Tag: Susiwijono

  • Anak Buah Airlangga Prediksi PPN 12% Bakal Kerek Inflasi 0,3% YoY

    Anak Buah Airlangga Prediksi PPN 12% Bakal Kerek Inflasi 0,3% YoY

    Bisnis.com, JAKARTA — Sekretaris Menteri Koordinator bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menuturkan implementasi tarif PPN 12% pada tahun depan akan otomatis berdampak mendorong inflasi secara tahunan, tetapi secara terbatas. 

    Susi menyampaikan secara umum, melalui kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% terhadap barang maupun jasa, hanya akan mendorong inflasi sebesar 0,3% year on year (YoY). 

    “[Inflasi] tambahan 0,3% untuk year on year. Sekarang berapa? Kemarin 1,55% [November 2024], maka tambah 0,3%,” tuturnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (17/12/2024). 

    Mulai 1 Januari 2025, pemerintah akan resmi menerapkan PPN 12%, naik 1% dari sebelumnya 11%, kecuali untuk barang pokok penting (bapokting) seperti Minyak Kita, tepung terigu, dan gula industri yang tetap 11%. 

    Pemerintah juga akan menerapkan PPN 12% terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang tergolong mewah. Meski demikian, pemerintah masih menggodok daftar maupun rentang harga barang jasa yang tergolong mewah. 

    Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Ferry Irawan menuturkan pada dasarnya besaran inflasi akan bergantung pada komoditas dan bobotnya. 

    Mengingat bahan pokok dibebaskan dari PPN, maka inflasi hanya akan terdorong sebesar 0,3%. Sebagai contoh, beras yang merupakan bahan pokok memiliki bobot 3,43% terhadap inflasi. Sementara tarif listrik memiliki bobot tertinggi sebesar 4,89%.

    “Komponen ini [beras dan listrik] enggak kita kenakan PPN. Jadi, secara inflasi dia enggak akan mempengaruhi, gitu,” jelasnya. 

    Membandingkan dengan realisasi inflasi di masa kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 lalu, terpantau ada kenaikan lebih dari 0,3%.  

    Pada Maret 2022, inflasi tercatat sebesar 2,64% YoY. Sementara pada April 2022, inflasi melonjak ke 3,47% atau meningkat 0,83%. 

    Sejak saat itu, inflasi terus mencatatkan kenaikan dan mencapai puncaknya ke level 5,95% ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM pada September 2024. 

    Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Askar Wahyudi melihat kenaikan tarif yang mendorong harga barang maupun jasa tersebut dapat mendorong tingkat inflasi hingga tembus 4,1%. “[Dengan PPN 12%] estimasi inflasi meningkat menjadi 4,1%,” ujarnya, Senin (16/12/2024). 

    Mengacu perhitungannya, kenaikan PPN yang hanya dikecualikan terhadap tiga bapokting tersebut, akan menambah pengeluaran masyarakat.

    Seperti pengeluaran kelompok miskin berpotensi meningkat senilai Rp101.880 per bulan, sehingga memperburuk kondisi ekonomi mereka. Sementara itu, kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sejumlah Rp354.293 per bulan. 

    Dampaknya, Media berpandangan hal ini akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan.

  • Beli Baju-Kosmetik di Mal Kena PPN 12 Persen Mulai Januari 2025

    Beli Baju-Kosmetik di Mal Kena PPN 12 Persen Mulai Januari 2025

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pemerintah memastikan pakaian dan kosmetik yang dijual di pusat perbelanjaan atau mal akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai tahun depan. Tarif PPN itu naik dibandingkan saat ini hanya 11 persen.

    Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan pada prinsipnya semua barang dan jasa yang selama ini kena PPN bakal terdampak semua. Namun, memang ada yang dikecualikan seperti sembako yang dikonsumsi masyarakat luas.

    Sedangkan, selain yang dikecualikan akan tetap dikenakan. Apalagi yang hanya dinikmati segelintir orang sudah pasti dipungut PPN 12 persen.

