Tag: Syamsul Jahidin

  • UU Perkawinan Kembali Digugat, MK Diminta Legalkan Nikah Beda Agama

    UU Perkawinan Kembali Digugat, MK Diminta Legalkan Nikah Beda Agama

    Jakarta

    Sejumlah warga mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta agar MK melegalkan pernikahan beda agama.

    Dilihat detikcom dari situs resmi MK, Selasa (23/12/2025), gugatan itu diajukan oleh Henoch Thomas, Uswatun Hasanah dan Syamsul Jahidin. Gugatan telah teregistrasi dengan nomor perkara 265/PUU-XXIII/2025.

    Mereka menggugat pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan. Berikut bunyi pasal yang digugat tersebut:

    (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

    Pemohon meminta pasal tersebut dihapus atau setidaknya diubah. Para pemohon ingin pernikahan antarumat berbeda agama bisa dinyatakan sah oleh undang-undang.

    Mereka meminta agar pasal tersebut diubah menjadi:

    Pasal 2 ayat (1):
    Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, tiap-tiap perkawinan antarpemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda sepanjang telah sah dinyatakan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing itu.

    Dalam permohonannya, para pemohon menyebut pernikahan beda agama merupakan realitas sosial di Indonesia. Pemohon juga mengutip data Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang menurut pemohon menunjukkan perkawinan antarumat beda agama meningkat.

    “Bahwa berdasarkan data Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mencatat sebanyak 1.655 pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama dalam periode 2005 hingga Juli 2023, dengan tren yang terus meningkat setiap tahunnya,” ujar pemohon.

    Pemohon juga menganggap pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pencatatan perkawinan pasangan beda agama. Pemohon juga menganggap pasal tersebut merugikan pasangan beda agama karena perkawinannya tak sah secara UU.

    Mereka juga mengaitkan pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tersebut dengan keberadaan SEMA 2/2023. Dalam surat edaran itu, Mahkamah Agung (MA) melarang hakim mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

    “Bahwa dengan adanya SEMA No.2 Tahun 2023, seluruh ruang hukum yang sebelumnya tersedia melalui mekanisme penetapan Pengadilan Negeri telah tertutup. Sebelum terbitnya SEMA ini, masih terdapat cara untuk melakukan pencatatan perkawinan antar agama melalui penetapan pengadilan. Namun, dengan berlakunya SEMA No. 2 Tahun 2023, tidak ada lagi kemungkinan bagi perkawinan antar agama mencatatkan perkawinannya melalui penetapan pengadilan,” ujarnya.

    Mereka pun meminta agar MK menghapus atau mengubah pasal tersebut. Menurut mereka, hal tersebut dapat memberi kepastian hukum bagi pasangan menikah beda agama.

    “Bahwa pemohon tidak bermaksud meminta Mahkamah Konstitusi untuk mewajibkan pengadilan negeri mengabulkan setiap permohonan penetapan pencatatan perkawinan antaragama, melainkan menegaskan agar pengadilan tidak menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan melarang pencatatan perkawinan antaragama,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 3

    (haf/zap)

  • Aturan Baru Kapolri Picu Polemik Putusan MK Larangan Polisi Isi Jabatan Sipil

    Aturan Baru Kapolri Picu Polemik Putusan MK Larangan Polisi Isi Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi menutup celah hukum penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, tetapi dalam penerapannya menuai perdebatan karena bersinggungan dengan aturan sektoral dan kebijakan internal Polri.

    Hasil dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta kembali menjadi panggung bagi satu perdebatan lama yang tak pernah benar-benar selesai sejak Reformasi 1998 sejauh mana batas antara polisi dan jabatan sipil dalam negara demokratis.

    Ketukan palu Ketua MK Suhartoyo menandai dibacakannya Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang secara tegas menyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian selama masih berstatus aktif.

    Frasa kunci yang dipersoalkan mengenai “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Putusan ini langsung mengguncang satu praktik yang selama bertahun-tahun berlangsung nyaris tanpa perdebatan serius penempatan perwira aktif Polri di kementerian dan lembaga sipil.

    Namun, sebagaimana banyak putusan MK lainnya, palu hakim tidak otomatis mengakhiri polemik. Dia justru membuka babak baru perdebatan tafsir, benturan regulasi, dan tarik-menarik kepentingan antara supremasi sipil dan kebutuhan koordinasi negara.

    Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyebut keberadaan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sebagai sumber ketidakpastian hukum.

    Norma tersebut, menurut MK, justru memperluas makna Pasal 28 ayat (3) yang sejatinya sudah tegas bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi aparatur sipil negara di luar kepolisian,” ujar Ridwan dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    MK juga menilai frasa itu berpotensi melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan satu kalimat penjelasan, seorang polisi aktif dapat menduduki jabatan yang tertutup bagi warga sipil lain.

    Putusan ini tidak bulat. Dua hakim Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah menyampaikan dissenting opinion. Hakim Arsul Sani mengajukan concurring opinion. Namun, mayoritas hakim bersepakat bahwa norma penugasan Kapolri telah melampaui batas konstitusional.

