukan indikator ekonomi yang positif,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (11/11/2025).

    “Masyarakat tahunya cuma akses cepat, tinggal klik dan foto selfie dengan KTP, tapi konsekuensi besarnya beban bunga, denda administratif kadang dikesampingkan. Khawatir pinjol yang sifatnya konsumtif akan berakhir menjadi siklus utang ke utang. Untuk tutup tagihan pinjol, akhirnya pinjam ke pinjol lainnya,” sambungnya.

    Karena sifat utang pinjol yang dominan digunakan untuk keperluan konsumtif inilah, Bhima melihat kenaikan outstanding utang yang kini mencapai Rp 90,99 triliun sebagai sebuah kekhawatiran. Ditakutkan, kondisi ini akan mendorong masyarakat untuk mau tak mau menggunakan pendapatan dari gaji atau penghasilan lain hanya untuk bayar cicilan dan bunga pinjol.

    Pada akhirnya, daya beli masyarakat yang sudah rendah hingga memaksa mereka untuk berutang akan semakin turun imbas kehabisan dana karena bayar utang, yang secara jangka panjang dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi nasional.

    “Daya beli makin turun, pertumbuhan ekonomi bisa sulit capai di atas 5,5% tahun ini,” tegas Bhima.

    Senada, Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad menilai kenaikan outstanding utang pinjaman online bukan pertanda baik untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab saat utang pinjol terus membengkak, daya beli masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah malah semakin turun.

    Kondisi ini menunjukkan bagaimana uang atau gaji masyarakat sudah habis untuk membayar cicilan utang dan bunga. Alhasil mereka tidak memiliki kemampuan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain sampai utang-utangnya terlunasi.

    “Kalau kita perhatikan itu semakin tinggi utang pinjol, semakin rendah konsumsi masyarakat, grafiknya turun, berkebalikan,” terangnya.

    Permasalahannya, Tauhid juga berpendapat jika mayoritas utang pinjol ini digunakan masyarakat untuk kebutuhan konsumtif. Di mana untuk kelas menengah bawah banyak menggunakan utang untuk kebutuhan sehari-hari karena daya beli sudah rendah, sementara untuk kelas menengah dan menengah ke atas banyak menggunakan dana pinjaman ini untuk memenuhi gaya hidup.

    “Kalau produktif mungkin mereka nggak berani. Karena kan bunganya katakanlah total bisa di atas 100% per tahun. Mana ada bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan di atas 100% per tahun. Kan jadi sulit untuk digunakan ke sektor produktif, terjebak di konsumtif mulu,” kata Tauhid.

    Tonton juga video “OJK: Utang Pinjol Warga RI Naik ke Angka Rp 87,61 T”

    (igo/fdl)

  • Media Asing Sorot WNA Boleh Jadi Direksi BUMN RI, Bilang Ini

    Media Asing Sorot WNA Boleh Jadi Direksi BUMN RI, Bilang Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Keputusan pemerintah untuk mencabut larangan puluhan tahun yang menghalangi warga negara asing (WNA) menduduki posisi manajemen puncak di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia telah menarik perhatian media dan analis asing.

    Media Singapura, Channel News Asia (CNA), dalam laporannya, Jumat (24/10/2025) menyoroti langkah kebijakan ini. Hal ini diharapkan pemerintah dapat mendorong kepercayaan investor dan mengadopsi praktik terbaik internasional.

    Secara rinci, CNA menuliskan bagaimana residen Prabowo Subianto pekan lalu mengumumkan bahwa WNA kini dapat memimpin BUMN Indonesia, sebuah langkah yang mengakhiri larangan yang telah berlaku sejak tahun 1960. Keputusan ini direalisasikan melalui amandemen Undang-Undang BUMN yang disahkan pada 2 Oktober, memberikan kewenangan kepada Badan Pengelola BUMN (BP BUMN) untuk mengesampingkan syarat kewarganegaraan Indonesia untuk posisi direktur jika dianggap perlu.

