Tag: Tarmizi

  • Biang Kerok Banyak Penyakit, Berapa Batas Maksimum Konsumsi Gula Garam Lemak Harian?

    Biang Kerok Banyak Penyakit, Berapa Batas Maksimum Konsumsi Gula Garam Lemak Harian?

    Jakarta

    Penyakit degeneratif kini semakin banyak ditemui pada usia yang masih tergolong muda. Mengenali anjuran batas maksimum konsumsi gula, garam, dan lemak harian dapat mengurangi risiko tersebut.

    Kondisi seperti hipertensi, diabetes, stroke, dan penyakit jantung dulu lebih sering dialami orang lanjut usia, tetapi sekarang makin banyak terjadi di usia produktif. Salah satu pemicu utamanya adalah pola makan tinggi Gula, Garam, dan Lemak (GGL).

    Di tengah gaya hidup yang serba cepat, pilihan makanan sering ditentukan oleh faktor praktis dan rasa. Makanan-makanan yang tinggi gula memang terasa lebih memuaskan dan makanan asin lebih menggugah selera. Namun konsumsi berlebihan dalam jangka panjang dapat memberi dampak besar pada kesehatan tubuh.

    Apa itu Penyakit Degeneratif?

    Penyakit degeneratif adalah penyakit yang muncul akibat penurunan fungsi atau kerusakan organ tubuh secara bertahap. Proses ini tidak terjadi dalam semalam, melainkan berlangsung perlahan dan sering tanpa disadari.

    Ada dua faktor risiko yang tidak bisa diubah, yaitu:

    1. Usia

    Semakin bertambah usia, metabolisme mulai melambat, pembuluh darah mengalami penurunan elastisitas, dan respons sel tubuh terhadap hormon seperti insulin ikut menurun.

    2. Keturunan/Genetik

    Seseorang bisa memiliki risiko/kecenderungan alami lebih tinggi mengalami hipertensi, diabetes, stroke, atau penyakit jantung karena faktor riwayat penyakit keluarga.

    Meski demikian, ada satu faktor risiko yang sangat berpengaruh dan sepenuhnya dapat dikendalikan, yaitu pola makan. Jadi penyakit degeneratif dapat kita cegah dengan mengurangi konsumsi GGL.

    Asupan gula yang berlebihan dapat memicu lonjakan glukosa darah yang membuat pankreas bekerja berat untuk memproduksi insulin. Garam berlebih bisa memicu peningkatan tekanan darah, sementara asupan lemak yang tinggi, terutama lemak jenuh dan lemak trans, mempercepat pembentukan plak pada pembuluh darah. Ketiganya saling berhubungan dan penyebab kesehatan menjadi buruk.

    Anjuran Batas Konsumsi GGL

    Kementerian Kesehatan RI menganjurkan batas konsumsi GGL harian berikut:

    Gula: maksimal 50 gram per hari.

    World Health Organization tahun 2015 menjelaskan konsumsi gula tambahan di atas 10% total energi harian meningkatkan risiko inflamasi sistemik, obesitas, dan diabetes.

    Garam: maksimal 5 gram per hari atau setara satu sendok teh.

    Studi dari jurnal Frontiers in Physiology tahun 2015 menunjukkan bahwa penurunan asupan garam

    Lemak: maksimal sekitar 67 gram per hari

    Laporan American Heart Association tahun 2019 menyebutkan bahwa mengurangi lemak jenuh dan trans menurunkan kadar kolesterol LDL serta risiko penyakit jantung koroner.

    Anjuran pembatasan GGL oleh Kementerian Kesehatan RI, bukan hanya angka yang dibuat tanpa dasar, melainkan hasil tinjauan ilmiah jangka panjang terhadap data kesehatan masyarakat dunia. Konsumsi yang melebihi batas yang dianjurkan dalam waktu lama akan meningkatkan beban kerja organ, mempercepat peradangan, dan memicu kerusakan jaringan.

    Penyakit Degeneratif yang Berkaitan dengan Konsumsi GGL Berlebih

    Beberapa penyakit yang berkaitan dengan konsumsi GGL berlebih adalah sebagai berikut.

    1. Stroke

    Stroke terjadi ketika suplai darah ke otak terhenti atau berkurang. Kondisi ini sangat berkaitan dengan hipertensi, diabetes, dan kolesterol tinggi. Penelitian dari Jurnal Lancet Neural tahun 2021 menjelaskan bahwa ketiga faktor tersebut merupakan penyumbang utama risiko stroke secara global.

    Gula berlebih dapat merusak pembuluh darah halus (kapiler) di otak. Garam berlebih meningkatkan tekanan darah sehingga pembuluh darah dapat pecah. Kolesterol berlebih mempersempit aliran darah. Ketiganya saling berinteraksi dan mempercepat kerusakan.

