Tag: Syamsul Jahidin

  • Lita Gading Santai Tanggapi Laporan Ahmad Dhani Soal Video “Ayam Sayur”: Yang Tersinggung Harusnya Ayamnya

    Lita Gading Santai Tanggapi Laporan Ahmad Dhani Soal Video “Ayam Sayur”: Yang Tersinggung Harusnya Ayamnya

    JAKARTA — Laporan polisi terbaru yang dilayangkan pihak Ahmad Dhani terhadap Lita Gading rupanya berawal dari sebuah konten video berjudul “Ayam Sayur.” Namun, alih-alih tegang, pihak Lita justru menanggapi laporan tersebut dengan santai dan penuh candaan.

    Kuasa hukum Lita Gading, Syamsul Jahidin, mempertanyakan dasar pelaporan itu yang dianggap tidak masuk akal.

    “Klien saya dilaporkan terhadap pencemaran nama baik daripada ayam sayur,” ujar Syamsul Jahidin di Polda Metro Jaya, Selasa, 14 Oktober.

    Dengan nada berkelakar, Syamsul menambahkan bahwa seharusnya pihak yang tersinggung adalah ayam itu sendiri.

    “Sebenarnya mohon maaf, pengadu ini ayam sayur apa bukan? Seharusnya yang bisa melaporkan pencemaran nama baik itu ayamnya. Kenapa dia disayur?” sindirnya.

    Lita Gading sendiri menegaskan bahwa judul kontennya tidak bermaksud menyerang siapa pun karena disertai tanda tanya.

    “Ayam sayur-nya juga pakai tanda tanya, nanya kan berarti, ‘Kamu ayam sayur?’” jelas Lita.

    Syamsul juga menyoroti logika pelaporan yang dianggap berlebihan. “Ayam sayur, kita sarapannya juga pakai ayam sayur, pakai lontong sayur. Kok bisa tersinggung? Itu kan makanan,” katanya.

    Di balik laporan ini, pihak Lita Gading turut menyinggung status Ahmad Dhani sebagai pejabat publik sekaligus wakil rakyat. Syamsul menilai, Dhani seharusnya bisa lebih bijak dan terbuka terhadap kritik masyarakat.

    “Baru ada sepanjang sejarah, wakil rakyat melaporkan rakyatnya hingga dua kali,” ungkap Syamsul.

    Menurutnya, sebagai figur publik sekaligus pejabat, Dhani mestinya siap menjadi sorotan dan tidak mudah tersinggung.

    “Selain publik figur, dia juga pejabat publik yang harus jadi role model. Jadi kalau masyarakat mengkritik atau mempertanyakan, kok malah baper?” katanya.

    Dengan nada menyindir, Syamsul bahkan sempat berspekulasi soal motif di balik laporan tersebut.

    “Apa mungkin mau kenalan sama klien saya? Atau mungkin mau konsultasi jadi psikolognya klien saya?”

    ucapnya menutup pernyataan dengan tawa.

  • Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR Bentuk Ketidakadilan

    Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR Bentuk Ketidakadilan

    GELORA.CO – Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur (Unbor), Prof Faisal Santiago, mengatakan, uang pensiun seumur hidup anggota DPR merupakan bentuk ketidakadilan.

    “Jangan juga lah [dapat uang pensiun seumur hidup], itu tidak mencerminkan rasa keadilan juga lah,” ujarnya dikutip pada Minggu, 12 Oktober 2025.

    Ia menegaskan, ketentuan anggota DPR mendapat uang pensiun seumur hidup adalah bentuk ketidak adilan, apalagi jika hanya menjabat satu atau lima tahun.

    “Kalau dia seumur hidup, saya pikir enggak masuk akal juga lah,” kata Prof Faisal,

    Ia lantas menyampaikan, soal ketentuan uang pensiun anggota DPR ini harusnya sesuai dengan sistem ketenagakerjaan yang berlaku.

    “Pensiun itu adalah hak setiap warga negara yang bekerja [formal], baik itu PNS, baik itu non-PNS yang bekerja di swasta kan juga diatur,” ujarnya.

    Uang pensiun PNS dan pekerja formal sektor swasta sesuai masa kerja dan jabatan atau tidak pukul rata. Dengan demikian, anggota DPR mendapat uang pensiun seumur hidup adalah tidak logis.

