Tag: Syamsul Jahidin

  • MenPAN RB hormati putusan MK larang polisi duduki jabatan sipil

    MenPAN RB hormati putusan MK larang polisi duduki jabatan sipil

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Rini Widyantini menegaskan pihaknya menghormati dan menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait polisi aktif tidak boleh mengisi jabatan sipil.

    “Kita harus menghormati putusan MK, karena putusan MK itu adalah suatu keputusan yang selesai, langsung mengikat, sudah langsung final,” Rini Widyantini di Kantor KemenPANRB, Jakarta, Selasa.

    Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi menyatakan bahwa syarat bagi anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian alias jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    Rini mengatakan jajarannya siap menjalankan putusan tersebut dan segera berkoordinasi dengan Polri untuk melaksanakan putusan tersebut.

    “Kami mengikuti putusan MK saja, kalau memang mereka itu harus mengundurkan diri, ya harus mengundurkan diri atau pensiun,” ujarnya.

    Sebelumnya, MK menegaskan anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian alias jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    MK melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menghapus ketentuan yang selama ini menjadi celah bagi polisi aktif menduduki jabatan sipil tanpa melepas status keanggotaannya terlebih dahulu.

    “Menyatakan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.

    MK dalam hal ini mengabulkan permohonan advokat Syamsul Jahidin dan mahasiswa Christian Adrianus Sihite untuk seluruhnya. Adapun para pemohon menguji konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan secara substansial, Pasal 28 ayat (3) UU Polri sejatinya menegaskan satu hal penting, yaitu anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

    Artinya, kata Ridwan, jika dipahami dan dimaknai secara saksama, “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar kepolisian.

    Namun, Mahkamah menelaah, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri ternyata sama sekali tidak memperjelas norma batang tubuh sehingga terjadi ketidakjelasan.

    “Perumusan yang demikian berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian,” ucap Ridwan.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • KemenPANRB undang Polri evaluasi penempatan polisi di jabatan sipil

    KemenPANRB undang Polri evaluasi penempatan polisi di jabatan sipil

    Kompetensinya kepolisian tentunya untuk di bidang pengamanan, apakah sesuai dengan itu? Misalnya seperti di BNN. BNN kan memang kaitannya dengan masalah pengamanan mungkin itu bisa, contohnya seperti itu

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PANRB) segera mengundang Polri untuk evaluasi dan membahas tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait polisi aktif tidak boleh mengisi jabatan sipil.

    “Kami nanti akan undang Polri,” kata Menteri PANRB Rini Widyantini di Kantor KemenPANRB, Jakarta, Selasa.

    Rini mengatakan jajarannya telah mengantongi data-data soal anggota Polri aktif yang saat ini menduduki jabatan sipil di berbagai institusi pemerintahan.

    Ia mengatakan dirinya dan Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo akan segera mengevaluasi soal apakah jabatan sipil tersebut memang harus ditempati oleh seseorang dengan kompetensi kepolisian.

    “Saya dengan Kapolri mesti mempelajari dalam hal apa saja dia bisa diisi, karena memang ada beberapa jabatan-jabatan yang memang kita harus evaluasi, apakah memang itu kompetensinya bisa diisi oleh Polri atau tidak, memang harus dilakukan evaluasi seperti itu,” ujarnya.

    Rini mengatakan saat ini fokus KemenPANRB adalah memastikan anggota Polri aktif yang menduduki jabatan sipil sesuai dengan kompetensinya. Ia mengatakan kompetensi utama Polri adalah di bidang pengamanan, sehingga anggota Polri bisa saja menduduki jabatan di instansi sipil yang bergerak di bidang pengamanan, karena memang yang paling penting itu memastikan bahwa sesuai dengan kompetensinya.

    “Kompetensinya kepolisian tentunya untuk di bidang pengamanan, apakah sesuai dengan itu? Misalnya seperti di BNN. BNN kan memang kaitannya dengan masalah pengamanan mungkin itu bisa, contohnya seperti itu,” tuturnya.