    2. Hipertensi

    Garam menyebabkan retensi cairan di dalam tubuh. Semakin banyak garam yang dikonsumsi, tubuh akan menahan air lebih banyak untuk menyeimbangkannya. Hal ini menyebabkan volume darah meningkat dan tekanan pada dinding pembuluh darah naik.

    Studi ilmiah yang diterbitkan di Jurnal Nutrients tahun 2019 menunjukkan bahwa pengurangan garam secara konsisten menurunkan tekanan darah, termasuk pada individu yang sebelumnya tidak memiliki hipertensi.

    Hipertensi disebut sebagai silent killer karena sering berlangsung tanpa gejala, tetapi menjadi penyebab penyakit yang lebih berat seperti serangan jantung dan stroke.

    3. Diabetes

    Konsumsi gula berlebih dalam jangka panjang memicu resistensi insulin. Tubuh menjadi kurang sensitif terhadap insulin sehingga gula tidak dapat masuk ke sel dan tetap tinggi dalam darah. Diabetes tipe 2 kemudian dapat memicu komplikasi lain seperti kebutaan, gagal ginjal, dan kerusakan saraf.

    4. Penyakit Jantung Koroner

    Asupan lemak jenuh dan lemak trans berlebih meningkatkan kadar Low-Density Lipoprotein (LDL) atau kolesterol jahat. LDL yang tinggi dapat memicu pembentukan plak di dinding pembuluh darah (aterosklerosis).

    Ketika plak menebal, pembuluh darah menyempit sehingga aliran darah ke jantung berkurang. Kondisi ini dapat memicu nyeri dada (angina) hingga serangan jantung.

    Penelitian yang berjudul Reduction in Saturated Fat Intake for Cardiovascular Disease tahun 2020 menyatakan bahwa pengurangan lemak trans dan jenuh secara konsisten menurunkan risiko penyakit jantung koroner dalam jangka panjang.

    5. Penyakit Ginjal Kronis

    Tekanan darah tinggi dan gula darah tinggi merupakan dua penyebab utama kerusakan ginjal. Pembuluh darah pada ginjal menjadi kaku dan rusak, menyebabkan fungsi filtrasi menurun. Data dari National Kidney Foundation tahun 2025 mencatat bahwa 66% kasus penyakit ginjal kronis berhubungan dengan diabetes dan hipertensi yang tidak terkontrol.

    Kesimpulan

    Penyakit degeneratif bukan terjadi tiba-tiba. Ia terbentuk dari kebiasaan sehari-hari yang tampak sederhana tetapi berlangsung bertahun-tahun. Usia dan faktor keturunan memang tidak dapat diubah, namun pola makan dan gaya hidup dapat dikendalikan sepenuhnya.

    Membatasi konsumsi GGL bukan berarti harus menghindari penggunaan GGL dalam makanan, tetapi memahami bahwa tubuh harus membatasi konsumsi GGL. Apabila konsumsi GGL dilewati terus-menerus dari batas anjuran, akan berujung pada peningkatan risiko penyakit degeneratif.

    Terkait asupan GGL, detikcom Leaders Forum akan hadir dengan tema ‘Ancaman Gula Berlebih: Manis Sesaat, Diabetes Sepanjang Hayat’. Hadir sebagai pembicara, Kepala BPOM RI Taruna Ikrar, Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi, CEO Nutrifood Mardi Wu mewakili pelaku usaha pangan, dan dokter spesialis penyakit dalam dari Brawijaya Hospital dr Erpryta Nurdia Tetrasiwi, SpPD.

    Nantikan penayangannya, Jumat (31/10/2025) di detikcom.

    Halaman 2 dari 5

    Simak Video “BPOM Akan Edukasi Masyarakat soal Labeling Gula, Garam, Lemak”
    [Gambas:Video 20detik]
    (mal/up)

  • Air Hujan DKI Tercemar Mikroplastik, Harus Gimana Biar Tak Terpapar? Ini Saran Kemenkes

    Air Hujan DKI Tercemar Mikroplastik, Harus Gimana Biar Tak Terpapar? Ini Saran Kemenkes

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengimbau masyarakat ikut mewaspadai potensi paparan mikroplastik dari air hujan, menyusul temuan riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mendeteksi keberadaan partikel mikroplastik pada air hujan di wilayah DKI Jakarta.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI dr Siti Nadia Tarmizi menyebut pihaknya masih berkoordinasi dengan BRIN dan instansi terkait untuk menindaklanjuti temuan tersebut.