    “Misalkan dia [anggota DPR] 10 tahun mengabdi, ya 10 tahun lah gitu [dapat uang pensiunnya]. Jangan seumur hidup,” tandasnya.

    Prof Santiago menyampaikan pandangan tersebut menanggapi judicial review (JR) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 yang diajukan Lita Linggayani Gading dan Syamsul Jahidin di Mahkamah Konstitusi (MK).

    Mereka menguji Pasal 1 a, Pasal 1 f, dan Pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.

    Mereka mempersoalkan anggota DPR menjabat 5 tahun, namun mendapat uang pensiun seumur hidup. Ketentuan ini dijamin UU Nomor 12 Tahun 1980.

    Pemohon menyampaikan, besaran pensiun pokok dihitung 1% dari dasar pensiun untuk tiap bulan masa jabatan. Ada pula Surat Menkeu nomor S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 yang menyebut pensiun DPR besarannya sekitar 60% dari gaji pokok.

    Selain uang pensiun bulanan, anggota DPR juga mendapat tunjangan hari tua (THT) sebesar Rp15 juta yang dibayarkan sekali. Dia membandingkan sistem pensiun untuk anggota DPR itu dengan para pekerja di bidang lain.

    Mereka menyampaikan, rakyat biasa harus menabung di BPJS Ketenagakerjaan atau program pensiun lainnya yang penuh syarat. Sedangkan anggota DPR malah mendapat pensiun seumur hidup hanya dengan sekali menjabat.***

  • Ketika Pembayar Pajak Gugat Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR…
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Oktober 2025

    Ketika Pembayar Pajak Gugat Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR… Nasional 2 Oktober 2025

    Ketika Pembayar Pajak Gugat Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) diminta mencoret anggota DPR RI dari kategori daftar penerima pensiun yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara.
    Permohonan uji materi ini diajukan oleh seorang psikiater, Lita Linggayani, bersama mahasiswa Syamsul Jahidin, dengan nomor perkara 176/PUU-XXIII/2025 yang teregistrasi pada 30 September 2025.
    Dalam gugatannya, Lita menilai, pemberian uang pensiun seumur hidup bagi anggota DPR yang hanya menjabat selama lima tahun adalah bentuk ketidakadilan.
    “Bahwa, di samping kedudukannya sebagai warga negara, Pemohon I yang juga berprofesi sebagai Akademisi/Praktisi/pengamat Kebijakan Publik dan juga pembayar pajak, tidak rela pajaknya digunakan untuk membayar anggota DPR-RI yang hanya menempati jabatan selama 5 tahun mendapatkan tunjangan pensiun seumur hidup dan dapat diwariskan,” demikian bunyi permohonan itu, dikutip dari laman resmi MK, Rabu (1/10/2025).
    Atas dasar itu, pemohon meminta MK mencoret DPR dari kategori lembaga tinggi negara yang berhak atas pensiun.
    Misalnya, Pasal 1 Huruf A UU 12/1980 hanya memasukkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga tinggi negara.
    Kemudian Pasal 1 Huruf F menguraikan bahwa anggota lembaga tinggi negara hanya terdiri dari anggota DPA, BPK, dan hakim MA.
    Terakhir, Pasal 12 ayat 1 mengenai anggota lembaga tinggi negara yang mendapatkan pensiun.
    Pemohon pun membandingkan sistem pensiun parlemen di sejumlah negara.
    Anggota Kongres Amerika Serikat, misalnya, baru bisa mengeklaim pensiun pada usia 62 tahun dengan besaran dihitung dari rata-rata gaji selama masa jabatan.
    “Tidak ada pensiun seumur hidup otomatis jika hanya menjabat sebentar,” tulis permohonan tersebut.
    Sementara di Inggris dan Australia, sistemnya serupa dengan pekerja pada umumnya, yakni berbasis tabungan pensiun.
    Hanya India yang cukup mirip dengan Indonesia, yakni memberikan pensiun tetap seumur hidup meski hanya menjabat satu periode.
     