    Sebelumnya, MK menegaskan anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian alias jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    MK melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menghapus ketentuan yang selama ini menjadi celah bagi polisi aktif menduduki jabatan sipil tanpa melepas status keanggotaannya terlebih dahulu.

    “Menyatakan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.

    MK dalam hal ini mengabulkan permohonan advokat Syamsul Jahidin dan mahasiswa Christian Adrianus Sihite untuk seluruhnya. Adapun para pemohon menguji konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan secara substansial, Pasal 28 ayat (3) UU Polri sejatinya menegaskan satu hal penting, yaitu anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

    Artinya, kata Ridwan, jika dipahami dan dimaknai secara saksama, “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar kepolisian.

    Namun, Mahkamah menelaah, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri ternyata sama sekali tidak memperjelas norma batang tubuh sehingga terjadi ketidakjelasan.

    “Perumusan yang demikian berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian,” ucap Ridwan.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MK Batalkan Hak Atas Tanah IKN, Nusron Tegaskan Janji Ini ke Investor

    MK Batalkan Hak Atas Tanah IKN, Nusron Tegaskan Janji Ini ke Investor

    Jakarta, CNBC Indonesia – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan tafsir jangka waktu penggunaan Hak Atas Tanah (HAT), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) dalam Undang-Undang Nomor 3/2022 tentang Ibu Kota Nusantara (UU IKN). MK memutuskan, siklus penggunaan Hak Atas Tanah tak lagi 2 siklus.

    Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan Nomor 185/PUU-XXII/2024, pada Kamis (13/11/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, yang menyatakan Pasal 16A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak guna usaha, diberikan hak, paling lama 35 tahun; perpanjangan hak, paling lama 25 tahun; dan pembaruan hak, paling lama 35 tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi.

    Merespons keputusan MK tersebut, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menyatakan menyambut baik. Dan menegaskan, Kementerian ATR/BPN bersama Otorita IKN dan kementerian terkait segera melakukan koordinasi untuk harmonisasi regulasi serta penyelarasan aturan teknis, agar seluruh pelaksanaan di lapangan berjalan sesuai ketentuan MK.

    “Kami menghormati dan siap melaksanakan sepenuhnya putusan MK. Ini adalah landasan penting untuk memperkuat kepastian hukum, transparansi, dan tata kelola pertanahan yang lebih baik dalam pembangunan IKN,” kata Menteri Nusron, dikutip dari keterangannya, Senin (17/11/2025).

    “Putusan MK menegaskan pemberian HGU, HGB, dan Hak Pakai di IKN tidak dapat menggunakan skema dua siklus 95 tahun, dan harus kembali mengikuti batasan nasional dengan mekanisme evaluasi yang jelas dan terukur. Ketetapan ini sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 mengenai prinsip penguasaan negara atas sumber daya alam,” tambahnya,

    Karena itu, lanjut Nusron, keputusan MK justru memperkuat posisi negara sekaligus memberikan kepastian hukum bagi investasi dan pembangunan IKN.

    “Putusan tersebut konsisten dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pembangunan IKN yang adil, transparan, modern, dan tetap berlandaskan konstitusi,” ujarnya.

    “Putusan MK tidak menghambat investasi. Yang dikoreksi adalah durasi hak, bukan kepastian berusaha. Semua proses yang sudah berjalan dapat dilanjutkan dengan penyesuaian. Ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo untuk menjaga iklim investasi yang sehat,” sambungnya.

    Dia menambahkan, putusan MK menjadi momentum untuk memperkuat fungsi sosial tanah, terutama perlindungan terhadap masyarakat lokal dan adat.

    “Keseimbangan antara pembangunan dan keadilan sosial menjadi prinsip utama yang terus dijaga pemerintah,” katanya.

