Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) tengah mengkhawatirkan munculnya permainan mafia kuota impor dengan pemberlakuan aturan baru kawasan berikat yang tidak transparan.
Sekjen APSyFI Farhan Aqil mengatakan, pihaknya memahami tujuan pemerintah untuk mengembalikan tujuan awal fasilitas kawasan berikat untuk produksi industri berorientasi ekspor.
Dalam rencana Kementerian Keuangan, kuota penjualan domestik dari kawasan berikat akan dipangkas menjadi 25% dari sebelumnya 50%. Sebelumnya, pemberian kuota penjualan domestik dilakukan lantaran permintaan global yang lesu.
“Iya, memang terlihat ada dorongan ekspor dengan mengurangi porsi dari 50% ke 25%, tapi di balik itu dikasih opsi sampai 100% asal dapat rekomendasi dari Kemenperin,” kata Farhan kepada Bisnis, dikutip Selasa (2/11/2025).
Pelaku usaha mengaku khawatir dengan aturan memberikan 100% kuota penjualan domestik atas rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Menurut APSyFI, aturan tersebut justru akan menjadi polemik baru.
Sebab, perizinan penjualan kawasan berikat ke pasar domestik sebesar 100% dengan menggunakan rekomendasi dari Kemenperin dapat memunculkan mafia kuota impor.
“Yang kami soroti justru rekomendasi Kemenperin ini yang menjadi sumber masalah utama karena ketidakbersediaan Kemenperin untuk transparansi maka kuota impornya terus berlebih,” jelas Farhan.
Dengan adanya tambahan wewenang Kemenperin untuk memberikan rekomendasi kuota domestik untuk pengusaha kawasan berikat, maka barang yang masuk ke pasar domestik menjadi tidak terkontrol dan akan mengakibatkan produsen lokal terus tertekan.
“Nah, dengan sistem yang tidak transparan ini jadi mainan mafia kuota,” ujarnya.
Kendati demikian, Ketua Umum Asosiasi Garmen dan Textile (AGTI) Anne Patricia Sutanto mengatakan, pihaknya tak mempermasalahkan pemangkasan kuota penjualan domestik kawasan berikat menjadi 25%.
“Kan tetap bisa dengan dasar untuk substitusi impor,” ungkapnya, dihubungi terpisah.
Terlebih, AGTI menilai industri tekstil dan produk tekstil (TPT) telah pulih dengan ekspor mencapai US$8,07 miliar hingga Agustus 2025, dengan pertumbuhan industri TPT mencapai 5,92% pada triwulan III/2025.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan kuota penjualan ke pasar domestik bagi industri di kawasan berikat dari 50% menjadi 25% mutlak dilakukan demi menjaga persaingan usaha yang sehat, meski pengusaha minta kelonggaran.
Purbaya menjelaskan bahwa desain awal kawasan berikat sejatinya adalah berorientasi ekspor. Kelonggaran kuota pasar domestik hingga 50% yang sempat berlaku sebelumnya merupakan kebijakan pengecualian atau diskresi akibat ambruknya permintaan global saat pandemi Covid-19.
Bendahara negara itu menyoroti adanya ketimpangan apabila fasilitas ini tidak diketatkan. Industri di kawasan berikat memiliki keunggulan economies of scale (skala ekonomi) karena kemudahan impor bahan baku dalam volume besar.
Menurutnya, jika produk dari kawasan berikat membanjiri pasar dalam negeri tanpa pembatasan ketat maka industri domestik non-fasilitas akan tergerus karena kalah bersaing dari sisi struktur biaya.
“Biar bagaimanapun, kawasan berikat bisa impor banyak di sana, yang domestik pasti ada kerugian di situ. Jadi kami kembalikan ke desain semula saja,” tegasnya, beberapa waktu lalu.


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5429295/original/004769400_1764580014-CEO_Vidio_Sutanto_Hartono_di_UGM.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4771315/original/081550200_1710329843-WhatsApp_Image_2024-03-13_at_18.10.26.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

/data/photo/2025/11/20/691eb975deb0d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4978747/original/098013900_1729763562-20241024-Demo_Buruh-AFP_2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5410159/original/095917700_1762922689-Menteri_Ketenagakerjaan__Menaker__Yassierli-2.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)