    Gugatan Warga dan Bayang-bayang Dwifungsi

    Perkara ini diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, dua warga negara yang memandang praktik penugasan polisi aktif di jabatan sipil sebagai ancaman serius bagi netralitas aparatur negara.

    Dalam permohonannya, mereka menyinggung sederet contoh: anggota Polri aktif yang menduduki posisi strategis di KPK, BNN, BNPT, BSSN, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan tanpa mengundurkan diri atau pensiun.

    Menurut para pemohon, praktik ini tidak hanya menciptakan ketimpangan kesempatan bagi warga sipil, tetapi juga membuka kembali bayang-bayang dwifungsi Polri sebuah konsep yang secara ideologis ingin dikubur pasca-Reformasi.

    Polisi, dalam kerangka negara demokratis, memang ditempatkan sebagai alat negara yang bersifat sipil. Namun, ketika seragam kepolisian tetap melekat di ruang-ruang birokrasi sipil, garis pembatas itu kembali kabur.

    Legislator: Hormati MK, Tapi Jangan Tergesa

    Di Senayan, putusan MK disambut dengan sikap hati-hati. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem Rudianto Lallo menyatakan menghormati putusan MK, tetapi menilai implementasinya tidak bisa serta-merta dilakukan tanpa penyelarasan regulasi.

    “Putusan MK itu ya kita menghormati. Tapi tidak serta-merta diberlakukan begitu saja. Kita harus lihat dulu norma-norma yang ada di undang-undang lain,” ujarnya, Jumat (13/11/2025).

    Rudianto menyoroti bahwa UU Polri masih memberikan ruang penugasan perwira aktif, selama berkaitan dengan fungsi kepolisian dan dilakukan atas perintah Kapolri. Dengan pendekatan acontrario, dia menilai jabatan yang relevan dengan tugas kepolisian masih dimungkinkan diisi perwira aktif.

    Bagi Rudianto, penugasan lintas lembaga justru bagian dari penguatan sinergi antarinstitusi, sejalan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 tentang fungsi keamanan negara.

    Namun, sikap ini juga menegaskan satu hal: putusan MK belum sepenuhnya menjadi titik temu, melainkan awal dari perdebatan legislasi baru.

    Polri dan Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2025

    Di tengah dinamika itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah lebih dulu menandatangani Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 tentang anggota Polri yang melaksanakan tugas di luar struktur organisasi.

    Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menegaskan bahwa peraturan tersebut masih sejalan dengan regulasi yang berlaku, bahkan setelah putusan MK.

    Menurut Trunoyudo, sejumlah aturan masih membuka ruang penugasan, antara lain mulai dari UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, khususnya Pasal 28 ayat (3); UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, yang memungkinkan jabatan tertentu diisi anggota Polri; dan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.

    Berdasarkan regulasi tersebut, Polri mencatat 17 kementerian/lembaga yang dapat diisi anggota Polri, mulai dari Kemenko Polkam hingga lembaga strategis seperti BNN, BIN, BSSN, OJK, PPATK, dan KPK.

    Untuk mencegah rangkap jabatan, Polri melakukan mutasi struktural, menjadikan perwira tersebut sebagai pati atau pamen dalam penugasan khusus.

    Namun, di titik inilah polemik kembali mengeras apakah pengalihan jabatan administratif dapat menghapus status “polisi aktif”?

    Mantan Kapolri Badrodin Haiti melihat persoalan ini secara lebih lugas. Menurutnya, implementasi putusan MK sepenuhnya berada di tangan Kapolri.

    “Kalau secara hukum, sudah banyak pakar yang bicara. Bunyinya jelas dan harus dilaksanakan. Tapi dilaksanakan atau tidak, itu tergantung Kapolri,” ujarnya.

    Badrodin mengingatkan bahwa sejak pemisahan TNI dan Polri pada 2000, polisi secara formal sudah menjadi bagian dari sipil. Namun, dalam praktik, kultur kepolisian masih belum sepenuhnya mencerminkan civilian police.

    “Budaya militernya masih kental. Ini sering menjadi problem dalam pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat,” katanya.

    Pandangan senada sebelumnya pernah disampaikan Mahfud MD, mantan Ketua MK dan mantan Menko Polhukam. Dalam berbagai kesempatan, Mahfud menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, serta harus menjadi rujukan utama dalam penataan relasi sipil-militer-polisi.

    Menurut Mahfud, penempatan aparat bersenjata aktif di jabatan sipil berpotensi melahirkan konflik kepentingan dan distorsi tata kelola demokrasi.

    “Kalau mau jabatan sipil, ya lepaskan dulu status kepolisian. Itu prinsip negara hukum,” kata Mahfud.

    Data Mabes Polri menyebutkan sekitar 300 anggota Polri aktif saat ini menduduki jabatan manajerial di kementerian dan lembaga. Angka itu berasal dari total 4.132 personel yang ditugaskan di luar struktur Polri.

    Di ruang publik, sentimen masyarakat relatif jelas. Survei big data Continuum INDEF menunjukkan 83,96 persen publik mendukung putusan MK, sementara 16,04 persen bersikap kritis.

    Menariknya, publik juga menuntut prinsip yang sama diberlakukan pada institusi lain, terutama TNI.