    “Presiden Prabowo memberi perhatian besar pada perlindungan masyarakat lokal dalam pembangunan IKN. Dengan putusan ini, negara semakin kuat dalam memastikan kepastian hukum sekaligus keadilan sosial,” ujar Nusron.

    Dia pun menjamin, sistem evaluasi, monitoring, dan tata kelola pertanahan di IKN akan terus diperkuat guna menjamin transparansi dan akuntabilitas.

    Penjelasan Ketua MK

    Sebagai informasi, putusan ini berawal dari pengajuan oleh Pemohon Prinsipal Stepanus Febyan Babaro dan Kuasa Hukumnya Syamsul Jahidin untuk pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara.

    Pemohon mendalilkan terdapat dua regulasi berbeda mengenai jangka waktu HGU, HGB dan Hak Pakai yaitu dengan diberlakukan Pasal 16A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU IKN dan aturan sama terdapat dalam Pasal 9 Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

    Selain itu, Pemohon mengungkapkan, UU IKN dan Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN tidak mengatur secara jelas pihak-pihak yang berhak memiliki HGU, HGB, dan Hak Pakai. Disebutkan, hal ini membuka peluang bagi pihak asing untuk menguasai tanah di IKN dalam jangka waktu yang sangat panjang. Pemohon menegaskan, pemberian hak atas tanah dengan durasi yang terlalu lama dapat mengorbankan kepentingan generasi mendatang

    Ketua MK Suhartoyo menjelaskan, Pasal 16A ayat (2) UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai

    “Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak guna bangunan, diberikan hak, paling lama 30 tahun; perpanjangan hak, paling lama 20 tahun; dan pembaruan hak, paling lama 30 tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi,” katanya, dikutip dari situs resmi MK, Senin (17/11/2025).

    “Kemudian, Pasal 16A ayat (3) UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak pakai, diberikan hak, paling lama 30 tahun; perpanjangan hak, paling lama 20 tahun; dan pembaruan hak, paling lama 30 tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi,” ucapnya.

    Memperlemah Posisi Negara

    Terkait Pemohon yang menguji Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 dan Penjelasannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengungkapkan, terdapat ketidaksesuaian Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 dan Penjelasannya. Hal ini karena norma Pasal a quo menentukan, HAT-dalam hal ini HGU-diberikan melalui 1 (satu) siklus dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 (satu) siklus kedua. Pemberian HAT melalui satu siklus tersebut menimbulkan kesan seolah-olah HGU langsung diberikan selama 95 (sembilan puluh lima) tahun.

    Sementara itu, Penjelasan Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 menyatakan pemberian HAT secara bertahap diatur masing-masing tahapan tersebut dalam Penjelasan Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023.

    “Sehingga hal demikian menimbulkan norma yang ambigu yang berpeluang disalahartikan, sekalipun terdapat ketentuan yang menyatakan pemberiannya didasarkan pada kriteria dan tahapan evaluasi. Sebab, persoalannya terletak pada perumusan norma pokok yang menentukan atau menggunakan frasa melalui 1 (satu) siklus dan dapat diberikan kembali untuk 1 (satu) siklus kedua, yang menurut Mahkamah maknanya sama dengan memberikan batasan waktu yang sekaligus, yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21- 22/PUU-V/2007,” ucap Enny.

    Belum lagi, sambunganya, ditentukan pula dalam norma Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 jumlah waktunya adalah 95 tahun untuk 1 siklus pertama HGU dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 siklus kedua dengan jumlah 95 tahun, yang apabila diakumulasi dari kedua siklus tersebut menjadi 190 tahun.

    “Ketentuan ini tidak sejalan atau memperlemah posisi negara dalam menguasai HAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Setelah Mahkamah mencermati Penjelasan Umum UU 21/2023 dinyatakan bahwa salah satu maksud perubahan UU 3/2022 pada pokoknya untuk melakukan pengaturan jangka waktu HAT yang kompetitif,” ujar Enny.