    “Memang ada temuan dari studi BRIN yang menyebutkan hujan kita mengandung mikroplastik. Kami masih terus berkoordinasi dengan pihak terkait untuk mendalami hasil riset itu,” beber dr Nadia saat ditemui detikcom di Gedung Trans TV, Rabu (29/10/2025).

    dr Nadia menjelaskan, berdasarkan laporan awal, paparan mikroplastik tersebut bersifat lokal, terutama di wilayah perkotaan padat seperti DKI Jakarta yang memiliki tingkat pencemaran tinggi dan penggunaan bahan plastik dalam keseharian yang masif.

    “Temuan ini masih terbatas di DKI Jakarta, yang memang memiliki sumber sampah plastik cukup tinggi,” katanya.

    Ia menegaskan, hingga saat ini belum ada bukti ilmiah bahwa setiap kejadian hujan akan selalu mengandung mikroplastik. Namun, kewaspadaan tetap perlu ditingkatkan karena paparan jangka panjang berpotensi memengaruhi kesehatan lingkungan dan manusia.

    “Artinya, ini bukan berarti setiap hujan berikutnya pasti mengandung mikroplastik, tetapi menjadi peringatan agar kita lebih berhati-hati,” jelasnya.

    Pakai Masker dan Hindari Aktivitas Saat Hujan

    Sebagai langkah antisipatif, Kemenkes menyarankan masyarakat menghindari aktivitas langsung di bawah hujan, juga tidak langsung beraktivitas pasca hujan mereda.

    Ia juga menekankan pentingnya menggunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan dalam periode waktu tersebut.

    “Salah satu langkah pencegahan yang bisa dilakukan adalah menggunakan masker. Bila tidak mendesak, sebaiknya hindari beraktivitas di luar ruangan saat hujan,” lanjut dr Nadia.

    Kemenkes juga menekankan pentingnya pengelolaan sampah plastik yang lebih baik, mengingat sumber mikroplastik umumnya berasal dari limbah plastik yang terurai di lingkungan dan terbawa aliran udara hingga mencemari atmosfer.

    dr Nadia memastikan, Kemenkes akan terus berkoordinasi dengan BRIN, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, dan lembaga terkait lainnya untuk memetakan tingkat paparan mikroplastik di udara dan air hujan, sekaligus mengedukasi masyarakat mengenai dampaknya terhadap kesehatan.

    “Kami akan terus komunikasi dengan BRIN dan pihak terkait agar bisa memberikan panduan yang lebih komprehensif bagi masyarakat,” katanya.

    Menurut dr Nadia, temuan ini juga menjadi momentum untuk memperkuat kesadaran publik terhadap bahaya sampah plastik dan pentingnya mengurangi penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.

    Halaman 2 dari 3

    (naf/kna)

  • Warga +62 Banyak yang Hipertensi, Berujung Stroke di Usia Muda

    Warga +62 Banyak yang Hipertensi, Berujung Stroke di Usia Muda

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyoroti fenomena stroke di Tanah Air. Kini, kasus stroke tak lagi hanya bisa terjadi pada mereka di usia 50 tahun ke atas, bahkan usia di bawah 40 tahun juga berisiko.

    “Bahkan yang mengalami stroke itu di bawah usia 40 tahun, yang tadinya kita menemukan pada usia-usia lansia atau usia di atas 50 tahun,” kata Direktur P2PTM Kemenkes, dr Siti Nadia Tarmizi saat ditemui di Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).

    Menurut dr Nadia, salah satu penyebab banyaknya stroke di usia dewasa muda, dipengaruhi oleh meningkatnya kasus hipertensi yang mulai meningkat trennya.

    “Kita lihat prevalensinya (hipertensi) agak jauh lebih besar, sekitar 15-18 persen. Lebih tinggi dari yang DM (diabetes melitus),” kata dr Nadia.

    Kemenkes sendiri mencatat tidak sedikit juga kasus hipertensi yang ditemukan di usia 30 tahun. Tentunya, gaya hidup yang buruk menjadi faktor utama dalam kondisi ini.

    “Pola yang sama juga untuk hipertensi. Kita tahu pola konsumsi gula, garam, lemak (GGL),” kata Nadia.

    “Kemudian kita tahu ada sikap masyarakat yang mulai selalu sedentary (malas-malasan), aktivitas berkurang, karena kan semua memudahkan karena ada teknologi informasi,” sambungnya.

    Bagaimana Mencegah Hipertensi?

    Dikutip dari laman UGM, Guru Besar dan Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof dr Fatwa Sari Tetra Dewi, MPH, PhD mengatakan seringkali hipertensi ini memang tidak disadari oleh dewasa muda.