    Sebagai implementasi awal, Danantara mengumumkan bahwa maskapai pelat merah Garuda Indonesia telah menunjuk dua WNA ke manajemen puncaknya yakni Balagopal Kunduvara sebagai Chief Financial Officer (mantan eksekutif Singapore Airlines) dan Neil Raymond Mills sebagai Director of Transformation. Penunjukan ini ditujukan untuk memulihkan profitabilitas Garuda yang telah merugi.

    Para pengamat ekonomi asing dan domestik menyambut baik potensi manfaat dari kebijakan ini. Hal ini dirasa perlu untuk mempelajari best practices yang telah berlaku di perusahaan asing.

    “Kehadiran ekspatriat diharapkan dapat membawa perbaikan dalam tata kelola (governance),” kata Ekonom dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, yang dikutip laman itu.

    Senada, Tauhid Ahmad, peneliti senior di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengatakan bahwa pencabutan larangan selama puluhan tahun itu sudah lama tertunda. Ia menekankan perlunya SDM berkelas dunia.

    “Jika Indonesia ingin menjadi pemain global, negara ini membutuhkan orang-orang dengan pengalaman internasional. Mereka yang memiliki latar belakang seperti itu dapat membantu mempercepat kemajuan lebih cepat,” ujarnya.

    Walau begitu, ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional Jakarta, Achmad Nur Hidayat, memperingatkan bahwa merekrut WNA yang berpengalaman belum tentu akan menyelesaikan masalah struktural BUMN seperti intervensi politik, tumpang tindih mandat, dan inefisiensi birokrasi.

    “Pemerintah harus fokus pada reformasi mendasar: meningkatkan insentif, mendorong persaingan, dan memperkuat tata kelola. Mandat sosial harus diberi kompensasi yang layak, gaji eksekutif dikaitkan dengan hasil, peraturan dirancang untuk mendorong inovasi dan audit diperkuat,” tuturnya.

    (tps/tps)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Bukti Nyata Cari Kerja Kantoran Makin Langka di Indonesia

    Bukti Nyata Cari Kerja Kantoran Makin Langka di Indonesia

    Jakarta

    Penciptaan lapangan kerja baru masih jadi persoalan klasik di Indonesia. Penambahan lapangan kerja formal yang tersedia selalu kalah dari pertumbuhan angkatan kerja baru, membuat banyak orang mau tak mau mengadu nasib di sektor informal.

    Padahal pekerjaan-pekerjaan di sektor formal seperti menjadi pegawai kantoran ataupun buruh tetap inilah yang biasanya mampu memberikan kestabilan pendapatan hingga jaminan sosial bagi para pekerjanya.

    Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengatakan secara umum jumlah pekerja formal di Indonesia terus meningkat seiring penambahan jumlah penduduk bekerja tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan pembukaan lapangan kerja sektor formal masih terjadi.

    Meski begitu, menurutnya pertumbuhan tenaga kerja sektor formal ini tidak setinggi pertumbuhan tenaga kerja sektor informal maupun pertumbuhan angkatan kerja baru Indonesia secara keseluruhan. Membuat pada akhirnya proporsi penduduk yang bekerja pada kegiatan formal mengalami penurunan.

    Menurutnya hal ini tercermin dalam data proporsi pekerja formal dan informal dalam negeri periode Februari 2023-Februari 2025 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 Mei 2025 kemarin.

    Dalam data tersebut terlihat proporsi jumlah pekerja formal pada Februari 2023 hanya 39,88% dari jumlah penduduk bekerja dan sisanya sebanyak 60,12% diisi oleh sektor informal. Angka pekerja sektor formal ini kemudian naik menjadi 40,83% pada Februari 2024.

    Namun pada Februari 2025, jumlah pekerja formal ini mengalami penurunan sebanyak 0,23% menjadi 40,60%, dan 59,40% sisanya diisi oleh sektor informal. Berdasarkan informasi ringkasan data BPS itu, penurunan proporsi pekerja formal periode Februari 2024-Februari 2025 didorong oleh penambahan penduduk yang berusaha dibantu buruh tidak tetap.