    Foto: Ekspresi Pemohon Prinsipal Stepanus Febyan Babaro dan Kuasa Hukumnya Syamsul Jahidin usai mendengarkan sidang pengucapan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara, Kamis (13/11) di Ruang Sidang MK. (Dok. Humas/Ifa via mkri)
    Ekspresi Pemohon Prinsipal Stepanus Febyan Babaro dan Kuasa Hukumnya Syamsul Jahidin usai mendengarkan sidang pengucapan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara, Kamis (13/11) di Ruang Sidang MK. (Dok. Humas/Ifa via mkri)

    (dce/dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ini Daftar Personel Polri Aktif yang Masih Duduki Jabatan Sipil

    Ini Daftar Personel Polri Aktif yang Masih Duduki Jabatan Sipil

    Ini Daftar Personel Polri Aktif yang Masih Duduki Jabatan Sipil
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Mahkamah Konstitusi (MK) resmi melarang anggota Korps Bhayangkara menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun.
    Dengan begitu, penempatan anggota Polri pada jabatan non-kepolisian tidak lagi dapat dilakukan hanya berdasarkan izin Kapolri.
    Putusan tersebut dibacakan MK untuk perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait uji materi Pasal 28 ayat (3) beserta penjelasannya dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
    “Amar putusan, mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno
    Mahkamah Konstitusi
    , Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2025).
    Pemohon, Syamsul Jahidin, beralasan bahwa saat ini banyak anggota Polri aktif yang menduduki jabatan sipil di berbagai lembaga dan kementerian tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.
    Hal itu dinilai bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi dalam pelayanan publik, serta merugikan hak konstitusional pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik.
    Pemohon juga menilai bahwa norma dalam pasal tersebut secara substantif menciptakan dwifungsi Polri karena anggota kepolisian dapat berperan sebagai aparat keamanan sekaligus menjalankan fungsi pemerintahan, birokrasi, dan sosial kemasyarakatan.
    Dalam permohonannya, Syamsul juga sempat menyebut beberapa anggota yang kini menduduki jabatan sipil.
    Mereka adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, hingga Kepala BNPT. Ada pula yang menduduki jabatan strategis lain di berbagai kementerian.
    Berikut ini nama-namanya yang tertuang dalam berkas permohonan yang akhirnya dikabulkan MK:
    Selain itu, ada sejumlah nama lain yang hingga kini menduduki jabatan sipil. Mereka adalah Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) hingga jabatan di kementerian yang baru dibentuk, yakni Kementerian Haji dan Umrah. Berikut ini nama-namanya:
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Top 3 News: Wakil Gubernur Babel Hellyana Diperiksa Bareskrim Terkait Kasus Dugaan Ijazah Palsu

    Top 3 News: Wakil Gubernur Babel Hellyana Diperiksa Bareskrim Terkait Kasus Dugaan Ijazah Palsu

    Liputan6.com, Jakarta – Bareskrim Polri memeriksa Wakil Gubernur Bangka Belitung (Babel) Hellyana pada Kamis 13 November 2025 kemarin. Itulah top 3 news hari ini.

    Pemeriksaan berkaitan dengan dugaan pemalsuan surat, pemalsuan akta autentik, dan dugaan penggunaan gelar akademik yang tidak sah. Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, perkara tersebut telah naik ke tahap penyidikan.

    Trunoyudo menegaskan Polri tetap mengedepankan asas kehati-hatian dan seluruh prosesnya dilakukan secara cermat.

    Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin, menilai polemik penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil seharusnya tidak berlarut jika pemerintah konsisten menjalankan aturan.

    Dia menegaskan, larangan itu sudah jelas tertulis dalam Pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Menurutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi terbaru mempertegas kembali larangan bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil.

    Menurut TB Hasanuddin, ketidakpatuhan pemerintah terhadap aturan yang dibuatnya sendiri memicu kerancuan di publik dan berpotensi merusak prinsip dasar profesionalisme kepolisian serta batas yang jelas antara lembaga penegak hukum dan birokrasi sipil.