    Polemik polisi aktif mengisi jabatan sipil sesungguhnya bukan sekadar soal tafsir hukum. Dia adalah cermin dari ketegangan lama dalam demokrasi Indonesia: antara kebutuhan koordinasi negara dan tuntutan supremasi sipil.

    Putusan MK telah memberi garis tegas di atas kertas. Namun, bagaimana garis itu ditegakkan dalam praktik, akan menentukan arah reformasi kepolisian ke depan.

    Apakah Indonesia akan melangkah menuju polisi sipil sepenuhnya, atau tetap membiarkan ruang abu-abu tempat seragam dan jabatan sipil saling bertukar? Jawaban itu, kini, bukan lagi di tangan hakim konstitusi melainkan di ruang kebijakan, kepemimpinan, dan keberanian menegakkan prinsip negara hukum.

  • Kenapa Hakim Konstitusi Anwar Usman Dilaporkan ke MKMK?

    Kenapa Hakim Konstitusi Anwar Usman Dilaporkan ke MKMK?

    Kenapa Hakim Konstitusi Anwar Usman Dilaporkan ke MKMK?
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Advokat Syamsul Jahidin menggugat hakim konstitusi Anwar Usman ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). 
    Syamsul juga merupakan advokat yang menggugat UU Polri dan UU IKN ke MK. 
    Kali ini, Syamsul melaporkan
    Anwar Usman
    karena menyatakan dissenting opinion terhadap beberapa putusan yang menyita perhatian publik, seperti UU Ibukota Negara (UU IKN) dan UU Polri.
    Menurut Syamsul, Anwar menyatakan dissenting opinion pada dua putusan yang dikabulkan oleh MK, yaitu putusan Nomor 185/PUU-XXII/2024 tentang UU IKN dan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tentang UU Polri.
    “Ketika itu dikabulkan, ada yang dissenting. dari dua putusan ini yang dissenting itu Anwar Usman. Kami baca ini (dissenting), itu intinya penolakan, kami sambung-sambungkan. Ini enggak logis sekali penolakannya,” ujar Syamsul saat ditemui di Gedung MK, Rabu (10/12/2025).
    Syamsul menyoroti sikap Anwar Usman yang memberikan dissentitng opinion pada dua putusan itu. Syamsul pun membandingkan sikap Anwar dengan saat putusan 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang meloloskan keponakannya Gibran Rakabuming Raka untuk menjabat posisinya sekarang.
    “Giliran putusan 90 yang Pas Gibran capres cawapres malah dikabulkan dengan tanpa sidang pleno. Kan ini di luar nalar logika,” lanjut Syamsul.
    Ia mengaku, melaporkan Anwar Usman ke MKMK untuk menguji apakah keputusan paman Gibran itu berdasarkan tendensi tertentu atau berdasar pada pendapat hukum.
    “Makanya saya Syamsul Jahidin, saya mengadukan itu, saya menguji itu. Apakah itu ada tendensius pribadi atau memang pendapat hukumnya,” imbuh Syamsul.
    Berdasarkan penelusuran, Anwar Usman memang menyatakan dissenting opinion pada putusan UU IKN.
    Dalam putusan 185/PUU-XXII/2024, Anwar menyatakan dissenting bersama dengan Daniel Yusmic Foekh dan Arsul Sani.
    Para hakim konstitusi menilai ada beberapa hal yang sepatutnya ditolak atau diperbaiki. Misalnya, terkait legal standing para pemohon.
    Sementara, pada putusan 114/PUU-XXIII/2025 tentang UU Polri, nama Anwar Usman tidak tercantum sebagai hakim yang menyatakan dissenting opinion.
    Hakim yang menyatakan dissenting opinion adalah Daniel Yusmic Foekh dan Guntur Hamzah.
    Dilansir dari laman MK, Anwar Usman lahir di Desa Rasabou, Kecamatan Bolo, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 31 Desember 1956.
    Ia menikah dengan wanita bernama Suhada, dan telah dikaruniai tiga anak. Setelah lulus SDN 03 Sila, Bima pada 1969, Anwar harus meninggalkan desa dan orang tuanya untuk melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) selama 6 tahun hingga 1975.
    Lulus dari PGAN pada 1975, Anwar merantau lebih jauh lagi ke Jakarta dan langsung menjadi guru honorer pada SD Kalibaru.
    Selama menjadi guru, Anwar pun melanjutkan pendidikannya ke jenjang S1 di Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta dan lulus pada 1984.
    Setelah itu, Anwar mencoba ikut tes menjadi calon hakim. Ia lulus dan diangkat menjadi Calon Hakim Pengadilan Negeri Bogor pada 1985.
    Seiring menjalankan tugasnya, ia melanjutkan studi S-2 Program Studi Magister Hukum STIH IBLAM Jakarta (2001), dan S-3 Program Bidang Ilmu Studi Kebijakan Sekolah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2010).
    Karier Anwar Usman di bidang hukum terus menanjak hingga akhirnya dia berpindah ke Mahkamah Agung (MA).
    Di MA, jabatan yang pernah didudukinya, di antaranya menjadi Asisten Hakim Agung 1997-2003, Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung 2003-2006. Lalu pada 2005, Anwar diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai Kepala Biro Kepegawaian.
    Selanjutnya, ia dilantik menjadi Hakim Konstitusi pada 6 April 2011 sampai 6 April 2016.
    Namun pada 14 Januari 2015, Anwar didapuk sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Periode Pertama hingga 11 April 2016.
    Kemudian berlanjut menjadi Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Periode Kedua 11 April 2016-2 April 2018.
    Puncaknya, Anwar terpilih menjadi Ketua MK dengan periode jabatan mulai 2 April 2018-2 Oktober 2020.
    Namun, Anwar diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua MK. Putusan ini diketuk oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam sidang pembacaan putusan etik, pada Selasa (7/11/2023).
    Ia dinilai terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik atas uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
    Adapun kini Anwar masih menjadi Hakim Konstitusi yang masa jabatannya akan berakhir pada Desember 2026.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3
                    