    “(Pakaian dan kosmetik beli di mal kena PPN?) Secara regulasi seluruh barang dan jasa yang memang subjek PPN akan kena dulu. Tapi terus dari itu ada yang dikecualikan, dilakukan pembebasan atau tidak dikenakan,” ujar Susi sapaan akrabnya ditemui di kantornya, Selasa (17/12).

    Menurut Susi, beberapa barang yang di luar pembebasan pajak dan kena PPN, maka akan diberi insentif ditanggung pemerintah (DPT). Misalnya beli rumah atau properti maksimal harga Rp5 miliar dan kendaraan listrik mendapatkan stimulus PPN DTP.

    “Di luar itu ada ternyata barang yang juga dikonsumsi masyarakat, yang tidak masuk di kelompok, yang ternyata juga diperlukan untuk tidak dikenakan. Akhirnya pemerintah menggunakan skema DTP,” jelasnya.

    Ia pun menekankan detail jenis dan harga barang yang akan dikenakan PPN 12 persen mulai tahun depan akan segera dirilis. Saat ini aturannya sedang disusun bersama dengan Kementerian Keuangan.

    “Kalau di luar itu semuanya, per hari ini policynya akan dikenakan. Tapi detailnya akan seperti apa, kita akan tunggu di PMK-nya. Jadi kalau nanya barang yang lain apapun di luar itu, penjelasannya seperti itu. Semuanya barang dan jasa yang kena PPN akan kena tambahan 1 persen,” pungkas Susi.

    Pemerintah akan menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 mendatang. Namun, ada beberapa barang yang tidak akan dikenakan PPN.

    Ada juga barang yang kena PPN.

    Berdasarkan data pemerintah, berikut daftar 8 jenis barang yang dikenakan PPN 12 persen mulai tahun depan:

    1. Beras super premium

    2. Buah-buahan premium

    3. Daging premium

    4. Ikan mahal seperti salmon premium, tuna premium

    5. Udang dan crustacea premium (king crab)

    6. Jasa pendidikan premium

    7. Jasa pelayanan kesehatan medis premium

    8. Listrik pelanggan rumah tangga 3.500-6.600 VA.

    (ldy/agt)

  • PPN Jadi 12%, Kemampuan Bayar Kredit Bank Berkurang? – Page 3

    PPN Jadi 12%, Kemampuan Bayar Kredit Bank Berkurang? – Page 3

    Sebelumnya, Pemerintah tengah mempersiapkan beberapa insentif fiskal, sebagai kompensasi dari kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% di 2025. Penerapan PPN 12% ini diyakini akan memberatkan untuk sebagian lapisan masyarakat oleh sebab itu perlu adanya insentif. 

    Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, bahwa insentif yang akan disalurkan pemerintah untuk 2025 mendatang masih dalam tahap finalisasi. Insentif yang dimaksud adalah insentif PPnBM Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pembelian mobil listrik, dan PPN DTP untuk sektor properti.

    “(Insentif) sedang dikaji untuk mem-balance (menginbangi) dampaknya PPN 12%, kita memberikan usulan beberapa skema insentif fiskal khususnya PPN DTP dan PPnBM DTP,” kata Susiwijono di Jakarta, dikutip Selasa (10/12/2024).

    “Lagi difinalisasi angka-angkanya,” ungkapnya.

    Namun, ia enggan menyebut secara spesifik kapan aturan teknis dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini akan diterbitkan oleh pemerintah.

    Seperti diketahui, Presiden Prabowo Subianto sudah mengumumkan kebijakan terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Kenaikan PPN menjadi 12 persen akan diberlakukan per 1 Januari 2025. Pemerintah dan DPR menyebut bahwa penerapan kebijakan tarif PPN 12 persen itu hanya menyasar dan selektif hanya kepada barang mewah.

  • PPN 12 Persen pada 2025, Sri Mulyani Pastikan Beras hingga Listrik Tak Kena Dampak – Page 3

    PPN 12 Persen pada 2025, Sri Mulyani Pastikan Beras hingga Listrik Tak Kena Dampak – Page 3

    Sebelumnya, Pemerintah tengah mempersiapkan beberapa insentif fiskal, sebagai kompensasi dari kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% di 2025. Penerapan PPN 12% ini diyakini akan memberatkan untuk sebagian lapisan masyarakat oleh sebab itu perlu adanya insentif. 

    Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, bahwa insentif yang akan disalurkan pemerintah untuk 2025 mendatang masih dalam tahap finalisasi. Insentif yang dimaksud adalah insentif PPnBM Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pembelian mobil listrik, dan PPN DTP untuk sektor properti.

    “(Insentif) sedang dikaji untuk mem-balance (menginbangi) dampaknya PPN 12%, kita memberikan usulan beberapa skema insentif fiskal khususnya PPN DTP dan PPnBM DTP,” kata Susiwijono di Jakarta, dikutip Selasa (10/12/2024).

    “Lagi difinalisasi angka-angkanya,” ungkapnya.

    Namun, ia enggan menyebut secara spesifik kapan aturan teknis dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini akan diterbitkan oleh pemerintah.

    Seperti diketahui, Presiden Prabowo Subianto sudah mengumumkan kebijakan terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Kenaikan PPN menjadi 12 persen akan diberlakukan per 1 Januari 2025. Pemerintah dan DPR menyebut bahwa penerapan kebijakan tarif PPN 12 persen itu hanya menyasar dan selektif hanya kepada barang mewah.

    Barang Mewah Lokal Tak Kena

    Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty mengusulkan kepada pemerintah agar barang mewah tertentu produksi dalam negeri tak kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen.

    “Harusnya produk dalam negeri itu punya spesifikasi, mereka tidak dikenakan 12 persen tapi 10 persen. Itu-lah perbedaan yang diimpor dan produk dalam negeri,” katanya di sela kunjungan kerja reses industri kecil menengah minuman anggur di Denpasar, Bali, Sabtu (7/12/2024) seperti dilansir Antara.

     

  • Siap-Siap, Ini Jenis Mobil-Motor Bisa Masuk Daftar Barang Kena PPN 12%

    Siap-Siap, Ini Jenis Mobil-Motor Bisa Masuk Daftar Barang Kena PPN 12%

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah dan DPR memutuskan tetap memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% tahun 2025 dari saat ini 11%. Namun, kenaikan PPN itu diberlakukan secara selektif.

    Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco mengatakan, dalam diskusi dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (5/12/2024) disepakati, akan tetap mengikuti Undang-Undang. Yaitu, PPN akan tetap berjalan sesuai jadwal waktu amanat di Undang-Undang, 1 Januari 2025.

    “Tetapi kemudian akan diterapkan secara selektif. Selektif kepada beberapa komunitas baik itu barang dalam negeri maupun impor yang berkaitan dengan barang mewah,” katanya usai pertemuan, dikutip Sabtu (7/12/2024).

    “Mobil mewah, apartemen mewah, rumah mewah, yang semuanya serba mewah,” tegas Dasco.

    Terpisah, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso di kantornya, Jumat (6/12/2024), mengungkapkan, pemerintah akan segera mendetailkan sejumlah barang mewah yang akan dikenakan PPN 12%.

    “Kan diserahkan, Bapak presiden menyampaikan teknisnya menteri keuangan yang akan itu (mendetailkan),” ucapnya.

    Lalu apa saja kriteria mobil mewah jika dilihat dari aspek pajaknya?

    Diketahui, ada jenis-jenis kendaraan yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Hal itu tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 141/PMK.010/2021 tentang Penetapan Jenis Kendaraan Bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengenaan Pemberian dan Penatausahaan Pembebasan, dan Pengembalian Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

    Pasal 2 (ayat) 1 PMK No 141/2021 itu menetapkan, jenis barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor angkutan orang untuk pengangkutan kurang dari 10 orang, termasuk pengemudi dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 3.000 cc.

    Tercantum, jenis kendaraan ini dikenai PPnBM dengan tarif:

    a. 15%
    b. 20%
    c. 25%, atau
    d. 40%, tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK No 141/2021.

    Masih di pasal yang sama, pada ayat (3) tercantum ketentuan Jenis Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor angkutan orang untuk pengangkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3.000-4.000 cc, yang dikenai PPnBM dengan tarif:

    a. 40%
    b. 50%
    c. 60%; atau
    d. 70%, seperti tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK No 141/2021.