    Berita terpopuler lainnya di kanal News Liputan6.com adalah terkait Mahkamah Konstitusi (MK) RI mengeluarkan Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Dalam putusan ini dijelaskan anggota polisi yang menduduki posisi di luar kepolisian atau mendapatkan jabatan sipil, diwajibkan mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    Keputusan ini bermula dari permohonan advokat Syamsul Jahidin dan mahasiswa Christian Adrianus Sihite untuk menguji menguji konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

    Dalam Pasal 28 ayat (3) polisi diperkenankan menduduki posisi di sejumlah lembaga negara di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    Untuk diketahui terdapat sejumlah anggota polisi yang masih menduduki jabatan sipil di pemerintahan tanpa mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Hal ini tentu bertentangan dengan keputusan terbaru yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi RI.

    Berikut deretan berita terpopuler di kanal News Liputan6.com sepanjang Jumat 14 November 2025:

    Sejumlah terlapor kasus dugaan tindak pidana penghasutan, pencemaran nama baik, dan pelanggaran UU ITE terkait tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo memenuhi panggilan pemeriksaan Polda Metro Jaya pada Senin siang.

  • Mahfud MD: Putusan MK Larang Polisi Duduki Jabatan Sipil Mulai Berlaku dan Mengikat

    Mahfud MD: Putusan MK Larang Polisi Duduki Jabatan Sipil Mulai Berlaku dan Mengikat

    Bisnis.com, SURABAYA — Anggota Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Mahfud MD angkat suara mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 mengenai larangan bagi anggota Polri untuk dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil, selama masih berstatus aktif.

    Mahfud menjelaskan bahwa putusan yang telah dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis (13/11/2025) lalu tersebut secara otomatis telah bersifat mengikat dan wajib untuk dijalankan pasca pengesahannya.

    “Ya, itu [putusan MK] mengikat dong. Tidak ada kaitannya dengan tim reformasi Polri. Itu putusan MK, itu putusan hukum. Kalau putusan reformasi Polri itu administratif, nanti ya. Kalau [putusan tim] reformasi [Polri] itu administratif, disampaikan ke presiden, tapi kalau MK itu putusan hukum dan mengikat,” beber Mahfud saat ditemui usai ibadah salat Jumat di Masjid Nuruzzaman Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat (14/11/2025).

    Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemananan (Menko Polhukam) tersebut menegaskan kembali, dengan disahkannya Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tersebut, maka Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian telah dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. 

    Walau begitu, Mahfud menjelaskan bahwa putusan tersebut juga tidak mengharuskan jajaran legislatif untuk menyusun ataupun merombak kembali Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang menurut MK bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, putusan MK tersebut, lanjut Mahfud, telah berlaku secara otomatis dan menggugurkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’.

    “Enggak, putusan MK itu enggak usah harus mengubah [penjelasan] undang-undang, langsung berlaku. [Penjelasan] undang-undangnya kan langsung dibatalkan. Itu ‘kan isinya ‘atau ditugaskan oleh Kapolri’, itu ‘kan sudah dibatalkan. Berarti, sekarang karena batal ya sudah, enggak usah diubah lagi undang-undang. Nah, itu langsung berlaku,” beber Mahfud.

    Oleh sebab itu, Mahfud yang juga pernah menjabat sebagai Ketua MK tersebut berharap banyak putusan tersebut dapat dijalankan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya oleh institusi terkait, usai diketok palu pada Kamis (13/11) kemarin. Ia pun meminta prosedur pemberhentian aparat yang masih menduduki jabatan sipil juga harus secepatnya diatur oleh lembaga terkait.

    “Menurut undang-undang, putusan MK itu berlaku seketika. Begitu palu diketokkan itu berlaku. Sehingga proses-proses pemberhentian itu harus segera diatur kembali, kalau kita masih mau mengakui bahwa ini adalah negara hukum atau negara demokrasi konstitusional,” pungkasnya. 