                        Dilarang MK, Polri Malah Buka Jalan Polisi Menjabat di 17 Instansi
                        Nasional

    3 Dilarang MK, Polri Malah Buka Jalan Polisi Menjabat di 17 Instansi Nasional

    Dilarang MK, Polri Malah Buka Jalan Polisi Menjabat di 17 Instansi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dinilai bermasalah.
    Lewat aturan tersebut, Kapolri mengatur bahwa polisi dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga, meski hal itu sudah dilarang oleh
    Mahkamah Konstitusi
    (MK).
    MK lewat putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diketok pada 13 November 2025 melarang anggota Polri menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun.
    Namun, tak sampai sebulan kemudian, pada 9 Desember 2025, Listyo Sigit justru meneken
    Perpol 10/2025
    yang membuka pintu bagi polisi aktif untuk menjabat di 17 kementerian/lembaga di luar Polri.
    Instansi-instansi dimaksud adalah Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan.
    Kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan.
    Lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Profesor hukum tata negara Mahfud MD menyatakan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan putusan MK di atas.
    “Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menurut putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 anggota Polri, jika akan masuk ke institusi sipil harus minta pensiun atau berhenti dari Polri. Tidak ada lagi mekanisme alasan penugasan dari Kapolri,” kata Mahfud kepada
    Kompas.com
    , Jumat (12/12/2025).
    Selain bertentangan dengan putusan MK, Mahfud yang juga mantan Ketua MK ini menilai Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan Undang-Undang ASN.
    UU ASN mengatur bahwa pengisian jabatan ASN oleh polisi aktif diatur dalam UU Polri, sedangkan di UU Polri sendiri tidak mengatur mengenai daftar kementerian yang bisa dimasuki polisi aktif, ini berbeda dengan UU TNI yang menyebut 14 jabatan sipil yang bisa ditempati anggota TNI.
    “Jadi Perpol ini tidak ada dasar hukum dan konstitusionalnya,” kata Mahfud.
    Ia juga menekankan, Polri saat ini merupakan institusi sipil, namun itu tidak bisa menjadi landasan bagi polisi aktif untuk masuk ke institusi sipil lainnya.
    “Sebab semua harus sesuai dengan bidang tugas dan profesinya. Misalnya meski sesama dari institusi sipil, dokter tidak bisa jadi jaksa, dosen tidak boleh jadi jaksa, jaksa tak bisa jadi dokter,” kata Mahfud.
    Senada, advokat Syamsul Jahidin, penggugat UU Polri pada perkara Nomor 114/PUU-XXIII/2025, juga menilai Polri telah membangkangi MK dengan mengeluarkan Perpol Nomor 10 Tahun 2025.
    Ia mengingatkan, secara hierarki perundang-undangan, peraturan Polri memiliki posisi di bawah undang-undang atau putusan MK.
    “Itu pembangkangan, pengkhianatan terhadap konstitusi atau pengkhianatan terhadap undang-undang. Murni itu makar,” kata Syamsul.
    Syamsul pun meminta Polri agar patuh terhadap perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Dasar 1945.
    Merujuk pada Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, Polri merupakan alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.
    Dalam UUD 45, tidak disebutkan Polri punya tugas dan kewenangan untuk membuat aturan seperti Perpol 10/2025 yang isinya menandingi putusan MK.
    “Rakyat itu sebenarnya sederhana, Anda (Polri) bertugas sesuai undang-undang dasar,” ujar Syamsul saat dihubungi, Jumat.
    Menurut Syamsul, jika seseorang sudah memutuskan untuk menjadi polisi, ia seharusnya menjalankan tugas selayaknya seorang polisi, bukannya melaksanakan tugas lain, misalnya, dengan masuk ke ranah sipil.
    Ia menekankan, jabatan di kementerian dan lembaga seharusnya diisi oleh ASN sesuai dengan keahliannya, bukan polisi yang bukan berstatus ASN.
     “Awal mulanya terciptanya parcok (partai cokelat) ini kan gara-gara ini, gara-gara mereka (polisi) menempati jabatan sipil,” kata Syamsul.
    Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Choirul Anam meminta Polri mempertegas fungsi penempatan polisi aktif di 17 kementerian/lembaga.
    Menurut Anam, daftar lembaga yang tercantum dalam aturan tersebut perlu dijabarkan hingga ke level fungsi agar tidak menimbulkan tafsir yang keliru.
    “Persoalannya sederhana, harus dipastikan juga sebenarnya di fungsi apa? Fungsinya masih enggak ada sangkut-pautnya dengan kepolisian, di level fungsi. Jadi tidak hanya soal kementeriannya, tapi di kementerian itu fungsinya apa? Itu yang harus dipertegas,” kata Anam kepada
    Kompas.com
    , Jumat.
    Anam menjelaskan, Polri memaknai 17 kementerian/lembaga itu sebagai institusi yang memiliki sangkut paut dengan tugas kepolisian.
    Secara tata kelola, daftar kementerian dan prosedur penempatan yang diatur dalam Perpol memang memberikan kepastian.
    Namun, itu juga belum cukup apabila tidak disertai kejelasan mengenai fungsi yang benar-benar membutuhkan personel polisi aktif.
    “Karena memang sangkut-pautnya macam-macam ini ada yang memang disebutkan dalam undang-undang, ada yang tidak, jadi penting untuk kepastian itu,” kata dia.
    Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menjelaskan, penempatan anggota Polri pada 17 kementerian/lembaga memiliki dasar hukum yang jelas, baik dari undang-undang maupun peraturan pemerintah.
    “Polri pada pengalihan jabatan anggota Polri dari jabatan manajerial maupun non-manajerial pada organisasi dan tata kerja Polri untuk dialihkan pada organisasi dan tata kerja K/L berdasarkan regulasi yang sudah berlaku,” kata Trunoyudo kepada
    Kompas.com
    .
    Trunoyudo merinci sejumlah regulasi yang menjadi payung hukum penugasan anggota Polri di luar struktur Polri, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri Pasal 28 ayat (3), beserta penjelasannya, yang tetap berlaku setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
    UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, khususnya Pasal 19 ayat (2b), yang menyebut jabatan ASN tertentu dapat diisi anggota Polri, serta PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, Pasal 147 hingga 150, yang mengatur jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh anggota Polri sesuai kompetensi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Penggugat UU Polri: Maunya Rakyat Sederhana, Polisi Kerja Sesuai Undang-Undang Dasar…