    Sementara untuk ketentuan serupa untuk kendaraan jenis lain, seperti sepeda motor diatur pada Bab V Pasal 22 huruf (a) PMK No 141/2021.

    Yaitu, kendaraan bermotor beroda 2 atau 3 dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250-500 cc, dikenai PPnBM dengan tarif sebesar 60%, sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK No 141/2021.

    Lebih lanjut, Pasal 23 menetapkan,

    “Jenis Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, berupa:

    a. kendaraan bermotor dengan kapasitas isi silinder lebih dari 4.000 cc;
    b. kendaraan bermotor beroda 2 atau 3 dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc; atau
    c. trailer, semi-trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah, yang dikenai PPnBM dengan tarif sebesar 95%, tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.” 

    (dce/dce)

  • Kontradiksi PPN 12%: Sasar Barang Mewah tapi Ada Kebijakan PPnBM DTP

    Kontradiksi PPN 12%: Sasar Barang Mewah tapi Ada Kebijakan PPnBM DTP

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo memastikan pemerintah menerapkan tarif baru pajak pertambahan nilai atau PPN 12% hanya kepada barang mewah saja. Pada saat yang sama, pemerintah juga membebaskan sejumlah barang mewah dari pajak penjualan.

    Presiden Prabowo Subianto menyebut pengecualian pengenaan PPN sudah berlaku sejak 2013 lalu. Pemerintah hanya akan mengenakan pajak PPN jadi 12% kepada orang kaya. Saat menjawab awak media, Jumat (6/12/2024), presiden menyebut langkah pengecualian PPN merupakan bagian dari upaya perlindungan bagi masyarakat kecil.

    Sehari sebelumnya, Prabowo juga menerima audiensi pimpinan DPR di Istana Negara pada Kamis (5/12/2024). Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan bahwa pihaknya meminta pemerintah lebih selektif dalam mengenakan tarif PPN 12% sehingga hanya kenakan untuk barang mewah saja.

    Dia juga meminta secara khusus kepada Prabowo untuk menurunkan pajak bagi barang kebutuhan pokok. Menurut Dasco, Prabowo menyambut baik usulan DPR.

    “Bapak Presiden tadi menjawab bahwa akan dipertimbangkan dan akan dikaji,” ucapnya usai melakukan pertemuan, Kamis (5/12/2024).

    Padahal, pemerintah menerapkan pajak penjualan atas barang mewah ditanggung pemerintah (PPnBM DTP) untuk pembelian mobil. Kebijakan tersebut akan berakhir di akhir tahun ini, namun direncanakan akan diperpanjang pada tahun depan.

    Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono Morgiarso menilai sebenarnya tidak ada kontradiksi apabila pemerintah menerapkan tarif PPN 12% untuk barang mewah dan kebijakan PPnBM DTP pembelian mobil.

    Susi menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% dan kebijakan PPnBM DTP pembelian mobil memilikinya tujuan yang berbeda. Pemerintah, sambungnya, menganggap insentif PPnBM DTP diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

    “Jadi sektor-sektor yang dipilih [diberi insentif fiskal seperti PPnBM DTP] yang memang berkontribusi besar ternyata PDB [produk domestik bruto], yang properti, otomotif, yang sektor padat karya, yang gitu-gitu,” jelas Susi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (6/12/2024).

    Dia meyakini insentif seperti PPnBM DTP pembelian mobil bisa berkontribusi agar target pertumbuhan ekonomi minimal 5,1% bisa tercapai pada akhir 2024. Begitu juga dengan Kuartal I/2025 karena pada saat itu belanja pemerintah belum bisa dimaksimalkan.

    “Jadi konteksnya lebih banyak memang untuk dorong pertumbuhan juga, bukan hanya semata-mata merespon [PPN 12%],” ujar Susi.

    Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita tidak menampik para pelaku industri otomotif juga tengah mengkhawatirkan dampak kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 karena berisiko semakin menggerus penjualan otomotif.