    “Anak-anak muda tidak menyadari kalau mereka menderita hipertensi karena masih merasa sehat dari sisi kemampuan tubuh,” ujar Prof Fatwa.

    Fatwa menambahkan bahwa pengendalian hipertensi yang paling efektif itu dilakukan seawal mungkin, dimulai saat masih dini dengan menanamkan perilaku hidup sehat.

    Beberapa perilaku yang bisa dihindari menurut Prof Fatwa untuk mencegah hipertensi, di antaranya:

    MerokokPola makan tinggi lemakKurang konsumsi sayur dan buahKurang aktivitas fisik (mager)Stres

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/kna)

  • Mulai Banyak Anak Muda Kena Penyakit Gula, Bebani BPJS Kesehatan Triliunan Rupiah

    Mulai Banyak Anak Muda Kena Penyakit Gula, Bebani BPJS Kesehatan Triliunan Rupiah

    Jakarta

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan angka diabetes terus mengalami peningkatan. Tak terkecuali bagi generasi muda di bawah usia 40 tahun, sudah mengidap diabetes tipe 2.

    “Angka diabetes terus terjadi peningkatan. Sekarang (prevalensi) sempat 8 persen, sekarang jadi 10 persen,” kata Nadia saat ditemui di Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).

    “Tadi kita lihat pada peluncuran ini, di bawah 40 tahun itu sudah ada yang terkena diabetes. Usia 30 tahun ke atas itu juga sudah terkena diabetes tipe 2, artinya diabetes yang didapat. Walaupun jumlahnya masih sedikit, tetapi ada tren peningkatan,” sambungnya.

    Gaya Hidup Buruk Jadi Faktornya

    Nadia menambahkan, gaya hidup yang buruk masih menjadi faktor utama dari dewasa muda sudah mengidap diabetes tipe 2.

    “Kita tahu pola konsumsi gula, garam, lemak (GGL). Kemudian kita tahu ada sikap masyarakat yang mulai selalu sedentary (malas-malasan), aktivitas berkurang, karena kan semua memudahkan karena ada teknologi informasi,” katanya.

    Senada, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan pembiayaan peserta JKN terkait diabetes telah menelan anggaran cukup tinggi.

    “Tahun 2024, ada 20,5 juta peserta JKN terdiagnosis hipertensi dan 7,4 juta peserta JKN terdiagnosis diabetes melitus. Total biaya pelayanan kesehatan kedua penyakit tersebut mencapai Rp 30,5 triliun, termasuk untuk penanganan penyakit penyerta seperti stroke, gagal ginjal, dan jantung,” ujar Ghufron.

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/kna)

  • 65 Juta Warga +62 Dibayangi Hipertensi, Pemicu Gagal Ginjal Usia Muda

    65 Juta Warga +62 Dibayangi Hipertensi, Pemicu Gagal Ginjal Usia Muda

    Jakarta

    Indonesia diestimasi mencatat 65 juta kasus hipertensi berdasarkan hasil survei kesehatan indonesia (SKI) 2023. Dari total tersebut, baru teridentifikasi 18,5 juta pasien, lantaran tidak banyak masyarakat yang aware melakukan pengecekan rutin tekanan darah.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) dr Siti Nadia Tarmizi berharap gap tersebut bisa ditemukan melalui cek kesehatan gratis (CKG).

    “Ternyata dari CKG kalau lihat angka prevalensinya sama dengan SKI, jadi memang mungkin betul 65 juta masyarakat kita mengidap hipertensi, meskipun kita baru bisa menemukan 18,5 juta,” beber dr Nadia dalam talkshow di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).

    “Harapannya tahun depan sudah ada skrining di lebih dari 100 juta, kalau di akhir tahun mungkin 60-65 juta bisa kita skrining,” lanjutnya.

    Meski temuan kasus hipertensi pada CKG relatif tinggi, tindak lanjut tata laksana dan pengobatan terpantau masih rendah. dr Nadia menggambarkan sedikitnya tiga sampel di sejumlah kota besar.

    DKI Jakarta misalnya, di Puskesmas Kembangan tercatat ada 337 pasien yang terdiagnosis hipertensi. Namun, hanya 48 pasien yang menjalani tatalaksana pengobatan, dengan 22 kasus yang terkendali.

    “Tren di tiga kota besar, DKI Jakarta, Surabaya, Semarang, kurang lebih sama, gap-nya antara yang terdiagnosis dengan melakukan pengobatan tinggi, di Surabaya cuma satu yang agak lebih baik yaitu puskesmas Sidosermo,” lanjutnya.

    Puskesmas Sidosermo mencatat 693 kasus hipertensi dan seluruhnya dilaporkan sudah mendapatkan pengobatan, dengan 651 pasien sudah terkendali kondisinya.