    Diberitakan sebelumnya, MK menegaskan bahwa anggota Polri tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara [ASN] di luar kepolisian,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (13/11/2025).

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 

    “Frasa itu tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya.

    Putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, serta satu alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Arsul Sani. 

    Perkara tersebut diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, yang menggugat keberadaan pasal dan penjelasan tersebut karena dianggap membuka peluang bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus melepaskan statusnya.

    Dalam permohonannya, para pemohon menilai hal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan mengancam profesionalisme birokrasi sipil. 

    Para pemohon juga mencontohkan sejumlah posisi strategis yang pernah diisi oleh anggota Polri aktif, seperti di KPK, BNN, BNPT, BSSN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun. 

    Menurut mereka, hal tersebut mengakibatkan ketimpangan kesempatan bagi warga negara sipil dalam mengisi jabatan publik serta menciptakan potensi dwifungsi Polri dalam pemerintahan.

  • Keputusan MK Polri Aktif Dilarang Duduki Jabatan Sipil, Kompolnas: Patuhi dan Jalankan

    Keputusan MK Polri Aktif Dilarang Duduki Jabatan Sipil, Kompolnas: Patuhi dan Jalankan

    Sebelumnya, MK menegaskan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang menduduki jabatan di luar kepolisian alias jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    MK melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diucapkan pada Kamis (14/11), menghapus ketentuan yang selama ini menjadi celah bagi polisi aktif menduduki jabatan sipil tanpa melepas status keanggotaannya terlebih dahulu.

    “Menyatakan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

    MK dalam hal ini mengabulkan permohonan advokat Syamsul Jahidin dan mahasiswa Christian Adrianus Sihite untuk seluruhnya. Adapun para pemohon menguji konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

    Pasal 28 ayat (3) UU Polri menyatakan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”

    Sementara itu, Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘jabatan di luar kepolisian’ adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”

    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan secara substansial, Pasal 28 ayat (3) UU Polri sejatinya menegaskan satu hal penting, yaitu anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

    Artinya, kata Ridwan, jika dipahami dan dimaknai secara saksama, “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar kepolisian.

    Dari konstruksi Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, MK menilai, frasa “yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian” dimaksudkan untuk menjelaskan norma dalam Pasal 28 ayat (3).

    Namun, Mahkamah menelaah, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” ternyata sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Akibatnya, terjadi ketidakjelasan terhadap norma pasal dimaksud.

    “Perumusan yang demikian berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian,” ucap Ridwan.

    Maka dari itu, Mahkamah menyimpulkan, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bersifat rancu dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga tidak sesuai dengan amanat Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

  • Kala Mahkamah Konstitusi Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil

    Kala Mahkamah Konstitusi Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi telah melarang polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil dalam putusannya pada Kamis (13/11/2025).

    Larang tersebut dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menilai, penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di luar kepolisian.

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    “Frasa itu tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya melalui rilis resminya, Kamis (13/11/2025).

    Putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, serta satu alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Arsul Sani.

    Perkara tersebut diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, yang menggugat keberadaan pasal dan penjelasan tersebut karena dianggap membuka peluang bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus melepaskan statusnya.

    Dalam permohonannya, para pemohon menilai hal itu bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan mengancam profesionalisme birokrasi sipil.

    Para pemohon juga mencontohkan sejumlah posisi strategis yang pernah diisi oleh anggota Polri aktif, seperti di KPK, BNN, BNPT, BSSN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.

    Menurut mereka, hal tersebut mengakibatkan ketimpangan kesempatan bagi warga negara sipil dalam mengisi jabatan publik serta menciptakan potensi dwifungsi Polri dalam pemerintahan.

    Respons Polri

    Sementara itu, Mabes Polri masih akan mempelajari putusan MK terkait dengan larangan bagi anggota polisi aktif menduduki jabatan sipil.

    Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan pihaknya belum menerima salinan resmi dari putusan itu. Namun demikian, Sandi memastikan Polri bakal menghormati putusan yang dikeluarkan MK.

    “Terima kasih atas informasinya, dan kebetulan kami juga baru dengar atas putusan tersebut, tentunya Polri akan menghormati semua keputusan yang sudah dikeluarkan,” ujar Sandi di PTIK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dia menambahkan untuk saat ini Polri masih menunggu hasil resmi putusan MK. Usai salinan putusan MK itu diterima, Polri bakal menganalisis putusan MK itu sebelum akhirnya menyatakan sikap.

    “Tentunya kalau memang sudah diputuskan dan kita sudah mempelajari apa yang sudah diputuskan tersebut, Polri akan selalu menghormati putusan pengadilan yang sudah diputuskan,” imbuhnya.

    Adapun, Sandi menjelaskan bahwa penempatan anggota aktif kepolisian di Kementerian/Lembaga sudah memiliki aturannya tersendiri. 

    Berdasarkan Pasal 28 ayat (3) UU No.2/2002 tentang Polri menyatakan jabatan di luar kepolisian memerlukan izin dari Kapolri. Namun, frasa itu kini telah dihapus dalam putusan MK dengan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025.

    “Namun demikian kita sudah mendengar ataupun kita sudah melihat ada putusan hari ini, kita tinggal menunggu seperti apa konkrit putusannya sehingga kami bisa melihat dan pelajari dan apa yang harus dikerjakan oleh kepolisian,” pungkasnya.

  • MK Putuskan Anggota Polri Wajib Mundur, Ketahui Delapan Jenderal yang Kini Duduki Jabatan Sipil

    MK Putuskan Anggota Polri Wajib Mundur, Ketahui Delapan Jenderal yang Kini Duduki Jabatan Sipil

    “Frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ menimbulkan kerancuan dan memperluas norma pasal a quo, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar Ridwan saat membacakan pertimbangan Mahkamah.

    Menurut MK, ketentuan tersebut juga tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi. Karena itu, permohonan para Pemohon dinyatakan beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

    “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU Polri,” tegasnya.

    Meski demikian, putusan ini turut disertai alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Konstitusi Arsul Sani, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim lainnya, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah.

    Permohonan uji materi ini diajukan oleh Syamsul Jahidin, seorang mahasiswa doktoral dan advokat, serta Christian Adrianus Sihite, lulusan sarjana hukum. Mereka menilai keberadaan frasa tersebut membuka celah bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa mundur atau pensiun, yang bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan meritokrasi dalam pelayanan publik.

    Para pemohon menilai praktik tersebut menciptakan dwifungsi Polri yang serupa dengan praktik masa lalu, karena polisi aktif berperan ganda dalam bidang keamanan sekaligus pemerintahan dan birokrasi.

  • Putusan MK: Anggota Polisi Aktif Harus Mundur saat Duduki Jabatan Sipil

    Putusan MK: Anggota Polisi Aktif Harus Mundur saat Duduki Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif.

    Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara [ASN] di luar kepolisian,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (13/11/2025).

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    “Frasa itu tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya.

    Putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, serta satu alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Arsul Sani.

    Perkara tersebut diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, yang menggugat keberadaan pasal dan penjelasan tersebut karena dianggap membuka peluang bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus melepaskan statusnya.

    Dalam permohonannya, para pemohon menilai hal itu bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan mengancam profesionalisme birokrasi sipil.

    Para pemohon juga mencontohkan sejumlah posisi strategis yang pernah diisi oleh anggota Polri aktif, seperti di KPK, BNN, BNPT, BSSN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.

    Menurut mereka, hal tersebut mengakibatkan ketimpangan kesempatan bagi warga negara sipil dalam mengisi jabatan publik serta menciptakan potensi dwifungsi Polri dalam pemerintahan.