    Penggugat UU Polri: Maunya Rakyat Sederhana, Polisi Kerja Sesuai Undang-Undang Dasar…

    Penggugat UU Polri: Maunya Rakyat Sederhana, Polisi Kerja Sesuai Undang-Undang Dasar…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Advokat Syamsul Jahidin yang pernah menggugat UU Polri ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan, keinginan masyarakat terhadap Polri sebenarnya sederhana.
    Hal ini disampaikan Syamsul menanggapi langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang baru meneken Peraturan
    Polri
    Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    “Rakyat itu sebenarnya sederhana, Anda (Polri) bertugas sesuai undang-undang dasar,” ujar Syamsul saat dihubungi, Jumat (12/12/2025).
    Merujuk pada Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, Polri merupakan alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.
    Dalam UUD 45, tidak disebutkan Polri punya tugas dan kewenangan untuk membuat aturan seperti
    Perpol 10/2025
    yang isinya menandingi putusan MK.
    Syamsul mengatakan, masyarakat berharap Polri dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai UUD 1945 agar tidak ada lagi elemen sipil yang dikriminalisasi.
    “Tidak ada wartawan yang dikriminalisasi. Tidak ada aktivis yang dikriminalisasi. Tidak ada orang yang dimarginalkan,” katanya.
    “Tidak ada pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri. Tidak ada jenderal-jenderal lagi yang diadili karena membacking-membackingi. Itu sebenarnya yang kami inginkan,” lanjut Syamsul.
    Menurut Syamsul, jika seseorang sudah memutuskan untuk menjadi polisi, ia seharusnya menjalankan tugas selayaknya seorang polisi, bukannya melaksanakan tugas lain, misalnya, dengan masuk ke ranah sipil.
    “Awal mulanya terciptanya parcok (partai cokelat) ini kan gara-gara ini, gara-gara mereka (polisi) menempati jabatan sipil,” imbuhnya.
    Syamsul menegaskan, polisi bukan seorang aparatur sipil negara (ASN) sehingga UU ASN tidak berlaku untuk mereka.
    Jabatan di kementerian dan lembaga seharusnya diisi oleh ASN sesuai dengan keahliannya.
    Diberitakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Beleid ini mengatur bahwa polisi aktif dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga sipil di luar institusi Polri.
    “Pelaksanaan Tugas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Pelaksanaan Tugas Anggota Polri adalah penugasan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri yang dengan melepaskan jabatan di lingkungan Polri,” demikian bunyi Pasal 1 Ayat (1) peraturan tersebut.
    Kemudian, Pasal 2 mengatur bahwa anggota Polri dapat melaksanakan tugas di dalam maupun luar negeri.
    Selanjutnya, pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan, pelaksanaan tugas anggota Polri pada jabatan di dalam negeri dapat dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi dan organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
    Daftar kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh anggota Polri itu diatur dalam Pasal 3 Ayat (2), yakni Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Aturan Baru Kapolri Dinilai Langgar Putusan MK, Penggugat UU Polri: Itu Pembangkangan

    Aturan Baru Kapolri Dinilai Langgar Putusan MK, Penggugat UU Polri: Itu Pembangkangan