    “Jumlah pekerja formal memang naik cuma nggak terlalu signifikan dibandingkan sektor informal,” kata Tauhid kepada detikcom.

    Mayoritas Penduduk Bekerja Sebagai Buruh

    Sementara itu, dari sisi distribusi status pekerjaan, mayoritas penduduk Indonesia masih bekerja sebagai buruh, karyawan, dan pegawai. Di mana jumlah penduduk berstatus buruh/karyawan ini mencapai 37,08%.

    Kemudian sisanya diisi oleh mereka yang berusaha sendiri sebanyak 20,58%, disusul kelompok berusaha dibantu buruh tidak tetap sebanyak 16,04%. Lebih lanjut, ada juga kelompok pekerja keluarga/tak dibayar sebesar 13,83%, kelompok pekerja bebas di nonpertanian sebesar 5,21%, kelompok pekerja bebas di pertanian sebesar 3,74%, dan terakhir kelompok berusaha dibantu buruh tetap sebesar 3,52%.

    Dalam laporan tersebut, BPS turut mendefinisikan pekerja formal sebagai buruh/karyawan/pegawai serta tenaga kerja dengan status berusaha dibantu buruh tetap dan dibayar. Sementara pekerja di luar kategori tersebut dikategorikan ke dalam pekerja informal.

    Namun Tauhid mengingatkan bagaimana status pekerja formal saat ini belum tentu memberikan jaminan kesejahteraan bagi para pekerjanya. Sebab banyak pekerja formal saat ini yang masuk perusahaan hanya sebagai pekerja kontrak alias PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu).

    “Undang-Undang Cipta Kerja justru melemahkan untuk pengangkatan pegawai baru. Karena dia ada PKWT dan sebagainya, itu membuat status mereka akhirnya menjadi pegawai kontrak. Jadi susah untuk menerima pegawai yang lebih tetap atau berkelanjutan,” paparnya.

    “Walaupun bekerja formal di sektor industri, 6 bulan atau 1 tahun sudah habis masa kontrak, nggak diperpanjang. Sehingga ya mereka rentan dan mereka akhirnya karena sudah begitu ya lari lagi ke sektor informal jadi UMKM, jadi jasa transportasi ojek online dan sebagainya. Karena kan nggak mudah untuk bertahan di sektor formal,” sambung Tauhid.

  • Gaji Cuma Numpang Lewat, Kelas Menengah RI Dihajar Utang, Inflasi, dan Pajak

    Gaji Cuma Numpang Lewat, Kelas Menengah RI Dihajar Utang, Inflasi, dan Pajak

    Jakarta

    Kelompok kelas menengah di Indonesia terengah-engah menghadapi tekanan ekonomi yang semakin berat. Gaji yang mereka terima seketika habis hanya untuk membayar utang dan cicilan.

    Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menjelaskan kondisi ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Mulai dari faktor kondisi ekonomi nasional, regulasi perpajakan, hingga gaya hidup masyarakat itu sendiri.

    Dari faktor kondisi ekonomi, Tauhid mengatakan saat ini inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa secara nasional per September 2025 sudah naik di atas 2%. Di mana menurut data BPS secara year-on-year inflasi nasional bulan kemarin sebesar 2,65% dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 108,74.

    Sayang, kenaikan inflasi ini tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Artinya harga barang dan jasa merangkak makin mahal, sementara pendapatan masih ‘jalan di tempat’.

    “Pertama, kalau kita lihat inflasi mulai naik lagi ya, mendekatkan di atas 2%. Nah, inflasi yang terjadi ini tidak diimbangi dengan kenaikan gaji dan pendapatan mereka. Saya kira ini fenomenanya itu penyebab pertama,” kata Tauhid kepada detikcom, Senin (6/10/2025).