    Masih Banyak Hoax di Masyarakat

    Tantangan yang dihadapi pemerintah juga dilatarbelakangi maraknya hoax yang diyakini masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang ogah berobat karena khawatir berdampak pada masalah kesehatan ginjalnya.

    “Padahal hipertensi-nya sendiri yang merusak ginjal mereka,” tandas dr Nadia.

    “Jadi ini pekerjaan rumah bagi kita, karena faktanya 40 hingga 60 persen pasien yang terdiagnosis hipertensi tidak pernah kembali untuk pengobatan,” pungkasnya.

    Hipertensi menjadi salah satu faktor risiko terjadinya stroke hingga masalah gagal ginjal. Deputi Direksi Bidang Kebijakan Penjaminan Manfaat BPJS Kesehatan Dr dr Ari Dwi Aryani MKM menyebut total pembiayaan akibat diabetes melitus dan hipertensi mencapai Rp 35,3 triliun pada 2024.

    “Diabetes melitus dan hipertensi itu kan ibunya penyakit dia bisa kemana-mana, sehingga meningkat ke pembiayaan penyakit akibat jantung, gagal ginjal, stroke,” bebernya saat ditemui detikcom pasca talkshow.

    “Pasien yang dirawat karena jantung, karena cuci darah, naik,” tandasnya.

    Tren pasien disebutnya juga terus bergeser ke usia muda, dari semula di atas 50 tahun menjadi di rentang 30 hingga 40 tahun. Meski begitu, catatan peningkatan kasus tidak selalu menggambarkan penambahan jumlah pasien yang sakit, tetapi ia menilai ada beberapa pasien yang memang baru bisa mendapatkan akses pengobatan tercover BPJS Kesehatan.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Skrining Kanker Payudara RI Rendah, Warga Takut Periksa-Lebih Pilih Alternatif

    Skrining Kanker Payudara RI Rendah, Warga Takut Periksa-Lebih Pilih Alternatif

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan mengungkapkan skrining pemeriksaan dini adalah salah satu faktor utama dalam penanganan kanker payudara. Seringkali, pasien menjadi lebih sulit sembuh akibat kanker baru ditemukan pada stadium lanjut, padahal jika ditemukan lebih cepat, kemungkinan untuk remisi menjadi lebih besar.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan angka skrining kanker payudara di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini membuat prevalensi kasus kanker payudara di Indonesia menjadi paling tinggi dibanding jenis kanker lain.

    Dari sebanyak 41 juta perempuan Indonesia yang ditargetkan Kemenkes, hanya 10,8 persen yang akhirnya melaksanakan skrining kanker payudara.

    “Jadi masih sedikit sekali,” ujar Nadia ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).

    “Nah, bayangkan dari harusnya 41 juta, kita baru ketemu sekitar, 4 jutaan perempuan Indonesia,” sambungnya.

    Menurut Nadia, ada beberapa faktor yang membuat angka skrining kanker payudara di Indonesia masih sangat rendah. Misalnya, pemeriksaan payudara yang masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat.

    Selain itu, masih ada kecenderungan masyarakat untuk mencari pengobatan alternatif untuk menangani masalah kesehatan. Jika masalah payudaranya tak kunjung sembuh, baru akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah sakit.

    “Jadi jalan (berobat) ke mana-mana dulu, pengobatan tradisional ya. Kemudian ada denial, bahwa ‘saya ini takut kalau harus memeriksakan benjolan saya’,” ujarnya.

    “Tentunya kita dorong ya, dari program Cek Kesehatan Gratis, masyarakat terutama perempuan-perempuan, ibu-ibu, untuk melakukan skrining lagi, gratis,” tandas Nadia.

    Kapan Harus Periksa?

    Spesialis onkologi radiasi RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Prof dr Soehartati A Gondhowiardjo, SpOnkRad(K) mengungkapkan semua wanita yang memiliki faktor risiko sebaiknya mulai melakukan pemeriksaan dini. Beberapa faktor risiko yang dimaksud seperti adanya riwayat keluarga, tidak menyusui, haid dini, dan lain-lain.

    Jika memiliki faktor risiko kanker payudara, Prof Soehartati mengatakan skrining dini bisa dilakukan mulai usia 35-40 tahun di fasilitas kesehatan.

    “Pada kelompok wanita yang mempunyai faktor resiko diharapkan, dia memeriksakan payudara dengan lebih dini, itu katakanlah sekitar usia 40 tahun, 35 tahun, 45 tahun sudah mulai memeriksakan diri,” ujar Prof Soehartati.