    Aturan Baru Kapolri Dinilai Langgar Putusan MK, Penggugat UU Polri: Itu Pembangkangan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Advokat Syamsul Jahidin mempertanyakan kewenangan Polri untuk membuat aturan penempatan polisi di kementerian dan lembaga eksternal setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatasi keterlibatan mereka di ranah sipil.
    Syamsul menegaskan, putusan MK mengubah tatanan di level undang-undang, secara spesifik, Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
    Sementara itu, peraturan Polri yang baru diteken Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ini secara hierarkis memiliki tata aturan yang lebih rendah dari undang-undang.
    “Peraturan polisi itu bukan undang-undang. Itu hanya bagi Polri. (Peraturan) Polri turunan daripada undang-undang. Berarti apa? Dia (Polri) sudah bukan alat negara lagi kalau dia mengeluarkan Perpol seperti itu,” ujar Syamsul saat dihubungi, Jumat (12/12/2025).
    Syamsul menilai, Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 ini merupakan bentuk pembangkangan Polri terhadap MK.
    “Itu pembangkangan, pengkhianatan terhadap konstitusi atau pengkhianatan terhadap undang-undang. Murni itu makar,” tegas Syamsul.
    Syamsul mengatakan, melalui putusan MK nomor 114/PUU-XXIII/2025, Polri sudah tidak bisa lagi menduduki jabatan sipil atau mengisi kursi di kementerian/lembaga.
    Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia ini dinilai janggal karena bertentangan dengan putusan MK.
    “Undang-undangnya (setelah diputus MK) ngelarang (penempatan polisi di kementerian). Perpol-nya mengizinkan. Apakah itu enggak… Ah… Gua bingung,” kata Syamsul.
    Ia pun menyinggung tugas dan fungsi pokok Polri yang termaktub dalam Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “Kepolisian Republik Indonesia adalah alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.”
    Syamsul menegaskan, dalam UUD 45, Polri tidak berwenang untuk membuat aturan setara undang-undang.
    “Pertanyaannya, apakah itu tidak melanggar hukum kalau enggak ada di undang-undang?” tanyanya.
    Syamsul juga menyinggung asas lex superior derogat legi inferiori yang artinya, peraturan yang lebih tinggi (lex superior) mengesampingkan (derogat) peraturan yang lebih rendah (lex inferior).
    “Jadi, pertanyaannya Perpol itu lebih tinggi dari undang-undang?” tanyanya lagi.
    Diberitakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Beleid ini mengatur polisi aktif dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga sipil di luar institusi Polri.
    “Pelaksanaan Tugas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Pelaksanaan Tugas Anggota Polri adalah penugasan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri yang dengan melepaskan jabatan di lingkungan Polri,” demikian bunyi Pasal 1 Ayat (1) peraturan tersebut.
    Kemudian, Pasal 2 mengatur bahwa anggota Polri dapat melaksanakan tugas di dalam maupun luar negeri.
    Selanjutnya, pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan, pelaksanaan tugas anggota Polri pada jabatan di dalam negeri dapat dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi dan organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
    Daftar kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh anggota Polri itu diatur dalam Pasal 3 Ayat (2), yakni Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, serta Kementerian Kehutanan.
    Kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 9
                    
                        Dokter di Kalbar Gugat UU TNI gara-gara Tidak Bisa Jadi Kepala BNN
                        Nasional