    Kemudian secara regulasi, menurut Tauhid kehidupan kelas menengah saat ini sangat terbebani oleh pajak seperti PPN (pajak penambahan nilai). Hal ini dinilai membuat harga barang/jasa yang sudah naik imbas inflasi akan semakin mahal. Sehingga biaya hidup semakin tinggi.

    “PPN naik, kemudian beberapa kenaikan di komponen biaya hidup juga naik, terutama di transportasi dan komunikasi. Pajak, transportasi dan komunikasi ini sudah mulai bergerak naik lah,” ucapnya.

    “Kalau pajak kan jelas, tapi kalau transportasi dan komunikasi ini kan nggak sengaja. Biaya telekomunikasi itu makan komponen besar tuh, orang internet dan sebagainya. Termasuk transportasi, ojol dan sebagainya itu makan banget tuh kelas menengah,” sambung Tauhid.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kelas menengah di Indonesia tahun ini tahun ini sebanyak 46,85 juta jiwa. Foto: Pradita Utama

    Terakhir ada faktor dari kelas menengah sendiri yang kini dinilai semakin konsumtif. Di mana menurutnya tak sedikit orang yang kini banyak membeli barang atau jasa yang sebetulnya tidak terlalu mereka butuhkan.

    Padahal besaran gaji masih pas-pasan, membuat mereka mau tak mau mengambil pinjaman. Hal inilah yang membuat cicilan bulanan mereka semakin besar. Akibatnya gaji yang diterima hanya habis untuk bayar utang, dan sisanya hanya cukup untuk konsumsi makanan.

    “Memang sekarang kelas menengah di tengah digitalisasi, itu budaya konsumsinya semakin tinggi juga begitu ya. Misalnya dengan digitalisasi mereka gampang mengakses pembiayaan, belanja, dan sebagainya dengan digital. Sehingga budaya konsumstifnya akhirnya lebih tinggi dibandingkan sebelum-sebelumnya,” papar Tauhid.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan salah satu faktor utama yang membuat kelompok kelas menengah kian terimpit utang adalah sulitnya mencari pekerjaan layak. Kondisi ini membuat pendapatan mereka jadi sangat terbatas, bahkan cenderung kurang yang kemudian mendorong mereka untuk ajukan pinjaman.

    “Kelas menengah tertekan sulitnya mencari pekerjaan yang stabil, dan upah layak. Pekerjaan ada tapi sebagian besar informal, basisnya kontrak tidak pasti,” jelas Bhima.

    Kemudian sama seperti Tauhid, dirinya juga turut menyoroti gaya hidup kelas menengah yang kerap kali tidak sesuai dengan besaran gaji atau pendapatan yang dimilikinya. Pada akhirnya membuat mereka rela berutang hanya karena keinginan sesaat.

    “Sebagian terjebak pada gaya hidup yang tidak sesuai kemampuan, FOMO lihat iklan sosial media lalu beli barang via paylater,” ucapnya.

    Lihat juga Video: Cara Sederhana Biar Gaji Tidak Habis di Tengah Jalan

    (igo/fdl)

  • Bagaimana Aliran Dana 200 T ke Bank Bisa Selamatkan Ekonomi RI?

    Bagaimana Aliran Dana 200 T ke Bank Bisa Selamatkan Ekonomi RI?

    Jakarta

    Tidak lama setelah dilantik menjadi Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani, Purbaya Yudhi Sadewa menjalankan sebuah kebijakan spektakuler. Ia menggelontorkan dana sebesar 200 T ke sejumlah bank.

    Untuk melancarkan kebijakan perdananya ini, ia juga menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025. Dalam aturan ini tertuang pembagian aliran dana tersebut. Seperti diketahui, penempatan uang negara dilakukan pada lima bank umum mitra, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara BTN), dan Bank Syariah Indonesia (BSI).

    Merangkum detikFinance, penempatan uang tersebut dilaksanakan dengan limit mitra kerja pada masing-masing bank umum mitra. Limit untuk BRI sebesar Rp 55 triliun, BNI sebesar Rp 55 triliun, Bank Mandiri sebesar Rp 55 triliun, BTN sebesar Rp 25 triliun, dan BSI sebesar Rp 10 triliun.