    Hak pensiun anggota DPR diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1980 Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1).
    Aturan itu menyebutkan, pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara yang berhenti dengan hormat berhak memperoleh pensiun berdasarkan lama masa jabatan.
    Besaran uang pensiun diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000.
    Anggota DPR yang menjabat dua periode berhak atas pensiun paling tinggi Rp 3,6 juta per bulan.
    Bagi yang menjabat satu periode, nominalnya maksimal Rp 2,9 juta.
    Sementara yang hanya menjabat 1-6 bulan, pensiunnya sekitar Rp 401.000 per bulan.
    Pimpinan DPR RI menegaskan tidak keberatan apabila MK mengabulkan gugatan tersebut.
    Wakil Ketua DPR RI dari fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyatakan, pimpinan dan anggota DPR akan tunduk pada apa pun putusan MK.
    “Ya sebenarnya kalau anggota DPR itu kan hanya mengikuti karena itu produk undang-undang yang sudah ada sejak beberapa waktu yang lalu. Nah, apa pun itu kami akan tunduk dan patuh pada putusan Mahkamah Konstitusi. Apa pun yang diputuskan, kita akan ikut,” ujar Dasco, di Kompleks Parlemen, Rabu (1/10/2025).
    Wakil Ketua DPR lainnya, Saan Mustofa dari Fraksi Nasdem, juga menegaskan pihaknya menghormati proses hukum yang berjalan.
    Menurut dia, para pemohon uji materi memiliki hak konstitusional untuk mengajukan gugatan ke MK.
    “Menurut saya, itu hak mereka yang punya
    legal standing
    untuk melakukan uji materi gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Jadi, kita di DPR posisi menghormati apa pun dan apa pun nanti hasilnya putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan soal uang pensiun, kita pasti akan ikuti,” ujar Saan.
    Saan memastikan, DPR tidak merasa keberatan jika putusan MK nanti menghapus tunjangan pensiun anggota dewan.
    “Enggak, enggak ada keberatan,” tegas dia.
     
    Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, pemberian pensiun seumur hidup kepada anggota DPR mencederai rasa keadilan masyarakat.
    “Masa cuma menjabat lima tahun, seorang anggota diberikan pensiun seumur hidup. Bayangkan kalau seseorang yang menjabat itu selesai di usia 25 tahun. Enak benar dia sejak usia belia sudah dikasih jatah pensiun, walaupun setelah tak lagi menjadi anggota DPR, dia bekerja aktif di tempat lain,” kata Lucius, kepada Kompas.com, Rabu.
    Lucius menilai, aturan soal pensiun anggota DPR yang berasal dari UU 12/1980 sudah ketinggalan zaman.
    “Dasar hukum terkait dana pensiun anggota DPR adalah UU produk rezim Orde Baru. Dari sisi waktu berlakunya, UU ini sudah sangat layak diubah karena ada banyak perkembangan yang perlu disesuaikan. Aneh saja DPR melupakan UU ini untuk direvisi. Giliran UU lain saja, belum setahun dibikin, DPR sudah merevisinya lagi,” ujar dia.
    Dia menegaskan, uang pensiun seharusnya diberikan kepada orang yang sudah tidak mampu bekerja karena faktor usia.
    Sementara anggota DPR umumnya masih segar dan bisa kembali bekerja setelah tidak terpilih lagi.
    “Yang hanya karena gagal memenangi pemilu selanjutnya, masa secara otomatis mendapatkan dana pensiun walaupun usia masih sangat muda? Belum lagi kalau bicara terkait kinerja anggota DPR yang sampai sekarang sulit dikatakan layak diganjar apresiasi,” tutur Lucius.
    Dengan demikian, menurut Lucius, sudah tepat jika kebijakan uang pensiun seumur hidup anggota DPR dievaluasi, apalagi di tengah keterbatasan anggaran pemerintah.
    “Kita jadi sadar bahwa keterbatasan anggaran untuk program pemerintah salah satunya karena pemborosan anggaran untuk hal yang tidak tepat, seperti dana pensiun untuk anggota DPR ini. Jadi sudah tepat jika dievaluasi untuk dihapus,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketika Pembayar Pajak Gugat Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR…
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Oktober 2025

    Anggota DPR Sebut Polisi Duduki Jabatan Sipil untuk Dukung Transformasi ASN agar Kompeten Nasional 15 September 2025