    9 Dokter di Kalbar Gugat UU TNI gara-gara Tidak Bisa Jadi Kepala BNN Nasional

    Dokter di Kalbar Gugat UU TNI gara-gara Tidak Bisa Jadi Kepala BNN
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Seorang aparatur sipil negara (ASN) bernama Ria Merryanti menggugat Undang-Undang TNI (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa tidak bisa menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) selama UU TNI memungkinkan prajurit menempati posisi tersebut.
    Ria merupakan salah satu dari tujuh pemohon dalam gugatan uji materiil nomor 238/PUU-XXIII/2025 terkait Pasal 47 Ayat (1) dan Ayat (2) UU TNI yang mengatur penempatan prajurit TNI di jabatan sipil.
    “Bahwa Pemohon 2 yang berprofesi sebagai dokter dan aparatur sipil negara kehilangan kesempatan untuk menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional yang sangat diharapkan Pemohon 2,” ujar salah satu pemohon lain, Syamsul Jahidin, saat sidang di Gedung MK, Rabu (10/12/2025).
    “Karena, dengan norma pemberlakuan pasal a quo menutup kesempatan Pemohon 2 untuk mengikuti kontestasi menempati jabatan posisi yang seharusnya diisi ASN, aparatur sipil negara,” kata Syamsul melanjutkan.
    Syamsul mengatakan, Ria merupakan seorang ASN yang bertugas di Sekadau, Kalimantan Barat dan sehari-hari bekerja sebagai dokter di RSUD Sekadau.
    Ria tidak bisa hadir langsung di MK untuk membacakan permohonannya karena harus bertugas di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
    Selain Ria, pemohon lainnya, yaitu Yosephine Chrisan Eclesia Tamba, juga merasakan hal yang sama.
    Yosephine yang kini bekerja sebagai karyawan BUMN merasa dirugikan karena banyak prajurit TNI yang menduduki kursi pimpinan lembaga pemerintahan.
    “Bahwa Pemohon 5 yang berprofesi sebagai pegawai BUMN dan mahasiswa magister hukum kehilangan kesempatan untuk menjadi kepala lembaga pemerintahan dan kehilangan kesempatan menempati jabatan-jabatan yang berada dalam lingkup sipil yang sangat diharapkan Pemohon 5,” lanjut Syamsul.
    Selain Syamsul, Ria, dan Yosephine, ada empat pemohon lagi yang juga merasa dirugikan dengan UU TNI saat ini.
    Mereka adalah Ratih Mutiara Louk Fanggi, Marina Ria Aritonang, Achmad Azhari, dan H. Edy Rudyanto.
    Atas kerugian konstitusional yang mereka rasakan, para pemohon berharap agar majelis hakim konstitusi dapat menerima uji materiil mereka dan membatasi penempatan TNI di jabatan sipil.
    Namun, pembatasan tidak untuk semua jabatan.
    Para pemohon mengatakan, prajurit TNI masih dapat menempati jabatan sipil yang masih berkaitan dengan tugas dan fungsi mereka, misalnya yang berkaitan dengan pertahanan negara dan kesekretariatan militer.
    Berikut adalah bunyi pasal yang digugat oleh Syamsul dan kawan-kawan:
    Pasal 47
    (1) Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.
    (2) Selain menduduki jabatan pada kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prajurit dapat menduduki jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
    Syamsul mengatakan, peraturan saat ini memperluas peluang prajurit TNI untuk menempati jabatan di ranah sipil tanpa harus mengundurkan diri.
    “(Aturan saat ini) Memberikan keleluasaan alternatif bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan-jabatan sipil tertentu tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan,” lanjut Syamsul.

    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 1
                    
                        Anwar Usman Dilaporkan ke MKMK Imbas Putusan UU IKN dan Loloskan Putusan 90 Gibran
                        Nasional

    1 Anwar Usman Dilaporkan ke MKMK Imbas Putusan UU IKN dan Loloskan Putusan 90 Gibran Nasional

    Anwar Usman Dilaporkan ke MKMK Imbas Putusan UU IKN dan Loloskan Putusan 90 Gibran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim Konstitusi Anwar Usman dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena menyatakan
    dissenting opinion
    terhadap beberapa putusan yang menyita perhatian publik, seperti UU Ibukota Negara (UU IKN) dan UU Polri.
    Pihak yang melaporkan
    Anwar Usman
    ke
    MKMK
    adalah Syamsul Jahidin, advokat yang menggugat
    UU Polri
    dan
    UU IKN
    .
    Menurut Syamsul, Anwar menyatakan
    dissenting opinion
    pada dua putusan yang dikabulkan oleh MK, yaitu putusan Nomor 185/PUU-XXII/2024 tentang UU IKN dan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tentang UU Polri.
    “Ketika itu dikabulkan, ada yang
    dissenting
    . Dari dua putusan ini yang
    dissenting
    itu Anwar Usman. Kami baca ini (dissenting), itu intinya penolakan, kami sambung-sambungkan. Ini enggak logis sekali penolakannya,” ujar Syamsul, saat ditemui di Gedung MK, Rabu (10/12/2025).
    Syamsul mengatakan, UU IKN telah memangkas hak guna usaha (HGU) sehingga tidak lagi bisa sampai 190 tahun.
    Sementara, UU Polri membatasi penempatan polisi aktif di jabatan sipil.
    Syamsul menyoroti sikap Anwar Usman di dua keputusan ini dibandingkan dengan putusan 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang meloloskan keponakannya
    Gibran
    Rakabuming Raka untuk menjabat posisinya sekarang.
    “Giliran putusan 90 yang Pas Gibran capres cawapres malah dikabulkan dengan tanpa sidang pleno. Kan ini di luar nalar logika,” lanjut Syamsul.
    Ia mengaku melaporkan Anwar Usman ke MKMK untuk menguji apakah keputusan paman Gibran itu berdasarkan tendensi tertentu atau berdasar pada pendapat hukum.
    “Makanya saya Syamsul Jahidin, saya mengadukan itu, saya menguji itu. Apakah itu ada tendensius pribadi atau memang pendapat hukumnya,” imbuh Syamsul.
    Ia juga menyinggung soal kondisi MK saat dipimpin oleh Anwar Usman.
    “Kita melihat cacatnya MK ya ketika Ketua MK adalah Anwar Usman,” sebut dia.
    Syamsul mengatakan, laporan ini baru dimasukkan dan diterima pihak MKMK hari ini.
    Kini, pihaknya menunggu informasi lanjutan dari MKMK.
    Berdasarkan penelusuran, Anwar Usman memang menyatakan
    dissenting opinion
    pada putusan UU IKN.
    Dalam putusan 185/PUU-XXII/2024, Anwar menyatakan
    dissenting
    bersama dengan Daniel Yusmic Foekh dan Arsul Sani.
    Para hakim konstitusi menilai, ada beberapa hal yang sepatutnya ditolak atau diperbaiki, misalnya, terkait
    legal standing
    para pemohon.
    Sementara, pada putusan 114/PUU-XXIII/2025 tentang UU Polri, nama Anwar Usman tidak tercantum sebagai hakim yang menyatakan
    dissenting opinion
    .
    Hakim yang menyatakan
    dissenting opinion
    adalah Daniel Yusmic Foekh dan Guntur Hamzah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MenPAN RB hormati putusan MK larang polisi duduki jabatan sipil

    MenPAN RB hormati putusan MK larang polisi duduki jabatan sipil

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Rini Widyantini menegaskan pihaknya menghormati dan menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait polisi aktif tidak boleh mengisi jabatan sipil.