    Untuk pemeriksaan awal di rumah, skrining bisa dilakukan dengan Sadari (pemeriksaan payudara sendiri) untuk menemukan adakah benjolan atau kondisi tidak wajar lain pada area payudara.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Pasien Diabetes-Hipertensi RI Naik 2 Kali Lipat, Sedot Biaya BPJS hingga Rp 35,3 T

    Pasien Diabetes-Hipertensi RI Naik 2 Kali Lipat, Sedot Biaya BPJS hingga Rp 35,3 T

    Jakarta

    Jumlah pasien diabetes melitus (DM) dan hipertensi yang terdata dari penggunaan pengobatan BPJS Kesehatan melonjak lebih dari dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir.

    Data di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) menunjukkan, pada 2014 terdapat sekitar 400 ribu pasien diabetes melitus yang mendatangi FKTP, melonjak tujuh kali lipat menjadi 2,8 juta peserta yang mengakses layanan di 2024. Sementara untuk pasien hipertensi dari semula 785 ribu kunjungan ke FKTP di 2014, kini menjadi 5,6 juta peserta pada 2024.

    Bila dirinci, dalam satu dekade terakhir terdapat 20,5 juta kasus hipertensi dan 7,4 juta kasus diabetes melitus.

    Kenaikan jumlah pasien ini diikuti dengan pembengkakan pembiayaan. Sepanjang 2024, BPJS Kesehatan mengeluarkan sekitar Rp 35,3 triliun untuk menanggung pengobatan penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi, termasuk stroke, gagal ginjal, dan penyakit jantung.

    Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Itida Yasar, SH, MPsi, menilai selama ini sistem layanan kesehatan masih terlalu berfokus pada penanganan kuratif, ketimbang promotif dan preventif.

    “Kalau parameternya sudah jelas, saya paling cerewet soal anggaran, berapa penyerapannya, kegiatan apa, di dalamnya sudah ada skrining dan edukasi seperti program pengelolaan penyakit kronis (PROLANIS). Tapi yang kurang dari kita adalah kolaborasi dengan masyarakat,” beber Itida, dalam talkshow di Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).

    Ia menegaskan keberhasilan pengendalian penyakit kronis tidak bisa hanya bergantung pada fasilitas kesehatan. Edukasi, kepatuhan pasien, dan peran komunitas juga harus diperkuat. “Ini penyakit tidak menular, jadi kuncinya ada di perubahan perilaku. Harus ada kolaborasi komunikasi dengan komunitas,” tambahnya.

    Itida menyoroti sebagian peserta BPJS masih tidak rutin meminum obat atau baru datang ke rumah sakit ketika kondisinya sudah berat. Kondisi itu membuat biaya pengobatan membengkak karena pasien seringkali harus masuk IGD atau dirawat inap.

    “Orang yang nggak pernah minum obat, lalu masuk IGD, masuk rumah sakit lagi, itu kan cost-nya tinggi. Kalau semua digratiskan tanpa tanggung jawab, bisa jebol juga sistemnya. Fokus kita masih terlalu di kuratif,” tegasnya.

    Itida bahkan menyebut, skema cost sharing bisa dipertimbangkan bagi peserta dengan faktor risiko tinggi seperti perokok atau pasien yang tidak patuh pengobatan, agar ada rasa tanggung jawab bersama.

    Sementara itu, Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, mengatakan pemerintah kini memperkuat pendekatan promotif dan preventif melalui program cek kesehatan gratis (CKG).

    “Kebijakan kita dorong terus promotif-preventif, salah satunya dengan skrining. Makanya kita paksa dengan program CKG. Ini betul-betul gratis dengan sejumlah jenis pemeriksaan, mulai dari EKG, profil lipid, hingga fungsi ginjal,” jelas Nadia.

    Program CKG mulai dari bayi baru lahir hingga lansia, mendapat pemeriksaan kesehatan setahun sekali. Namun, tantangan terbesar masih ada pada perubahan perilaku masyarakat.

    “Masyarakat kita biasanya datang ke fasilitas kesehatan kalau sudah sakit. Kalau belum ada keluhan, mereka merasa tidak perlu. Padahal, justru kita ingin mereka tahu kondisi sebelum jatuh sakit,” ujarnya.

    Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dan memperluas jangkauan edukasi, Kemenkes juga tengah mengembangkan agar program yang sama bisa diterapkan di tempat kerja.

    Hal ini karena banyak pekerja usia produktif kesulitan datang ke puskesmas saat jam kerja.

    “Kalau jam kerja, peserta usia perkantoran tidak mungkin datang. Jadi, kita akan coba kembangkan bisa dijalankan di klinik perusahaan. Pasien pekerja bisa dikontrol tekanan darah dan gula darahnya bersama puskesmas,” kata Nadia.