    Anggota DPR Sebut Polisi Duduki Jabatan Sipil untuk Dukung Transformasi ASN agar Kompeten
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Salah satu alasan polisi boleh menduduki jabatan sipil dikaitkan dengan transformasi aparatur sipil negara (ASN) agar lebih akuntabel dan kompeten.
    Hal ini disampaikan perwakilan DPR I Wayan Sudirta dalam sidang uji materi terkait polisi merangkap jabatan sipil, yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (15/9/2025).
    Dalam sidang, Sudirta mengatakan, jika dikaitkan dengan arah pengaturan ASN pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023, semangat polisi masuk jabatan sipil adalah untuk mendukung transformasi ASN yang akuntabel dan kompeten.
    “Apabila dikaitkan dengan politik hukum arah pengaturan Undang-Undang Nomor 20/2023 yang menjadi payung hukum ASN saat ini, maka semangat yang ingin diwujudkan adalah pelaksanaan transformasi ASN dengan hasil kerja tinggi dan perilaku yang berorientasi pelayanan akuntabel, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif,” kata Sudirta, dalam sidang, Senin.
    “Untuk mendukung upaya transformasi ASN, pengaturan pengisian jabatan ASN oleh anggota Polri juga sejalan dengan pengimplementasian asas resiprokal (timbal balik),” sambung dia.
    Sudirta mengatakan, asas resiprokal sendiri merupakan prinsip timbal balik atas legalitas pengisian jabatan oleh anggota Polri atau TNI di lingkup jabatan ASN.
    Materi terkait resiprokal ini, kata Sudirta, diatur dalam ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
    “Bahwa ketentuan pasal tersebut dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan kesinambungan dalam pengisian jabatan sesuai dengan tujuan transformasi ASN,” ucap dia.
    Dalil resiprokal ini pernah diungkapkan oleh Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, pada sidang sebelumnya, Senin (8/9/2025).
    Eddy mengatakan, permintaan resiprokal ini adalah keinginan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) saat masih menjabat.
    “Saya ingat persis, Yang Mulia, ketika poin ini dibahas dalam ratas di Istana, waktu itu Presiden (ke-7 RI) Joko Widodo meminta untuk ada resiprokal (timbal balik),” tutur dia.
    Atas dasar itu juga, kata Eddy, ketentuan Pasal 20 Undang-Undang ASN yang baru memungkinkan aparatur sipil negara menduduki jabatan di kepolisian.
    “Nah, itu mengapa sampai ada prinsip resiprokal dalam undang-undang yang terbaru, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023, dan itu ditulis secara ekspresif verbis dalam Pasal 20,” imbuh dia.
    Sebagai informasi, perkara ini diajukan oleh Syamsul Jahidin yang menggugat Pasal 28 Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).
    Alasan mereka menggugat adalah karena saat ini banyak anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan sipil pada struktur organisasi di luar Polri, di antaranya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, dan Kepala BNPT.
    Para anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan tersebut tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.
    Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi dalam pelayanan publik, serta merugikan hak konstitusional pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik.
    Pemohon juga menilai, norma pasal tersebut secara substantif menciptakan dwifungsi Polri karena bertindak sebagai keamanan negara dan juga memiliki peran dalam pemerintahan, birokrasi, dan kehidupan sosial masyarakat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Diungkap Wamenkum, Jokowi Minta Polisi Aktif Bisa Duduki Jabatan Sipil

    Diungkap Wamenkum, Jokowi Minta Polisi Aktif Bisa Duduki Jabatan Sipil

    GELORA.CO – Terungkap Presiden ke-7 RI, Joko Widodo alias Jokowi pernah meminta agar anggota polisi aktif dapat menduduki jabatan sipil. 

    Hal ini disampaikan Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej dalam sidang gugatan UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 dengan nomor perkara 114/PUU-XXIII/2025 yang disidangkan Mahkamah Konstitusi (MK), Senin 8 September 2025. 

    Awalnya, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menanyakan terkait alasan polisi menduduki jabatan sipil yang tidak memiliki kaitan langsung dengan kepolisian. 

    “Kalau jabatan di luar kepolisian ada kaitannya kan, masih reasoning (beralasan). Tapi, kalau tidak? Nah, ini bagaimana ini?” kata Guntur. 

    Guntur merujuk pada penjelasan Eddy sebelumnya, yang menyebut bahwa anggota polisi aktif tetap bisa ditugaskan di jabatan sipil sepanjang penugasan tersebut dilakukan oleh Kapolri. 