    “Kita harus menghormati putusan MK, karena putusan MK itu adalah suatu keputusan yang selesai, langsung mengikat, sudah langsung final,” Rini Widyantini di Kantor KemenPANRB, Jakarta, Selasa.

    Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi menyatakan bahwa syarat bagi anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian alias jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    Rini mengatakan jajarannya siap menjalankan putusan tersebut dan segera berkoordinasi dengan Polri untuk melaksanakan putusan tersebut.

    “Kami mengikuti putusan MK saja, kalau memang mereka itu harus mengundurkan diri, ya harus mengundurkan diri atau pensiun,” ujarnya.

    Sebelumnya, MK menegaskan anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian alias jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    MK melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menghapus ketentuan yang selama ini menjadi celah bagi polisi aktif menduduki jabatan sipil tanpa melepas status keanggotaannya terlebih dahulu.

    “Menyatakan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.

    MK dalam hal ini mengabulkan permohonan advokat Syamsul Jahidin dan mahasiswa Christian Adrianus Sihite untuk seluruhnya. Adapun para pemohon menguji konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan secara substansial, Pasal 28 ayat (3) UU Polri sejatinya menegaskan satu hal penting, yaitu anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

    Artinya, kata Ridwan, jika dipahami dan dimaknai secara saksama, “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar kepolisian.

    Namun, Mahkamah menelaah, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri ternyata sama sekali tidak memperjelas norma batang tubuh sehingga terjadi ketidakjelasan.

    “Perumusan yang demikian berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian,” ucap Ridwan.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • KemenPANRB undang Polri evaluasi penempatan polisi di jabatan sipil

    KemenPANRB undang Polri evaluasi penempatan polisi di jabatan sipil

    Kompetensinya kepolisian tentunya untuk di bidang pengamanan, apakah sesuai dengan itu? Misalnya seperti di BNN. BNN kan memang kaitannya dengan masalah pengamanan mungkin itu bisa, contohnya seperti itu

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PANRB) segera mengundang Polri untuk evaluasi dan membahas tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait polisi aktif tidak boleh mengisi jabatan sipil.

    “Kami nanti akan undang Polri,” kata Menteri PANRB Rini Widyantini di Kantor KemenPANRB, Jakarta, Selasa.

    Rini mengatakan jajarannya telah mengantongi data-data soal anggota Polri aktif yang saat ini menduduki jabatan sipil di berbagai institusi pemerintahan.

    Ia mengatakan dirinya dan Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo akan segera mengevaluasi soal apakah jabatan sipil tersebut memang harus ditempati oleh seseorang dengan kompetensi kepolisian.

    “Saya dengan Kapolri mesti mempelajari dalam hal apa saja dia bisa diisi, karena memang ada beberapa jabatan-jabatan yang memang kita harus evaluasi, apakah memang itu kompetensinya bisa diisi oleh Polri atau tidak, memang harus dilakukan evaluasi seperti itu,” ujarnya.

    Rini mengatakan saat ini fokus KemenPANRB adalah memastikan anggota Polri aktif yang menduduki jabatan sipil sesuai dengan kompetensinya. Ia mengatakan kompetensi utama Polri adalah di bidang pengamanan, sehingga anggota Polri bisa saja menduduki jabatan di instansi sipil yang bergerak di bidang pengamanan, karena memang yang paling penting itu memastikan bahwa sesuai dengan kompetensinya.

    “Kompetensinya kepolisian tentunya untuk di bidang pengamanan, apakah sesuai dengan itu? Misalnya seperti di BNN. BNN kan memang kaitannya dengan masalah pengamanan mungkin itu bisa, contohnya seperti itu,” tuturnya.

    Sebelumnya, MK menegaskan anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian alias jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    MK melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menghapus ketentuan yang selama ini menjadi celah bagi polisi aktif menduduki jabatan sipil tanpa melepas status keanggotaannya terlebih dahulu.

    “Menyatakan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.

    MK dalam hal ini mengabulkan permohonan advokat Syamsul Jahidin dan mahasiswa Christian Adrianus Sihite untuk seluruhnya. Adapun para pemohon menguji konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan secara substansial, Pasal 28 ayat (3) UU Polri sejatinya menegaskan satu hal penting, yaitu anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

    Artinya, kata Ridwan, jika dipahami dan dimaknai secara saksama, “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar kepolisian.

    Namun, Mahkamah menelaah, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri ternyata sama sekali tidak memperjelas norma batang tubuh sehingga terjadi ketidakjelasan.

    “Perumusan yang demikian berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian,” ucap Ridwan.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.