    Oleh sebab itu, Agus mengatakan pemerintah telah membahas insentif yang akan diberikan untuk mendorong sektor otomotif pada 2025. Adapun, skema insentif yang telah dibahas di antaranya yakni insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) hingga mobil hybrid.

    “Perhatian pemerintah adalah bagaimana kinerja dari industri, itu melalui insentif dan stimulus yang akan kita siapkan,” pungkas Agus dikutip Jumat (6/12/2024).

  • PPN Naik jadi 12% per Januari 2025, Prabowo Tugaskan Sri Mulyani Seleksi Barang yang Dikecualikan

    PPN Naik jadi 12% per Januari 2025, Prabowo Tugaskan Sri Mulyani Seleksi Barang yang Dikecualikan

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto menugaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menyeleksi barang/jasa yang tidak akan dikenai pajak pertambahan nilai atau PPN 12% pada tahun depan.

    Prabowo sendiri menerima audiensi pimpinan DPR. Parlemen meminta Prabowo memberlakukan PPN 12% untuk barang/jasa mewah saja. Presiden, dalam kesempatan terpisah, memastikan pajak untuk barang mewah itu akan dinaikkan pada tahun depan. 

    Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono Morgiarso mengaku tidak tahu barang/jasa apa saja yang akan dikecualikan apabila Prabowo menerima masukan dari DPR.

    “Bapak presiden minta menteri keuangan yang supaya ngatur itu, pengecualiannya [bukan Kemenko Perekonomian],” jelas Susi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (6/12/2024).

    Lebih lanjut, di menjelaskan selama ini sudah ada beberapa barang/jasa yang tidak dikenakan PPN. Barang/jasa yang dikecualikan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini sebelumnya pernah diberlakukan dengan PP No. 49/2022.

    Oleh sebab itu, sambungnya, pemerintah nantinya akan kembali mengeluarkan PP yang mengecualikan barang/jasa yang tidak dikenai tarif baru PPN 12%.

    “Selama ini kan PPN itu kan memang ada pengecualiannya, ada PP-nya khusus,” ujar Susi.

    Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan bahwa parlemen meminta pemerintah lebih selektif dalam mengenakan tarif PPN 12% sehingga tidak semua barang/jasa yang menjadi objek pajaknya.

    Dia mengaku DPR juga meminta secara khusus kepada Prabowo untuk menurunkan pajak bagi barang kebutuhan pokok. Menurut Dasco, Prabowo menyambut baik usulan DPR.

    “Bapak Presiden tadi menjawab bahwa akan dipertimbangkan dan akan dikaji,” ucapnya usai melakukan pertemuan, Kamis (5/12/2024).

    DPR, lanjutnya, tetap mendorong agar amanat Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengatur PPN naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025 tetap dipatuhi. Hanya saja, skemanya sedikitpun diubah yaitu hanya barang yang sifatnya tersier yang akan dikenakan tarif 12%.

    “Pertama, untuk PPN 12% akan dikenakan hanya kepada barang-barang mewah jadi secara selektif. Kedua, barang-barang popok dan berkaitan dengan pelayanan yang langsung menyentuh kepada masyarakat masih tetap akan diperlakukan pajak 11%,” pungkas Dasco.

  • Saingi Malaysia & Singapura, RI Siapkan Segudang Insentif untuk KEK Batam

    Saingi Malaysia & Singapura, RI Siapkan Segudang Insentif untuk KEK Batam

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian mengaku tengah menyiapkan kematangan iklim investasi di kawasan ekonomi khusus (KEK) yang ada di wilayah Batam agar tak kalah saing dengan Special Economic Zone (SEZ) Johor-Singapura.

    Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso menjelaskan bahwa salah satu upaya yang tengah diselesaikan untuk mendorong pamor KEK Batam di mata investor yakni mengenai penyelesaian masalah pembebasan lahan.

    “Kita ingin mendorong Batam itu kompetitif, terutama kalau dibandingkan dengan kompetitornya atau pesaingnya. Sekarang kan ada Johor. Dan Johor Baru itu luar biasa menawarkan banyak hal, jangan sampai Batam dalam tanda petik kalah dengan itu,” kata Susiwijono saat ditemui di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Senin (3/12/2024).