    Program ini diharapkan membantu menjaga kondisi pasien tetap terkontrol, mencegah rujukan ke rumah sakit, serta menekan pembiayaan jangka panjang.

    Nadia juga mengingatkan pasien agar tidak takut menjalani pengobatan rutin. Ia menegaskan, bahaya hipertensi yang tidak terkontrol jauh lebih besar daripada efek samping obat.

    “Kadang pasien takut minum obat, padahal yang lebih berisiko itu hipertensinya sendiri dibandingkan obatnya,” tutup Nadia.

    Simak Video “Video: Ombudsman Dukung Pemerintah soal Pemutihan Tunggakan BPJS Kesehatan”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Survival Rate Kanker Payudara RI Masih Kalah dari Negara Maju, Kemenkes Ungkap Penyebabnya

    Survival Rate Kanker Payudara RI Masih Kalah dari Negara Maju, Kemenkes Ungkap Penyebabnya

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengungkapkan kanker payudara masih menjadi jenis kanker dengan kasus tertinggi di Indonesia. Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan prevalensi kasus kanker payudara di Indonesia berada di angka 42 per 100 ribu penduduk.

    Kanker payudara lalu disusul kanker serviks dengan 23 per 100 ribu penduduk.

    “Dari data kita lihat bahwa kalau di tahun 2022, insiden kanker payudara itu 66 ribu. Diperkirakan tahun 2040 kalau kita tidak melakukan intervensi yang cukup besar, maka kasus itu akan meningkat menjadi 87 ribu di tahun 2040,” ucap Nadia ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).

    “Kalau angka kematian itu kematiannya 22 ribu di tahun 2022 dan nanti akan bertambah 10 ribu di tahun 2040,” sambungnya.

    Tingginya penyakit kanker, khususnya payudara, menjadi perhatian besar bagi Kemenkes. Untuk di Indonesia sendiri, sekitar 60 persen dari seluruh kasus kanker berakhir pada kematian.

    Hal ini cukup memprihatinkan mengingat sebenarnya kanker sangat mungkin ditangani dengan baik, asal ditemukan lebih dini. Bahkan, menurut Nadia kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker dengan survival rate yang lebih tinggi dibanding kanker lain.

    Ia lantas membandingkan penanganan kasus kanker payudara di luar negeri dan dalam negeri. Menurut Nadia, survival rate untuk pasien kanker payudara di negara maju bisa mencapai 90 persen karena umumnya ditemukan pada stadium awal seperti stadium 1 dan stadium 2.

    Bahkan pada perjalanannya, pasien tidak mengalami relaps lagi setelah dinyatakan bersih. Menurutnya, ini cukup berbeda situasinya dengan Indonesia.

    “Sementara di negara kita itu masih lagi 40-50 persen (survival rate),” jelas Nadia.

    “Dari sasaran kita sekitar 41 juta perempuan Indonesia (untuk melakukan skrining) itu yang melakukan screening ya pada tahun 2024 itu baru 10,8 persen. Jadi masih sedikit sekali,” sambungnya.

    Siasat Kemenkes untuk Tekan Kasus

    Oleh karena itu, Nadia mengatakan pihaknya akan terus melakukan promosi terkait pentingnya pemeriksaan dini. Menurutnya, promosi ini sudah dilakukan sejak anak usia sekolah.

    Melalui program UKS sekolah, anak-anak diajari dengan Sadari (pemeriksaan payudara sendiri). Dengan begini, anak-anak sekolah bisa mengenal tanda awal kanker payudara yang mungkin bisa muncul di tubuh mereka.

    “Sebenarnya kita mengajarkan bahkan dari anak SMP ya sejak pertama kali mereka mendapatkan menstruasi. Itu melalui program UKS, itu kita mengajarkan program Sadarinya, yaitu periksa payudara sendiri,” jelas Nadia.

    “Kalau mereka memang merasakan kayak ada benjolan atau seperti apa mereka bisa langsung ke puskesmas dengan pemeriksaan sadanis (pemeriksaan payudara klinis) itu ada dan bahkan kita sudah melengkapi puskesmas itu dengan USG,” tandas Nadia sambil mengingatkan pemeriksaan bisa dilakukan secara gratis.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Kemenkes Ungkap Wacana Label Nutri-Level, Direncanakan Berlaku 2027

    Kemenkes Ungkap Wacana Label Nutri-Level, Direncanakan Berlaku 2027

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengungkap mekanisme penerapan label nutri-level pada produk makanan dan minuman. Nantinya, label ini akan menunjukkan mana pilihan makanan atau minuman yang lebih sehat hingga cenderung tinggi gula, garam, dan lemak.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan penerapan nutri-level untuk produk pangan masuk dalam tahap edukasi. Saat ini, pemerintah belum mewajibkan perusahaan menggunakan label tersebut, alias bersifat sukarela.