    “Nah, itu juga menjadi apa (tidak jelas), setidaknya perlu ada lebih penjelasan lagi menyangkut (diperbolehkannya menduduki jabatan sipil) itu,” kata Guntur. 

    Eddy kemudian menjawab bahwa ada beberapa polisi aktif yang menduduki jabatan sipil tidak dilandaskan oleh penugasan Kapolri. 

    Karena ada beberapa instansi yang meminta secara langsung dengan syarat memenuhi profesionalisme, sehingga ada anggota polisi aktif yang menjadi direktur jenderal atau sekretaris jenderal dalam sebuah kementerian dan lembaga. 

    “Saya ingat persis, Yang Mulia, ketika poin ini dibahas dalam ratas di Istana, waktu itu Presiden (ke-7 RI) Joko Widodo meminta untuk ada resiprokal (timbal balik),” kata Eddy. 

    Atas dasar itu juga, kata Eddy, ketentuan Pasal 20 Undang-Undang ASN yang baru memungkinkan aparatur sipil negara menduduki jabatan di kepolisian. 

    “Nah, itu mengapa sampai ada prinsip resiprokal dalam undang-undang yang terbaru, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 dan itu ditulis secara ekspresif verbis dalam Pasal 20,” kata Eddy.

    Perkara ini diajukan oleh Syamsul Jahidin yang menggugat Pasal 28 Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). 

    Alasan mereka menggugat adalah karena saat ini banyak anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan sipil pada struktur organisasi di luar Polri, di antaranya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, dan Kepala BNPT. 

    Para anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan tersebut tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun. 

    Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi dalam pelayanan publik, serta merugikan hak konstitusional pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik. 

    Pemohon juga menilai, norma pasal tersebut secara substantif menciptakan dwifungsi Polri karena bertindak sebagai keamanan negara dan juga memiliki peran dalam pemerintahan, birokrasi, dan kehidupan sosial masyarakat.

  • Pengawasan ke Polri Lemah, MK Diminta Bubarkan Kompolnas

    Pengawasan ke Polri Lemah, MK Diminta Bubarkan Kompolnas

    Bisnis.com, Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk membubarkan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang tidak pernah menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengawas Polri.

    Pihak Pemohon, Syamsul Jahidin menyatakan pihaknya telah mengajukan uji materi ke MK untuk menguji Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

    Alasannya, kata Syamsul, Kompolnas saat ini dinilai hanya menjadi beban negara dan juru bicara sekaligus kepanjangan tangan dari Polri. Padahal, Syamsul mengemukakan bahwa tugas Kompolnas seharusnya adalah menjadi pengawas dan mengontrol semua tindakan Polri yang dianggap melanggar hukum.

    “Keberadaan Kompolnas hanya menambah beban negara karena hanya menjadi juru bicara dan/atau perpanjangan tangan Polri. Akibatnya, menimbulkan ketidakpastian hukum yang berimplikasi lemahnya kontrol hukum terhadap Polri,” tuturnya di Jakarta, Rabu (2/7/2025).

    Dia juga menjelaskan bahwa Pasal 37 ayat (2) pada UU Polri yang kini tengah diuji di MK terkait pembentukan Kompolnas dinilai tidak logis. Pasal tersebut, kata Syamsul, menempatkan Kompolnas sebagai lembaga yang terus menghamburkan uang negara dan tidak pernah berhasil menjadi lembaga pengawas Polri.

    “Lemahnya pengawasan dari Kompolnas ini berpotensi memungkinkan aparat bertindak represif terhadap seseorang atau kelompok berdasarkan dugaan atau kecurigaan subjektif, tanpa didasarkan pembuktian yang objektif. Hal ini bertentangan dengan prinsip presumption of innocence yang dijamin UUD 1945 dan penghormatan instrumen hak asasi manusia,” katanya.

    Maka dari itu, Syamsul Jahidin dan Ernawati mengajukan uji materi ke MK dan meminta MK menyatakan Pasal 37 ayat (2) UU Polri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

    “Kami juga meminta Mahkamah Konstitusi memerintahkan Presiden Republik Indonesia untuk membubarkan Kompolnas seketika sejak dibacakan dalam putusan,” ujarnya.