    Di samping itu, optimisme itu juga didorong oleh lokasi geografis wilayah Batam yang disebut jauh lebih strategis. Kemudian, pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah insentif pada sejumlah KEK yang ada di Batam.

    Lebih lanjut, Susi juga memastikan pengembangan infrastruktur di wilayah Batam telah banyak mengalami kemajuan. Sehingga, hal itu akan menjadi nilai lebih untuk menarik minat para investor.

    “Lalu, kalau kita lihat konstelasi global saat ini, bisa jadi malah blessing buat kita. Sebagai contoh tensi geopolitik antara pemerintah nanti US dengan China itu akan malah jadi berkah buat kita karena ada beberapa investasi yang harus pindah ke Indonesia. Pengalaman kita seperti itu. Makannya kami ingin menyiapkan betul,” pungkasnya.

    Adapun, melansir dari lama resmi KEK, insentif fiskal terdiri dari pemerintah memberikan pengurangan pajak penghasilan perusahaan, bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN), insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

    Kemudian pengurangan pajak dan retribusi daerah sebesar 50% – 100%, fasilitas khusus untuk KEK pariwisata, dan insentif bea dan cukai.

    Sementara dari sisi nonfiskal, pemerintah memberikan insentif seperti kemudahan untuk perizinan dan lisensi, tidak ada kewajiban ekspor, serta kepemilikan tanah untuk 80 tahun.

  • Raksasa Produsen Kaca China Mau Masuk Rempang, tapi Terganjal Lahan

    Raksasa Produsen Kaca China Mau Masuk Rempang, tapi Terganjal Lahan

    Jakarta

    Produsen kaca asal China, Xinyi rencananya mau investasi di kawasan Rempang Eco City, Batam. Di sisi lain, ada penolakan masyarakat terhadap pembangunan kawasan Rempang Eco City.

    Apakah Xinyi tetap masuk Rempang? Menuru tSekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan Xinyi Group masih berkomitmen untuk berinvestasi ke proyek Rempang Eco City. Nilai investasi Xinyi diperkirakan mencapai US$ 11,6 miliar.

    “Kami tetap berharap yang Batam ini mudah-mudahan tidak terganggu dengan isu apapun, karena kan investor yang lain menjadikan (Xinyi) itu sebagai ukuran. Jadi kami jaga, kami paham harus menyeimbangkan dengan isu-isu kemasyarakatan dan sebagainya, tapi dari sisi investasi kami jaga betul kepercayaan. Xinyi sampai hari ini insyaallah masih tetap komitmen,” kata Susiwijono, ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2024).

    Meski lahan yang akan dipergunakan Xinyi masih terkendala, Susiwijono mengatakan saat ini proses pengurusan izin dasar mulai dari tata ruang, lokasi, AMDAL, pelepasan kawasan, semuanya sedang berprogres. Menurutnya, proses tersebut bisa berjalan relatif cepat.

    “Mudah-mudahan kalau bisa itu nanti ya di awal-awal tahun depan (2025) kita bisa segera dorong untuk (mulai pembangunan),” ujarnya.

    Di sisi lain, Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam Muhammad Rudi mengatakan, hingga saat ini status lahan untuk proyek Rempang Eco City masih belum clear.

    Dengan demikian, Rudi belum bisa memastikan apakah Xinyi bisa mulai masuk tahun depan atau belum.

    “Seharusnya tahun depan sudah clear. Tapi saya kira, ini tetap lanjut lah kita selesaikan,” kata Rudi, ditemui usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI di Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2024).

    Saat ini BP Batam tengah dalam proses pembangunan 350 unit rumah di Tanjung Banun untuk relokasi warga. Rudi mengatakan, BP Batam menargetkan agar pembangunan rumah bisa dilanjutkan hingga 961 unit pada 2025.

    Anggota Bidang Pengelolaan Kawasan dan Investasi BP Batam Sudirman Saad menjelaskan, lahan belum bisa dipergunakan lantaran dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) sendiri hingga saat ini belum menetapkan hak pengelolaan (HPL) terhadap BP Batam.