    Pihaknya juga ditekankan masih menyusun aturan terkait penerapan Nutri-level, meliputi regulasi penanggulangan penyakit dan edukasi cara membaca Nutri-level.

    “Jadi itu seperti tahapan untuk supaya bisa masyarakat tahu. Kan kita sebenarnya sudah banyak kan (label makanan sehat) misalnya pilihan sehat. Nah, sekarang jangan nanti ada di situ (ada label nutri-level), tapi mereka tetap nggak aware bahwa mereka seharusnya membaca, ini nutri-level misalnya merah, berarti kandungan gulanya yang tinggi,” jelas Nadia ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).

    Nadia mengingatkan, makanan yang nantinya mendapatkan level ‘merah’ menandakan tinggi GGL. Ini untuk membuat masyarakat lebih sadar dengan makanan atau minuman apa saja yang dikonsumsi dalam sehari.

    Misalnya, sudah mengonsumsi makanan atau minuman level merah dengan kadar garam atau gula tinggi, maka asupan makanan selanjutnya harus memilih menu yang lebih rendah garam dan gula.

    “Artinya buat masyarakat sadar, ‘oh, saya sudah konsumsi makanan yang warnanya (level) merah atau minuman merah, berarti kalau saya mau konsumsi itu dua kali sehari, itu saya harus lebih berhati-hati’. Karena berarti sudah melebih konsumsi,” sambungnya.

    Meski saat ini pemasangan nutri-level masih masih bersifat sukarela karena dalam masa edukasi, nantinya pelabelan ini akan diwajibkan. Edukasi saat ini dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI untuk makanan dan minuman kemasan dan Kementerian Kesehatan untuk makanan siap saji.

    Ia mengatakan pelabelan ini direncanakan akan mulai menjadi kewajiban pada 2027, atau 2 tahun setelah masa edukasi selesai.

    “Iya (2027), kalau nutri-level edukasi dua tahun. Setelah dua tahun, itu menjadi mandatory (wajib). Artinya begitu diundangkan ada masa grace period 2 tahun,” katanya.

    “Kalau buat kadarnya, nanti sifatnya voluntary. Jadi semua perusahaan itu nanti sifatnya akan melaporkan bahwa kadar gula saya sekian, kadar garam saya sekian, dan dia voluntary untuk menempelkan itu,” tandas Nadia.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/naf)

  • Cuaca Panas Bak Pintu Neraka Terbuka! Ini Tips Kemenkes RI Biar Nggak Gampang Sakit

    Cuaca Panas Bak Pintu Neraka Terbuka! Ini Tips Kemenkes RI Biar Nggak Gampang Sakit

    Jakarta

    Cuaca panas dikeluhkan warga dalam beberapa waktu terakhir. Berkaitan dengan hal tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengungkapkan beberapa trik yang bisa dilakukan agar tak gampang tumbang di tengah cuaca panas.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengimbau untuk menjaga hidrasi dengan cukup minum air di tengah cuaca panas yang terjadi di beberapa wilayah RI.

    Menurut Nadia, paparan cuaca panas berlebih dapat meningkatkan risiko dehidrasi yang jika tidak ditangani dapat memicu masalah lebih serius.

    “Minum sebelum haus itu menjadi penting. Kalau dulu anjuran kita kan 8 gelas per hari. Ya kalau dengan cuaca panas ini ya 12-18 gelas per hari. Jadi jangan tunggu haus, baru kita minum,” ujar Nadia ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).

    Selain itu, untuk aktivitas di luar ruangan, Nadia menyarankan untuk mengenakan pakaian pelindung. Beberapa pelindung yang bisa digunakan seperti payung, topi, pakaian yang bersirkulasi baik, dan tidak berwarna hitam.

    Nadia menambahkan pada cuaca panas, risiko untuk sakit menjadi lebih besar. Beberapa di antaranya yang harus diwaspadai seperti batuk, pilek, dan infeksi saluran pernapasan atas lain.

    “Kalau kita aktivitas di luar, padat dengan cuaca kering, gunakan masker. Apalagi kalau di sekitar kita banyak orang yang sakit tenggorokan, suara serak, karena kan sekarang banyak kan yang tiba-tiba kok ‘Suara saya tiba-tiba serak’. Bukan kebanyakan konser, tapi memang karena kering ya. Karena kering, akhirnya kan tenggorokan mudah iritasi,” tandasnya.

    (avk/suc)