    “Ini sudah diputuskan dan siang ini sudah disalurkan ya. Ini kita kirim ke lima bank, Mandiri, BRI, BTN, BNI, BSI. Jadi saya pastikan, dana yang harus dikirim masuk ke sistem perbankan hari ini. Pasti pelan-pelan akan ke kredit, sehingga ekonominya bisa bergerak,” kata Purbaya dikutip dari detikFinance, Sabtu (13/9).

    Untuk mengontrol dan memantau aliran dana tersebut, Purbaya mewanti-wanti bank penerima dana untuk melaporkan penggunaan dana tersebut kepada Kemenkeu setiap bulannya. Ia juga mengatakan jika pemerintah memberikan tenor 6 bulan dan dapat diperpanjang. Sementara itu dalam penggunaannya, Purbaya menegaskan, penempatan uang negara tersebut wajib digunakan untuk mendukung pertumbuhan sektor riil, dan tidak diperkenankan digunakan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN).

    Pada hari pertama ia dilantik, Mantan Ketua Dewan Komisioner LPS itu optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. Ia juga mengatakan jika Indonesia tidak akan susah mengejar pertumbuhan ekonomi 6% dalam waktu 1-2 tahun.

    “6% sampai 6,5% nggak susah-susah amat dalam waktu setahun, dua tahun,” kata Purbaya dalam acara Great Lecture: Transformasi Ekonomi Nasional di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (11/9/2025).

    Purbaya menyebut jika dirinya akan menyeimbangkan performa dua mesin ekonomi dari sisi fiskal maupun moneter. Sebab katanya, dalam beberapa tahun terakhir ini mesin ekonomi Indonesia berjalan pincang alias sendiri-sendiri antara sektor pemerintah dan swasta.

    Kembali ke soal pengguyuran dana ke sejumlah bank, bagaimana sebenarnya hal ini dapat memperlancar pertumbuhan ekonomi? Apa risiko di balik kebijakan ini? Menghadirkan Ekonom Indef, Tauhid Ahmad, ikuti diskusinya dalam Editorial Review.

    Beralih ke Berita Nusantara, detikSore akan mengulas Turis asal Belanda bernama Johannes Antoni (68) terjatuh di kawasan air terjun Lombongo, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Tim SAR gabungan dikerahkan mengevakuasi korban yang mengalami patah kaki. Apa sebabnya? Ikuti laporan Jurnalis detikcom selengkapnya.

    Jelang petang nanti detikSore akan menghadirkan musisi sekaligus motivator asal Amerika Serikat, Tony Memmel. Lewat musik, ia menyampaikan harapan dan kekuatan. Tony bermetamorfosis menjadi seorang pendidik dan pembicara motivasi yang menginspirasi banyak orang. Kisah hidupnya menjadi bukti bahwa kekuatan sejati lahir dari keberanian untuk menghadapi tantangan dan membalikkan keterbatasan menjadi peluang. Dengan musik, ia berusaha menggugah hati dan semangat orang-orang yang menghadapi keterbatasan fisik.

    detikSore akan menyelami perjalanan Tony mulai dari bagaimana ia menemukan suara dan kekuatannya melalui musik, serta pesan universal yang bisa kita ambil untuk menjalani hidup dengan ketabahan, kreativitas, dan keyakinan. Temui Tony di detikSore.

    Ikuti terus ulasan mendalam berita-berita hangat detikcom dalam sehari yang disiarkan secara langsung langsung (live streaming) pada Senin-Jumat, pukul 15.30-18.00 WIB, di 20.detik.com dan TikTok detikcom. Jangan ketinggalan untuk mengikuti analisis pergerakan pasar saham jelang penutupan IHSG di awal acara. Sampaikan komentar Anda melalui kolom live chat yang tersedia.

    “Detik Sore, Nggak Cuma Hore-hore!”

    (far/vys)