    Ini menjadi syarat agar tanah bisa dialokasikan ke PT Makmur Elok Graha (MEG), perusahaan yang mendapat konsesi pengembangan Rempang. HPL bisa terbit apabila relokasi rampung dilakukan.

    “Salah satu syarat untuk alokasi tanah ke MEG kemudian ke Xinyi itu kan harus HPL BP Batam dulu terbit. Salah satu syarat yang selalu diminta oleh ATR/BPN adalah tanahnya harus clean and clear. Itu kira-kira yang sedang kita terus perjuangkan,” ujar Sudirman.

    Di sisi lain, Sudirman mengatakan, luas area Rempang yang dijadikan investasi sebesar 8 ribu hektare, di mana Xinyi hanya mengambil sekitar 1.000 hektare. Dengan demikian masih ada 7 ribu hektare lagi yang siap dipergunakan untuk investor lainnya masuk.

    “Mungkin ada investor lain yang diharapkan bisa mulai masuk tahun 2025,” katanya.

    (shc/hns)

  • Nasib Pembatalan PPN 12% di 2025 Belum Pasti, Tunggu Sri Mulyani!

    Nasib Pembatalan PPN 12% di 2025 Belum Pasti, Tunggu Sri Mulyani!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah berencana menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% di tahun 2025, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso itu semua tergantung dengan Kementerian Keuangan.

    “Pak Menko sudah menyampaikan kita lagi mendata semuanya, kalau masalah pemberlakuannya iya atau tidak kan teman-teman Kementerian Keuangan yang, itu kan di Undang-Undang HPP, artinya sektornya dari Kementerian Keuangan,” kata Susiwijono di Kompleks Parlemen, Senin (2/12/2024).

    Pembahasan secara internal masih dilakukan di Kementeriannya. Terutama terkait pemberian insentif jika rencana ini dilakukan.

    “Belum, kan masih banyak hal yang harus kita masukan. Termasuk kalaupun naik ini insentifnya apa, sedang ini lah sedang proses pembahasan,” jelasnya.

    Rencana penerapan kebijakan ini ditolak dari masyarakat hingga pengusaha. Wakil Ketua Umum Badan Anggaran DPR RI Wihadi Wiyanto juga mengungkapkan keputusan penundaan ataupun melanjutkan amanat UU HPP itu juga berada di tangan Presiden Prabowo.

    Hal ini diungkapkan dalam pertemuan Badan Anggaran (Banggar) dengan jajaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur, Kamis lalu (28/11/2024).

    “Salah satu hal tadi juga yang disampaikan di dalam rapat yaitu kenaikan PPN 12 persen. Jadi, kami perlu menyampaikan bahwa PPN 12% ini memang sesuai dengan undang-undang. Namun segala keputusan daripada pelaksanaan undang-undang itu, tunggu daripada keputusan Presiden,” jelas Wihadi dikutip Minggu (1/12/2024).

    Lebih lanjut, Politisi Fraksi Partai Gerindra itu pun menambahkan bahwa apa yang disampaikan oleh kepala DEN (Dewan Ekonomi Nasional) Luhut Binsar Pandjaitan) bahwa akan ada penundaan kenaikan PPN dan bansos, tetap menunggu arahan dari Presiden Prabowo.

    “Jadi ini adalah kewenangan daripada eksekutif. Kewenangan eksekutif adalah Presiden. Kami sendiri sebagai legislatif menunggu daripada keputusan tersebut. Banggar sebagai Parlemen sifatnya masih menunggu yang sedang dikaji kembali oleh Kementerian Keuangan RI,” ucap Wihadi.

    Wihadi pun menyampaikan bahwa terdapat beberapa bidang yang memang tidak dikenakan kenaikan PPN 12 persen. Bidang tersebut antara lain, bidang kesehatan, pendidikan, bahan pokok dan juga jasa.

    “Ini memang sudah dibebaskan menurut Undang-Undang. Jadi dalam Undang-Undang itu memang disebutkan ada pembebasan juga untuk bidang-bidang tertentu,” katanya.

    (emy/mij)